Blogger Themes

News Update :

Michael Jackson Masuk Islam, Ubah Namanya Menjadi Mikaeel

Jumat, 26 Desember 2008

Saturday, 22 November 2008 13:40

Syabab.Com - Penyanyi Pop terkenal Michael Jackson baru-baru ini dikabarkan mendeklarasikan dirinya untuk masuk ke dalam agama Islam dalam sebuah pertemuan di Los Angeles pekan ini. Di depan seorang Imam masjid yang dipanggil dari Masjid, Jackson mengucapkan dua kalimah syahadat di rumah Steve Porcaro, seorang pemain keyboard penggubah musik pada album Thrillernya.


Jackson telah berkonsultasi untuk kepindahan agamanya dengan David Wharnsby, seorang penyanyi Muslim Kanada, dan Philip Bubal, seorang produser, yang keduanya telah masuk Islam terlebih dahulu. Menurut suatu sumber, Yusuf Islam, yang dikenal sebelumnya sebagai Cat Steven, telah menolong Jackson.

Menyusul masuk Islam, Jackson juga telah mengubah namanya. Kini artis ngepop yang semula bernama Michael Jackson kini dikenal sebagai Mikaeel, salah satu nama malaikat, meski belum jelas apakah hanya satu nama ini atau tetap memakai nama terakhirnya.

Beberapa tahun lalu, saudaranya Jackson, Jermaine, masuk agama Islam setelah ketertarikannya pada Islam sejak Konversi Hari Jumat pada tahun 1989.

"Ketika saya kembali dari Mekkah, saya membawa banyak buku untuknya. Dia bertanya padaku banyak hal tentang agamaku dan saya mengatakan padanya bahwa Islam itu penuh kedamaian dan sangat indah," kata Jermaine yang berganti nama menjada Muhammad Abdul Aziz.

"Dia membaca segala hal dan dia bangga bahwa saya telah menemukan sesuatu yang akan memberikanku kekuatan batin dan kedamaian," katanya lagi.

"Dia dapat melakukan banyak hal, seperti yang saya coba lakukan. Michael, saya dan Allah, kami bisa melakukan banyak hal," paparnya.

Allahu Akbar, ketika hidayah Allah datang, takkan ada satupun yang dapat menghalangi seseorang untuk menemukan cahaya Islam. Islam merupakan cahaya di tengah-tengah kegelapan kehidupan saat ini, dan Islam akan membawa keselamatan bagi siapa pun baik di dunia maupun di akhirat.

Lebih-lebih, bila cahaya Islam itu benar-benar nyata dan tegak dalam kehidupan di bawah Khilafah Islamiyyah, terutama ketika Allah memberikan pertolongan berupa kemenangan bagi kaum Muslim, seperti kabar dari-Nya, umat manusia akan berbondong-bondong untuk masuk ke dalam agama yang mulia ini. Insya Allah.

Kita semua berdoa semoga, masuk Islamnya Mikaael ini diberikan keistiqomahan dan menjadi bagian dari para pejuang Allah, semoga semakin banyak juga umat manusia yang menerima hidayah dari-Nya. Amin. [z/telegraph/qv/syabab.com]

UNDANGAN TERBUKA: KONFERENSI EKONOMI INTERNASIONAL

UNDANGAN TERBUKA:
KONFERENSI EKONOMI INTERNASIONAL

MENUJU DUNIA YANG AMAN DAN DAMAI DALAM NAUNGAN SISTEM EKONOMI ISLAM

Menampilkan Sejumlah Pembahasan:

* Kapitalisme Mengandung Janin “Kegagalan”… dan, Melahirkan Krisis
* Munculnya Krisis Ekonomi Saat Ini.. Sebab dan Akibat
* Pengaruh Krisis Saat terhadap Sejumlah Wilayah di Seluruh Dunia
* Gagalnya Solusi Krisis Keuangan Global yang Berlangsung Saat ini
* Sistem Ekonomi Islam dalam Negara Khilafahlah Satu-satunya yang Mampu Memenuhi Kehidupan Ekonomi yang Adil dan Bebas Krisis

Konferensi Akan Diselenggarakan di:
Khourtum – Sudan,
Aula no-1 Daerah Pameran - Burri
Sabtu, Muharram 1430 H
3 Januari 2009 M

Dibalik Dialog Antar Agama

Selasa, 04 November 2008

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
(Lajnah Tsaqofiyah HTI )

Perspektif Islam

Untuk mengetahui sikap Islam terhadap dialog antarumat beragama, terlebih dahulu harus diketahui paradigma Islam terhadap aqidah lain beserta pemeluknya. Terhadap aqidah lain, Islam memiliki sikap yang amat jelas dan tegas, bahwa semua aqidah selainnya adalah sesat. Terdapat banyak ayat maupun hadits yang menjelaskan prinsip tersebut.

Al-Quran menyatakan bahwa Islam adalah dien yang berasal dari Allah Swt (QS Ali Imran [3] [3]: 19). Karena kebenaran adalah yang datang dari-Nya (QS Ali Imran [3]: 60), amat logis jika hanya Islam yang diridhai Allah Swt sebagai dien yang dipeluk dan diikuti manusia (QS al-Maidah [5]: 3). Dien inilah yang diperintahkan untuk diikuti seluruh manusia sejak diutusnya Muhammad saw sebagai nabi dan rasul (QS Saba’ [34]: 28). Perintah itu juga mencakup kalangan Ahli Kitab, yakni pemeluk agama Yahudi dan agama Nasrani (QS al-Maidah [5]: 19). Baik ahli Kitab maupun kaum musyrikin diperintahkan untuk meninggalkan aqidah mereka dan mengimani Islam (QS Ali Imran [3]: 20). Dan setiap orang yang sudah beriman, mereka diwanti-wanti agar tetap teguh memegang Islam hingga maut menjemput (QS Ali Imran [3]: 102).

Al-Quran juga menegaskan bahwa semua dien –agama maupun ideologi—selain Islam adalah batil dan tidak boleh diikuti. Siapa pun yang memeluk dan mengikutinya, tidak akan diterima Allah dan digolongkan sebagai orang yang merugi (QS Ali Imran [3]: 85). Mereka juga dikatagorikan sebagai kafir yang jika tidak mau bertaubat hingga wafatnya diancam dengan neraka jahannam yang kekal siksanya (QS al-Baqarah [2]: 191, Ali Imran [3]: 161). Dari Abu Hurairah Rasulullah saw juga bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Allah yang jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).

Secara khusus al-Quran mengecam beberapa aqidah yang dipeluk manusia. Nasrani yang bertumpu pada doktrin trinitas yang mengakui ketuhanan Isa as, ditolak tegas oleh Islam. Dalam aqidah Islam, Isa as bukanlah Tuhan, namun dia adalah hamba, nabi, dan utusan Allah Swt. dan siapa pun yang mempercayai doktrin tersebut digolongkan sebagai kafir (QS al-Maidah [5]: 72-73). Penyimpangan Yahudi, baik dari segi aqidah maupun syariah juga banyak diungkap dalam al-Quran.

Inilah paradigma Islam terhadap aqidah dan pemeluk lainnya. Bahwa Islam adalah agama yang haq, sementara semua aqidah lainnya adalah sesat dan pemeluknya terkatagori sebagai kafir. Bertolak dari paradigma inilah setiap muslim bersikap. Dengan paradigma ini, maka seorang muslim akan menjadikan setiap pemeluk aqidah selain Islam sebagai sasaran dakwah, berupaya mengajak mereka untuk melepaskan aqidahnya dan menggantinya dengan Islam. Caranya dengan membongkar kesesatan aqidah lawannya, merobohkan semua argumentasinya, dan membeber semua kerusakannya. Selanjutnya, ditanamkan keyakinan mereka akan kebenaran Islam dengan memberikan bukti-bukti tak terbantahkan. Banyak ayat dan hadits yang memerintahkan umat Islam untuk berdakwah kepada nonmuslim untuk memeluk Islam dan meninggalkan kekufuran mereka.

Meskipun demikian, bukan berarti kaum muslim diperbolehkan memaksa mereka untuk meninggalkan agamanya. Allah Swt melarang tindakan tersebut (QS al-Baqarah [2]: 256). Jika mereka menolak masuk Islam, mereka diberi kesempatan menjadi kafir dzimmi dalam naungan Daulah Islamiyyah. Harta mereka haram diambil dan darah mereka haram ditumpahkan kecuali dengan cara yang haq. Mereka juga tidak boleh diganggu dan diperlakukan tidak adil lantaran tidak memeluk Islam. Jihad memerangi orang-orang kafir, memang diwajibkan. Namun itu bukan dalam kerangka memaksa mereka masuk Islam. Jihad futuhat itu diperintahkan manakala mereka menolak memilih di antara dua pilihan, yaitu: masuk Islam atau tunduk kepada sistem Islam dengan menjadi kafir dzimmi. Jika mereka tidak memilih di antara keduanya berarti dia telah menjadikan dirinya sebagai penghalang fisik yang harus disingkirkan dengan kekuatan fisik pula alias jihad (QS al-Taubah [9]: 29).

