Blogger Themes

News Update :

Adakah Inhiraf Manhaji Pada Fikrah Nahdliyyah?

Rabu, 16 Januari 2008

Saturday, 12 January 2008

Oleh Muhammad Fauzan Nurullah al-Julaniy

 Syabab.Com - Di bulan harlah Nahdhatul Ulama ini banyak harapan dari umat kepada para 'ulama terutama yang tergabung dalam wadah Nahdhatul Ulama. NU sebagai ormas Islam yang lahir sebagai wujud kebangkitan ulama ini benar-benar dapat membangkitkan umat dan Islam ini. [catatan redaksi]

Muqaddimah

Menarik mencermati Sabili No. 11 Th. XV 13 Desember 2007 dengan telaah utama Selisih Jalan NU-HTI Siapa Diuntungkan. Muncul pertanyaan, apakah klaim “selisih jalan” itu didasarkan pada cara pandang (pemikiran) yang berbeda, masalah komunikasi, atau terletak pada persoalan politik. Mambahas persoalan pertama tadi (masalah pemikiran) menjadi penting agar “selisih jalan” antara Nahdhiyin (sebutan untuk aktifis NU) dan Hizbiyin (sebutan untuk anggota HT) tidak terjadi di lapangan. Hampir melengkapi pertanyaan di atas, ada satu pertanyaan yang disampaikan seorang kolega kepada penulis, dan pertanyaan tersebut cukup untuk membuat kening penulis berkerut. Pertanyaan itu lebih kurang; “apakah antum seorang Nahdhiyin?” Dari pertanyaan itulah, penulis tertarik untuk menjawabnya dalam bentuk tulisan agar persoalan dan jawabannya menjadi jelas. Untuk menjawabnya, paling tidak ada satu persoalan yang harus dijawab terlebih dahulu; apakah yang disebut orang Nahdatul Ulama’ (NU) itu adalah dalam konteks genetik atau secara pemikiran (sebagaimana pemikiran yang membangun NU)? Ini menjadi penting untuk dijawab. Secara genetik, penulis adalah adalah keturunan NU, walaupun belum pernah mendeklarasikan sebagai kelompok Nahdhiyin. Ada juga orang yang secara genetik keturunan NU tapi secara metodologis menyimpang dari kerangka berpikir Nahdhiyah. Bahkan, ada yang secara pemikiran sama dengan kerangka berpikir Nahdhiyah, namun pada saat yang sama dimusuhi oleh sebagian kalangan yang mengaku dirinya orang NU. Jadi siapa sebetulnya yang Nahdhiyin dan siapa yang bukan? Jangan-jangan telah terjadi inhiraf manhaji (penyimpangan metodologis) dalam fikrah Nahdhiyah? Penyimpangan metodologis inilah yang dikhawatirkan penulis; semuanya demi menjaga keorisinilan pemikiran Nahdhiyah agar tidak menjadi kendaraan politik pihak tertentu yang hipokrit.

Definisi Kerangka Berfikir Nahdhatul Ulama'

Nahdhatul Ulama' adalah jam'iyyah yang dibangun berdasarkan kerangka pemikiran Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja). Maka, untuk mendefinisikan kerangka berfikir NU, mau tidak mau, kita harus kembali kepada batasan Ahlussunnah wal jamaah, yang secara historis bisa diklasifikasikan menjadi dua: Pertama, Ahlussunnah wal jamaah sebagai thariqah diniyyah (tuntunan keagamaan), yaitu tatacara beragama sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi saw. dan para sahabat, sebelum dilembagakan dalam bentuk sistematika pembahasan yang khas, setelah munculnya berbagai mazhab Islam. Kedua, Ahlussunnah wal jamaah sebagai mazhab, yaitu tempat menimba atau mengambil pandangan, pemikiran dan hukum yang dirumuskan oleh para ulama' mazhab, yang dilembagakan dalam suatu sistematika pembahasan yang khas.

