Blogger Themes

News Update :

Pemerintah Harus Segera Menuntaskan Masalah Ahmadiyah!

Sabtu, 26 April 2008

[EDISI 402]

Akhirnya Jemaat Ahmadiyah Indonesia/JAI (Ahmadiyah) resmi dinyatakan sebagai kelompok sesat. Kesimpulan ini disampaikan oleh Bakorpakem 16 April lalu setelah melakukan pemantauan selama tiga bulan. Ahmadiyah dinilai tidak melaksanakan 12 butir penjelasan yang disampaikan oleh PB JAI pada 14 Januari 2008 secara konsisten dan bertanggung jawab. Bakorpakem berpendapat, Ahmadiyah telah melakukan kegiatan dan penafsiran keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yang dianut Indonesia serta menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat sehingga mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.

Bakorpakem merekomendasikan agar warga Ahmadiyah diperintahkan dan diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965. Apabila perintah dan peringatan keras sebagaimana tersebut pada butir tiga di atas tidak diindahkan, Bakorpakem merekomendasikan pembubaran organisasi Ahmadiyah dengan segala kegiatan dan ajarannya.

Ketua Bakorpakem, Whisnu Subroto, yang juga Jaksa Agung Muda Intelijen, memastikan rekomendasi Bakorpakem bersifat final. Artinya, Ahmadiyah tidak diberi kesempatan lagi bernegosiasi dan Bakorpakem tidak akan melakukan evaluasi tambahan atas pelaksanaan 12 butir PB JAI.

Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar, yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau bertemu 277 warga JAI. Ternyata, ajaran Ahmadiyah masih menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) diakui sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Selain itu, penganut Ahmadiyah meyakini bahwa Tadzkirah adalah penafsiran MGA terhadap al-Quran yang sesuai dengan perkembangan zaman.


Pokok Masalah

Sejak awal Ahmadiyah memang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan menerima wahyu dari Allah. Dalam buku Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa (2007) dijelaskan tentang kepercayaan kaum Ahmadi, yaitu, “Imam Mahdi dan Isa yang dijanjikan adalah seorang nabi, yang merupakan seorang nabi pengikut atau nabi ikutan, dengan ketaatannya kepada YM Rasulullah saw. yang akan datang dan mengubah masa kegelapan ini menjadi masa yang terang benderang. Apabila Imam Mahdi itu sudah datang maka diperintahkanlah umat Islam untuk menjumpainya, walaupun harus merangkak di atas gunung salju.” (hlm. 69).

Ditulis dalam buku tokoh Ahmadiyah tersebut, ”Dalam perkembangan sejarah, pada tahun 1879 Mirza Ghulam Ahmad as. menulis buku Braheen Ahmadiyya. Pada saat itu Mirza Ghulam Ahmad as. belum menyampaikan pendakwaan. Namun, ketika menulis kitab itu, ia sebenarnya sudah menerima wahyu. ‘Kamu itu nabi, kamu itu nabi!’ dan diperintahkan mengambil baiat, tetapi masih belum bersedia.” (hlm. 70).

Ahmadiyah memandang orang yang tidak mengimani kenabian Ghulam Ahmad sebagai orang sesat. Berkata Mirza Ghulam Ahmad, “Barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima Imam yang Dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat, sesesat-sesatnya, dan ia akan mati dalam kematian Jahiliah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan.” (Mawahib al-Rahman).

Oleh sebab itulah, dalam shalat orang Ahmadiyah tidak boleh bermakmum kepada orang Islam lain, karena mereka dipandang ”belum beriman” kepada Mirza Ghulam Ahmad. Tentang masalah shalat ini dijelaskan dalam buku Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa tersebut, ”Dasar pemikiran mengapa kalangan mereka harus yang menjadi imam, yaitu bagaimana mungkin bermakmum pada orang yang belum percaya kepada Imam Zaman, utusan Allah.” (hlm. 79-80).

Dengan keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, maka Ahmadiyah kemudian menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw. sesuai dengan keyakinan mereka. Bagi umat Islam sudah jelas kedudukan kenabian Muhammad saw. sebagai nabi terakhir. Tidak ada lagi nabi setelah itu. Meskipun banyak sekali yang mengaku sebagai nabi, tetap saja, mereka tidak diakui oleh umat Islam, bahkan mereka jelas-jelas sebagai pendusta. Di Tanah Air, NU, misalnya, sebagaimana dinyatakan KH Makruf Amin, sudah mengeluarkan fatwa sesat untuk Ahmadiyah pada tahun 1995, yang mana ia ikut memutuskan waktu itu. Mantan Rais Aam PBNU (Alm.) KH Ahmad Siddiq juga pernah menulis risalah tentang kesesatan Ahmadiyah (www. nu.or.id, 4/1/2008). Dalam keputusan tahun 1937, Majelis Tarjih Muhammadiyah juga mengutip hadis Rasulullah saw., ‘‘Di antara umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian nabi.” (HR Ibn Mardawaih, dari Tsauban).