Berdasarkan paparan di atas, dialog dengan pemeluk aqidah lain dengan tujuan untuk berdakwah dan mengajak mereka meninggalkan kekufurannya dan mengimani Islam boleh dilakukan. Rasulullah saw dan para sahabat juga pernah berdialog dengan orang kafir dengan tujuan tersebut.

Tetapi jika dialog lintas agama itu bertujuan untuk menemukan titik-titik persamaan antar berbagai agama; mereduksi dan memangkas sebagian ajaran Islam untuk dikompromikan dengan agama lain; menyamakan dan menyejajarkan Islam dengan agama lain; atau bahkan memberikan pengakuan akan kebenaran agama lain jelas dilarang Islam.

Apabila dicermati, berbagai dialog antaragama yang kini gencar diadakan tidak terkatagori jenis pertama namun terkatagori jenis kedua. Tema-tema yang dibahas dalam dialog tersebut senantiasa berkisar pada upaya-upaya mengembangkan sikap saling toleran, saling mencintai, menciptakan perdamaian, dan melakukan kerjasama antar pemeluk agama. Alih-alih melakukan dakwah mengajak orang-orang kafir meninggalkan kekufurannya dan mengikuti Islam, ‘delegasi dari umat’ Islam justru terseret dalam arus ide yang menyejajarkan, menyepadankan, dan menyamaratakan agama.

Bahaya Dialog Antar Agama

Di samping bertentangan dengan ketentuan syara’, dialog antar agama itu mengandung sejumlah bahaya. Di antara bahayanya adalah: pertama, mengikis keimanan tentang Islam sebagai satu-satunya kebenaran. Tema yang senantiasa dibahas dalam dialog dan dianggap sebagai problem bersama adalah munculnya ketegangan dan konflik yang dilatari perbedaan agama. Solusi yang selalu ditawarkan dalam berbagai dialog itu adalah mengikis habis sikap fanatisme agama yang dianggap sebagai biang perselisihan. Oleh karenanya, klaim oleh setiap agama yang mengaku sebagai satu-satunya kebenaran harus singkirkan jauh-jauh. Sebagai gantinya, dikembangkan sikap saling menghormati, mau menerima perbedaan, dan tidak saling menyalahkan. Bahkan harus dicari sisi-sisi persamaan antaragama, seperti ajaran cinta kasih, perdamaian, persaudaraan, keadilan, dan sebagainya yang selanjutnya menjadi agenda bersama untuk disebarkan di tengah masyarakat. Solusi ini tentu dapat merusak keimanan seseorang.

Yang perlu digarisbawahi, keimanan seorang terhadap Islam sebagai satu-satunya kebenaran tak selalu berujung pada konflik agama. Sebab, keyakinan pasti akan kebenaran Islam tidak berarti membolehkan atau bahkan mengharuskan pemusnahan pemeluk agama lain. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, meski umat Islam diperintahkan mengajak mereka kepada Islam, akan tetapi tidak dibenarkan memaksa mereka masuk Islam. Dengan demikian, simpulan bahwa ketegangan antar agama disebabkan karena fanatisme agama (Islam) merupakan simplikasi persoalan yang menyesatkan.

Demikian juga upaya mencari titik persamaan agama sebagai tawaran solusi untuk meredam konflik. Sebab, perkara yang dianggap sebagai titik persamaan agama sesungguhnya semu belaka. Jika ajaran cinta kasih atau keadilan dianggap sebagai titik temu antaragama, samakah ajaran cinta kasih dan keadilan antara Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, atau Budha? Jawabannya jelas, wujud nyata cinta kasih dan keadilan berbagai agama terdapat perbedaan, bahkan kontradiksi yang saling menafikan. Sebagai contoh, hukuman rajam yang ditimpakan terhadap pelaku perzinaan muhsan adalah adil menurut Islam. Akan tetapi hukuman itu bisa jadi dianggap sadis, barbar, atau tidak beradab oleh agama lain. Oleh karenanya, seruan menyebarkan cinta kasih, persaudaraan, perdamaian, dan sebagainya, tanpa ada kejelasan wujud nyatanya adalah seruan absurd alias pepesan kosong.

Kedua, memasung totalitas Islam dan mereduksi ajarannya. Di antara tujuan dalog antar agama yang sering didengungkan adalah menciptakan kehidupan moderat. Sedangkan kehidupan moderat adalah menjauhkan peran agama dari kehidupan. Sikap itu jelas akan memasung totalitas syariat Islam yang mengatur seluruh kehidupan dan mereduksinya hanya menjadi agama yang mengatur urusuan ubudiyyah dan privat lainnya. Ini berarti, dialog antar agama makin menjauhkan umat Islam dari perjuangan menegakkan syariat.

Ketiga, membendung gerakan-gerakan Islam yang bertujuan menegakkan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Dialog antar agama juga mengutuk terorisme. Jika definisi terorisme secara objektif, barangkalai tidak terlalu menjadi masalah. Sebab, Amerika sebagai negara gembong teroris termasuk daftar negara yang dikutuk. Demikian juga Israel , Inggris, Australia, dan sekutunya. Akan tetapi definisi terorisme telah dibajak sedemikian rupa sehingga label terorisme hanya disematkan kepada setiap individy, gerakan, atau negara yang menentang hegemoni Barat beserta ideologinya. Pada akhirnya, kutukan kepada terorisme acapkali ditalamtkan keada gerakan-gerakan islam ideologis yang akan menegakkan syariah dan khilafah yang dapat mengancam kedigdayaan Amerika beserta ideologinya.

Menelisik Asal Usul Dialog Antarumat Beragama

Berbagai bahaya tersebut wajar saja. Sebab, jika ditelisik asal-muasalnya dialog antar agama memang berasal dari Barat. Baratlah yang memunculkan dialog tersebut dan bersemangat untuk mempromosikan ke negara-negara lain. Dialog antaragama mulai muncul secara internasional pada tahun 1932 tatkala perancis mengutus delegasinya guna berunding dengan tokoh-tokoh ulama al-Azhar (Kairo-Mesir) mengenai ide penyatuan tiga agama; Islam, Kristen dan Yahudi.

Kegiatan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Konferensi Paris tahun 1933 (dihadiri para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas di Inggris, Swiss, Amerika, Italia, Polandia, Spanyol, Turki dll). Tahun 1936 diadakan Konferensi Agama-agama sedunia sebelum terjadi perang dunia II. Pada Tahun 1964 Paus Paulus VI menulis sebuah risalah yang menyerukan dialog antar agama-agama. Kemudian pada tahun 1969 Vatikan menerbitkan buku yang berjudul “Alasan Dialog Antar Kaum Muslim dan Kaum Kristiani”. Sepanjang dasawarsa 70-an dan 80-an abad ini, telah diadakan lebih dari 13 pertemuan dan konferensi untuk dialog antar agama dan antar peradaban. Dari fakta tersebut, tampak jelas bahwa di belakang semua kegiatan dialog tersebut adalah Barat.

Mereka sadar, untuk memenangkan kapitalisme tidak cukup dengan kekerasan seperti yang dipraktekkan secara telanjan oleh Amerika di Afghanistan dan Irak, namun juga harus memenangkan pertarungan ide. Walhasil, dialog aantar agama hanyalah salah satu taktik Barat untuk melempangkan jalan buat mereka untuk menguasai umat Islam dan negeri-negeri Islam.

Mereka telah berbuat makar untuk menghancurkan Islam dan umatnya, lalu apa yang Anda lakukan untuk membelanya? Wallah a’lam bi al-shawab.

Bercermin dari Sikap PDI Perjuangan dan PDS

DPR akhirnya mengesahkan RUU Pornografi setelah mengalami penundaan yang sangat lama. Hampir semua fraksi setuju dengan Rancangan UU ini, kecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Kedua partai ini memilih walkout dalam sidang paripurna. Memang kedua partai ini sudah sejak awal menentang UU yang diharapkan bisa menghapuskan pornografi.

Alasan kedua partai ini hampir sama. UU ini melanggar HAM, mengancam pluralisme, diskriminasi. Keduanya menganggap UU ini mengancam sekulerisme Indonesia. Anggota pansus dari PDIP Eva Kusuma Sundari menilai negara telah memasuki wilayah private, sementara NKRI bukan negara agama.

Sementara PDS saat menarik anggotanya sebagai anggota Pansus RUU ini mengatakan RUU ini penuh dengan muatan syariah agama tertentu yang kan menimbulkan perda-perda yang diskriminatif. Baik PDIP dan PDS yang secara terang-terangan menyatakan UU ini merupakan upaya terselubung untuk penerapan syariah Islam di Indonesia.

Berbagai argumentasi sudah dilontarkan untuk menolak anggapan tersebut. Sikap Hizbut Tahrir sendiri sejak awal sudah jelas, bahwa kita setuju setiap upaya penghapusan pornografi dan pornoaksi secara menyeluruh , bukan sekedar mengatur tapi memberangus habis. Namun sejak awal juga kita katakan juga, UU yang akan bisa memberangus segala bentuk pornografi dan pornoaksi adalah syariah Islam yang harus diterapkan secara menyeluruh. Kita juga melihat banyak kelemahan dari UU ini yang justru bisa dijadikan sebagai alat melegalkan pornografi dan pornoaksi.