Jika yang pertama, maka pengertian Ahlussunnah wal jamaah jauh lebih umum, karena dalam konteks ini, Ahlussunnah bukanlah mazhab, melainkan tatacara beragama yang diwariskan oleh Nabi saw. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadits:

«سَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَة قَالُوْا وَمَا هِيَ تلِْكَ الفِرْقَةُ قاَلَ مَا أَنَا عَلَيْهِ اَلْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ»

Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu. Mereka bertanya: Kelompok apakah itu? Beliau bersabda: Kelompok yang mengikuti apa yang aku dan sahabatku lakukan saat ini. (H.R. at-Thabrani) [1]

yang oleh Muhammad Syams al-Haq al-'Adhim Abadi Abu at-Thayyib, dalam kitabnya, 'Aun al-Ma'bud, dinyatakan sebagai: at-thariqah al-lati radhiya biha as-salaf as-shalih, ai an-Nabiyu wa ashhabuhu li anfusihim (tuntunan yang telah diridhai oleh generasi Salaf Salih, yaitu Nabi dan para sahabat beliau untuk diri mereka).[2]

Namun, dalam konteks yang kedua, konotasi Ahlussunnah lebih spesifik pada mazhab tertentu, baik dalam masalah akidah, fikih maupun politik.[3]

Dalam riwayat al-Hafidz Ibn al-Jauzi dan al-Qadhi Abu Ya'la dalam kitab Tabaqat-nya, dan Burhanuddin Muflih dalam kitab al-Maqshad al-Arsyad-nya dari Muhammad bin Humaid al-Andarani dari Imam Ahmad, beliau berkata,

"Ciri orang Mukmin Ahlussunnah wal jamaah adalah siapa yang menyatakan kesaksian, bahwa tidak ada yang berhak disembah, melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dia mengakui semua yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Hatinya meyakini apa yang dinyatakan oleh lisannya. Tiada keraguan dalam keimanannya. Dia tidak mengkafirkan siapapun dari Ahli Tauhid, karena suatu dosa. Semua perkara yang hilang darinya, selalu dia kembalikan kepada Allah, dan dia selalu menyerahkan urusannya kepada Allah. Dia tidak pernah menyatakan terpelihara dari dosa di sisi Allah. Dia meyakini, apa saja terjadi karena qadha' dan qadar Allah, semuanya; baik dan buruknya sekaligus. Dia selalu mengharapkan kebaikan untuk umat Muhammad saw. dan takut terhadap keburukan mereka. Dia tidak mudah menjatuhkan vonis surga kepada salah seorang dari umat Muhammad karena suatu kebaikan, juga neraka karena suatu dosa yang telah dilakukannya, sampai Allahlah yang memutuskan untuk makhluk-Nya sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dia mengakui hak orang Salaf, yang telah dipilih oleh Allah untuk menyertai Nabi-Nya. Dia mengutamakan Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, serta mengetahui hak 'Ali bin Abi Thalib, Thalhah, az-Zubair, Abdurrahman bin 'Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash, Sa'ad bin Zaid bin 'Amr bin Nufail atas sahabat-sahabat lain. Sembilan sahabat itu telah bersama-sama Nabi saw. di atas gunung Harra'. Nabi bersabda: Tinggallah di Harra'. Bagimu tak lain adalah Nabi, orang yang jujur, atau syahid, dimana Nabi saw. senantias bergaul dengan mereka, Dia (sifat Mukmin Ahlussunnah) mencintai semua sahabat Muhammad, baik yang yunior maupun senior. Dia menceritakan keagungan mereka, dan menahan diri dari perselisihan di antara mereka. Mengerjakan shalat Idul Fitri dan Adha, Khusuf, Jum'at dan berjamaah dengan semua pemimpin, baik yang taat maupun durjana, mengusap kedua sepatu ketika bepergian dan tidak, memendekkan shalat saat bepergian. Menyatakan, bahwa al-Qur'an adalah kalam Allah yang Dia turunkan, dan bukannya makhluk. Imam merupakan ucapan dan perbuatan, yang bisa bertambah dan berkurang. Jihad terus berlanjut sejak Allah mengutus Muhammad saw. hingga sisa-sisa terakhir, dimana mereka akan memerangi Dajjal. Mereka tidak akan terancam oleh kedurjanaan orang yang durjana. Jual-beli halal hingga Hari Kiamat berdasarkan hukum Kitab dan Sunnah. Takbir terhadap jenazah (saat shalat) sebanyak empat kali. Mendoakan kebaikan untuk para imam (khalifah) kaum Muslim. Anda tidak melepaskan diri darinya dengan pedang Anda. Tidak ikut berperang dalam suasana fitnah. Tinggallah di rumah Anda. Mengimani siksa kubur, meyakini Munkar-Nakir, meyakini telaga, syafaat dan meyakini bahwa penghuni surga akan bisa menyaksikan tuhan mereka Tabaraka wa Ta'ala. Mengimani bahwa orang yang bertauhid akan bebas dari neraka, setelah mereka dosanya habis, sebagaimana yang dinyatakan dalam sejumlah hadits yang menceritakan hal ini dari Nabi saw. Kita mengimaninya, dan tidak perlu membuat contoh dan perumpamaan untuknya. Inilah yang telah disepakati oleh para ulama' di seluruh penjuru dunia.[4]