Ahmadiyah juga meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci. Dalam 12 poin penjelasannya pada rapat Bakorpakem tiga bulan lalu, Amir Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI), Abdul Basit, membantah Tadzkirah sebagai kitab suci, melainkan catatan pengalaman ruhani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah.

Nyatanya, dari hasil pemantauan di lapangan selama 3 bulan itu, Tadzkirah tetap diakui sebagai kitab suci. Pada lembar pertama Tadzkirah memang tertulis, Tadzkirah Wahyun Muqaddas, yakni wahyu yang suci. Dari hasil pantauan didapati juga bahwa mereka mengatakan tidak akan mengubah atau memperbaiki hal-hal mendasar itu.

Dalam Tadzkirah ada ayat berbunyi, ”Katakanlah (wahai Mirza Ghulam Ahmad) jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu. Mudah-mudahan Tuhanmu melimpahkan rahmatnya kepadamu dan sekiranya kamu kembali pada kedurhakaan niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam bagi orang-orang kafir. Kami tidak mengutusmu (wahai Mirza Ghulam Ahmad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Katakanlah beramallah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku juga beramal. Kelak kamu akan mengetahui.”

Umat Islam tentu tak asing dengan redaksi ayat di atas. Ayat tersebut memang ada dalam QS Ali Imran ayat 31, QS al-Anbiya ayat 107, dan QS al-An’am ayat 135. Oleh Mirza Ghulam Ahmad (MGA), ketiga ayat tersebut digabungkan, dipotong sedikit, diotak-atik—seperti memasukkan namanya dalam tanda kurung—kemudian diklaim sebagai wahyu. Ayat gabungan itu ditulisnya dalam kitab Haqieqatul Wahyi halaman 82. Banyak ayat-ayat al-Quran yang diperlakukan seperti ini.

“Wahyu-wahyu” palsu itu lalu dikumpulkan dalam Tadzkirah. Tadzkirah yang lebih tebal daripada al-Quran itu dipenuhi ayat-ayat al-Quran yang dijiplak, diklaim, dan diputarbalikkan. Lihat pula klaimnya, “Al-Quran itu kitab Allah dan kalimah-kalimah yang keluar dari mulutku.” (Istisfa, hlm. 81).


Solusi Tepat

Oleh karena itu, tepat sekali keputusan Bakorpakem yang menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Apalagi keputusan itu dibuat dengan dasar yang lebih kokoh. Ahmadiyah sudah diberi waktu 3 bulan untuk memperbaiki diri. Namun nyatanya, itu tidak dilakukan. Kepala Litbang Depag Prof. Atho Mudzar menilai pemantauan itu sendiri cukup serius. Satu pemantau rata-rata melakukan pengamatan tujuh hari di satu titik. Ada yang sampai menginap di komunitas itu. ”Teknisnya silaturahmi, wawancara dan mengamati kegiatan keseharian mereka. Kita ikut shalat dengan mereka, shalat Jumat bersama, mendengar azan mereka, dan sebagainya. Ditambah dengan pengumpulan data-data,” katanya.

Oleh sebab itu, para tokoh umat harus mendukung keputusan Bakorpakem ini. Jika tidak, diduga ada pihak-pihak yang justru mengadu-domba mereka dalam kasus ini; termasuk asing. Ingat, Nasarudin Umar (Dirjen Bimas Islam Depag) mengakui bahwa ada 4 negara—di antaranya AS, Inggris, dan Kanada—yang menghimbau agar Ahmadiyah tidak dibubarkan. Mereka mengirim surat kepada Menteri Agama yang ditembuskan kepadanya (Republika, 26/2/2008).

Keputusan ini selaras dengan Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, dan keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1985. Jadi, jika Ahmadiyah tetap menolak kembali ke jalan yang benar (rujû’ ilâ al-haq) dan meninggalkan semua keyakinan, paham dan ajaran Ahmadiyah, maka keputusan yang tepat untuk Ahmadiyah tidak lain: Harus dilarang dan dibubarkan!

Pelarangan dan pembubaran Ahmadiyah tidak ada hubungannya sama sekali dengan kebebasan beragama dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Islam memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk memeluk agama apapun. Kebebasan beragama adalah hak asasi setiap manusia. AllaH SWT berfirman:

لاََ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan dalam urusan agama.(QS. Al-Baqarah [2]: 256)

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. (QS. Al-kâfirûn [109]: 6)

Semua itu termaktub dengan sangat jelas dalam al-Quran. Inilah makna kebebasan beragama yang benar.

Namun, kebebasan beragama tidak boleh diartikan sebagai kebebasan merusak, menodai dan mengacak-acak agama orang lain. Ahmadiyah telah melakukan itu sehingga harus dihentikan. Jadi, ini bukan masalah kebebasan beragama, tetapi masalah penodaan dan pengacak-acakan agama Islam.


