Blogger Themes

News Update :

Muslim Cleansing dengan Narkoba

Jumat, 25 Januari 2008

Bisnis narkoba semakin gila-gilaan. Berjalin berkelindan dengan perang dan perdagangan senjata. Juga mengarah pada pemusnahan generasi muda.

Suara-islam.com--Gepeng mati terbenam bir. Semasa hayatnya, pelawak Srimulat berbadan kerempeng ini terkenal dengan celotehnya: ''untung ada saya''. Tapi, para pesohor khususnya pelawak eks-Srimulat, tak mau mengambil untung berupa hikmah dari kematian Gepeng. Bukannya menjauh, para artis malah semakin lengket bergaul dengan biang mabuk. Minuman keras pun sudah diangap ketinggalan jaman. Narkoba yang jadi tren.

Seperti kasus kawin-cerai, skandal narkoba pun laris manis di kalangan artis. Belum lama ini Ahmad Albar dicari polisi lantaran inex. Di saat yang sama, polisi menemukan heroin di kamar anaknya, Fahri Albar. Sebelumnya, untuk kali kedua, Roy Marten ditangkap gara-gara nyabu. Ia mengikuti jejak Fariz RM yang tepergok dengan ganja.

Perkara narkoba juga pernah meng-hampiri Ari Lasso, Novia Ardhana, Ria Irawan, Gogon, Polo, Doyok, Derry Da-rusman, Zarima, Ibra Azhari, sampai sutradara sinetron Nasry Chepy. Personil Slank pun pernah terjerat narkoba, sebelum memproklamirkan diri sembuh dari ketergantungan. Yang tak tertolong misalnya Alda Maria.

“Sudahlah, Roy Marten saja terakhir jadi korban. Artis yang lain berhentilah jadi budak narkoba. Apalagi polisi sudah pegang nama-nama artis, waduh ngeri banget,” ujar Hengky Tornando, mantan artis dan preman yang kini jadi dai (Pos Kota, 15/11).

Melonjaknya kasus narkoba di ka-langan artis, sekaligus menunjukkan perkembangan pesat rukun bisnis narkoba di Indonesia. Baik jenis narkoba, operasi bisnisnya, pelaku dan korban, maupun modus transaksi alias aqad jual-belinya.

Kalau dulu ''sekadar'' ganja, kini sudah sampai kelas berat semacam kokain dan heroin. Dari sekadar sebagai negara transit, lalu menjadi daerah pemasaran, dan kini sekaligus menjadi negara produksi. Korbannya semakin membludak, termasuk kalangan usia SD.

Laporan International Narcotics Con-trol Strategy (INCS) menyebutkan, jaringan sindikat perdagangan heroin dunia masuk ke Indonesia dengan cara melibatkan jaringan mereka yang ada di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Nigeria. Kelompok-kelompok itu kulakan heroin di Bangkok, lalu dibawa kurir melalui pesawat komersial ke Bandara Soekarno-Hatta. Dari Jakarta, heroin ini kemudian didistribusikan ke Amerika, Australia, dan Eropa Barat.

Misalnya, pada Sabtu 2 Agustus 2003, disikat 13,4 kg kokain yang disimpan di dalam pipa kerangka gantole di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta. Pemiliknya Marco Archer Cardoso Moreira, warga Brasil yang tiba di Jakarta dengan pesa-wat KLM 837 jurusan Amsterdam lewat Singapura.

Pada 6 April 2002, publik Indonesia dikejutkan dengan temuan sebuah pabrik ekstasi terbesar di dunia. Pabrik di bilangan Cipondoh dan Karawaci, Tange-rang, seluas ribuan meter persegi itu memproduksi lebih dari 150 ribu butir pil ekstasi perhari atau 50 juta pertahun. Angka ini lebih besar daripada produksi 50 pabrik serupa di AS dan Meksiko yang dibongkar Badan Pengawasan Obat-obatan (DEA) AS.

Pemilik pabrik ekstasi itu Ang Kiem Soei alias Anche alias Tommy Wijaya. Secara resmi AKS ditahan oleh Direktorat Reserse Pidana Narkoba, Korps Reserse Polri mulai 6 April 2002. Anche warga Belanda keturunan Cina, kelahiran Fak-fak, Irian Jaya.

Bukan berarti usaha pabrikasi nar-koba di Indonesia berhenti. Pada 2007, pabrik besar ekstasi kembali ditemukan di Batam. Juga dibongkar jaringan Hongkong-Malaysia-Indonesia di Apar-temen Taman Anggrek pada 21 Novem-ber, dengan barang bukti 490.802 butir ekstasi senilai Rp 49,08 miliar.

"Mereka bermaksud membangun pabrik sabu dan ekstasi di Indonesia dengan mendatangkan teknisi dari China. Ini adalah jaringan mafia inter-nasional yang tidak dapat dianggap remeh," kata Kapolri Jenderal Sutanto mengenai hasil tangkapan itu.

Dalam INCS Report yang diterbit-kan Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, Amerika, Maret 2003, Indonesia ditempatkan kembali ke dalam deretan major laundering countries di wilayah Asia Pasifik bersama dengan 53 negara antara lain seperti Australia, Kanada, Cina, Cina Taipei, Hong Kong, India, Jepang, Macau Cina, Myanmar, Nauru, Pakistan, Fili-pina, Singapura, Thailand, United Kingdom dan Amerika Serikat. Predikat itu diberikan kepada negara-negara yang lembaga dan sistem keuangannya dinilai terkontaminasi bisnis narkotika inter-nasional.

Ya, keuntungan bisnis narkoba memang mencengangkan. Interpol menaksir, di seluruh dunia jumlahnya mencapai 400 miliar dolar AS dalam setahun.