Lepas dari semua itu, kita menyaksikan bagaimana PDI-P yang secara terbuka mengaku sebagai partai sekuler dan PDS yang tidak malu-malu mengatakan sebagai partai kristen secara konsisten menolak UU ini karena menurut mereka mengancam sekulerisme. Mereka juga sejak awal konsisten menolak syariah Islam untuk diterapkan oleh negara. Dalam sejarah PDI atau PDIP misalnya sejak awal menolak segala bentuk UU yang menurut mereka berbau syariah. Mereka menolak UU Perkawinan, UU Sisdiknas, UU Pornografi dan perda-perda yang menurut mereka berbau syariah.

Mereka juga melakukan itu secara terbuka, tidak malu-malu , dan tidak berputar-putar dalam bersikap . Setiap UU yang melanggar prinsip sekulerisme dan berbau syariah mereka tolak dengan gigih. Mereka konsisten mengacu pada ideologi partai yang mereka usung, sekulerisme. Mereka dengan bangga juga walkout dari sidang untuk menunjukkan sikap konsisten mereka.

Mereka tidak pernah kompromi dalam perkara-perkara yang bertentangan dengan ideologi (aqidah) sekulerisme mereka dan mengancam kepentingan ‘umat’ mereka. Merekapun mengerahkan segenap usaha dan tenaga untuk mempertahankan aqidah sekuler mereka. Sekulerisme harus dijaga sampai titik darah penghabisan, sekulerisme harga mati, syariah Islam harus ditolak, titik.

Sebaliknya bagaimana sikap umat Islam, sikap para politisi Islam atau partai yang mengklaim partai Islam? Menyedihkan, sikap yang ditunjukkan malah sebaliknya. Kita sering tidak terbuka dan malah malu-malu mengatakan akan memperjuangkan syariah Islam. Bahkan terkadang bicara syariah Islampun kita enggan.

Berbagai alasan kita bangun untuk menolak kelemahan sekaligus kemaksiatan kita ini. Yang pentingkan substansi, syariah Islam terlampau dini untuk disampaikan, yang penting urus individu dan keluarga dulu, tidak penting nama, kita bertahaplah, (secara keliru) menggunakan kaedah akhafud-dharain, akhwanusy-syarain, dan seribu alasan lainnya. Kita lebih menyibukkan diri kita untuk mencari alasan. Sementara sikap musuh jelas, dan sangat jelas: sekulerisme harga mati, syariah Islam wajib ditolak!

Yang lebih menyedihkan lagi terkadang ada yang bertindak seperti orang munafik. Ketika dihadapan kelompok Islam, gerakan Islam, atau tokoh-tokoh Islam yang ingin memperjuangkan syariah Islam, mengatakan sebenarnya memperjuangankan syariah Islam bahkan khilafah. Tapi di depan publik menyampaikan hal yang bertolak belakang. Negara Islam tidak wajib, syariah Islam tidak harus lewat negara, pemimpin perempuan tidak masalah dan kalimat-kalimat yang mengaburkan lainnya.

Kita juga lebih sering berkompromi, bahkan dalam masalah aqidah sekalipun. Kalau mereka yang menolak UU pornografi dengan tegas menolak dengan alasan hal itu berbau syariah, kenapa kita tidak berani dengan tegas mengatakan UU itu harus berdasarkan syariah Islam? Kita terlampau berkompromi, sehingga membiarkan kata-kata anti dihilangkan, kata-kata pornoaksi dihilangkan. Pengecualian pornografi dengan alasan seni, budaya, ritual pun diterima.

Kita seperti tidak belajar dari sejarah bahwa sikap kompromi tidak akan pernah menguntungkan umat Islam. Dengan alasan toleransi kita berkompromi saat kata-kata menjalankan syariah Islam bagi pemeluknya dihapuskan dalam Piagam Jakarta. Akibatnya Indonesia tetap menjadi negara sekuler. Yang lebih menyedihkan, di saat partai-partai sekuler dengan tegas mempertahankan ‘aqidah’ sekulerisme mereka, kita malah melakukan koalisi dengan partai sekuler, berusaha menjadi partai terbuka. Sikap-sikap yang sangat menyedihkan.

Seharusnya kita belajar dari Rosulullah Saw saat memperjuangkan Islam. Rosulullah Saw tidak pernah berkompromi dalam masalah aqidah dan syariah. Rosulullah Saw tidak pernah menutupi perjuangan Islamnya dengan alasan substansi. Rosulullah Saw menyampaikain ayat-ayat Al Qur’an apa adanya, tidak menutup-nutupinya. Apapun resikonya. Saat turun surat al-Ikhlas yang menyerukan keesaan Allah SWT, Rosulullah Saw tidak menyembunyikan ayat ini. Rosulullah Saw menyampaikan apa adanya, meskipun masyarakat kafir Quraisy menolak. Rosulullah Saw tetap menyampaik surat al-Lahab yang secara langsung mencela pemimpin politik kafir Qura’isy saat itu, Abu Lahab. Meskipun kemudian Rosulullah Saw dan pengikutnya harus mendapat siksaan dari pemimpin-pemimpin kafir saat itu.

Rosulullah saw juga tidak pernah berkompromi dengan sistem kufur yang ada. Meskipun Rosulullah Saw ditawari kekuasaan, harta, dan wanita. Sikap Rosulullah Saw jelas dan tegas, aqidah Islam tidak boleh dikompromikan. Antara yang hak dan batil tidak boleh dicampur adukkan. Sikap teguh Rosulullah Saw tampak jelas dalam perkataannya: Demi Allah, seandainya mereka sanggup meletakkan matahari di sebelah (tangan) kananku dan bulan di sebelah (tangan) kiriku agar aku mau meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan meninggalkannya, sampai Allah memenangkan dakwah ini atau aku hancur karenanya.

Sekali lagi, kalau mereka dengan tegas menyatakan sekulerisme harga mati, kenapa kita yang berjuang di jalan yang benar tidak berani mengatakan aqidah dan syariah Islam adalah harga mati yang harus diperjuangkan. Kalau musuh-musuh Allah SWT mengerahkan segenap kemampuannya untuk menolak syariah Islam, kenapa kita yang dijanjikan surga oleh Allah SWT setengah hati memperjuangkan syariah Islam.

Kalau mereka terhadap UU Pornografi yang sudah mandul sekalipun tetap menolak dengan walkout, kenapa kita tidak berani walkout saat DPR mengesahkan UU yang bertolak belakang dengan syariah Islam? Kalau DPRD Bali dan Gubernurnya membangkang, menolak dengan tegas UU Pornografi yang menurut mereka mengancam tradisi Hindu-Bali, kenapa umat Islam tidak berani menolak ideologi sekuler dan UU sekuler negara ini dengan alasan bertentangan dengan aqidah Islam dan syariah Allah SWT? “Mengapakah kamu takut kepada mereka, padahal Allal-lah yang berhak kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS At-Taubah:13) (Farid Wadjdi)

Keuntungan Sistem Emas dan Perak

HTI-Press. Selama emas dan perak menjadi mata uang yang beredar di seluruh dunia, tidak akan dijumpai adanya masalah yang terkait dengan mata uang ini sama sekali. Permasalahan tentang mata uang tidak pernah muncul kecuali setelah hilangnya (praktek) sistem emas dan perak di dunia. Ini karena negara-negara penjajah telah menggunakannya sebagai uslub penjajahan ekonomi dan keuangan untuk menguasai dunia. Mata uang dijadikan sebagai salah satu sarana penjajahan, dan mereka berupaya menghilangkan pilar-pilar (sistem) emas dan perak. Mereka merubah mata uang menjadi sistem lain, yaitu dengan membiarkan berlakunya sistem barter dan mata uang (kertas) biasa yang tidak disandarkan kepada emas dan perak. Para penjajah juga memainkan mata uang dunia dalam upayanya untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan mereka, merekayasa krisis-krisis mata uang, memunculkan problematika ekonomi, dan membanjiri penerbitan mata uang dengan mata uang kertas biasa, yang mengakibatkan inflasi besar-besaran terhadap mata uang dan hancurnya daya beli (nilai) mata uang. Semuanya tidak mungkin terjadi melainkan disebabkan telah lenyapnya kaedah (sistem mata uang) emas dan perak.

Kaedah emas dan perak merupakan satu-satunya (sistem mata uang) yang mampu menyelesaikan problematika mata uang, menghilangkan inflasi besar-besaran yang menimpa seluruh dunia, dan mampu mewujudkan stabilitas mata uang dan stabilitas nilai tukar, serta bisa mendorong kemajuan perdagangan internasional. Hal itu karena sistem emas dan perak memiliki keistimewaan ekonomi yang sangat banyak, di antaranya:

1. Emas dan perak adalah barang yang proses (eksplorasi dan produksinya) mengharuskan adanya penelitian, memerlukan eksplorasinya, dan karena adanya permintaan sebagai pembayaran atas barang-barang dan jasa. Membekali dunia dengan mata uang (yang benar-benar intrinsiknya berharga-peny), bukan karena belas kasihan negara-negara penjajah seperti yang terjadi dalam sistem uang kertas biasa, dimana mereka mampu mengatasinya dengan menyalurkan uang ke pasar-pasar sekehendaknya, melalui cetakan (uang) tambahan setiap kali bermaksud memperbaiki neraca keuangan dan pembayaran dengan negara-negara lain.