Khatimah

Pemerintah harus cepat mengambil keputusan untuk melarang dan membubarkan Ahmadiyah sesuai dengan rekomendasi Bakorpakem. Jika tidak, masalahnya akan makin panjang, dan dikhawatirkan akan muncul masalah baru, di antaranya munculnya aksi kekerasan yang dipicu oleh emosi umat yang tidak tahan melihat Ahmadiyah bebas bergerak. Kekerasan terhadap Ahmadiyah—yang semestinya tidak perlu terjadi karena akan menyimpangkan pokok permasalahan dan justru akan memicu masalah baru—sesungguhnya dipicu oleh lambatnya Pemerintah dalam mengambil kesimpulan. Pemerintah jangan mengikuti tekanan negara besar yang meminta agar Pemerintah tidak membubarkan Ahmadiyah.

Karena itu, pilihan terbaik buat Ahmadiyah adalah: Pemerintah melarang dan membubarkan organisasi Ahmadiyah, lalu para penganutnya diminta kembali pada Islam (rujû‘ ilâ al-haq). []


KOMENTAR:

Waspadai Labelisasi JI di Indonesia (Republika, 22/4/2008).

Ingat, labelisasi tersebut adalah bagian dari skenario AS dalam isu terorisme di Indonesia

SULTAN MUHAMMAD II Sang Penakluk Konstantinopel

Sabtu, 19 April 2008

Teka-teki mengenai sosok ‘pemimpin terbaik’ seperti yang dijanjikan Rasulullah SAW akhirnya terjawab sudah. Sang penakluk Konstantinopel itu bernama Sultan Muhammad Al-Fatih atau Barat menyebutnya Sultan Mehmed II. Pemimpin yang telah diprediksi Rasulullah delapan abad sebelumnya itu terlahir pada 29 Maret 1432.

Itu berarti, Sultan Muhammad tampil secara gemilang memimpin ratusan ribu tentara Muslim menggempur ibukota Bizantium pada usia 21 tahun. Sebuah pencapain yang begitu gemilang. Ketika Sultan Muhammad terlahir ke dunia, kedua orangtuanya sudah melihat isyarat bahwa sang buah hati akan menjadi pimpinan besar.

Menjelang kelahirannya, sang ayah Sultan Murad - juga sebenarnya sebenarnya sedang mempersiapkan diri untuk menggempur imperium Bizantium yang berbasis di Konstantinopel. Seorang ulama besar Syekh Syamsuddin Al Wali dari Khurasan sudah melihat tanda-tanda pada bayi yang diberi nama Muhammad itu.

Syekh Syamsuddin Al-Wali pun mendidik dan membimbing Sultan Muhammad II sejak masih kecil hingga menemaninya ke medan pertempuran untuk menaklukkan Konstantinopel. Sultan yang bergelar Al-Fatih atau ‘Sang Penakluk’ itu digembleng dengan pendidikan tarekat sufi dan keterampilan berperang. Ia didik dengan disiplin tinggi dan keras.

Sehingga, Sultan Muhammad II sudah terbiasa dalam hidup susah dan menahan hawa nafsu. Ujian dan latihan yang dilaluinya sejak masa kecil itu, kelak membuatnya menjadi seorang pemuda berjiwa kuat dan tahan banting. Semua itu dipersiapkan demi untuk menepati janji Sang Pencipta melalui Rasulullah SAW, yakni menaklukkan Konstantinopel.

Pelajaran teknik dan strategi perang didalaminya dari sejumlah panglima berpengalaman. Menginjak usia 19 tahun, Pengeran Muhammad akhirnya didaulat menjadi sultan. Sebelum sukses menjebol benteng Bizantium, dia mendidik tentara dan rakyatnya agar menjadi orang-orang bertaqwa. Bermodalkan itulah, dia mammpu menggerakkan semangat para tentaranya untuk berjuang menegakkan janji Tuhan. Merebut Konstantinopel dari kekuasaan Bizantium. Janji itu akhirnya terbukti. hri


republika.co.id

HARUN AR-RASYID Amir Para Khalifah Abbasiyah

Dalam usia yang relatif muda, Harun Ar-Rasyid yang dikenal berwibawa sudah mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat tinggi dan jenderal veteran.

Era keemasan Islam (The Golden Ages of Islam) tertoreh pada masa ke pe - mimpinannya. Per ha tian - nya yang begitu besar terhadap kesejahteraan rakyat serta kesuksesannya mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi, ekonomi, per - dagangan, politik, wilayah kekuasaan, serta peradaban Islam telah membuat Dinasti Abbasiyah menjadi salah satu negara adikuasa dunia di abad ke-8 M.

Amir para khalifah Abbasiyah itu bernama Harun Ar-Rasyid. Dia adalah raja agung pada zamannya. Konon, kehebatannya hanya dapat dibandingkan dengan Karel Agung (742 M - 814 M) di Eropa. Pada masa kekuasaannya, Baghdad - ibu kota Abbasiyah - menjelma menjadi metropolitan dunia. Jasanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban hingga abad ke-21 masih dirasakan dan dinikmati masyarakat dunia.

