Blogger Themes

News Update :

Tidak Ada Kesalahan I’rab di Dalam Al-Quran

Selasa, 25 Maret 2008

Salah satu upaya orang-orang kafir untuk menyerang al-Quran adalah tuduhan adanya penulisan dan bacaan ayat al-Quran yang bertentangan dengan kaedah nahwu dan sharaf. Untuk membuktikan tuduhannya, mereka mengetengahkan beberapa ayat al-Quran, diantaranya adalah surat Thaha ayat 63 dan beberapa riwayat ahad.

Lalu, benarkah ada kesalahan i’rab di dalam al-Quran; atau benarkah ada ayat al-Quran yang susunan kalimatnya menyalahi kaedah nahwu dan sharaf? Jawabnya, tentu saja tidak ada kesalahan i’rab di dalam al-Quran. Pasalnya, penulisan dan bacaan yang dianggap aneh dan janggal tersebut telah dibahas dan dikaji para ulama tafsir maupun ulumul Quran. Meskipun demikian, mereka tidak pernah berkesimpulan bahwa adanya ayat al-Quran yang bertentangan dengan kaedah-kaedah bahasa Arab, sehingga ia tidak lagi otentik dan orisinal. Perdebatan dan perbedaan pendapat mereka dalam menganalisa ayat yang janggal dan aneh itu tidak pernah mengantarkan mereka untuk menikam, apalagi meragukan keotentikan al-Quran dan ketsiqahan para shahabat dalam menukilkan al-Quran kepada umat Islam. Tetapi, dengan penuh kelicikan dan keculasan, kajian para ulama yang mukhlish tersebut justru dijadikan alasan untuk membenarkan maksud-maksud jahat mereka menikam dan menodai al-Quran.

Akan tetapi, sebagai umat yang menjunjung tinggi keobyektifan dan keadilan, kita wajib menjelaskan kembali masalah ini, agar tidak ada syubhat di kalangan kaum Muslim. Jawaban atas pertanyaan di atas adalah sebagai berikut;

Pertama, pada dasarnya, adanya ejaan atau penulisan yang dianggap janggal dan aneh di dalam Mushhaf Al-Quran sudah dikenal secara luas dan telah dikaji oleh para ulama. Kejanggalan dan keanehan dalam penulisan ini bukan dikarenakan ada kesalahan penulisan teks Al-Quran oleh penulis al-Quran, atau karena ada pemalsuan dan kecurangan; akan tetapi, keadaan ini bisa dimengerti karena Nabi Mohammad saw mempunyai banyak penulis yang berasal dari beberapa suku yang sudah terbiasa dengan dialek dan ejaan yang berbeda-beda menurut kebiasaan suku masing-masing. Menurut catatan sejarah, Nabi saw memiliki tidak kurang 65 penulis wahyu. [M.M. Al-A’dzami, Kuttaab al-Nabiy, edisi ke 3, Riyad, 1401 (1981), hal. 83-89] Oleh karena itu, dalam penulisan al-Quran pun bisa beragam tergantung dari ejaan dan gaya penulisan yang dipakai pada saat itu. Di dalam laporan sejarah dinyatakan bahwasanya Yahya melihat surat yang dibacakan Nabi Mohammad saw kepada Khalid bin Sa’iid bin ‘Ash yang membuat beberapa kejanggalan. Misalnya, كان (kaana) ditulis dengan كون , حتى (hatta) ditulis dengan حتاdan masih banyak contoh-contoh yang lain. [Mohammad Hamidullah, Six Origininaux Letters Du Prophete De L’Islam, hal. 127-133] Bagi orang yang tidak paham terhadap adanya ragam dialek dan ejaan, tentu hal ini dianggap sebagai kesalahan atau penyimpangan penulisan al-Quran dari kaedah-kaedah bahasa Arab. Padahal, adanya ragam dialek dan ejaan ini sama sekali tidak berpengaruh terhadap kerusakan teks-teks Al-Quran. Pasalnya, Nabi saw memang mengajarkan al-Quran dengan berbagai macam dialek. Beberapa suku Arab menyebut kata حتى (hattaa) dengan عتى (’attaa); kata صراط (shiraath) disebut dengan سراط (siraath); dan sebagainya. Perbedaan ini merupakan sesuatu yang lumrah dan lazim. Bagi orang yang memahami ragam dialek, niscaya ia akan memaklumi hal ini.

Selain itu, munculnya perbedaan penulisan dan pengejaan juga disebabkan karena perubahan standar ejaan yang dipakai. Misalnya, kata “judging” (penghukuman) menurut standar ejaan bahasa Inggris abad 17 Masehi ditulis dengan “inudging” . Bagi orang modern awam, penulisan “inudging” dianggap sebagai kesalahan karena tidak sesuatu dengan standar penulisan modern. Padahal, pengejaan kata “inudging” sesuai dengan standar ejaan bahasa Inggris abad 17. Penulisan kata “ketjap” barangkali dianggap sebuah kesalahan menurut standar ukuran pengejaan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), namun, sebelum tahun 1972, penulisan kata “kecap” dengan “ketjap” bukanlah kesalahan.

Kedua, pada dasarnya kaedah nahwu dan sharaf merupakan kreasi para ulama jauh setelah penulisan, pengumpulan, dan pelembagaan al-Quran dalam Mushhaf Imam. Kemunculan ilmu ini (nahwu sharaf) dilatarbelakangi oleh semakin awamnya masyarakat terhadap bahasa Arab fushhah –termasuk bangsa Arab sendiri–, dan munculnya degradasi terhadap bahasa Arab fushhah. Padahal, penguasaan bahasa Arab fushhah merupakan syarat paling penting untuk menjamin kebenaran istinbath (penggalian) hukum dan penafsiran al-Quran. Jika bahasa Arab fushhah rusak dan kaum Muslim awam terhadap kaedah-kaedah bahasa Arab fushhah, niscaya akan terjadi kesalahan dalam proses penggalian hukum dan penafsiran al-Quran. Oleh karena itu, para ulama ahli bahasa (ahlu al-lughah) segera menyusun kaedah-kaedah bahasa Arab, yang kemudian dituangkan dalam berbagai disiplin ilmu, semacam ilmu nahwu sharaf, bayan, ma’aaniy, balaghah, ilmu ‘aarudl, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu saja, mereka juga menyusun kamus-kamus standar bahasa Arab (lisanul ‘Arab). Semua ini ditujukan agar kaum Muslim tidak salah dan menyimpang dalam memahami makna-makna al-Quran.

Salah satu standar dan acuan penting dalam penyusunan kaedah-kaedah bahasa Arab, termasuk di dalamnya ilmu nahwu dan sharaf dan juga kamus-kamus bahasa Arab, adalah al-Quran. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa al-Quran bertentangan dengan kaedah nahwu sharaf, sementara itu, standar penyusunan kaedah nahwu dan sharaf bersumber dan berpatokan dari al-Quran? Ini sama artinya dengan seseorang yang salah mengukur panjang sebuah batang, kemudian menyalahkan penggarisnya. Dan bagaimana bisa dinyatakan ada ayat al-Quran yang bertentangan dengan bahasa Arab (lisanul Arab) sedangkan al-Quran diturunkan Allah dengan bahasa Arab yang nyata dan jelas? Allah swt berfirman;

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (TQS Fushshillat(41):3)

“(Ialah) Al-Quran dalam bahasa ‘Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa” (al-Zumar:28)

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa ‘Arab, untuk kaum yang mengetahui”. (Fushshilat:3)

“Demikianlah Kamu wahyukan kepadamu al-Quran dalam bahasa ‘Arab supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri) sekelilingnya…” (al-Syura:7)

“Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa ‘Arab supaya kami memahaminya” (al-Zukhruf:3)

“Dan sebelum al-Quran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (al-Quran) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa ‘Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang dzalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (al-Ahqaf:12)