2. Sistem emas dan perak tidak menyebabkan dunia mengalami kelebihan (mata uang) secara tiba-tiba dengan bertambahnya peredaran mata uang, seperti yang biasa terjadi pada mata uang kertas. Ini karena mata uang (emas dan perak) bersifat tetap dan stabil, serta makin bertambah kepercayaannya.

3. Sistem emas dan perak dapat menjaga neraca keuangan dengan memperbaiki defisit neraca pembayaran internasional, dan perkara lain yang terkait tanpa campur tangan bank sentral. Seperti yang terjadi dewasa ini dengan intervensi (bank sentral) setiap kali nilai tukar tidak stabil diantara mata uang asing. Apabila (neraca) pendapatan bertambah dari barang-barang ekspor, hal ini akan meningkatkan pendapatan dari negara-negara lain berupa mata uang negara. Dan ini berarti akan meningkatkan arus masuk emas dan perak dari luar negeri. Akibatnya harga-harga di dalam negeri menjadi turun. Barang-barang produk dalam negeri menjadi lebih murah dibandingkan barang-barang impor. Pada akhirnya akan menurunkan volume barang-barang impor. Benar, negara merasa khawatir mengalami kekurangan cadangan emas dan perak jika defisit neraca pembayaran terus berlangsung. Dalam sistem uang kertas permasalahan ini ditanggulangi dengan cara mencetak uang kertas baru, setiap kali terjadi defisit neraca pembayaran. Sebab, tidak ada syarat (yang mengikat) untuk menerbitkan (uang kertas baru). Dan hal ini mengakibatkan semakin bertambah besarnya inflasi, serta menurunnya kekuatan (nilai) daya beli mata uang. Sedangkan di dalam sistem emas dan perak, negara tidak mungkin memperbanyaknya dengan menerbitkan mata uang kertas (baru), selama uang kertas (yang ada) mampu menukarnya menjadi emas dan perak dengan harga tertentu. Karena negara khawatir bahwa memperbanyak (mata uang) dengan menerbitkan (mata uang baru) akan meningkatkan permintaan akan emas, sementara negara tidak mampu menghadapi permintaan ini. Dan jika tidak (mampu dipenuhi) akan terjadi pelarian emas ke luar negeri. Hal ini berujung pada berkurangnya cadangan emas dan perak.

4. Emas sebagai satu-satunya mata uang (negara Khilafah) mengakibatkan negara-negara lain tidak dapat mengontrol mata uangnya. Hal ini membawa keistimewaan yang luar biasa pada jumlah mata uangnya. Karena mata uang di negara (Khilafah) bisa mencukupi kebutuhan pasar akan mata uang yang beredar, tanpa melihat lagi apakah jumlahnya banyak atau sedikit. Barang-barang secara keseluruhan mengambil nilai tukar dengan mata uang. Dan bertambahnya produksi barang-barang berakibat turunnya harga barang-barang tersebut. Dalam sistem mata uang kertas, fenomena ini tidak bisa meningkatkan (nilai) mata uang, malahan akan menurunkan nilai beli dari mata uang. Dan ini menyebabkan inflasi. Berdasarkan hal ini jelas bahwa sistem emas dan perak tidak menyebabkan inflasi. Berbeda dengan sistem mata uang kertas yang makin bertambah keterbatasannya.

5. Sistem emas dan perak akan memperlancar nilai tukar di antara mata uang asing dengan stabil. Karena setiap mata uang asing diukur dengan satuan tertentu dari emas dan perak. Dengan demikian dunia secara keseluruhan akan memiliki mata uang tunggal yang hakiki dari emas atau perak, walaupun mata uangnya berbeda-beda. Dunia akan menjalani perdagangan bebas, kelancaran peredaran barang dan harta di berbagai negara di seluruh dunia, kesulitan-kesulitan dengan pecahan uang dan mata uang berkurang. Hal ini mampu memajukan perdagangan internasional. Para pedagang tidak lagi khawatir dengan meluasnya perdagangan luar negeri, karena nilai tukar (mata uang) stabil.

6. Sistem emas dan perak mampu memelihara kekayaan emas dan perak setiap negara. Tidak akan terjadi pelarian emas dan perak dari suatu negeri ke negeri lainnya. Negara tidak memerlukan alat kontrol untuk menjaga (cadangan) emas dan peraknya, karena kedua jenis uang itu (emas dan perak) tidak akan berpindah kecuali untuk pembayaran (harga) barang atau upah para pekerja.

Faedah-faedah ini hanya ada pada sistem mata uang logam tunggal, baik itu emas atau perak, maupun pada sistem mata uang dua logam, emas dan perak. Selain itu sistem mata uang dua logam akan meningkatkan volume kaedah (mata uang) dua logam, sehingga menyebabkan penampakkan total mata uang menjadi lebih besar. Hal ini memungkinkan negara untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap mata uang dengan mudah dan leluasa, karena fleksibilitasnya yang tinggi. Demikian juga menjadikan kekuatan daya beli hanya untuk satu sistem mata uang, sehingga dapat meningkatkan harga (nilai mata uang) hingga derajat yang paling tinggi, serta stabilitasnya terjamin.

Inilah keistimewaan dan berbagai faedah dari kaedah emas dan perak, meski bukan berarti luput dari berbagai permasalahan. Seperti, adanya penimbunan yang sangat besar, adanya hambatan-hambatan perbatasan (negara), terkonsentrasinya cadangan-cadangan (emas dan perak) yang sangat besar di negara-negara besar dan di negara-negara yang kemampuan produksinya sangat tinggi, mempunyai kemampuan bersaing di dalam perdagangan internasional, memiliki keunggulan di kalangan para pakar, teknisi dan insinyurnya, dan menerapkan sistem mata uang kertas biasa sebagai pengganti sistem mata uang emas dan perak.

Kegagalan negara yang menerapkan kaidah emas dan perak dalam menye-lesaikan rintangan dan permasalahan tersebut -terutama karena masih adanya negara-negara besar dan negara-negara yang memiliki pengaruh dalam perdagangan internasional yang berjalan tidak dengan kaedah emas dan perak-, hal ini mengharuskan negara untuk menjalankan politik swasembada, mengurangi impor, dan menjalankan pertukaran barang yang diimpornya dengan barang yang ada (di dalam negeri), bukan (membayarnya) dengan emas maupun perak. Melakukan penjualan barang (ekspor) yang ada (ditukar/dibayar) dengan barang yang negara perlukan, atau dengan emas dan perak, atau mata uang yang dibutuhkan negara untuk (membayar) impor barang yang diperlukannya, baik berupa barang maupun jasa.

Lebih dari itu, negara menjalankan kaedah (sistem mata Uang) dua logam –emas dan perak- akan menghindarkan penetapan nilai tukar yang fixed antara satuan (mata uang) emas dan satuan (mata uang) perak. Negara akan membiarkan nilai tukar mengikuti pergerakan harga. Sebab, penetapan nilai tukar secara fixed antara dua mata uang ini –yaitu emas dan perak- akan diikuti dengan munculnya mata uang gelap (pasar gelap) yang mengakibatkan naiknya nilai mata uang tersebut di pasar dibandingkan dengan nilai mata uang tersebut yang (ditetapkan oleh) undang-undang di dalam peredaran. Akibatnya satuan mata uang itu (nilainya) akan jatuh (murah). Mata uang yang (nilainya) murah akan tersingkir oleh mata uang yang kuat di dalam peredaran.