(berakhirlah riwayat al-Andarani).[5]

Dari dua konteks Ahlussunnah di atas, kelihatannya konteks yang kedualah, yang dimaksudkan oleh NU. Karena itu, NU mendefinisikan paham keagamaannya dengan kerangka mazhab sebagai berikut:

a- Akidah: mengikuti paham yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (w. 324 H/935 M) dan Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H/944 M).

b- Fikih: mengikuti salah satu dari keempat mazhab, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.

c- Tasawuf: mengikuti al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) dan Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M).

Dengan demikian, kerangka berfikir Nahdhiyyah merupakan kerangka berfikir Ahlussunnah, yang senantiasa berpegang teguh pada tuntunan Rasulullah saw. dan para sahabatnya, yang secara teknis merujuk pada mazhab-mazhab di atas.

Metode Berfikir NU dalam Merespon Permasalahan dan Isu Pemikiran Keagamaan

Berfikir itu sendiri bisa didefinisikan dengan: al-hukm 'ala al-waqi' min wijhati an-nadhr al-mu'ayyan (menghukumi fakta berdasarkan sudut pandang tertentu).[6] Karena kerangka berfikir Nahdhiyyah merupakan kerangka berfikir Ahlussunnah, maka sudut pandang yang dijadikan sebagai pedoman untuk menghukumi fakta tersebut tak lain adalah sudut pandang Ahlussunnah.

Adapun fakta yang hendak dihukumi bisa diklasifikasikan menjadi dua: fakta yang berkaitan dengan akidah, dan fakta yang berkaitan dengan fikih (syariah). Ini karena yang pertama merupakan masalah al-ashliyyah al-i'tiqadiyyah (pokok dan berhubungan dengan keyakinan), sedangkan yang kedua merupakan masalah al-far'iyyah al-'amaliyyah (cabang dan berhubungan dengan perbuatan fisik).[7]

Sebagai contoh, paham Sekularisme, yaitu paham yang menyatakan pemisahan agama dari kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun negara adalah paham yang jelas bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah. Ini bisa kita rujuk, misalnya, dalam kitab Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad yang menyatakan:

«الدِّيْنُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ، مَالاَ أُسَّ لَهُ فَمْهُدُوْمٌ، وَماَلاَ حاَرِسَ لَهُ فَضَائِعُ»

Agama itu bagaikan pondasi, sementara kekuasaan (imamah/khilafah) itu merupakan penjaga. Sesuatu (bangunan) yang tidak ada pondasinya, pastilah roboh, sementara sesuatu (bangunan dan pondasi) yang tidak ada penjaganya, pasti akan hilang.[8]