Ketiga, sesungguhnya, penulisan al-Quran sudah dilakukan sejak masa Rasulullah saw. Setiap kali wahyu turun, beliau meminta shahabatnya untuk menuliskannya di pelepah kurma, batu, maupun media lainnya. Abu Ubaid dalam kitab Fadlaail menyatakan bahwasanya setiap kali wahyu turun, Nabi saw memanggil para penulisnya untuk mencatat ayat tersebut, dan mendiktekannya. Imam Bukhari dan Abu Dawud menuturkan dari Zaid bin Tsabit bahwasanya Nabi Mohammad saw sering memanggil dirinya untuk menulis wahyu yang turun. Sewaktu ayat jihad turun, Zaid bin Tsabit dipanggil Nabi untuk membawa tinta dan alat tulis untuk menulis ayat tersebut, dan Nabi saw mendiktekannya. Tidak hanya itu saja, setelah Zaid bin Tsabit menuliskan ayat yang turun, beliau membacakannya kembali di hadapan Nabi saw, agar tidak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks. [Al-Suuliy, Adaab al-Kuttaab, hal. 165; Imam al-Haitaamiy, Majmaa’ al-Zawaaid, i:52] Nabi saw juga melarang shahabat menulis sesuatu yang bukan al-Quran (hadits), agar tulisan itu tidak bercampur dengan al-Quran. Keterangan semacam ini dituturkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud. Sedangkan para shahabat yang tidak menulis, mereka juga membawa tinta dan kulit, dan meminta para shahabat yang bisa menulis untuk menuliskannya.[Imam Baihaqiy, Sunan al-Kubra, vi, hal. 16] Nabi Mohammad sendiri memiliki 65 orang penulis yang berasal dari beberapa suku Arab.

Kenyataan ini menunjukkan bahwasanya, sejak jaman Nabi Mohammad saw, al-Quran sudah tertulis, dan setiap tulisan didiktekan di hadapan Nabi. Lalu, bagaimanan bisa dinyatakan bahwa ada penulisan ayat yang menyalahi kaedah bahasa Arab, sedangkan penulisan al-Quran sudah dilakukan sejak jaman Nabi, dan Nabi Mohammad saw sendiri yang mendiktekannya, dan mengajarkannya dengan tujuh dialek? Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah hadits dari Ubay bin Ka’ab bahwasanya Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya, Allah swt telah memerintahmu untuk membacakan al-Quran kepada ummatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf manapun, bacalah al-Quran, niscaya kalian berada dalam kebenaran”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Atas dasar itu, tuduhan adanya kesalahan penulisan di dalam al-Quran jelas-jelas tidak beralasan. Pasalnya, tuduhan tersebut tidak didasarkan pada riwayat-riwayat mutawatir, akan tetapi ahad. Dan hadits ahad tidak bisa menganulir al-Quran yang mutawatir.

Keempat, Al-Quran adalah Kalamullah (Firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Mohammad saw, dan sampai kepada kita dengan periwayatan mutawatir. Di dalam Kitab al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, al-Hafidz Asy Suyuthiy menyatakan; “Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib ditetapkan secara) mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan urut-urutannya. Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir). Pasalnya, sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sedangkan al-Quran sendiri adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak mutawatir, maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.“ [1]

Atas dasar itu, penetapan apakah sebuah riwayat termasuk al-Quran atau tidak, tergantung dari tingkat periwayatannya. Jika periwayatannya mutawatir, maka riwayat itu bisa dikategorikan al-Quran atau bagian dari al-Quran. Namun, jika riwayat-riwayat tersebut tidak dituturkan secara mutawatir, alias ahad, maka ia tidak boleh diyakini sebagai ayat al-Quran atau bagian dari al-Quran.

Perhatikan beberapa riwayat ahad berikut ini yang diklaim sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran, namun tidak boleh diyakini sebagai al-Quran.

Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia berkata;

قَرَأْتُ سُوْرَةَ الاحْزَابِ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَنَسِيْتُ مِنْهَا سَبْعِيْنَ آيةٍ مَا وَجَدْتُهَا

” Saya membaca surat al-Ahzab di hadapan Nabi saw dan tujuh puluh ayat darinya saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran sekarang.’[2]

Riwayat ini tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Alasannya riwayat ini dituturkan tidak secara mutawatir, alias ahad. Berdasarkan riwayat, ini kita tidak boleh menyakini bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam, tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat dalam surat al-Ahzab yang telah hilang. Menyakini riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Riwayat ini juga tidak boleh dipahami sebagai ayat al-Quran yang telah dihapus. Pasalnya, al-Quran harus ditetapkan berdasarkan periwayatan mutawatir. Penurunan, penjagaan, dan pembukuan al-Quran dilakukan dengan jalan mutawatir. Iman terhadap al-Quran termasuk bagian dari aqidah yang tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil yang qath’iy tsubut wa al-dilaalah[3].

Riwayat yang senada dengan riwayat di atas juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail; Ibnu Al-Anbaariy, dan Ibnu Mardawaih dari ‘Aisyah, bahwasanya beliau ra berkata;

كَانَتْ سُوْرَةُ اْلاَحْزَابِ تُقْرَأُ فيِ زَمَانِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ مِائَتَيْ آيَةٍ فَلَمَّا كَتَبَ عُثْمَانُ اْلمَصَاحِفَ لمَ ْيَقْدِرْ مِنْهَا إِلاَّ عَلَى مَا هُوَ الآن

“Pada masa Nabi saw, surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat. Akan tetapi, ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali sebagaimana yang ada sekarang ini.”[4]

Riwayat ini dituturkan secara ahad, alias tidak mutawatir. Oleh karena itu, riwayat ini tidak boleh dianggap sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran. Berdasarkan riwayat ini, kita tidak boleh menyimpulkan bahwa lebih dari separuh surat al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat. Sebab, surat al-Ahzab yang ada di dalam Mushhaf Imam hanya berjumlah tujuh puluh tiga ayat. Riwayat ini tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, seluruh ayat al-Quran ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy, dan ayat-ayat yang tidak ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy tidak boleh dianggap sebagai al-Quran.

Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan, “Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, “Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu ‘ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha…). Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, “Tulislah, hafidzu…wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-’Ashr..”. ‘Umar ra bertanya, “Apakah kamu punya saksi?” Hafshah menjawab, “Tidak!”. ‘Umar berkata, “Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti.” Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, riwayat ini diriwayatkan secara ahad, dan tidak mutawatir. Sedangkan al-Quran harus ditetapkan berdasarkan periwayatan-periwayatan mutawatir.

Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha’, dan Ibnu Dawud dalam Mashahif dari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra, ia berkata, “Telah turun ayat tentang 10 (kali isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah saw meninggal, sedangkan beliau menyatakan ia adalah al-Quran.”

Namun demikian, tak seorangpun shahabat yang memperhatikan riwayat ini. Mereka tidak menulisnya di dalam Mushhaf. Juga tidak boleh dipahami bahwa, riwayat tersebut merupakan al-Quran yang telah dihapus. Sebab, tidak ada nasakh tilawah di dalam al-Quran. Meskipun sebagian ulama berpendapat adanya nasakh tilawah, namun pendapat itu lemah dan tidak layak diikuti. Adapun mengapa nasakh tilawah tidak terdapat di dalam al-Quran; sebab, riwayat-riwayat yang menuturkan adanya nasakh tilawah adalah hadits ahad; sehingga, tidak menghasilkan kepastian dan keyakinan. Selain itu, riwayat-riwayat tersebut tidak boleh dianggap sebagai al-Quran maupun bagian dari al-Quran; sehingga harus diimani dan diyakini sebagai al-Quran yang dihapus[5].

Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif, al-Haakim, dan selain keduanya dari Mushhafnya Ubay bin Ka’ab, ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda) budak. Di dalam mushhafnya Ubay tersebut disebutkan, “fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi’aat fi kifaarat al-yamiin”[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamin (denda karena melanggar sumpah].”

Riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf Imam. Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab, seandainya hadits ini harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik, alias telah mengalami pengurangan. Dalam masalah ini, Imam Syafi’iy menolak berhujjah dengan riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad.[6]

Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, “Adalah Ibn al-’Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu, sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “al-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya [kakek dan nenek jika berzina].”, ‘Umar berkata, “Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia muhshon, maka dirajam“.[7]

Riwayat ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, ia dituturkan kepada kita secara ahad, alias tidak mutawatir. Sesungguhnya, masih banyak riwayat-riwayat lain yang diklaim sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran namun tidak boleh diyakini sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran. Pasalnya, riwayat-riwayat tersebut tidak diriwayatkan secara mutawatir, alias ahad. Sedangkan al-Quran tidak ditetapkan, kecuali dengan jalan periwayatan mutawatir. Oleh karena itu, sesuatu tidak absah disebut sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran, jika diriwayatkan secara ahad.

Sama seperti riwayat-riwayat di atas, riwayat yang dituturkan oleh ‘Aisyah yang menyatakan bahwa surat Thaha ayat 63 telah mengalami kesalahan penulisan dan bertentangan dengan kaedah bahasa Arab, harus ditolak. Pasalnya, riwayat tersebut ahad (tidak mutawatir) sehingga tidak bisa dianggap sebagai al-Quran. Selain itu, al-Quran sudah tertulis sejak Nabi Mohammad saw, dan dibaca secara mutawatir oleh para shahabat yang ribuan. Dan tidak ada satupun para mereka menyelisihi Mushhaf Imam. Jika ada perbedaan dalam hal pembacaan, hal itu merupakan perkara lumrah. Pasalnya, Nabi saw memang mengajarkan cara baca al-Quran dengan tujuh dialek yang berbeda.

Kelima, pada dasarnya, frase “in hadzaani” yang terdapat di dalam surat Thaha ayat 63 dianggap sebagai bukti ketidakotentikan al-Quran, karena adanya kesalahan penulis al-Quran di era shahabat. Pasalnya, susunan seperti ini dianggap menyalahi kaedah nahwu sharaf. Selain itu, para penuduh juga mengetengahkan riwayat-riwayat ahad untuk membenarkan tuduhan itu. Dituturkan dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya, bahwasanya bapaknya pernah bertanya kepada ‘Aisyah tentang firman Allah swt “in hadzaaniy” (إِنْ هَذَانِ) (Thaha:63); kemudian Aisyah menjawab, “Wahai anak saudara perempuanku, itu adalah salah dan perbuatan dari penulis.” Aban bin Utsman juga menuturkan bahwasanya ia membaca ayat ini di hadapan bapaknya, Utsman bin ‘Affan, lantas, Utsman menegurnya, “Ini lahn (kesalahan) dan khatha’ (kekeliruan)”. Lalu ada orang yang bertanya kepadanya, “Lalu, mengapa anda tidak mengubahnya? Utsman menjawab, “Biarkan saja, sesungguhnya ia tidak menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan”.[Lihat Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, surat Thaha:63] Jawab atas masalah ini adalah sebagai berikut;

Riwayat ‘Aisyah dan Ustman bin Affan di atas adalah riwayat ahad, sehingga tidak boleh dianggap atau diyakini sebagai al-Quran. Suatu riwayat sah diyakini sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran, jika diriwayatkan secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran harus ditolak. Untuk itu, riwayat Aisyah dan Utsman bin ‘Affan tersebut tidak memiliki nilai hujjah untuk mengkritik keotentikan al-Quran yang telah ditetapkan berdasarkan berita mutawatir. Sebab, Al-Quran ditulis sejak zaman Nabi Mohammad saw, kemudian dikumpulkan di era Abu Bakar Ash-Shiddiq. Selanjutnya, Utsman bin ‘Affan menuliskannya di dalam Mushhaf untuk menghindari adanya pertikaian karena perbedaan cara baca dan dialek yang terjadi di tengah-tengah kaum Muslim. Sedangkan Zaid bin Tsabit dan tim penulisan al-Quran adalah para shahabat yang paling fasih dan memahami bahasa Arab beserta uslubnya (gaya bahasanya). Atas dasar itu, penulisan dan bacaan (إنْ هَذَانِ) merupakan perkara mutawatir, dan tidak bisa dianulir dengan riwayat ahad.

Sesungguhnya, bacaan “( إنْ هَذَانِ) (in hadzaaniy) adalah bacaan sebagian suku Arab, sehingga bacaan ini tidak bertentangan dengan kaedah bahasa Arab (lisanul Arab), seperti yang dituduhkan kaum kafir orientalis. Bacaan ” إنْ هَذَينِ لَسَاحِرَانِ” juga bacaan masyhur di kalangan orang-orang Arab. Ini berarti bahwa bacaan (إنْ هَذَانِ) “in haadzaani, bukanlah bacaan yang menyalahi kaedah bahasa Arab. Sebab, bacaan semacam ini adalah bacaan sebagian suku Arab, yakni suku Bani Harits bin Ka’ab, Zabid, Kinanah bin Zaid, dan Khuts’am. [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,juz 5, hal. 301] Menurut Abi Hatim, di dalam dialek dan ejaan suku Bani Harits bin Ka’ab, kadang-kadang huruf “ya” ( diganti dengan huruf alif (ا), misalnya frase “َ ولا أدريتكم به ditulis dan dibaca ولا أدراتكم به. Mereka juga biasa mengganti huruf ya dengan alif, jika huruf sebelumnya diberi tanda fathah, seperti firman Allah swt surat Thaha ayat 63 tersebut; sehingga frase إنْ هَذَينِ لَسَاحِرَانِ” ditulis dan dibaca dengan إنْ هَذَانِ (in haadzaaniy). Suku-suku di atas sudah terbiasa menulis dan membaca dengan nashab (fathah), rafa’ (dlammah), dan khafadl (kasrah) untuk pelaku yang berjumlah dua. Lihat contoh di bawah ini;

جَاءَ الزَّيْدَانِ وَرَأَيٍْتُ الزَّيْدَانِ وَمَرَرْتُ بِالزَّيْدَانِ،

“Dua Zaid telah datang (Zaid berkedudukan sebagai subyek, berarti rafa’(dzalmmah)); Saya melihat dua Zaid (Zaid berkedudukan sebagai obyek, berarti dibaca nashab (fathah); Saya berjalan dengan dua Zaid (berkedudukan sebagai majrur (dikhafadl)”.

Jika anda perhatikan susunan kalimat di atas secara seksama, tidak ada perbedaan dalam penulisan “kata al-zaidaani” baik yang dibaca nashab, rafa’, maupun jarr (khafadl). Atas dasar itu, tidak pada tempatnya mengkritik dan menikam keotentikan al-Quran dengan menggunakan surat Thaha ayat 63.

Pada dasarnya tulisan al-Quran yang ada di dalam Mushhaf Imam ditujukan untuk merangkum semua ragam dialek dan penulisan yang dimiliki oleh suku-suku Arab. Kodifikasi al-Quran (rasm al-Quran), yakni khathth al-Quran, telah mengakomodir setiap lahjaat ini. Misalnya kata ataaka (اتاك) pada ayat disebut sebelumnya, di dalam al-Quran (mushhaf ‘Utsmani) ditulis (اتك). Penulisan semacam ini telah mencakup qiraat al-imaalah atau qiraat al-fath. Tujuh huruf ini hadir dengan lahjaat (dialek) yang beragam; dan juga hadir dalam bentuk rasm al-Quran yang berbeda-beda (bentuk penulisannya berbeda). Semua itu ditujukan untuk meringankan dan mempermudah umat Islam. Hikmah seperti ini disebutkan dengan sangat jelas dalam hadits “…maka bacalah apa yang paling mudah darinya”, yakni apa yang mudah di antara tujuh huruf tersebut (tujuh dialek Arab) menurut lisan kalian, yaitu dialek dari ketujuh suku yang ada. Menurut sumber-sumber yang ada, tujuh huruf tersebut adalah dialeknya kabilah-kabilah berikut ini; Quraisy, Hudzail, Tamiim, Azad, Rabii’ah, Sa’ad bin Abi Bakar, Kinaanah, dan Qabas.