Sumber :kitab al amwal fiddaulatil khilafah (الأموال في دَوْلة الخلافة) ; Syekh Abdul Qadim Zallum (amir ke-2 Hizbut Tahrir)

hizbut-tahrir.or.id

Kedudukan Fatwa dalam Syariat Islam

Definisi Fatwa

Imam Ibnu Mandzur di dalam Lisaan al-Arab menyatakan, ”Aftaahu fi al-amr abaanahu lahu (menyampaikan fatwa kepada dia pada suatu perkara, maksudnya adalah menjelaskan perkara tersebut kepadanya). Wa aftaa al-rajulu fi al-mas`alah (seorang laki-laki menyampaikan fatwa pada suatu masalah). wa astaftaituhu fiihaa fa aftaaniy iftaa`an wa futaa (aku meminta fatwa kepadanya dalam masalah tersebut, dan dia memberikan kepadaku sebuah fatwa)”.[Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 15, hal. 145]

Sedangkan perkataan ”wa fataay” adalah asal dari kata futya atau fatway. Futya dan fatwa adalah dua isim (kata benda) yang digunakan dengan makna al-iftaa’. Oleh karena itu, dinyatakan ”aftaitu fulaanan ru’yan ra`aaha idza ’abartuhaa lahu (aku memfatwakan kepada si fulan sebuah pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskannya kepada dirinya). Wa aftaituhu fi mas`alatihi idza ajabtuhu ’anhaa (aku berfatwa mengenai masalahnya jika aku telah menjelaskan jawaban atas masalah itu). [Ibid, juz 15, hal. 145]

Pengarang Aun al-Ma’bud menyatakan, ”Sesungguhnya, makna dari ”kata al-futya wa futway” adalah apa-apa yang difatwakan oleh seorang faqih atau muftiy”. Dinyatakan : aftaahu fi al-mas`alah: ay ajaabahu (saya menyampaikan fatwa kepadanya dalam suatu masalah: maksudnya saya menjawabnya)…”[’Aun al-Ma’buud, juz 1, hal. 245]

Di dalam Kitab Mafaahim Islaamiyyah diterangkan sebagai berikut, ”Secara literal, kata ”al-fatwa” bermakna ”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-perundangan yang sulit. Bentuk jamaknya adalah fataawin dan fataaway. Jika dinyatakan ”aftay fi al-mas`alah : menerangkan hukum dalam permasalahan tersebut. Sedangkan al-iftaa` adalah penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undang-undang, dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang yang bertanya (ibaanat al-ahkaam fi al-mas`alah al-syar’iyyah, au qanuuniyyah, au ghairihaa mimmaa yata’allaqu bisu`aal al-saail). Al-Muftiy adalah orang yang menyampaikan penjelasan hukum atau menyampaikan fatwa di tengah-tengah masyarakat. Mufti adalah seorang faqih yang diangkat oleh negara untuk menjawab persoalan-persoalan…Sedangkan menurut pengertian syariat, tidak ada perselisihan pendapat mengenai makna syariat dari kata al-fatwa dan al-iftaa’ berdasarkan makna bahasanya. Oleh karena itu, fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalah yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad. Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat. Jika mereka diharuskan memiliki kemampuan itu, yakni hingga mencapai taraf kemampuan berijtihad, niscaya pekerjaan akan terlantar, dan roda kehidupan akan terhenti…”[Mafaahim al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 240]

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Kaedah Menggali Hukum Atau Fatwa

Jika fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, maka, kaedah pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil syariat (ijtihad). Pasalnya, satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad, tidak ada yang lain. Oleh karena itu, seorang muftiy tak ubahnya dengan seorang mujtahid.

Makna Ijtihad

Menurut Imam al-Amidiy, secara literal kata “ijtihad” bermakna ,”Istafraagh al-wus’iy fi tahqiiq amr min al-umuur mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq” (mencurahkan seluruh kemampuan dalam mentahqiq (meneliti dan mengkaji) suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan)[1].

Imam Syaukaniy berpendapat, bahwa kata “ijtihad” diambil dari kata al-juhd yang bermakna al-musyaqqah wa al-thaqah (kesukaran dan kemampuan). Ijtihad digunakan secara khusus untuk menggambarkan sesuatu yang membawa konsekuensi kesulitan dan kesukaran (kemampuan paling optimal). Sedangkan suatu usaha yang tidak sampai pada taraf “kesukaran dan kesulitan” (musyaqqah) tidak dinamakan dengan ijtihad. Dalam kitab al-Mahshuul disebutkan, secara literal ijtihad bermakna “istafraagh al-wus’iy fi ayy fi’li” (mencurahkan segenap kemampuan pada setiap perbuatan). Untuk itu, kata istafraagh al-wus’iy hanya digunakan pada seseorang yang membawa beban yang sangat berat, tidak bagi orang yang membawa beban yang ringan.[2]

Di kalangan ‘ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan “istafraagh al-wus’iy fi thalab al-dzann bi syai’i min ahkaam al-syar’iyyah ‘ala wajh min al-nafs al-‘ajziy ‘an al-maziid fiih”; yakni mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil dzanniy, hingga batas dirinya merasa tidak mampu melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkannya.”[3]

Berdasarkan definisi di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses menggali hukum syara’ dari dalil-dalil yang bersifat dzanniy dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan, hingga dirinya tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu.

Dengan demikian, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga syarat berikut ini.

Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat dzanniy. Menurut al-Amidiy, hukum-hukum yang sudah qath’iy tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Sebab hukum yang terkandung di dalam nash-nash yang qath’iy (dilalahnya) sudah sangat jelas, dan tidak membutuhkan interpretasi lain. Sebab, tidak ada pertentangan atau multi interpretasi pada nash-nash yang qath’iy. Oleh karena itu, ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath’iy, akan tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat dzanniy. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara ‘aqidah, maupun hukum-hukum syara’ yang dilalahnya qath’iy; misalnya wajibnya potong tangan bagi pencuri, had bagi pezina, bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain sebagainya.

Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syara’, bukan proses untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma’qulaat), maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsuusaat). Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga menghasilkan sebuah teorema maupun hipotesa tidak disebut dengan ijtihad.

Ketiga, ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan puncak tenaga dan kemampuan, hingga taraf ia tidak mungkin melakukan usaha lebih dari apa yang telah dilakukannya. Seseorang tidak disebut sedang melakukan ijtihad, jika ia hanya mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal, ia masih mampu melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan.[4]

Syarat-syarat Mujtahid (Muftiy)

Seseorang layak melakukan ijtihad bila telah memenuhi syarat-syarat berikut ini.

Pertama, memahami dalil-dalil sam’iyyah yang digunakan untuk membangun kaedah-kaedah hukum. Yang dimaksud dengan dalil sam’iyyah adalah al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, Sunnah, dan Ijma’, klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami, menimbang, mengkompromikan, serta mentarjih dalil-dalil tersebut jika terjadi pertentangan. Kemampuan untuk memahami dalil-dalil sam’iyyah dan menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat pokok bagi seorang mujtahid.[5]

Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu lafadz (makna yang ditunjukkan lafadz) yang sejalan dengan lisannya orang Arab dan para ahli balaghah. Syarat kedua ini mengharuskan seseorang yang hendak berijtihad memiliki kemampuan dalam memahami seluk beluk bahasa Arab, atau kemampuan untuk memahami arah makna yang ditunjukkan oleh suatu lafadz. Oleh karena itu, seorang mujtahid atau mufti harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna suatu lafadz, makna balaghahnya, dalalahnya, serta pertentangan makna yang dikandung suatu lafadz serta mana makna yang lebih kuat –setelah dikomparasikan dengan riwayat tsiqqah dan perkataan ahli bahasa. Seorang mujtahid tidak cukup hanya mengerti dan menghafal arti sebuah kata berdasarkan pedoman kamus. Akan tetapi, ia harus memahami semua hal yang berkaitan dengan kata tersebut dari sisi kebahasaan.[6]

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, penetapan fatwa harus didasarkan pada prinsip-prinsip ijtihad, yakni ”fahm al-nash” (memahami nash) dan fahm al-waaqi’ al-haaditsah” (memahami realitas yang terjadi). Fahmu al-nash adalah upaya memahami dalil-dalil syariat hingga diketahui dilalah al-hukm (penunjukkan hukum) yang terkandung di dalam dalil tersebut. Sedangkan fahmu al-waaqi’ al-haaditsah adalah upaya mengkaji dan meneliti realitas yang hendak dihukumi agar substansi persoalannya bisa diketahui, serta hukum syariat yang paling sesuai dengan realitas tersebut.

Realitas bukanlah dalil hukum (sumber hukum), akan tetapi ia adalah obyek yang dihukumi. Oleh karena itu, fatwa tidak digali atau dirujuk dari realitas, akan tetapi diambil dan dirujuk dari dalil-dalil syariat (al-Quran, Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas).

Ragam Mujtahid

Mujtahid terbagi menjadi tiga; (1) mujtahid muthlaq, (2) mujtahid madzhab, (3) mujtahid fi al-mas`alah.

Mujtahid muthlaq adalah mujtahid yang mampu berijtihad dalam hampir seluruh persoalan, dan ia memiliki metode ijitihad yang khas. Dengan kata lain, mujtahid muthlaq adalah seseorang yang telah mencapai taraf tertinggi dalam memahami nash-nash syariat, sekaligus mampu memformulasikan metodologi istinbath yang khas. Ulama yang telah mencapai taraf ini misalnya adalah Imam Asy Syafi’iy, Imam Malik, Imam Hanafiy, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Asy Syaukaniy, dan lain sebagainya.

Mujtahid madzhab adalah seorang mujtahid yang mampu melakukan ijtihad dalam berbagai macam persoalan, hanya saja, ia terikat dengan madzhab tertentu. Imam An Nawawiy, misalnya; beliau terkenal sebagai mujtahid yang beraliran madzhab Syafi’iy. Mohammad dan Abu Yusuf adalah dua orang mujtahid pengikut madzhab Abu Hanifah; dan lain sebagainya.

Mujtahid fi al-mas`alah adalah seseorang yang mampu melakukan ijtihad pada masalah-masalah tertentu saja.