Berdasarkan kerangka berfikir tersebut dapat disimpulkan, bahwa agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Karena masing-masing saling membutuhkan satu sama lain. Agama membutuhkan negara untuk menjadi penjaga, sehingga ajaran dan hukumnya bisa dipertahankan, sementara negara membutuhkan agama untuk menjadi pondasi yang akan memperkokoh perjalanannya. Dalam konteks inilah, hifdh al-din wa ad-daulah (menjaga agama dan negara) benar-benar merupakan keniscayaan. Dengan demikian, paham yang memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam kehidupan bernegara nyata bertentangan dengan kerangka berfikir Ahlussunnah wal jamaah.

Contoh lain adalah isu imamah dan khilafah. Dalam kerangka berfikir Ahlussunnah, sekalipun masalah imamah bukan menjadi bagian dari masalah akidah, tetapi selalu dibahas dalam kitab-kitab Ushuluddin. Tujuanya, menurut 'Adhuddin al-Iji, agar bisa mencegah terjadinya khurafat (penyelewengan) yang dilakukan oleh Ahli Bid'ah dan Ahwa'.[9] Maka, semua ulama' Ahlussunnah menyatakan, bahwa hukum mengangkat imam/khalifah adalah wajib bagi kaum Muslim. Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Ushul ad-Din, menyatakan:

«لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِمَامٍ يَقُوْمُ بِمَصَالِحِهِمْ مِنْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِهِمْ وَإِقَامَةِ حُدُوْدِهِمْ وَتَجْهِيْزِ جُيُوْشِهِمْ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ وَصَرْفِهَا إِلَى مُسْتَحِقِّيْهِمْ لأَِنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ إِمَامٌ فَإِنَّهُ يُؤَدِّيْ إِلَى إِظْهَارِ الْفَسَادِ فِي الأَرْضِ»

Kaum Muslim harus mempunyai seorang imam (khalifah) yang menjalankan urusan mereka, dengan menerapkan hukum-hukum mereka, dan menegakkan sanksi hukum bagi mereka. Menyiapkan pasukan mereka, mengambil zakat mereka, dan mendistribusikannya kepada mereka yang berhak. Sebab, kalau mereka tidak mempunyai seorang imam (khalifah), pasti akan menyebabkan terjadinya kerusakan di muka bumi.[10]

Dengan demikian, wajibnya kaum Muslim mempunyai imam/khalifah bukanlah masalah ijtihad,[11] meski di dalam rinciannya memungkinkan terjadinya ijtihad. Seperti pengangkatan imam/khalifah melalui penunjukan (wilayah al-ahd), waris (waratsah), kudeta (al-qahr wa al-ghalabah) serta pemilihan dengan suka rela (ar-ridha wa al-iktiyar).[12]

Adapun dalam bidang fikih, misalnya masalah globalisasi, sikap ahlussunnah sebetulnya sudah jelas. Globalisasi tujuannya adalah agar Dunia Ketiga menyambut gembira kedatangan modal dan tenaga kerja asing, mengambil rekomendasi para pemilik modal dan tenaga kerja itu untuk mengoreksi berbagai undang-undang di negaranya, serta melakukan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), agar Amerika dapat dengan mudah membelinya. Mereka mengatakan bahwa tak ada alternatif lain di luar pilihan-pilihan tersebut, jika kita memang ingin menyusul rombongan dunia seluruhnya untuk meng-globalisasikan modal dan tenaga kerja. Kalau tak ikut rombongan, kita akan tetap terbelakang, kata mereka.

Karena itu, bukan hal yang aneh bila kita membandingkan propaganda globalisasi ini dengan serangan Kristenisasi pada abad lampau, maka serangan kali ini lebih berbahaya daripada serangan sebelumnya. Sebab serangan kali ini sekalipun tidak memakai kedok agama, namun tak dapat dipungkiri, sebenarnya lebih mengerikan.