Menurut Imam Sibawaih (seorang ulama ahli dan pakar dalam bahasa Arab), frase “in haadzaaniy” termasuk huruf i’rab. Dan ia adalah bentuk paling asal yang tidak berubah. Oleh karena itu, penulisan dan pembacaan seperti itu (in haadzaani) ditujukan untuk menunjukkan bentuk asalnya yang tidak berubah. Sama seperti firman Allah swt; “istihwadza ‘alaihim al-syaithaan” (surat al-Mujadilah ayat 19), yang tidak ditulis dan dibaca dengan “istihaadza ‘alaihim al-syaithaan“. Semua ini untuk menunjukkan bentuk asalnya.

Kesimpulan

Pada dasarnya, penjagaan terhadap keotentikan, kebenaran, dan otoritas al-Quran ada di tangan Allah swt. Allah swt berfirman;

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya[8]. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya“. [TQS Al Qiyamah (75):16-20]

Atas dasar itu, tuduhan bahwa al-Quran mengalami pengurangan, penambahan, atau adanya kesalahan dalam penulisan dan bacaan, adalah tuduhan yang tidak berdasar dan mengada-ada. Pasalnya, al-Quran merupakan dokumen yang telah terbukti keaslian dan keotentikannya berdasarkan riwayat-riwayat yang mutawatir.

Al-Quran tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan Taurat, Injil, Bhagawadgita, dan kitab-kitab suci yang lain. Pasalnya, al-Quran benar-benar bersumber dari Allah swt, dan tetap terjaga keorisinalannya hingga sekarang. Sedangkan Taurat dan Injil telah mengalami kerusakan di sana-sini. Keadaan ini diakui sendiri oleh pendeta-pendeta Nashrani. Mereka menyatakan bahwa 80% Injil bukanlah ucapan Yesus. Selain itu, banyaknya ragam bacaan, tulisan, dan versi Injil yang saling bertentangan telah membuktikan bahwa kitab ini tidak lagi otentik. Nasib yang sama juga dialami kitab Taurat. Atas dasar itu, menyepadankan al-Quran dengan kitab-kitab tersebut jelas-jelas sebuah kesalahan dan kekeliruan.

Tidak hanya itu saja, Allah swt telah menurunkan al-Quran kepada Rasulullah saw, sebagai risalah yang berisi kebenaran, sekaligus sebagai standar untuk membuktikan kebenaran kitab-kitab suci sebelumnya. Allah swt berfirman;

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”.[TQS Al Maidah (5):48]

Imam Thabari mengatakan bahwasanya, maksud dari frase “muhaiminan ‘alahi” adalah untuk membuktikan (menguji) kebenaran kitab-kitab terdahulu[9]. Ibnu Juraij berkata, “Al-Quran itu pembukti kitab-kitab terdahulu. Apa yang sejalan dengan al-Quran maka benar, sedangkan yang bertentangan dengan al-Quran maka bathil.” Sedangkan menurut al-Walabiy, sebagaimana yang ia tuturkan dari Ibnu ‘Abbas; makna “muhaiminan” adalah “syahiidan” (penyaksi). Pendapat ini juga dipegang oleh Mujahid, Qatadah, dan al-Suddiy. Al-’Aufiy menuturkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya frase “muhaiminan” bermakna “haakiman ‘ala maa qablahu min al-Kutub” (pembukti (standar) bagi kitab-kitab sebelumnya”.[10] Imam Ibnu Katsir, setelah mengutarakan pendapat-pendapat mufasir sebelumnya, menyatakan, “Semua pendapat di atas maknanya saling berdekatan. Sesungguhnya, kata “muhaiminan” mengandung semua makna di tersebut, yakni “amiin, syahiid, dan haakim ‘ala kulli kitaab qablihi “; (penjaga, penyaksi, dan pembukti semua kitab sebelumnya). Dan Allah telah menjadikan al-Quran sebagai kitab Agung, yang mana Allah swt telah menurunkannya sebagai pamungkas dan penutup kitab-kitab sebelumnya, menjadikannya kitab yang paling menyeluruh, paling agung, dan paling jelas, yang mengumpulkan semua kebaikan kitab-kitab sebelumnya. Dan ia menyempurnakan apa-apa yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab sebelumnya. Oleh karena itu, Allah swt menjadikan Al-Quran sebagai pelindung (amiin), penyaksi (syahiid), dan pembukti (haakim) atas kitab-kitab sebelumnya”.[11]

Imam Syaukaniy di dalam Kitab Fath al-Qadiir menjelaskan sebagai berikut, “Menurut bacaan jumhur ulama tafsir, kata muhaiminan ‘alaihi” maknanya adalah, al-Quran itu berfungsi sebagai penyaksi kebenaran kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan ia menetapkan isi kitab-kitab sebelumnya yang tidak dihapusnya, dan menghapus semua yang bertentangan dengan dirinya (Al-Quran)”.[12]

Al-Quran menyatakan dengan sharih ketidakotentikan kitab-kitab yang diturunkan kepada Yahudi dan Nashraniy. Allah swt berfirman;

Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridloanNya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus“.[TQS Al Maidah (5):15-16]

Jika kitab suci kaum Yahudi dan Nashraniy tidak lagi otentik, lantas mengapa mereka masih bersikukuh mempertahankan agama mereka yang jelas-jelas telah menyimpang itu? Dan mengapa tidak kembali kepada pangkuan Allah swt; kembali hanya menyembah kepada Allah swt Yang Maha Esa dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun? Sungguh, siapa saja yang memeluk agama selain Islam, maka ia telah kafir, dan akan menjadi penghuni neraka kekal di dalamnya. Allah swt berfirman;

“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.[TQS Ali Imron (3):85]. Wallahu A’lam bi al-Shawab

Catatan Kaki:

  1. Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr, hal.79.
  2. Al-Hafidz al-Suyuthiy, Durr al-Mantsur, jilid 6, hal. 560
  3. Dr. Mohammad Ali Hasan, Al-Manaar fi ‘Uluum al-Quraan, hal. 126
  4. Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, jilid II, hal.25, lihat juga Duur al-Mantsur, jilid 6; hal.560
  5. Lihat dan bandingkan dengan Dr. Mohammad Ali al-Hasan, al-Manaar fi ‘Uluum al-Quran, hal. 126. Lihat juga penjelasan Imam al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, jilid 2, hal. 26. Di dalam kitab itu al-Suyuthiy menjelaskan bahwa Ibnu Dzafar menolak adanya nasakh tilawah (namun hukumnya tetap), dengan alasan khabar ahad (hadits ahad) tidak bisa menetapkan al-Quran.”[Al-Hafidz Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal. 26]
  6. Imam Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 113
  7. Lihat Imam al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, bagian ke 2, hal. 25
  8. Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu
  9. Imam Ath Thabariy, Tafsir ath Thabariy, juz 10, hal. 382
  10. Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 128
  11. Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 128; Tafsir Ibnu Abiy Hatim, juz 4, 496;
  12. Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 318
http://www.hizbut-tahrir.or.id/2008/03/22/tidak-ada-kesalahan-irab-di-dalam-al-quran/

Menyikapi Penghinaan terhadap Nabi Muhammad S.A.W

htilogo.jpg

بسم الله الرحمن الرحيم

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Nomor: 126/PU/E/02/08 Jakarta, 20 Februari 2008 M

PERNYATAAN
HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Sesungguhnya Orang-orang yang Menganiaya Allah dan Rasul-Nya pasti Dilaknat oleh Allah di Dunia dan Akhirat, dan Mereka telah Disediakan Siksa yang Menghinakan (Q.s. al-Ahzab [33]: 57)!