Ijtihad untuk menggali hukum syariat dari nash-nash syariat harus tetap ada hingga akhir jaman, tidak boleh mandeg dan terhenti. Pasalnya, persoalan-persoalan baru yang belum pernah ada di masa sebelumnya terus bermunculan, dan harus dihukumi sesuai dengan syariat Islam. Jika ijtihad terhenti atau dihentikan, niscaya banyak persoalan baru yang tidak diketahui status hukum syariatnya. Keadaan semacam ini, jika dibiarkan berlarut-larut, pelan namun pasti akan menjauhkan umat Islam dari hukum syariat, sekaligus memisahkan mereka dari ketaatan kepada Allah swt dan RasulNya.

Benar, pintu ijtihad tidak boleh ditutup, bahkan harus dibuka selebar-lebarnya bagi orang-orang yang memang memiliki kemampuan untuk itu. Ijtihad tertutup, bahkan tidak boleh dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan ijtihad. Ijtihad juga tertutup bagi orang-orang yang sengaja ingin memutarbalikkan dan menghancurkan ajaran Islam. Ijtihad juga tidak layak dilakukan oleh orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada orang-orang kafir yang terus memusuhi Islam dan kaum Muslim, semacam kelompok Islam Liberal, dan kroni-kroninya.

Imam Syaukaniy dalam Kitab Fath al-Qadiir, ketika menjelaskan syarat-syarat seorang mufti beliau menyatakan, ”Mufti haruslah orang-orang yang shaleh, dan selalu menyelaraskan dengan pendapat-pendapat yang terpilih, dan tidak boleh mengamalkan fatwa dari mufti-mufti fasiq yang tidak boleh mengeluarkan fatwa. Sebab, fatwa termasuk urusan agama, sedangkan pendapat orang fasiq dalam urusan agama tidak boleh diterima (ghairu al-maqbuul). Ketentuan ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pengkhianatan orang fasiq terhadap agama telah tampak dengan jelas. Sesungguhnya, inayah Allah swt dalam persoalan-persoalan syariat hanya akan tercapai dengan mentaati Allah swt, dan berpegang teguh kepada tali ketakwaan. Telah disebutkan di dalam al-Quran al-Kariim, ”Wattaquu al-Allah wa yu’allimukum al-Allah”[Bertaqwalah kalian kepada Allah, niscaya Allah akan mengajari kalian”.[TQS Al-Baqarah (2): 282] [Durrur al-Hukkaam fi Syarh Majallat al-Ahkaam, juz 13, hal. 162]. Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwaam al-Thariiq. (Syamsuddin Ramadhan, Lajnah Tsaqafiyyah HTI).


[1] Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal. 309; Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal.250

[2] Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal.250

[3] ibid, hal. 309. Lihat juga, Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hal.197

[4] Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal.309

[5] Imam al-Amidiy, menyatakan, “Syarat-syarat seorang Mujtahid dalam berijtihad ada dua; (1) ia harus mengetahui Wujud Allah SWT, Shifat-shifat WajibNya, serta KesempurnaanNya; dan ia juga mengetahui bahwa Allah swt adalah Wajib al-Wujud (Wajib Ada) karena DzatNya, Hidup, Mengetahui, Memiliki Kemampuan, Berkehendak, Berkata-kata, hingga tergambar dariNya masalah taklif. Ia harus menyakini Rasulullah, dan semua syariat manqul yang diturunkan kepadanya, mukjizat yang dimilikinya, tanda-tanda kenabian yang menakjubkan, agar semua pendapat dan hukum yang disandarkan kepada beliau saw benar-benar haq. Namun demikian, seorang mujtahid tidak disyaratkan menguasai ilmu kalam secara rinci dan mendalam, seperti halnya ulama-ulama ahli kalam yang masyhur. Akan tetapi, ia cukup mengetahui perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah keimanan seperti yang telah kami sampaikan di atas. Seorang mujtahid juga tidak disyaratkan mengetahui dalil-dalil syariat secara terperinci hingga taraf bisa menetapkan dan memilah-milahkan dalil, dan melenyapkan kesamaran dari dalil-dalil tersebut, sebagaimana ahli Ushul. Namun, ia hanya cukup mengetahui dalil-dalil yang berhubungan perkara-perkara tersebut secara global, dan tidak harus rinci. (2) Seorang Mujtahid harus mengetahui dan memahami sumber-sumber hukum syariat beserta bagian-bagiannya; metodologi penetapannya, arah dilalah atas madlul-madlulnya, perbedaan martabatnya, syarat-syaratnya. Ia juga harus mengetahui arah tarjihnya jika terjadi pertentangan diantara dalil-dalil tersebut, dan bagaimana cara menggali hukum dari dalil tersebut. Ia juga mampu melakukan tarjih dan penetapan dalil; serta mampu menguraikan (memisahkan) pertentangannya. Hal ini akan tercapai jika ia mengetahui dan memahami perawi-perawi hadits, serta cara melakukan jarh wa ta’diil, mana yang shahih dan mana yang tidak; seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu’in. Ia juga harus memahami asbab nuzul (latar belakang turunnya ayat), nasikh dan mansukh yang terdapat di dalam nash-nash syariat. Ia juga harus mengetahui bahasa Arab dan ilmu nahwu. Hanya saja, tidak disyaratkan ia harus memiliki kemampuan dalam hal bahasa seperti halnya al-Asmu’iy, atau mahir dalam masalah nahwu, seperti Imam Sibawaih dan Khalil. Akan tetapi, ia cukup memahami konteks-konteks bahasa Arab, serta percakapan-percakapan yang biasa terjadi diantara mereka hingga taraf bisa membedakan dalalah al-lafadz yang terdiri dari dalalah al-muthabiqah, al-tadlmiin, dan iltizam. Ia juga harus mengetahui mufrad dan murkab, makna kulliy dan juz’iy , haqiqah dan majaz, makna tunggal (al-tawathiy) dan makna pecah (al-muystarak), taraduf dan tabaayun, nash dan dzahir, umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum, dalalah iqtidla’ dan isyarah, tanbih wa al-ima’, dan lain-lain.

[6] Qadliy al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hal.213-216. Bandingkan juga dengan Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkam, juz II, hal. 309-311

Mengatasi Krisis Keuangan Rumah Tangga

Saat ini banyak ibu-ibu rumah tangga pusing. Bayangkan saja, hampir semua harga sembako naik akibat harga BBM yang melonjak pesat. Pekerjaan dengan pendapatan memadai sulit didapat. Banyak Industri dalam negeri gulung tikar. Akhirnya tidak sedikit para bapak yang di-PHK. Krisi keuangan keluarga pun terjadi di mana-mana; membawa suasana yang memprihatinkan bagi mayoritas keluarga Indonesia.

Secara umum, krisis ekonomi Indonesia menjadi pangkal persoalan utama krisis keuangan keluarga. Pemerintah RI menetapkan batasan keluarga miskin adalah mereka yang berpendapatan di bawah Rp 175 ribu/bulan, yang setelah mendapat kecaman dari masyarakat, kemudian dirinci lagi menjadi Rp 175 ribu/anggota keluarga. Jika batasan ini dipakai, maka dengan Rp 700 ribu, sebuah keluarga kecil (ayah, ibu dan dua anak) harus mencurahkan energi otaknya untuk mengatur keuangan agar dapat bertahan hidup hingga satu bulan. Itu pun jika anak-anaknya masih balita dan belum memerlukan biaya sekolah. Sebab, untuk bersekolah saat ini butuh uang banyak; ada uang pangkal, SPP, uang transport, buku, seragam, dll. Belum lagi kebutuhan rumah tangga rutin seperti listrik, air, pakaian, sewa rumah, minyak tanah, dll. Pekerjaan dengan pendapatan minimal Rp 700 ribu/bulan saat ini bukan hal yang mudah didapat. Sangat jarang. Saat ini saja, menurut data, paling sedikit 23 juta orang menganggur!

Penulis mencoba menelusuri jalan-jalan di sebuah desa, mengamati apa yang bisa dilakukan seorang ibu dengan hanya beberapa lembar seribu rupiah dalam genggaman. Sekiranya beras masih terbeli, itu adalah hal yang sangat disyukuri. Kurang dari itu di desa masih ada gaplek dan tiwul (bahan olahan singkong). Jika tak ada uang sama sekali untuk membeli lauk, setidaknya masih banyak dedaunan yang bisa diolah menjadi hidangan yang lumayan. Di pedesaan masih banyak ditemui daun-daun singkong, umbi-umbian, bayam liar, daun pepaya, talas dan batangnya yang muda, kelapa dll. Masih gratis untuk dipetik di tepi-tepi dusun. Jika beruntung, di selokan yang jernih banyak ikan-ikan kecil dengan kandungan kalsium dan protein tinggi. Masih banyak mataair jernih bebas polusi. Sebuah desa yang patut disyukuri.