Karena itulah, maka hadits dharar yang dinyatakan oleh Nabi saw.:

«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»

Tidak boleh ada bahaya, dan tidak boleh membahayakan (orang lain) (H.R. al-Hakim)

bisa diterapkan dalam konteks bahaya globalisasi. Ini dipertegas dengan penjelasan as-Syaukani dalam Nail al-Authar, yang menyatakan:

«هَذَا فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِ الضَّرَارِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ، مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الجَارِّ وَغَيْرِهِ فَلاَ يَجُوْزُ فِي صُوْرَةٍ مِنَ الصُّوَرِ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ يَخُصُّ بِهِ هَذَا الْعُمُوْمُ فَعَلَيْكَ بِمُطَالَبَةِ مَنْ لِصَاحِبِ المُضَارَةِ فِي بَعْضِ الصُّوَرِ بِالدَّلِيْلِ فَإِنْ جَاءَ بِهِ قَبِلْتَهُ وَإِلاَّ ضَرَبْتَ بِهَذَا الْحَدِيْثِ وَجْهَهُ فَإِنَّهُ قَاِعدَةٌُ مِنْ قَوَاعِدِ الدِّيْنِ تَشْهَدُ لَهُ كُلِّيَاتٌ وَجُزْئِيَّاتٌ»

Hadits ini berisi dalil yang menyatakan keharaman dharar (bahaya dan tindakan membahayakan orang lain), dalam konteks apapun. Tanpa ada perbedaan, antara pelaku kezaliman maupun yang lain. Maka, apapun bentuknya tetap tidak boleh, kecuali jika ada dalil yang mengecualikannya dari keumuman ini. Karenanya, Anda harus meminta orang yang melakukan tindakan berbahaya itu untuk menunjukkan dalil dalam beberapa bentuk tindakannya yang membahayakan; jika ada, maka Anda bisa menerimanya, dan jika tidak, Anda harus menggunakan hadits ini seperti apa adanya. Karena hadits ini merupakan salah satu kaidah agama, yang bisa menjadi argumentasi bagi perkara yang global maupun rinci.[13]

Ada aspek lain yang selalu dikaitkan dengan globalisasi, yaitu terjadinya revolusi di bidang informasi dan komunikasi, yang menyebabkan dunia seperti tanpa batas, serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Namun, aspek ini berbeda sama sekali dengan aspek yang pertama, yaitu globalisasinya itu sendiri. Sebab, aspek yang kedua ini terkait dengan pemanfaatan teknologi, yang statusnya merupakan madaniyah (produk material), dan hukumnya mubah. Seperti pemanfaatan internet, satelit, parabola dan sejenisnya.


Meski demikian, bisa saja sesuatu yang asalnya mubah itu kemudian berubah menjadi haram, karena aspek dharar. Sekalipun keharamannya dibatasi pada perkara yang berdampak pada dharar saja, dan tidak haram secara mutlak. Ini diambil dari hadits Nabi:

«وَلَمَّا نَزَلَ رَسُوْلُ اللهِ e بِالْحَجَرِ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْك اسْتَقَي النَّاسُ مِنْ بِئْرِهَا فَلَمَّا رَاحُوْا قَالَ: لاَ تَشْرَبُوْا مِنْ مَائِهَا شَيْئًا وَلاَ تَتَوَضَّأُوْا مِنْهُ لِلصَّلاَةِ»

Tatkala Rasulullah saw. singgah di sebuah batu ketika Perang Tabuk, orang-orang menimba air dari sumurnya, ketika mereka telah beristirahat, Nabi bersabda: Jangan kalian minum airnya sedikitpun, dan jangan berwudhu dengan airnya.[14]

Hukum asal air, secara mutlak adalah mubah, dan boleh digunakan baik diminum maupun dipakai berwudhu. Tapi, dalam kasus ini, Nabi melarang air tersebut digunakan untuk minum dan wudhu, meski secara umum larangan tersebut tidak mencakup semua air, melainkan khusus untuk air di sumur tersebut. Dari sinilah, kemudian ditarik kaidah ushul:

«كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ المُبَاحِ، إِذاَ كَانَ ضَارًّا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلَى ضَرَرٍ حَرَّمَ ذَلِكَ الْفَرْدَ، وَظَلَّ الأَمْرُ مُبَاحًا»

Semua perkara yang asalnya mubah, ketika telah membahayakan, atau menyebabkan bahaya, maka perkara itu menjadi haram, sementara yang lain secara umum tetap mubah.[15]

Dengan demikian, kalaupun teknologi tersebut hukum asalnya mubah, maka ketika ada faktor dharar pada bagian tertentu, baik langsung maupun dampaknya, maka yang diharamkan adalah bagian yang membahayakan itu. Sementara yang lain tidak.

Adakah Inhiraf Manhaji?

Dengan kerangka berpikir seperti di atas itu, maka fikrah Nahdhiyyah akan tetap terjaga orisinalitasnya, dan terhindar dari bahaya inhiraf manhaji (penyimpangan metodologis) dari manhaj Ahlussunnah wal jamaah. Kalaupun pada kenyataan di lapangan terjadi kerancuan pemikiran NU, itu bukan semata-mata penyimpangan fikrah Nahdhiyah dari manhaj Ahlussunnah wal jamaah, malainkan penyimpangan (inhiraf manhaji) sekelompok orang NU dari fikrah Nahdhiyah atau lebih jauh dari manhaj Ahlussunnah wal jamaah.

Berdasarkan paparan di atas, maka ciri-ciri fikrah Nahdhiyyah bisa dirumuskan sebagai fikrah Ahlussunnah, baik dalam masalah akidah maupun fikih (syariah). Maka, pemikiran apapun yang bukan fikrah Ahlussunnah, dan tidak dibangun berdasarkan manhaj Ahlussunnah, maka tidak bisa disebut sebagai fikrah Nahdhiyyah, sekalipun dinyatakan oleh orang-orang NU sendiri. Sebaliknya, siapapun yang mengemban fikrah Ahlussunnah, atau pemikiran yang dibangun berdasarkan manhaj Ahlussunnah, maka secara idiologis telah mengemban fikrah Nahdhiyyah, sekalipun secara biologis-genetik bukan orang NU.

Khatimah

Dalam sebuah wawancara dengan Sabili, Habib Abdurrahman Assegaf, Sekjen Dewan Imamah Nusantara (DIN), ketika ditanya terkait dengan Forum Bahtsul Masail NU wilayah Jawa Timur yang mengatakan sistem khilafah tidak ada dalam ajaran Islam, mengatakan: “itu mereka NU yang mana? Mereka mengklaim ulama’ NU yang mana? Kita semua yang ada di Dewan Imamah Nusantara ini ulama’ NU. Banyak kan orang-orang yang menyusup di NU, tapi mereka agen Amerika. Pemikirannya sekular, liberal, dan pluralis.”[16] Dengan memahami kerangka penjelasan sebagaimana yang telah diulas sebelumnya, sekarang persoalannya menjadi jelas tentang apa sebetulnya yang terjadi dan siapa sebetulnya yang telah menyimpang dari fikrah Nahdhiyyah yang ber-manhaj Ahlussunnah. Dengan begitu, tidak mesti ada kasus salah paham –bahkan fitnah—seperti halnya tulisan yang dimuat di situs PP Nurul Huda tentang Hizbut Tahrir.[17] Atau yang senada dengan itu, misalnya kajian yang dilakukan oleh Abdullah al-Harari dan Firqah al-Ahbasy. Dalam booklet Al-Gharrah Al-Imaniyah Fi Mafasid At-Tahririyyah, Abdullah al-Harari telah melemparkan fitnah terhadap Hizbut Tahrir secara serampangan bahkan dengan mengabaikan kaedah-kaedah ilmiah.[18] Akhirnya, penulis hanya bisa berharap semoga dengan kerangka pemikiran yang utuh, para ulama’ tidak terjerat dalam kategori jari'an fi al-fatawa wa i'thail hukmi (gegabah dalam berfatwa dan penetapan hukum). Semuanya itu demi bangkitnya kembali para ulama’ dan juga umat sebagaimana yang diamanatkan dari kata “an-Nahdhah” dalam frasa Nahdhatul Ulama'. Wallahu a’lam.