Setelah Dinas Intelijen Denmark mengklaim telah menggagalkan rencana pembunuhan terhadap pelukis karikatur yang menghina Nabi Muhammad saw. setelah itu, tanggal 13/2/2008, sebanyak 11 media massa Denmark yang berpengaruh, termasuk TV Denmark dan 3 koran Eropa telah mempublikasikan gambar-gambar penghinaan tersebut. Gambar-gambar yang dipenuhi dengan kebencian dan kemarahan.

Meski akhirnya Kepala Dinas Intelijen Denmark membebaskan 3 orang yang dituduh merencanakan pembunuhan tersebut. Mereka adalah warga negara Denmark keturunan Tunisia dan Maroko. Hanya saja mereka tetap mempublikan gambar-gambar tersebut dengan alasan untuk melindungi kebebasan berekspresi, sekalipun gambar-gambar tersebut secara sengaja jelas ditujukan untuk menghina Nabi kita, Muhammad saw. serta kesucian dan perasaan kaum Muslim.

Tentu, gambar-gambar ini telah menuai kemarahan yang luar biasa dari kaum Muslim di seluruh dunia, kira-kira dua tahun lalu, ketika pertama kali gambar-gambar tersebut dipublikasikan. Namun, semuanya itu ternyata tidak menghalangi koran Norwegia untuk mempublikasikannya kembali. Koran Perancis, Frans Soir, juga telah melakukan kejahatan yang sama. Sekarang mereka mempublikasikannya kembali sebagai upaya untuk memprovokasi kemarahan kaum Muslim dan mendorong mereka untuk melakukan protes.

Gambar-gambar yang menghina Rasulullah saw. ini merupakan mata rantai dari penghinaan terhadap kesucian, syiar dan perasaan kaum Muslim; dan berlangsung terus-menerus sudah sejak lama.

Tahun 1989: di Barat telah dipublikasikan sebuah buku, the Satanic Verses, karya Salman Rusydi, yang menggambarkan al-Qur’an sebagai ayat-ayat Setan. Buku ini juga berisi serangan dan pelecehan terhadap isteri-isteri Nabi yang mulia. Ka’bah yang disucikan dan merupakan tempat pertama yang diletakkan untuk umat manusia itu, juga dilukiskan sebagai tempat mesum, na’udzubillah. Salman Rusydi pun hingga kini hidup dalam perlindungan pemerintah dan dinas keamanan Inggeris.

Tahun 1994: Orang Yahudi, Steven Spelberg juga telah memproduksi film dengan titel, True Lies. Film ini menggambarkan sebuah organisasi Islam, yang dipimpin oleh seorang Muslim, bernama Abdul Aziz. Organisasi tersebut bernama Jihad Crimson.

Tahun 1997: Seorang wanita Yahudi berkembangsaan Israel mempublikasikan 20 gambar yang menghina agama dan Nabi Islam. Di antaranya gambar babi yang kepalanya memakai kafiyeh ala Palestina, dengan bertuliskan, Muhammad, dalam dua bahasa, Arab dan Inggeris. Babi tersebut memegang pensil yang digunakan untuk menulis kitab, yaitu al-Qur’an.

Tahun 2004: Warga Belanda, Theo Van Cogh, mengeluarkan film yang menghina kedudukan Rasul yang agung. Film yang telah membuat marah kaum Muslim Belanda.

Selain itu, juga ada penghinaan-penghinaan lain dari beberapa kaum Muslim yang telah teracuni dengan pemikiran Sekular Liberal. Salah satunya, Iyan Harshe ‘Ali, wanita Somalia, mantan anggota Parlemen Belanda. Dia telah membuat film dokumenter —sebagaimana yang dia gambarkan— menggambarkan, bahwa Islam telah mengekang wanita. Di sana dia juga digambarkan sebuah adegan wanita nyaris telanjang, yang tengah berdoa kepada Allah, karena tindak kekerasan yang dialaminya. Film tersebut juga menggambarkan sejumlah wanita telanjang, dengan tato ayat-ayat al-Qur’an di tubuh mereka. Beberapa figur dan aksi seperti ini terus diadopsi, dan mewarnai kondisi negara-negara Barat.

Berkaitan dengan peristiwa ini, maka Hizbut Tahrir Indonesia, mengingatkan kaum Muslim terhadap hal-hal sebagai berikut:

  1. Bahwa, penerbitan kembali karikatur tersebut merupakan tindakan sengaja, dan itu tampak dari sikap mereka berikut ini:

Pertama, Islam jelas telah melarang menggambar Nabi saw. apalagi menghina beliau dalam bentuk karikatur. Meskipun begitu, koran Jeylland Posten mengatakan, bahwa kaum non-Muslim tidak harus menaati hukum syariah ini. Sebaliknya, koran tersebut justru hendak menyulut api kemarahan kaum Muslim; sejauh mana penghormatan mereka kepada Nabi mereka, dan sejauh mana keterikatan mereka kepada agama Islam mereka?
Kedua, Upaya penghinaan terhadap Nabi saw. tersebut telah dilakukan berkali-kali. Respons kaum Muslim terhadap aksi tersebut sudah sangat jelas, yaitu perlawanan, penolakan dan mengutuk dengan keras. Namun, koran tersebut tetap saja mengarahkan berbagai penghinaan kepada Nabi saw. termasuk mempublikasikan gambar-gambar karikatur yang melahirkan protes di seluruh dunia dua tahun lalu.
Ketiga, Pemerintah Denmark sengaja diam terhadap penghinaan ini. Bahkan, mendukungnya dengan alasan kebebasan.
Keempat, Kesengajaan ini juga berkembang di tengah masyarakat Denmark. Buktinya, salah satu survei membuktikan bahwa 79% rakyat Denmark berpendapat, bahwa Menteri Ramson tidak perlu meminta maaf kepada kaum Muslim; 62% dari mereka menyatakan, bahwa koran Jeylland Posten tidak perlu meminta maaf kepada kaum Muslim.

  1. Mereka mengklaim, bahwa publikasi gambar-gambar karikatur tersebut merupakan bentuk komitmen mereka terhadap kebebasan berekspresi. Namun kenyataannya, bukan hanya kebebasan berekspresi saja, tetapi juga kebebasan menyerang, mencela dan menghina kaum Muslim, Islam dan Nabi Islam, Muhammad saw. Pertanyaannya, apakah mereka berani mengusik kasus pembersihan etnis Yahudi (Holocaust) yang selalu diekspos oleh orang-orang Yahudi? Isu HAM juga telah kehilangan substansinya, ketika isu tersebut diberlakukakn untuk kepentingan satu kelompok untuk melawan kelompok lain (kaum Muslim). Tatkala wanita Muslimah di Perancis dilarang memakai jilbab, di mana kebebasan yang selalu mereka dengung-dengungkan itu? Demikian pula ketika kaum Muslim mulai menyerukan diterapkannya syariat Islam sebagai alternatif Kapitalisme yang terbukti bobrok, mereka dituduh keras dan ekstrim, atau fundamentalis dan teroris? Kaum Muslim juga tidak berhak memilih sistem kehidupan untuk negeri mereka sendiri?
  2. Upaya-upaya menghina Islam dan Nabi saw. dengan gambar-gambar karikatur ini sesungguhnya tidak terlepas dari apa yang disebut War on Terrorism, yang dipimpin oleh Amerika, Eropa dan sekutunya. Buktinya gambar-gambar karikatur tersebut menggambarkan Muhammad saw. sebagai pemilik dan orang yang meledakkan bom. Seolah-olah mereka hendak menyatakan, bahwa umat Islam adalah umat yang lahir dari seorang teroris, sehingga harus diperangi.