Figur Harun Ar-Rasyid yang legendaris ini terlahir pada 17 Maret 763 M di Rayy, Teheran, Iran. Dia adalah putera dari Khalifah Al-Mahdi bin Abu Ja’far Al-Mansur - khalifah Abbasiyah ketiga. Ibunya bernama Khaizuran seorang wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan dan dinikahi Al-Mahdi. Sang ibu sangat berpengaruh dan berperan besar dalam kepemimpinan Al-Mahdi dan Harun Ar-Rasyid.

Sejak belia, Harun Ar-Rasyid ditempa dengan pendidikan agama Islam dan pe - merintahan di lingkungan istana. Salah satu gurunya yang paling populer adalah Yahya bin Khalid. Berbekal pendidikan yang memadai, Harun pun tumbuh menjadi seorang terpelajar. Harun Ar-Rasyid memang dikenal sebagai pria yang berotak encer, berkepribadian kuat, dan fasih dalam berbicara.

Ketika tumbuh menjadi seorang remaja, Harun Ar-Rasyid sudah mulai diterjunkan ayahnya dalam urusan pemerintahan. Kepemimpinan Harun ditempa sang ayah ketika dipercaya memimpin ekspedisi militer untuk menaklukk Bizantium sebanyak dua kali. Ekspedisi militer pertama dipimpinnya pada 779 M - 780 M.

Dalam ekspedisi kedua yang dilakukan pada 781-782 M, Harun memimpin pasukannya hingga ke pantai Bosporus. Dalam usia yang relatif muda, Harun Ar-Rasyid yang dikenal berwibawa sudah mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat tinggi dan jenderal veteran. Dari mereka pula, Harun banyak belajar tentang strategi pertempuran.

Sebelum dinobatkan sebagai khalifah, Harun didaulat ayahnya menjadi gubernur di As-Siafah tahun 779 M dan di Maghrib pada 780 M. Dua tahun setelah menjadi gubernur, sang ayah mengukuhkannya sebagai putera mahkota untuk menjadi khalifah setelah saudaranya, Al-Hadi. Pada 14 Septempber 786 M, Harun Ar-Rasyid akhirnya menduduki tahta tertinggi di Dinasti Abbasiyah sebagai khalifah kelima.

Harun Ar-Rasyid berkuasa selama 23 tahun (786 M - 809 M). Selama dua dasawarsa itu, Harun Al-Rasyid mampu membawa dinasti yang dipimpinnya ke peuncak kejayaan. Ada banyak hal yang patut ditiru para pemimpin Islam di abad ke-21 ini dari sosok raja besar Muslim ini. Sebagai pemimpin, dia menjalin hubungan yang harmonis dengan para ulama, ahli hukum, penulis, qari, dan seniman.

Ia kerap mengundang para tokoh informal dan profesional itu keistana untuk mendiskusikan berbagai masalah. Harun Ar-Rasyid begitu menghagai setiap orang. Itulah salah satu yang membuat masyarakat dari berbagai golongan dan status amat menghormati, mengagumi, dan mencintainya. Harun Ar-Rasyid adalah pemimpin yang mengakar dan dekat dengan rakyatnya.

Sebagai seorang pemimpin dan Muslim yang taat, Harun Ar-Rasyid sangat rajin beribadah. Konon, dia terbiasa menjalankan shalat sunat hingga seratus rakaat setiap harinya. Dua kali dalam setahun, khalifah kerap menunaikan ibadah haji dan umrah dengan berjalan kaki dari Baghdad ke Makkah. Ia tak pernah lupa mengajak para ulama ketika menunaikan rukun Islam kelima.

Jika sang khalifah tak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji, maka dihajikannya sebanyak tiga ratus orang di Baghdad dengan biaya penuh dari istana. Masyarakat Baghdad merasakan dan menikmati suasana aman dan damai di masa pemerintahannya.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harus Ar-Rasyid tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Tanpa ragu-ragu Harun Ar- Rasyid memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).

Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,87 juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya.

Konon, Harun Ar-Rasyid adalah khalifah yang berprawakan tinggi, bekulit putih, dan tampan. Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di sebelah Timur. Meski begitu, tak mudah bagi Harun Ar-Rasyid untuk menjaga keutuhan wilayah yang dikuasainya.

Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi di masa kekuasaannya antara lain; pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M); pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M); serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin Abi Taglib (792 M).

Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Di masa kepemimpinannya terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan perabadan.

Pada era itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah - perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan.

Sang khalifah tutup usia pada 24 Maret 809 M pada usia yang terbilang muda 46 tahun. Meski begitu pamor dan popularitasnya masih tetap melegenda hingga kini. Namanya juga diabadikan sebagai salah satu tokoh dalam kitab 1001 malam yang amat populer. Pemimpin yang baik akan tetap dikenang sepanjang masa.