[1] Lihat Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Abd al-Wahid bin Ahmad al-Hanbali al-Maqdisi, al-Ahadits al-Mukhtarah, ed. 'Abd al-Malik bin 'Abdullah, Maktabah an-Nahdhah al-Haditsah, Makkah al-Mukarramah, cet, I, 1410, juz VII, hal. 278.

[2] Muhammad Syams al-Haq al-'Adhim Abadi Abu at-Thayyib, 'Aun al-Ma'bud, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cet, II, 1415, juz XII, hal. 240.

[3] Lihat, al-Imam Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah: as-Siyasiyyah, wa al-I'tiqadiyyah wa al-Fiqhiyyah, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. .

[4] Teks lengkapnya berbunyi:

روى الحافظ ابن الجوزي والقاضي أبو يعلى في طبقاته وبرهان الدين مفلح في المقصد الأرشد عن محمد بن حميد الأندراني عن الإمام أحمد أنه قال: صفة المؤمن من أهل السنة والجماعة من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأن محمدا عبده ورسوله وأقر بجميع ما أتت به الأنبياء والرسل وعقد قلبه على ما أظهر لسانه ولم يشك في إيمانه ولم يكفر أحدا من أهل التوحيد بذنب وأرجأ ما غاب عنه من الأمور إلى الله عز وجل وفوض أمره إلى الله ولم يقطع بالذنوب العصمة من عند الله وعلم أن كل شيء بقضاء الله وقدره والخير والشر جميعا ورجا لمحسن أمة محمد صلى الله عليه وسلم وتخوف على مسيئتهم ولم ينزل أحدا من أمة محمد صلى الله عليه وسلم الجنة بالإحسان ولا النار بذنب اكتسبه حتى يكون الله الذي ينزل خلقه كيف يشاء وعرف حق السلف الذين اختارهم الله لصحبه نبيه وقدم أبا بكر وعمر وعثمان وعرف حق علي بن أبي طالب وطلحة والزبير وعبد الرحمن بن وعوف وسعد بن أبي وقاص وسعد بن زيد بن عمرو ابن نفيل على سائر الصحابة فإن هؤلاء التسعة الذين كانو مع النبي صلى الله عليه وسلم على جبل حراء فقال النبي صلى الله عليه وسلم اسكن حراء فما عليك إلا نبي أو صديق أو شهيد والنبي صلى الله عليه وسلم عاشرهم وترحم على جميع أصحاب محمد صغيرهم وكبيرهم وحدث بفضائلهم وأمسك عما شجر بينهم وصلاة العيدين والخسوف والجمعة والجماعات مع كل أمير بر أو فاجر والمسح على الخفين في السفر والحضر والقصر في السفر والقرآن كلام الله وتنزيله وليس بمخلوق والإيمان قول وعمل يزيد وينقص والجهاد ماض منذ بعث الله محمدا صلى الله عليه وسلم إلى آخر عصابة يقاتلون الدجال لا يضرهم جور جائر والشراء والبيع حلال إلى يوم القيامة على حكم الكتاب والنسة والتكبير على الجنائز أربع والدعاء لأئمة المسلمين بالصلاح ولا تخرج عليهم بسيفك ولا تقاتل في فتنة والزم بيتك والإيمان بعذاب القبر والإيمان بمنكر ونكير والإيمان بالحوض والشفاعة والإيمان بأن أهل الجنة يرون ربهم تبارك وتعالى والإيمان بأن الموحدين يخرجون من النار بعدما امتحشوا كما جاءت الأحاديث في هذه الأشياء عن النبي صلى الله عليه وسلم نؤمن بتصديقها ولا نضرب لها الأمثال هذا ما اجتمع عليه العلماء في جميع الآفاق (انتهت رواية الأندراني).