Berkaitan dengan itu, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan sebagai berikut:

  1. Hukum syariah yang wajib diterapkan dalam Khilafah Islam adalah mengharamkan kaum Muslim untuk mencela atau mencaci Rasulullah saw. juga merendahkan dan menghina pribadi beliau yang mulia. Jika pelakunya seorang Muslim, dan merupakan warga negara Islam, maka wajib dijatuhi hukuman mati, dan taubatnya tidak akan diterima. Inilah pendapat Imam as-Syaukani, as-Syafii dan Ahmad bin Hanbal —rahimahuma-Llah. Namun, jika orang yang menyerang Rasulullah tersebut adalah orang Kafir Dzimmi, dan hidup di dalam negara Islam, maka dia juga wajib dibunuh. Kecuali, jika dia bertaubat dan memeluk akidah Islam.

Dari Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib —radhiya-Llah ‘anhu, berkata:

أن يهودية كانت تشتم النبي r وتقع فيه فخنقها رجل حتى ماتت فأبطل رسول اللّه r ذمتها

Ada seorang wanita Yahudi yang menghina Nabi saw. Dia akhirnya ditikam oleh seorang lelaki hingga mati. Rasulullah saw. kemudina membatalkan jaminan keamanan wanita tersebut.” (Hr. Abu Dawud).

Dari Ibn ‘Abbas —radhiya-Llah ‘anhu berkata:

“Ada seorang lelaki buta, yang mempunyai budak Ummu Walad. Wanita tersebut selalu mencaci Nabi saw. Dia pun melarangnya, namun wanita itu tidak berhenti. Dia juga mencegahnya, namun wanita itu tetap tidak bergeming. Pada suatu malam, wanita itu menghina Nabi saw., maka lelaki tadi mengambil kapak, dan mengayunkan ke perut wanita itu hingga robek, hingga wanita itu terbunuh. Tatkala tiba waktu pagi, dia mengemukakan kasus tersebut kepada Nabi, beliau pun mengumpulkan orang-orang seraya bersabda, “Allah telah memuji seorang lelaki yang tidak melakukan selain apa yang menjadi hakku kepadanya.” Orang buta itu pun berdiri, membelah kerumunan orang, sembari merayap dia berjalan hingga duduk di depan Nabi. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, akulah orangnya. Dia telah menghinamu, dan aku pun telah melarangnya, tetapi dia tidak menghiraukan. Aku mencegahnya, dia pun tidak bergeming. Dari wanita itu, aku dikarunia dua anak lelaki seperti permata, dia pun sangat menyayangiku. Namun, tadi malam ketika dia mulai menghinamu, aku pun mengambil kapak dan kuayunkan ke perutnya hingga robek…

  1. Hizbut Tahrir menyerukan kepada seluruh kaum Muslim untuk saling bahu-membahu untuk membela kesucian Nabi saw. Hizbut Tahrir juga mengecam dengan keras semua pihak yang menghina Rasulullah saw. Gairah untuk membela Rasulullah saw. juga tidak hanya sebatas marah, tetapi hendaknya kaum Muslim berpegang teguh pada sunah beliau, dan membela risalah yang beliau bawa.
  2. Hizbut Tahrir menyerukan kepada seluruh kaum Muslim agar berjuang secara sungguh-sungguh untuk menegakkan Khilafah Islam. Karena hanya Khilafahlah yang mempunyai kemampuan untuk menghentikan semua serangan dan penghinaan. Khilafah jugalah yang mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hukum-hukum Islam, dan melindungi umat Islam, khususnya kesucian Nabi saw. Inilah yang pernah dilakukan oleh Khalifah ‘Abdul Hamid II terhadap Perancis dan Inggeris, ketika keduanya hendak mementaskan drama Voltaire yang menghina Rasul Islam, dengan mengancam akan mengumumkan jihad melawan Inggris. Sesuatu yang membuat Inggeris urung melakukan kejahatannya dengan mementaskan drama tersebut.
  3. Wahai kaum Muslim, Anda semuanya adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia. Maka, ambillah tindakan dengan prinsip seperti ini. Embanlah hidayah dan cahaya Islam untuk membebaskan para pencela yang telah tersesat itu dari kegelapan hingga mendapatkan cahaya Islam.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net

Gedung Anakida Lantai 7
Jl. Prof. Soepomo Nomer 27, Jakarta Selatan 12790
Telp / Fax : (62-21) 8353253 Fax. (62-21) 8353254
Email : info@hizbut-tahrir.or.id
Website : http://www.hizbut-tahrir.or.id

Pakistan, Kosovo, Afrika

بسم الله الرحمن الرحيم

SOAL JAWAB POLITIK

  • PEMILU PAKISTAN
  • PENGAKUAN AMERIKA ATAS KEMERDEKAAN KOSOVO
  • KUNJUNGAN BUSH KE AFRIKA

Pertanyaan pertama:
Sesuai hasil awal pemilu di Pakistan yang dipublikasikan kemarin, setelah diperoleh hasil 222 kursi Majelis Nasional yang jumlahnya mencapai 272 kursi; People Party yang dipimpin oleh Benazir Bhuto berhasil meraih 73 kursi, League Party sayap Nawaz Syarif mendapat 63 kursi dan League Party sayap Jenderal Pervez Musharraf hanya mendapat 29 kursi. Hasil ini mendekati final. Ini sebenarnya cukup untuk menjelaskan sejauh mana berkurangnya dukungan kepada Musharraf. Lalu apakah itu berarti pengaruh Amerika di Pakistan mengalami penurunan, hingga pada taraf kemerosotan, dan sebaliknya kembalinya pengaruh Inggris ke Pakistan melalui partainya Bhuto?

Jawab:

Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dikemukakan beberapa hal:

1- Jelas, bahwa Musharraf telah kehilangan popularitasnya di mata kaum Muslim. Itu terjadi sejak dia terlibat secara langsung dalam dekapan Amerika dan mendukung serangan terhadap Afghanistan. Juga sejak Musharraf menyiapkan Pakistan sebagai titik tolak bagi Amerika untuk menggempur Afghanistan… Diikuti dengan pembantaian yang dia lakukan di wilayah kabilah-kabilah dan wilayah perbatasan dengan Afghanistan, dan kemudian pembantaian yang dia lakukan di masjid Merah. Ditambah, beberapa kejadian berdarah yang dilakukan Musharraf di Siwat dan lainnya setelahnya.

2- Atas dasar itulah, Amerika melihat, bahwa Musharraf harus dibantu dengan gerakan-gerakan Sekuler. Karena itu, Amerika menjalin kesepakatan dengan Inggris, yaitu kesepakatan antara Musharraf dan Benazir Bhuto yang mengasingkan diri di Inggris selama beberapa tahun. Selama dalam pengasingannya itu, Benazir Bhuto bergandengan tangan dengan Inggris. Sehingga pengaruh Inggris di dalam partai Benazir Bhuto semakin menguat. Kesepakatan tersebut mengharuskan dicabutnya tuduhan kriminal yang diarahkan kepada Benazir Bhuto, kemudian Benazir Bhuto bisa kembali ke Pakistan sebagai orang yang bersih dari tuduhan. Partai Benazir Bhuto juga berkomitmen membantu Musharraf dalam pemilihannya sebagai kepala negara (Presiden) sesuai dengan hasil Komisi Pemilu Parlemen yang lalu, yaitu sebelum pemilu parlemen sekarang. Setelah itu, Benazir Bhuto akan menjadi kepala pemerintahan (Perdana Menteri). Artinya, Musharraf dan Bhuto berbagi kekuasaan: Musharraf sebagai presiden dan Bhuto sebagai perdana menteri. Amerika terpaksa menyepakati hal itu untuk menjaga eksistensi Musharraf di kursi kekuasaan guna menjamin kepentingan Amerika. Amerika juga bersedia melepaskan sedikit untuk Inggris, yaitu kepada Bhuto. Karena Amerika khawatir akan kehilangan sebagian besar pengaruhnya, jika tidak, bisa-bisa malah seluruhnya dengan merosotnya citra Musharraf. Mengingat adanya kampanye massif dari kaum Muslim untuk menentang Musharraf.