Namun, apakah semua masyarakat Indonesia tinggal di desa yang subur? Tentu tidak. Masih banyak yang tinggal di daerah pegunungan kapur yang tandus, desa-desa di tepi pantai, daerah berawa, dan bahkan dik kota-kota besar. Rasanya tidak semua keluarga bisa berharap dari kemurahan alam. Nelayan tak bisa melaut karena solar sudah menjadi barang langka. Tak melaut berarti dapur tak ngebul. Di daerah perkotaan, tidak ada dedaunan yang bisa dimakan. Di daerah pegunungan tandus, setetes air pun menjadi barang berharga. Wajar jika busung lapar merajalela, dan kematian akibat kelaparan semakin membayang.

Seorang ibu mengeluhkan kondisi keuangan rumah tangganya. Pendapatan suaminya tidak cukup untuk keluarga dengan empat anak. Jangankan menyekolahkan anak ke sekolah yang memadai (apalagi yang berkualitas), makan sehari-hari pun rasanya kurang. Susu bagi balita sudah tak sanggup lagi terbeli. Baginya, kualitas gizi apalagi pendidikan sudah tidak terpikirkan lagi. Lantas bagaimana solusinya?

Berhitung Lebih Cermat

Krisis keuangan akhirnya mengharuskan para ibu rumah tangga perlu memiliki kemampuan berhitung lebih cermat. Bekerja di luar rumah sering bukanlah solusi yang tepat, apalagi jika memiliki anak balita.

Islam menetapkan tanggung jawab utama wanita yang telah berumah tangga adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Perawatan, pengasuhan, pendidikan anak usia dini adalah hal yang dikorbankan ketika ibu keluar rumah untuk bekerja. Belum lagi urusan pengaturan rumah tangga yang masih menjadi tanggung jawabnya.

Untuk itu, hal yang pertama kali dilakukan ketika krisis keuangan melanda rumah tangga adalah menetapkan kebutuhan-kebutuhan yang menjadi prioritas. Beberapa langkah berikut bisa dilakukan para ibu:

1. Merinci anggaran untuk kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, lauk pauk, bahan bakar, listrik, air, dll; kemudian memisahkannya. Meskipun sedikit, upayakan untuk menabung. Paling tidak, untuk keperluan yang tidak terduga.

2. Menghilangkan kebiasaan jajan pada anak-anak. Kebanyakan jajanan sekarang gizinya rendah. Ibu harus membiasakan anak dengan makanan-makanan yang bergizi tinggi. Dengan asupan gizi yang baik, kondisi keluarga akan lebih sehat, tidak mudah sakit, kuat berpikir, dan mampu beraktivitas dengan baik. Misalnya, dengan uang Rp 500 rupiah, lebih baik anak dibelikan pisang dari pada snack jajanan anak-anak. Makanan alami lebih sehat daripada makanan instant olahan pabrik.

3. Perlu terampil mengolah menu hidangan yang sehat. Keahlian mengolah makanan sangat penting dipelajari oleh ibu (dan calon ibu).

4. Memilih tempat berbelanja yang murah untuk menekan anggarannya.

Jika Terpaksa Bekerja

Jika ibu terpaksa bekerja, hal utama yang harus dipikirkan adalah tidak meninggalkan atau mengabaikan tanggung jawab utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.

Sering kita berpikir bahwa bekerja hanyalah di perkantoran, pertokoan, atau pabrik-pabrik. Padahal inti untuk mengatasi keuangan keluarga hanyalah mendapatkan tambahan pendapatan. Banyak upaya yang bisa dilakukan seorang ibu untuk memiliki tambahan pendapatan, sekiranya usaha suami sudah sampai pada batas maksimal. Penulis mengamati seorang ibu rumah tangga yang memiliki prinsip “Tidak perlu bekerja di luar rumah, tetapi memiliki tambahan pendapatan.” Dengan keahlian memasak, selain bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, ia pun menjualnya kepada tetangga atau warung-warung. Dengan keahlian menjahit, ia bisa menjahit pesanan baju tetangga dan kawan-kawannya di sela-sela waktu luangnya tanpa keluar rumah. Ada juga ibu rumah tangga yang pandai berdagang. Sambil mengunjungi tetangga, kerabat, atau komunikasi via telpon, ia aktif menawarkan dagangannya. Cukup banyak aktivitas menambah pendapatan keluarga yang bisa dilakukan di rumah, tanpa meninggalkan keluarga.

Ada satu hal yang penulis lihat sangat menarik, yakni seorang ibu yang ingin menambah pendapatan namun juga tetap ingin menangani secara langsung pendidikan usia dini bagi balitanya. Dalam kondisi krisis keuangan ia pun menawarkan kemampuannya untuk juga mengasuh sekaligus mendidik anak dini usia kepada rekan-rekannya, kerabatnya, tetangganya, yang juga memiliki anak-anak balita. Mereka pun menitipkan balitanya untuk bermain dan belajar dengan arahan yang islami, tentunya dengan imbalan. Walhasil, para ibu dapat belajar PADU (Pendidikan Anak Dini Usia) yang islami, anak-anak balita terbina dengan baik, dan sang ibu yang mengalami tadinya krisis keuangan, kini memiliki tambahan pendapatan.

Kisah-kisah para ibu dalam mengatasi keuangan keluarga ini tidaklah untuk mengarahkan para ibu untuk bekerja. Ini hanya sebagai satu alternatif membantu suami untuk mengatasi persoalan keuangan rumah tangga. Bagaimanapun hukum bekerja bagi para ibu adalah mubah (boleh). Kewajiban menafkahi keluarga tetap ada pada suami/kaum laki-laki.

Kerjasama Suami-Istri

Beratnya krisis keuangan yang dihadapi keluarga akan terasa lebih ringan bila dipikul bersama oleh suami dan istri sebagai dua orang sahabat. Di sinilah pentingnya kerjasama, komunikasi, dan saling mendukung saat persoalan-persoalan mendera.

Istri yang tidak mengkomunikasikan kesulitannya dalam mengasuh anak, mengatur rumah tangga, dan mengelola keuangannya di saat krisis hanyalah memendam persoalan yang akan mencuat menjadi konflik dalam rumah tangganya.

Suami yang biasanya tidak terlalu tahu lonjakan harga-harga barang kebutuhan pokok, sulitnya mencari minyak tanah, tiba-tiba terkejut saat belum akhir bulan, uang belanja istri sudah habis. Bukan tak mungkin suami mengira, istrilah yang tidak bisa berhemat.

Dalam sebuah kasus, ada istri yang terpaksa bekerja membantu mencari nafkah, ia harus membanting tulang sejak pagi hingga menjelang petang. Belum lagi urusan rumah tangga sepenuhnya masih ditanganinya; menyiapkan sarapan sejak sebelum subuh, memandikan anak balita, menyiapkan keperluan anak yang sudah sekolah, menyiapkan keperluan suami dan dirinya sendiri. Ketika pulang kerja kerja dalam keadaan penat, anak-anak belum terurus, makan malam belum disiapkan, rumah masih berantakan, piring kotor berserakan, dan sang istri harus menyelesaikannya semuanya. Menjelang tengah malam barulah ia sempat membaringkan badan. Luar biasa lelah!

Sayang sekali, sang istri sering tidak mampu mengkomunikasikan kesulitannya dalam menangani rumah tangga, dan sang suami terbiasa memandangnya sebagai seorang super woman. Padahal persoalan-persoalan yang meruak dalam rumah tangga sebagian besar hanyalah karena tidak terjadi kerjasama dan komunikasi yang baik antar suami-istri dalam menghadapi krisis. Jika demikian, saling pengertian tidak bisa ditumbuhkan.

Rumah tangga yang dibangun bersama akan berjalan baik jika masing-masing merasa memiliki. Istri akan rela membantu suami mengatasi krisis keuangan, karena bukankah suami dan anak-anaknya adalah bagian dari rumah tangganya juga. Suami ikhlas membantu saat istri penat mengurus rumah tangga dan anak-anaknya, karena bukankah mereka adalah orang-orang yang berada di bawah pengayoman dan perlindungannya. Komunikasi dan kerjasama antar keduanya selayaknya lebih baik dari dua orang yang bersahabat.

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya perempuan adalah saudara laki-laki. “ (HR Abu Dawud dan an-Nasa’i).

Tetap Istiqamah Mengemban Dakwah

Sering krisis keuangan dalam rumah tangga menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban mengemban dakwah. Tidak hanya para ibu, tetapi juga para bapak.

“Nanti sajalah, saya akan aktif kembali berdakwah kalau masalah keuangan beres,” demikian alasan yang sering dilontarkan. Padahal tak ada yang tahu, kapan masalah keuangan akan selesai. Sungguh tepat, bahwa hal yang mampu melepaskan diri dari berbagai krisis hanyalah tetap teguh mengemban dakwah. Seorang kawan menyampaikan nasihat, “Dalam keadaan sesulit apapun, tetaplah berjuang mengemban dakwah Islam. Para sahabat Nabi saw. dalam keadaan teraniaya, tersiksa, menderita lemah dan lapar, mereka tetap teguh dan semakin bergelora untuk memperjuangkan kemuliaan Islam. Sebab, mereka yakin, pertolongan Allah sangat dekat pada hamba-hamba-Nya yang menolong agama-Nya.”