[5] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal as-Syaibani, al-'Aqidah Riwayat Abi Bakar al-Khalal, ed. 'Abd al-'Aziz 'Izz ad-Din as-Sirwani, Dar Qutaibah, Beirut, cet. I, 1408, hal. 67.

[6] As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, at-Tafkir, Min al-Kutub al-Lati Ashdaraha Hizbut Tahrir, Beirut, cet. I, 1977, hal. .

[7] Lihat, at-Taftazani, Syarh al-'Aqa'id an-Nasafiyyah, al-Maktabah al-Azhariyyah, Kaero, t,t, hal. .

[8] Hujjat al-Islam, Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad, Maktabah al-Hilal, t.t., Beirut, hal. .

[9] 'Adhuddin al-Iji, Kitab al-Mawaqif, ed. 'Abdurrahman 'Umairah, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1997, juz I, hal. 17.

[10] al-Qahir al-Baghdadi, Ushul ad-Din, ed. 'Umar Wafiq ad-Da'uq, Dar al-Basya'ir al-Islamiyyah, Beirut, cet. I, 1998, hal. 269-270. Lihat juga penjelasan Ibn Hazm dalam al-Fashl fi al-Milal wa an-Nihal, juz IV, hal. 72:

اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الامة واجب عليها الإنقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي آتى بها رسول الله e حاشا النجدات من الخوارج فإنهم قالوا لا يلزم الناس فرض الإمامة وإنما عليهم أن يشاطوا الحق بينهم وهذه فرقة ما نرى بقي منهم أحد وهم المنسوبون إلى نجدة بن عمير الحنفي القائم باليمامة قال أبو محمد وقول هذه الفرقة ساقط يكفي من الرد عليه وإبطاله إجماع كل من ذكرنا على بطلانه والقرآن والسنة قد ورد بإيجاب الإمام من ذلك قول الله تعالى: ﴿أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم﴾ مع أحاديث كثيرة صحاح في طاعة الأئمة وإيجاب الإمامة.

[11] Lihat penjelasan Zain ad-Din bin 'Abd al-'Aziz, dalam kitabnya, Fath al-Mu'in, juz IV, hal. 214, yang menyatakan:

لا يجوز الإجتهاد مع النص (انتهى).

[12] Penunjukan (wilayah al-ahd) dan waris (waratsah) dianggap sebagai metode yang sah oleh al-Mawardi, an-Nawawi, Ibn Hazm, al-Qalqasyandi, Ibn Qutaibah ad-Dainuri, ar-Rafi'i dan lain-lain. Sedangkan kudeta dianggap sebagai cara yang sah bisa dilihat dalam karya-karya al-Farra', dan al-Qalqasyandi. Adapun pemilihan dengan suka rela bisa dilihat dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya al-Mawardi. Penjelasan yang ringkas namun bermakna terkait dengan topik ini bisa disimak dalam Mahmud al-Khalidi, Al-Bai’at fil Fikri as-Siyaasi al-Islami, Maktabah ar-Risalah al-Haditsah, Yordania.

[13] Muhammad bin 'Ali as-Syaukani, Nail al-Authar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, juz V, hal. 387.

[14] Abu 'Ubaid, Mu'jam Ma Ista'jama, ed. Musthafa as-Saqa, 'Alam al-Kutub, Beirut, cet. III, 1403, hal. 426.

[15] As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz' at-Tsalits, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 2005, hal. 457.

[16] Lihat Sabili No. 11 Th. XV 13 Desember 2007/3 Dzulhijjah 1428, hal 36.

[17] Lihat Musthafa Ali Murtadlo, Penjelasan Bagi yang Salah Paham Terhadap Hizbut Tahrir, Makalah, 2007.

[18] Melihat metode kajiannya yang sama, penulis menduga bahwa tulisan yang dimuat di dalam situs Nurul Huda itu terinspirasi dari tulisannya Abdullah al-Hariri.

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.