Pemimpin yang Prorakyat

Di era modern ini begitu sulit menemukan pemimpin yang benar-benar mencintai dan berpihak kepada rakyatnya. Sosok pemimpin yang mencintai rakyat pastilah akan dicintai dan dikagumi rakyatnya. Salah seorang pemimpin Muslim yang terbilang langka itu hadir di abad ke-8 M. Pemimpin yang pro rakyat itu bernama Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan negara, Harun Ar-Rasyid berupaya dengan keras memajukan perekonomian serta perdagangan. Per ta - nian juga berkembang dengan begitu pesat, lantaran khalifah begitu mena ruh perhatian yang besar dengan membangun saluran irigasi.

Langkah pemerintahan Harun Ar-Rasyid yang serius ingin menyejahterakan rakyatnya itu mendapat dukungan rakyatnya. Kemajuan dalam sektor perekonomian, perdagangan dan pertanian itu membuat Baghdad menjadi pusat per da - gangan terbesar dan teramai di dunia saat itu.

Dengan kepastian hukum serta keamanan yang terjamin, berbondong-bondong para saudagar dari berbagai penjuru dunia bertransaksi melakukan pertukaan barang dan uang di Baghdad. Negara pun memperoleh pemasukan yang begitu besar dari perekonomian dan perdagangan itu serta tentunya dari pungutan pajak.

Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk pembangunan dan menyejahterakan rakyatnya. Kota Baghdad pun dibangun dengan indah dan megah. Gedunggedung tinggi berdiri, sarana peribadatan tersebar, sarana pendidikan pun menjamur, dan fasilitas kesehatan gratis pun diberikan dengan pelayanan yang prima.

Sarana umum lainnya seperti kamar mandi umum, taman, jalan serta pasar juga dibangun dengan kualitas yang sangat baik. Khalifah pun membiayai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan serta penelitian. Negara menempatkan para ulama dan ilmuwan di posisi yang tinggi dan mulia. Mereka dihargai dengan memperoleh gaji yang sangat ting gi.

Setiap tulisan dan penemuan yang dihasilkan ulama dan ilmuwan dibayar mahal oleh negara. Sangat pantas bila keluarga khalifah dan pejabat negara lainnya hidup dalam segala kemewahan pada zamannya. Sebab, kehidupan rakyatnya juga berada dalam kemakmuran dan kesejahteraan.

Tak seperti pemimpin kebanyakan yang hidup dengan kemewahan di atas penderitaan rakyatnya. Sampai kapan pun, sosok Harun Ar-Rasyid layak ditiru dan dijadikan panutan para pemim - pin dan calon pemimpin yang ingin mencitai dan berpihak pada rakyatnya.

JEJAK HIDUP SANG KHALIFAH AGUNG

Tahun 763 M : Pada 17 Maret, Harun terlahir di Rayy.
Tahun 780 M : Memimpin pasukan militer melawan Bizantium.
Tahun 782 M: Kembali memim pin pa - suk an melawan Bizantium hingga ke Bos porus.
Tahun 786 M: 14 September saudaranya Al-Hadi - khalifah keempat meninggal dunia.
Tahun 791 M: Harun kembali berperang melawan Bizantium.
Tahun 795 M: Harun meredam pembenrontakan Syiah dan memenjarakan Musa Al-Kazim.
Tahun 796 M: Harun memindahkan istana dan pusat pemerintahan dari Baghdad ke Ar-Raqqah.
Tahun 800 M: Harun mengangkat Ibrahim ibnu Al-Aghlab sebagai gubernur Tunisia.
Tahun 802 M: Harun menghadiahkan dua gajah albino ke Charlemagne sebagai hadiah diplomatik.
Tahun 803 M: Yahya bin Khalid (perdana menteri yang dipecat karena korupsi meninggal dunia.
Tahun 807 M: Kekuatan Harun mengusai Siprus.
Tahun 809 M: Harun meninggal dunia ketika melakukan perjalanan di bagian timur wilayah kekuasaannya.
(heri ruslan )

republika.co.id

Laksamana Cheng Ho Penjelajah Muslim Hebat dari Tiongkok

Sekitar tahun 1930-an, sejarah kehebatan seorang laksamana laut asal Tiongkok pada abad ke-15 mulai terkuak. Adalah batu prasasti di sebuah kota di Provinsi Fujian, Cina yang bersaksi dan mengisahkan jejak perjalanan dan petualangan seorang pelaut andal dan tangguh bernama Cheng Ho atau Zheng He.

Catatan perjalanan dan penjelajahan yang luar biasa hebatnya itu tak hanya memiliki arti penting bagi bangsa Cina. Jejak hidup Laksamana Cheng Ho juga begitu berarti bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Seperti halnya, petualang hebat dari Maroko, Ibnu Battuta, Cheng Ho pernah singgah di Nusantara dalam ekspedisinya.

Matt Rosenberg, seorang ahli geografi terkemuka dunia mengungkapkan, ekspedisi laut yang dipimpin Cheng Ho telah dilakukan 87 tahun sebelum penjelajah kebanggaan Barat, Christopher Columbus, mengarungi luasnya samudera biru. Tak hanya itu, ekspedisi arung samudera yang dilakukan Cheng Ho juga jauh lebih awal dari penjelajah asal Portugis, Vasco da Gama dan petualang asal Spanyol, Ferdinand Magellan.