Dari keuntungan segede itu, 90% diraup bandar, sedangkan sisanya petani (6%), pengolah (2%), dan pedagang bahan mentah (2%).

Lebih jauh, INCSR menyoroti upaya Indonesia dalam memberantas pere-daran gelap narkoba yang dianggap masih belum memadai, kenaikan angka penyalahgunaan narkoba di dalam negeri, serta maraknya lalu lintas perdagangan gelap narkoba dari dan ke Indonesia yang melibatkan negara-negara seperti Thailand, Burma, Singa-pura, Afghanistan, Pakistan dan Nigeria.

''Proyek ini merupakan strategi global kelompok tertentu supaya generasi muda kita hancur,'' simpul Prof Dadang Hawary. Sebab, sudah tentu mayoritas korban narkoba adalah warga muslim.

Seperti digambarkan dalam trilogi film The Godfather, mafia narkoba terang-terangan mengincar pasar warga berkulit hitam (negro). Hasil investigasi jurnalis Amerika, Garry Webb, pada 1996, membuktikan bahwa AS melaku-kan barter narkoba dan senjata dengan kelompok Contra-Sandinista di Nikara-gua pada 1980-an. Melalui artikelnya yang dilengkapi dengan bukti-bukti kuat, Webb melukiskan secara detil bagaimana pesawat-pesawat militer AS membong-kar muatan senjata untuk gerilyawan Contra, lalu kembali ke AS dengan mengangkut narkotika. Narkoba itu selanjutnya dipasok ke jaringan mafia, untuk diedarkan di kawasan warga kulit hitam seperti Harlem, Bronx, Chicago, dan sebagainya. Inilah antara lain yang memicu munculnya gerakan Black Moslem.

Amerika juga memainkan candu di negeri-negeri muslim. Afghanistan misalnya, sebelum dijajah Uni Soviet, tidak memiliki bisnis candu. Kebun candu hanya bersifat tradisional, dan bukan sebagai barang dagangan.

Untuk mendongkel Soviet, Amerika membantu para mujahidin Afghan memasok senjata yang harus ditukar dengan opium. Penanaman opium pun digalakkan besar-besaran, sehingga kini Afghanistan menjadi salah satu produsen narkotika terbesar di dunia.

Selama tahun 80-an, Afghanistan memproduk sekitar 30% opium dunia. Menjelang kejatuhan Taliban, produksi ganja di Afghanistan tercatat sebesar 180 ton. Angka itu meningkat sangat tajam sebesar 4.500 ton, setelah serangan dan penjajahan Amerika atas Afghan.

Michel Chossudovsky, dosen ekono-mi di Universitas Ottawa, Kanada, dalam sebuah makalahnya menulis, “Ekonomi yang bergantung pada narkotika di Afghanistan merupakan proyek yang telah disusun matang oleh CIA dan didukung kebijakan luar negeri AS. Proyek ini mulai dijalankan setelah Uni Soviet menyerang Afghanistan.”

Efek dominonya, negara-negara tetangga Afghan pun dilanda masalah narkoba. Malvin Levisky, dalam pernya-taannya menyebutkan bahwa pada dekade 1970, di Pakistan tak ditemukan seorangpun yang kecanduan narkotika. Tapi sekarang, jumlah pecandu narkotika di sana mencapai satu juta orang.

Iran yang memiliki garis perbatasan yang sangat panjang dengan Afghanis-tan, menjadi jalur utama transit per-niagaan narkotika asal Afghan. Setiap tahunnya, Iran harus mengeluarkan dana yang besar untuk memerangi praktek perdagangan haram ini. Hingga saat ini, sudah ribuan prajurit Iran gugur dalam bentrokan dengan para penyelundup yang terkadang memiliki berbagai persenjataan canggih.

Sayid Najibullah Hashemi, direktur kantor berita Hindu Kush Afghanistan menyebut narkotika sebagai fenomena yang datang dari luar. Dia menegaskan, “Kami bersaksi bahwa pasukan asing di Afganistan terlibat dalam praktek penyelundupan narkotika.”

Sementara itu, Michel Chossudovsky mengatakan, “Tak diragukan bahwa salah satu tujuan terselubung dari invasi dan pendudukan Afganistan oleh AS adalah untuk mengembalikan perda-gangan narkotika ke dalam genggaman CIA, seperti dulu.”

Narkoba juga digunakan Israel untuk menghancurkan kader intifadhah Pales-tina. Sejak 2004, kasus narkoba di Jerussalem (Al-Quds) sudah meng-gelisahkan Muslim Palestina. Mereka bahkan telah menemukan sejumlah informasi tentang strategi Israel mema-sok narkoba di kalangan pemuda Pales-tina, untuk melemahkan perlawanan mereka.

Catatan menunjukkan, selama enam tahun terakhir ini penggunaan narkoba di kalangan pemuda Palestina terus meningkat. Padahal, sejumlah ladang ganja di wilayah bekas pendudukan Israel di Ghaza sudah dimusnahkan pada September 2005.

Menurut data The Palestinian Anti-Narcotics Administration (ANA), ada lebih dari 850 pecandu narkoba di Ghaza dan Tepi Barat di tahun 2005. Sedangkan tahun ini hingga Oktober 2007, kasus penggunaan narkoba (bango) di Pales-tina sudah mencapai 555 kasus, termasuk 394 di Tepi Barat dan 161 di Ghaza.

Jika sebelumnya kebanyakan pemu-da mengonsumsi ganja dan marijuana melalui rokok, kini narkoba yang digunakan sudah meningkat menjadi heroin dengan jarum suntik, bong dan sebagainya. [aya hasna/www.suara-islam.com]

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.