Semuanya telah berjalan sesuai dengan kesepakatan. Bhuto pun pulang dan Musharraf terpilih menjadi presiden. Di mana People Party di Parlemen sengaja tidak mengambil sikap untuk menentang pemilihan Musharraf. Bhuto pun mulai memasuki Pakistan dengan aksi yang diperhitungkan dengan baik.

3- Akan tetapi, Bhuto memperhatikan sejauh mana ketidaksukaan masyarakat kepada Musharraf. Melalui Inggris, Bhuto pun mengeksploitasi point ini. Bhuto segera menyusun aksi dan misinya yang difokuskan bukan lagi berdasarkan ketentuan kesepakatan, tetapi untuk menjatuhkan Musharraf. Dia pun berhasil melakukan hal itu sampai pada taraf Amerika mengalami keguncangan dan tentu saja juga Musharraf, sampai akhirnya Bhuto terbunuh. Sekalipun demikian, popularitas partainya justru meningkat dan tidak berkurang. Hampir-hampir partai Bhuto berhasil merangkul bukan hanya para pendukungnya, tetapi mampu merangkul semua penentang Musharraf. Itu bukan karena kecintaan kepada People Party, melainkan karena ketidaksukaan kepada Musharraf.

4- Ini jelas merupakan lonceng kematian bagi Amerika. Karenanya, Amerika merasa khawatir Bhuto akan memenangkan pemilu, bukan saja menang secara mayoritas bahkan bisa jadi akan meraih dua pertiga suara. Hal itu tentu akan memungkinkan pencopotan Musharraf, dan berikutnya rontoknya pengaruh Amerika, dan sebaliknya kembalinya pengaruh Inggris. Semua itu menjadi mungkin, bahkan terbuka lebar. Pada saat seperti itu, Amerika memutuskan untuk mengizinkan Nawaz Syarif kembali ke Pakistan. Partai Nawaz Syarif juga diizinkan untuk ikut dalam pemilu dan menampakkan sikap oposisi terhadap Musharraf. Dengan begitu partai Nawaz Syarif akan bisa mendulang suara para penentang Musharraf. Dengan begitu, suara para penentang Musharraf tidak semuanya diberikan kepada People Party, atau partainya Bhuto.

5- Nawaz Syarif, sebelumnya adalah agen Amerika. Amerika merasa marah kepada Nawaz Syarif pada saat dia —ketika menjadi Perdana Menteri— tidak mampu menghalangi militer dalam membantu mujahidin Kashmir dalam merebut dataran tinggi Karghil pada akhir abad XX (1999 M). Itulah yang menyebabkan pukulan telak kepada Partai Barata Janatan yang memerintah India di bawah pimpinan Vajpaye, yang juga merupakan agen Amerika.

Amerika telah berhasil mendapatkan loyalitas Vajpaye setelah mengerahkan segenap daya dalam upaya tersebut. Karena Partai Kongres, yang nota bene agen Inggris kala itu telah memerintah India selama beberapa tahun. Ketika Vajpaye, agen Amerika, berhasil meraih tampuk kekuasaan, Amerika mendukungnya secara militer, ekonomi, dan keamanan. Itu karena AS berharap pengaruhnya akan masuk dan kokoh di India, atau minimal bisa berbagi dengan Inggris. Sebelumnya Inggris selama beberapa dekade memerintah India sendirian.

Keberhasilan mujahidin Kashmir merebut dataran tinggi Karghil dengan bantuan militer Pakistan merupakan titik balik, bahkan malapetaka bagi pemerintahan Vajpaye. Begitulah, Amerika marah kepada Nawaz Syarif. Kemudian terjadilah kudeta yang dilakukan oleh Musharraf. Akhirnya, militer Pakistan dan mujahidin Kashmir menarik diri dari dataran tinggi Karghil.

Nawaz Syarif tetap mengasingkan diri dari Pakistan selama delapan tahun. Amerika pun tidak mengizinkan Nawaz Syarif untuk kembali ke Pakistan selama itu, sebagai pelajaran bagi Syarif. Sampai akhirnya popularitas partai Bhuto (People Party) menanjak, dan dia gagal dalam melaksanakan syarat-syarat kesepakatan. Setelah itu, Bhuto pun berpeluang meraih dua pertiga suara atau setidaknya mayoritas suara. Sesuatu yang memungkinkan Bhuto membentuk pemerintahan sendiri dan merubah kaedah permainan seorang diri. Pada saat itulah, Amerika mengizinkan Nawaz Syarif dan mengembalikannya ke Pakistan dengan suatu metode, Amerika menampilkan Nawaz Syarif, seolah-olah sebagai oposisi Musharraf dalam berbagai pernyataannya yang selaras dengan Bhuto. Hingga partai Nawaz Syarif menampakkan Nawaz Syarif lebih banyak menentang Musharraf daripada Bhuto. Mereka juga tidak mencabut larangan bagi pencalonan Nawaz Syarif, sebaliknya mereka mendukung pencalonannya.

6- Pemilu pun dilangsungkan dalam suasana seperti itu. Partai Bhuto (People Party) dan partainya Nawaz Syarif saling berbagi suara para penentang Musharraf. Hasil awal memperlihatkan, bahwa partainya Bhuto (People Party) tidak berhasil meraih dua pertiga, bahkan tidak juga mayoritas, tetapi terpaksa membentuk pemerintahan koalisi.

7- Dari penjelasan terdahulu, jelaslah bahwa bandul Amerika tetap saja lebih berat:

a- Musharraf tetap menjabat Presiden. Sebelumnya Musharraf telah memasukkan perubahan konstitusi yang memberikan kepada presiden sebagian wewenang riil terhadap wewenang perdana menteri.

b- Partainya Nawaz Syarif memiliki jumlah kursi yang berpengaruh (mendekati partainya Bhuto). Pengaruh partai Nawaz Syarif memang tidak mungkin diabaikan; baik partai Bhuto berhasil membentuk pemerintahan koalisi dengan partai Nawaz atau dengan Partai Liga yang loyal kepada Musharraf, ataupun dengan independent dan minoritas lainnya. Jadi, partai Bhuto dalam semua kondisi tersebut tetap terjepit oleh kekuatan Amerika yang efektif.

c- Partai Bhuto merupakan koalisi sejumlah partai, bukan satu kelompok partai yang memiliki doktrin yang permanen dan khas. Dengan begitu, loyalitasnya mudah diubah. Misalnya, dahulu pernah terjadi peralihan loyalitas. Dulu, partainya Bhuto dekat dengan Amerika, sebelum Bhuto diasingkan ke Inggris dan tinggal di sana selama beberapa tahun hingga Inggris berhasil meraih loyalitasnya. Karena itu, partainya Bhuto adalah partai yang bisa beralih (loyalitasnya).

8- Dari penjelasan sebelumnya, jelaslah bahwa pengaruh Amerika tetap kuat di Pakistan. Paling banter yang terjadi di sana, bahwa Inggris telah mendapatkan posisi yang tidak bermasalah di Pakistan, di mana Inggris bisa terus “menempelkan hidungnya” di sana. Sesuatu yang membuat pertarungan politik antara Amerika dan Inggris terus-menerus berlangsung di balik layar; Amerika mempengaruhi partai Bhuto, atau Inggris memperluas tempat-tempat di mana dia bisa ”menempelkan hidungnya” di Pakistan.