Petualangan antarbenua yang dipimpin Cheng Ho selama 28 tahun (1405 M -1433 M) itu berlangsung dalam tujuh kali pelayaran. Menurut Rosenberg, tak kurang dari 30 negara di benua Asia dan Afrika disinggahi Cheng Ho. Jarak tempuh ekspedisi yang dipimpin Cheng Ho beserta pengikutnya mencapai 35 ribu mil.

Dalam batu prasasti yang ditemukan di Provinsi Fujian itu, Cheng Ho mengatakan bahwa dirinya diperintahkan kaisar Dinasti Ming untuk berlayar mengarungi samudera menuju negara-negara di luar horizon. Dalam ekspedisinya mengelilingi benua Afrika dan Asia itu, Cheng Ho mengerahkan armada raksasa dengan puluhan kapal besar dan kapal kecil serta puluhan ribu awak.

Pada ekspedisi pertama, ia mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Pada pelayaran ketiga, Cheng Ho menurunkan kapal besar sebanyak 48 buah dengan 27 ribu awak. Sedangkan pada pelayaran ketujuh, tak kurang dari 61 kapal besar dikerahkan dengan awaknya mencapai 27.550 orang. Padahal, ekspedisi yang dilakukan Columbus saat menemukan benua Amerika hanya mengerahkan tiga kapal dengan awak mencapai 88 orang.

Sebuah ekspedisi yang benar-benar dahsyat. Dalam setiap ekspedisi itu, secara khusus Cheng Ho menumpangi 'kapal pusaka'. Sebuah kapal terbesar pada abad ke-15 M. Betapa tidak, panjangnya saja mencapai 138 meter dan lebarnya sekitar 56 meter. Ukuran kapal yang digunakan Cheng Ho untuk menjelajah samudera itu lima kali lebih besar dibanding kapal Columbus.

Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas `kapal pusaka' itu mencapai 2.500 ton. Pencapaian gemilang Cheng Ho melalui ekspedisi lautnya pada abad ke-15 M menunjukkan betapa peradaban Cina telah memiliki kapal-kapal besar serta kemampuan navigasi untuk menjelajahi dunia. Anehnya, keberhasilan yang dicapai Cheng Ho itu tak diikuti dengan ekspedisi berikutnya.

''Cheng Ho terlahir sekitar tahun 1371 M di Provinsi Yunan sebelah baratdaya Cina," ungkap Rosenberg. Nama kecilnya adalan Ma Ho. Dia tumbuh dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Muslim. Apalagi, sang ayah pernah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, Makkah. Menurut Rosenberg, nama keluarga Ma digunakan oleh keluarga Muslim di Tiongkok merujuk pada Muhammad.

Ketika berusia 10 tahun (1381 M), Ma Ho kecil dan anak-anak yang lain ditangkap tentara Cina yang menginvasi wilayah Yunan. Pada usia 13 tahun, dia dan tahanan muda lainnya dijadikan pelayan rumah tangga Pangeran Zhu Di - anak keempat kaisar Cina. Namun, Ma Ho menjadi pelayan khusus Pangeran Zhu Di.

Pergaulannya dengan pangeran, membuat Ma Ho menjadi pemuda yang tangguh. Dia jago berdiplomasi serta menguasai seni berperang. Tak heran, bila dia kemudian diangkat menjadi pegawai khusus pangeran. Nama Ma Ho juga diganti oleh Pangeran Zhu Di menjadi Cheng Ho. Alasannya, kuda-kuda milik abdi (kasim) kaisar terbunuh dalam pertempuran di luar Istana yang dinamakan Zhenglunba.

"Cheng Ho juga dikenal sebagai San Bao yang berarti `tiga mutiara','' papar Rosenberg. Cheng Ho yang memiliki tinggi badan sekitar tujuh kaki, posisinya kian menguat ketika Zhu Di diangkat menjadi kaisar pada 1402. Cheng Ho pun lalu didaulat menjadi laksamana dan diperintahkan untuk melakukan ekspedisi. Cheng Ho, merupakan abdi istana pertama yang memiliki pososi yang tinggi dalam militer Cina.

Ekspedisi pertama Cheng Ho dilakukan pada tahun 1405 M - 1407 M. Sebelum memulai ekspedisinya, rombongan besar itu menunaikan shalat terlebih dulu di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai Caliut, barat daya India dan sampai di wilayah Asia Tenggara: Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Vietnam, Srilangka. Di setiap persinggahan armada itu melakukan transaksi dengan cara barter.

Tahun 1407 M - 1409 M ekspedisi kedua kembali dilakukan, namun Cheng Ho tak ikut memimpin ekspedisi ini, dia tetap di Cina merenovasi masjid di kampung halamannya. Ekspedisi ketiga digelar pada 1409 M - 1411 M menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413 M - 1415 M kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417M - 1419 M) dan keenam (1421 M - 1422 M). Ekspedisi terakhir (1431 M- 1433 M) berhasil mencapai Laut Merah.