Keteguhan pasangan suami istri untuk tetap menolong agama Allah, dalam kondisi krisis keuangan akan membantu mengokohkan iman, melapangkan hati, melahirkan keikhlasan dan menguatkan tawakal. Krisis ekonomi rumah tangganya justru membuat dirinya semakin dekat dengan Allah. Alangkah berharga nilai keimanan di saat krisis.

Dalam keadaan hati yang ikhlas dan lapang, berbagai ide kreatif untuk menyelesaikan masalah, insya Allah, akan mudah digulirkan. Bandingkan dengan hati yang terbebani dan perasaan yang selalu merasa menderita. Perasaan semacam ini hanya akan membuat pikiran terasa sempit, akal tak lagi bisa berpikir jernih, apalagi bertindak produktif. [Lathifah Musa]

Soal Jawab Seputar Keruntuhan Kredit Global dan Akibatnya

Adnan Khan, Koresponden Ekonomi Khilafah.Com

1. Apa makna istilah dari ‘keruntuhan kredit’ yang disebut sebagai krisis keuangan? Apa akibat dari krisis ini terhadap ekonomi?

Krisis kredit adalah istilah untuk menjelaskan krisis yang menyebabkan para bank berhenti untuk saling meminjamkan uang kepada sesamanya yang menyebabkan kebekuan di pasar keuangan yang berakibat pada jatuhnya perusahaan keuangan seperti Northern Rock, contohnya. Banyak lagi implikasi lain yang berdampak kepada beberapa aspek ekonomi baik secara langsung atau tidak langsung:

  • Baik AS dan Inggris telah menikmati pertumbuhaan yang didasarkan kepada hutang selama satu dekade terakhir, namun kini harus berhenti secara mendadak.
  • Di Inggris, nilai ekonomi berkisar pada 1,3 trilyun ponsterling sedangkan hutang konsumen sekitar 1,4 trilyun.
  • Kemudahan mendapatkan hutang (kredit) menyebabkan terjadinya gelembung (bubble), namun gelembung itu nampaknya sudah kehilangan udara dengan cara meletus.

2. Apa penyebab utama terjadinya krisis keuangan?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan krisis dan beberapa faktor berperan lebih penting dibanding lainnya.

  • Peminjaman uang oleh Bank kepada calon pembeli rumah yang beresiko, yaitu mereka yang memiliki kemungkinan melunasi hutang kecil, dengan pemberian pinjaman dengan bunga kecil (sub-prime loans)
  • Bank tersebut lalu menkonversi hutang peminjam menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan seperti CDO, MBS, dll, dimana hutang bisa menjadi produk yang bisa diperjualbelikan.

3. Apakah isu utamanya adalah pemilik rumah di AS yang miskin sehingga tidak mampu membayar hutangnya atau ada alasan lain yang lebih mendasar seperti cara kerja sistem keuangan jaman sekarang?

  • Sektor keuangan dari ekonomi adalah sektor terbesar dari perekonomian Barat yang mengakibatkan besarnya kelonggaran peraturan yang diberikan pemerintah sehingga mendorong praktik keuangan seperti hedge funds, potongan pajak dan penyelamatan dari kebangkrutan.
  • Kemampuan dari Bank dan pemerintahan Barat untuk terus mencetak uang sehingga menciptakan gelembung ekonomi. Contohnya, AS hanya memiliki 1,4 trilyun dolar uang yang beredar tetapi Bank telah menciptakan ekstra 11 trilyun dolar melalui cadangan perbankan.
  • Filsafat Kapitalisme untuk terus menumbuhkan ekonomi pada kenyataannya tidak bisa bertahan dan menyebabkan keambrukan secara berkala, resesi dan krisis ketika kerakusan semakin tinggi.
  • Kapitalisme percaya bahwa apabila manusia mengejar kepentingan/nafsu masing-masing maka kebaikan akan datang kepada mereka. Nafsu adalah suatu yang baik dan penting demi berjalannya Kapitalisme, maka peminjaman uang yang agresif, suku bunga yang tinggi, dan penilaian tentang potensi kredit seseorang semuanya menunjukkan kepentingan nafsu/keserakahan.

4. Bagaimana tanggapan pemerintah untuk menyelesaikan krisis, apakah sudah cukup dan apakah sudah menunjukkan hasil?

  • Bank Sentral di semua negara telah menggelontorkan uang ke pasar untuk memperlancarkan dana yang macet.
  • Pemerintah Inggris telah menasionalisasi Northern Rock yang hampir tumbang
  • Pemerintah AS mengatur penjualan Bear Stearns, Bank Investasi terbesar ke-5 di AS ketika ia hampir tumbang
  • AS merencanakan untuk memberikan potongan pajak di bulan September dengan harapan bahwa masyarakat AS akan menghindarkan dirinya dari krisis dengan meningkatkan jumlah belanja mereka.
  • Pemerintah Inggris beregosiasi dengan sektor perbankan sebesar 50 milyar ponsterling guna menjamin hutang mereka dengan uang rakyat dan menggunakannya sebagai agunan.

Tindakan pemerintah telah menghindari keambrukan total sebagaimana yang hampir terjadi pada Northern Rock. Namun dengan adanya hutang yang selama ini mendorong pertumbuhan ekonomi di barat dalam dasawarsa terakhir, tindakan-tindakan pemerintah tersebut akan bisa mengakibatkan resesi.

5. Bukankah tindakan penyelamatan pasar oleh Pemerintah justru menentang prinsip dasar pemikiran Kapitalis yang tidak mempercayai adanya intervensi pemerintah dan justru akan memperburuk krisis yang disebut dengan ‘Moral Hazard’?
Konsep Pasar Bebas kembali dipertanyakan. Banyak kalangan percaya bahwa pemerintah seharusnya ikut campur tangan ketika pasar gagal. Para Bank juga tidak akan membuat produk berbahaya jika saja mereka mengetahui konsekuensi dari ulah mereka.

6. Banyak kalangan menyarankan peraturan yang lebih banyak dan transparansi, apakah ini akan membantu?
Saran seperti ini selalu dilontarkan pada setiap krisis yang telah terjadi. Peraturan tentang simpan pinjam akibat ambruknya pasar saham di tahun 1930an telah melahirkan berbagai perangkat peraturan baru. Namun tidak akan ada peraturan yang akan bisa mengatur inti kepercayaan yang diemban oleh Kapitalisme, yaitu Nafsu/Kerakusan.

7. Pelajaran apa yang bisa diambil dari krisis ini dan apa sebenarnya kelemahan mendasar dari pasar keuangan Barat?
Pasar keuangan lebih didominasi adalah ekonomi paralel (non riil) dibanding dengan ekonomi riil , di mana pelakunya melakukan judi untuk memprediksi apa yang akan terjadi di dunia. Mereka pertaruhkan bagaimana perusahaan tertentu akan berjaya dan mana yang akan membuat untung. Inilah problema mendasar dari pasar uang, mereka tidak memproduksi apapun yang bersifat riil.

8. Majalah “The Economist” adalah pembela pasar keuangan Barat yang loyal, meskipun ia menyadari kelemahan sistem ini, ia tetap menyatakan bahwa ‘gelembung ekonomi, pertumbuhan, dan keambrukan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keuangan Barat, dan tetap masih lebih baik.” Benarkah?
Tidak, dan pernyataan semacam ini justru menghindari diskusi tentang pasar bebas. Pasar uang berperan kecil dalam pertumbuhan ekonomi di Inggris, AS, Jerman, Jepang, dan Perancis. Pasar semacam ini tidak mutlak diperlukan bagi perkembangan suatu bangsa dan bukan bagian dari kehidupan modern. Ia hanya bagian dari sistem Kapitalisme. Komunisme dan Islam dalam sejarahnya tidak pernah menderita krisis semacam ini (apalagi kalau terjadi dengan kekambuhan yang berkala).

9. Alternatif seperti apa yang Islam bisa tawarkan, karena sistem keuangan Islam tidak memperbolehkan sistem bunga?

  • Sistem Islam berdasarkan pada ekonomi riil, bukan ekonomi paralel (non riil)
  • Prinsip penanaman modal dalam Islam adalah pada komoditas dan jasa yang riil dan bukan karena nilai bisnisnya
  • Pembiayaan bisa dicari dari lembaga keuangan yang mengumpulkan deposit dari nasabah, menanamkan modal deposit tersebut, dan ikut menanggung kerugian dalam investasi yang mengundang resiko.

10. Bagaimana perusahaan Islam mencari dana atau permodalan untuk memulai usaha sehingga bisa berkembang?
Melalui hibah dari negara dan pinjaman melalui lembaga keuangan Syariah. Perkembangan ekonomi Inggris dan AS sebenarnya terjadi dari intervensi pemerintah pada sektor ekonomi yang utama, dengan cara penetapan pajak bea masuk yang tinggi, memberikan pinjaman mudah dan hibah, serta hak monopoli , sehingga pertumbuhan ekonomi bagaimanapun tetap didorong dari pusat (pemerintah). (Sumber: Khilafah.Com)

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.