9- Pendek kata, tidak bisa dikatakan bahwa pengaruh Amerika di Pakistan telah megalami kemunduran hingga taraf kemerosotan karena hasil pemilu yang baru. Meskipun derajat panas pengaruh Amerika telah memudar dalam beberapa hal.

Pertanyaan kedua:

Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya kemarin. Amerika pun segera memberikan pengakuan atas kemerdekaan Kosovo. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Amerikalah yang berada di belakang kemerdekaan tersebut. Lalu apakah hal itu berarti, pemerintahan Bush ingin membantu kaum Muslim Kosovo sebagai upaya memperbaiki posisinya di mata kaum Muslim di Timur Tengah setelah berbagai kejahatan yang dilakukannya di Irak dan Afghanistan, akibat dari invasinya yang berlanjut di kedua negeri tersebut?

Jawab:

1- Amerika Serikat mendukung kemerdekaan Kosovo bukan karena Islam dan kaum Muslim. Bahkan hal seperti itu mustahil muncul dari Amerika Serikat.

Sesungguhnya masalah yang ada berkaitan dengan Serbia. Serbia telah menjadi duri dalam daging bagi Amerika, yang ingin memperluas pengaruhnya di Balkan. Eksistensi Amerika di Balkan akan memungkinkannya mempengaruhi dan mendominasi pengaruh di kawasan tersebut. Balkan adalah pintu masuk ke Rusia dan Asia Tengah. Balkan juga merupakan pintu masuk ke kawasan yang disebut oleh Amerika sebagai Eropa Baru di Balkan dan Eropa Timur. Dominasi tersebut tentu akan menguntungkan bagi kepentingan Amerika, baik secara politik, ekonomi, keamanan maupun militer.

Serbia merupakan penghalang kuat —atau setidaknya mengganggu— dalam masalah tersebut. Karena itu, Amerika berupaya memperlemah Serbia. Amerikalah yang berada di belakang pemisahan Montenegro dari Federasi Serbia. Amerika pula yang berada di belakang aksi NATO terhadap militer Serbia di Kosovo dan Serbia sendiri. Amerika juga yang berada di belakang proyek pemisahan Kosovo dari Serbia.

2- Sebenarnya, kemerdekaan Kosovo secara praktis bukan merupakan bentuk kemerdekaan negara-negara yang sudah dikenal. Sesuai keputusan internasional, Kosovo tetap berada di bawah mandat internasional atas nama PBB. Tetapi, secara riil Kosovo sebenarnya berada di bawah mandat Amerika yang mengendalikan presiden Kosovo, perdana menteri, serta semua menterinya..

3- Secara eksplisit, Amerika seolah-olah membantu dan menyelamatkan kaum Muslim, yaitu dari kejamnya kejahatan brutal yang dilakukan pemerintah Serbia terhadap kaum Muslim Kosovo. Pemerintah Serbia melakukan pembantaian di Kosovo. Hal itu menjadikan kaum Muslim di Kosovo memandang NATO, dan khususnya Amerika sebagai dewa penolong mereka. Inilah yang nampak dalam berbagai perayaan. Tokoh-tokoh Amerika dielu-elukan dalam berbagai perayaan dengan kadar hampir sebanding dengan tokoh-tokoh kemerdekaan Kosovo, jika tidak tokoh-tokoh Amerika malah lebih banyak lagi.

Pendek kata, Amerika telah mengerahkan daya upaya dalam masalah Kosovo sebagai upaya memperlemah Serbia yang dianggap sebagai blok Rusia. Itu agar Balkan secara keseluruhan menjadi bagain dari kubu Amerika tanpa penghalang. Itu bukan merupakan bentuk bantuan bagi kaum Muslim. Juga bukan untuk memperbaiki posisi Amerika di hadapan kaum Muslim di Timur Tengah. Kejahatan Amerika di negeri-negeri kaum Muslim terus saja bertambah dan terus berlanjut.

Sesungguhnya bantuan kepada kaum Muslim dan pembebasan mereka dari kejahatan kaum Kafir, baik para penjahat orang Amerika, Inggris, Yahudi, Rusia, Serbia atau pun India…; yang terjadi di Afghanistan, Irak, Palestina, Chechnya, Kosovo, Bosnia Herzegovina, dan Kashmir tidak akan pernah dilakukan oleh kaum Kafir. Karena Kafir adalah agama yang satu. Sebaliknya, yang akan menolong dan membebaskan kaum Muslim adalah kaum Muslim yang jujur, para mujahid yang dipimpin oleh Khalifah mereka dalam Khilafah Rasyidah.

Sesungguhnya ketika ada dalam perasaan, bahwa berbagai kejahatan brutal yang dilakukan di negeri-negeri kaum Muslim, sedangkan mereka tidak menemukan seorang penguasa Muslim yang jujur untuk menolong mereka, pada kondisi keputusasaan inilah yang menyebabkan mereka mencari jalan keluar (bantuan penyelesaian) dari kaum Kafir.

Pertanyaan ketiga:

Bush melakukan kunjungan ke lima negara Afrika, yaitu Benin, Ruwanda, Tanzania dan Ghana. Apakah melalui kunjungan Bush tersebut, berarti Amerika telah melakukan manuver politik yang panas menentang Eropa di Afrika?

Jawab:

Sesungguhnya masalahnya tidak demikian. Karena kelima negara Afrika yang dikunjungi Bush adalah negara-negara pengikut Amerika Serikat tanpa saingan dari Eropa. Bush tidak memasukkan dalam agenda kunjungannya satu negara pun yang dinilai sebagai pengikut Perancis ataupun Inggris. Bukan hanya itu, bahkan Bush tidak memasukkan dalam agenda kunjuangannya, negara-negara yang di dalamnya Amerika bersaing dengan Inggris seperti Chad dan Kenya. Dan karena Bush membatasi kunjungannya hanya ke negara-negara pengikut Amerika secara loyal, berarti bahwa kunjungan Bush tersebut bukan merupakan aksi politik menentang Eropa, baik aksi panas maupun dingin.

Ini dari satu sisi. Di sisi lain, presiden Amerika Serikat yang pada tahun Pemilu justru mengepak-ngepakkan sayapnya dalam aspek pengaruh luar negerinya, sehingga mereka menggambarkan sang presiden berjalan dengan limbung. Ini dalam kondisi presiden yang berhasil. Lalu bagaimana dengan presiden seperti Bush? Dia adalah presiden yang pincang.

Yang lebih kuat dalam kunjungan Bush tersebut adalah untuk tujuan pemilu guna mendukung partai Republik dalam pemilu. Serangan Partai Demokrat memang difokuskan pada kegagalan politik luar negeri partai Republik. Karena itu, Bush sengaja mengunjungi negara-negara yang masih memiliki rasa hormat kepadanya untuk menonjolkan wajah tidak bengis dalam politik luar negerinya. Bush mengunjungi lima negara Afrika, dimana Amerika memiliki pendukung di sana. Itu persis dengan kunjungan Bush ke Palestina dan Abbas, dan negara-negara teluk, yaitu untuk kepentingan pemilu.

Kunjungan seperti ini biasanya tidak untuk menyetujui proyek-proyek atau solusi, namun dengan kadar tertentu kunjungan tersebut hanya bertujuan untuk mengekspos penerimaan dan bentangan karpet merah untuknya.

14 Shafar al-Khayr 1429 H
20 Februari 2008 M


http://www.hizbut-tahrir.or.id/2008/03/23/soal-jawab-pakistan-kosovo-afrika/

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.