Ekspedisi luar biasa itu tercatat dan terekam dalam buku Zheng He's Navigation Map yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan Cina berubah, tidak sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing-Bukhara.

Tak ada penaklukan dalam ekspedisi itu. Sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, ekspedisi bertujuan untuk memperkenalkan dan mengangkat nama besar Dinasti Ming ke seluruh dunia. Kaisar Zhu Di berharap dengan ekspedisi itu, negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar Cina sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata. Tindakan militer hanya diterapkan ketika armada yang dipimpinnya menghadapi para perompak di laut. Cheng Ho tutup usia di Caliut, India ketika hendak pulang dari ekspedisi ketujuh pada 1433 M. Namun, ada pula yang menyatakan dia meninggal setelah sampai di Cina pada 1435. Setiap tahun ekspedisinya selalu dikenang.


republika.co.id

KAFFARAH UNTUK NADZAR YANG TIDAK MAMPU DILAKSANAKAN

Tanya :

Ada seorang muslim dalam keterbatasan ilmu pernah berkata,"Aku bernadzar, kalau lalai melaksanakan shalat, maka aku harus menghapal surat pendek Al-Qur`an." Ternyata dia beberapa kali lalai sholat sehingga dia sudah tidak ingat berapa banyak surat Al-Qur`an yang harus dihapal. Dia sudah berusaha menghapal, tapi terbatas dalam kemampuan daya ingatnya. Pertanyaan : (1). Apakah kata-kata muslim tersebut termasuk sumpah dan harus bayar kaffarah?; (2) Apakah memberi beras 100 kg kepada panti asuhan bisa sebagai pembayaran kaffarah dan dia tidak harus menghapal Al-Qur`an lagi?; (3) Bisakah wali muslim tersebut, membantu menghapal?; (4) Tolong berikan solusi menurut pendapat ustadz… (Hamba Allah, Makassar).

Jawab :

Kata-kata muslim di atas jelas merupakan nadzar, bukan sumpah. Yang menjadi masalah adalah muslim tersebut ternyata tidak mampu melaksanakan nadzarnya untuk menghapal surat-surat pendek Al-Qur`an.

Solusi untuk masalah tersebut adalah sebuah hukum syara' yang digali dari nash-nash hadis, yaitu bahwa barangsiapa yang bernadzar tapi tidak mampu melaksanakan nadzarnya, wajib atasnya untuk membayar kaffarah (tebusan) nadzar, yang sama dengan kaffarah untuk sumpah (yamin) yang tidak terlaksana. Diriwayatkan dari 'Uqbah bin 'Amir RA bahwa Rasululah SAW bersabda :

كفارة النذر كفارة اليمين

"Kaffarah nadzar adalah kaffarah sumpah." (HR Muslim, no. 1645, At-Tirmidzi, no. 1528; An-Nasa`i, no. 3832; Abu Dawud, no. 3323, lafazh hadits adalah lafazh Muslim).

Dari Ibnu Abbas RA bahwa bahwa Rasululah SAW bersabda :

من نذر نذرا لم يطقه فكفارته كفارة يمين

"Barangsiapa bernadzar sesuatu nadzar yang tidak mampu dilaksanakannya, maka kaffarahnya adalah kaffarah sumpah." (HR Abu Dawud, no. 3322, dan Ibnu Majah, no. 2128).

Berdasarkan dalil-dalil ini, maka jelaslah bahwa kaffarah untuk orang yang tidak mampu melaksanakan nadzar adalah dengan membayar kaffarah sumpah, yaitu sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 89 :

فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ

"…maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)." (QS Al-Ma`idah [5] : 89)

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata :

فهذه خصال ثلاث في كفارة اليمين، أيُّها فَعَلَ الحانثُ أجزأ عنه بالإجماع. وقد بدأ بالأسهل فالأسهل، فالإطعام أيسر من الكسوة، كما أن الكسوة أيسر من العتق، فَرُقىَ فيها من الأدنى إلى الأعلى. فإن لم يقدر المكلف على واحدة من هذه الخصال الثلاث كفر بصيام ثلاثة أيام، كما قال تعالى: { فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ }

"Ini adalah tiga macam kaffarah sumpah, mana saja yang dikerjakan oleh pelanggar sumpah, akan mencukupinya menurut ijma' ulama. Tiga macam kaffarah tersebut dimulai dari yang paling ringan dan seterusnya, sebab memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffarah ini meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka dia menebus sumpahnya dengan berpuasa selama tiga hari, sebagaimana firman Allah Ta'ala: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/176).

Jadi, ayat di atas menjelaskan ada tiga macam kaffarah sumpah yang boleh dipilih mana saja salah satunya oleh pelanggar sumpah, yaitu : (1) memberi makan untuk sepuluh orang miskin, dari makanan yang biasanya diberikan seseorang kepada keluarganya, yang menurut Imam Syafi'i masing-masing diberi satu mud; atau (2) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, misalnya masing-masing diberi satu baju gamis, atau satu celana panjang, atau satu sarung, dan sebagainya, atau (3) membebaskan seorang budak, yaitu budak mukmin. Jika dia tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga kaffarah ini, maka dia berpuasa selama tiga hari (tidak disyaratkan berturut-turut). (Lihat Imam Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalalain, 2/257, Maktabah Syamilah).

Jika penanya ingin membayar kaffarah dengan beras, maka yang wajib diberikan adalah memberi beras kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud (544 gram) untuk satu orang miskin (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60). Inilah yang diwajibkan dan mencukupi untuk membayar kaffarah. Selebihnya dari itu adalah tidak wajib, yaitu sunnah karena dapat dianggap shadaqah yang hukumnya sunnah. Memberi 100 kg untuk panti asuhan menurut kami masih tidak jelas, karena tidak jelas berapa orang yang menjadi penerima beras 100 kg itu, juga tidak jelas berapa kilogram bagian bagi masing-masing penerima. Sebaiknya diperjelas seperti yang telah kami uraikan.

Mengenai apakah wali muslim tersebut dapat membantu menghapal, menurut kami tidak boleh, selama pelaku nadzar masih hidup. Sebab yang dibolehkan adalah menunaikan nadzar dari seseorang yang sudah meninggal, bukan yang masih hidup. Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar hal. 1773 pada bab Qadha`u Kulli Al-Mandzuuraat 'an Al-Mayyit (Menunaikan Semua yang Dinadzarkan oleh Orang yang Meninggal) mengetengahkan hadits berikut :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ لَمْ تَقْضِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِهِ عَنْهَا

Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW, dia berkata,"Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berkewajiban melaksanakan nadzar yang belum ditunaikannya." Maka Rasulullah SAW berkata,'Tunaikanlah nadzar itu olehmu untuknya." (HR Abu Dawud no. 2876, dan An-Nasa`i, no. 3603).

Imam Syaukani menukilkan pendapat Imam Ibnu Hazm dalam masalah ini, bahwa ahli waris berkewajiban melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya dalam semua keadaan (anna al-waarits yulzimuhu qadhaa`u an-nadzari 'an muwarritsihi fi jamii'i al-haalaat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 1773).

Dengan demikian, jelaslah, bahwa ahli waris dapat melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya yang sudah meninggal. Berarti jika orang yang bernadzar itu masih hidup dan belum meninggal, nadzar itu wajib dilaksanakan oleh dia sendiri dan tidak boleh ada orang lain yang melaksanakan nadzarnya. Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 11 April 2008

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

PANDANGAN ISLAM TENTANG SUBSIDI

Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Pengantar

Istilah "subsidi" akrab di telinga kita. Tapi meski "akrab", kata ini kurang bersahabat. Yang sering kita dengar justru pemerintah akan mencabut subsidi suatu barang atau jasa dengan macam-macam dalih sehingga harganya naik. Walhasil rakyat tidak makin sejahtera, tapi malah makin sengsara.

Contohnya subsidi BBM. Dengan alasan naiknya harga minyak mentah dunia hingga rata-rata 95 dolar AS/barel, subsidi BBM 2008 naik 113,2 %. Semula Rp 45,8 triliun menjadi Rp 106,2 triliun. Pemerintah mengklaim tidak mencabut subsidi BBM seperti tahun 2005 lalu, tapi hanya "menekan" subsidi BBM, misalnya dengan program konversi minyak tanah ke LPG. Tapi ini tetap menyengsarakan rakyat. Karena harga LPG lebih mahal daripada minyak tanah. Rakyat pun terpaksa antri, karena minyak tanah langka lantaran dikurangi pasokannya oleh pemerintah.

Mengapa pencabutan subsidi menjadi kebijakan favorit pemerintah untuk mengurangi beban anggarannya? Bagaimana pandangan Islam seputar subsidi? Tulisan ini mencoba menjawabnya.

Pengertian dan Fakta Subsidi

Subsidi adalah suatu bentuk bantuan keuangan (financial assistance; Arab : i'aanah maaliyah), yang biasanya dibayar oleh pemerintah, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas harga-harga, atau untuk mempertahankan eksistensi kegiatan bisnis, atau untuk mendorong berbagai kegiatan ekonomi pada umumnya. Istilah subsidi dapat juga digunakan untuk bantuan yang dibayar oleh non-pemerintah, seperti individu atau institusi non-pemerintah. Namun ini lebih sering disebut derma atau sumbangan (charity). (http://en.wikipedia.org).

Subsidi dapat juga berbentuk kebijakan proteksionisme atau hambatan perdagangan (trade barrier) dengan cara menjadikan barang dan jasa domestik bersifat kompetitif terhadap barang dan jasa impor (ibid.)

Dalam sistem kapitalisme, subsidi merupakan salah satu instrumen pengendalian tidak langsung. Grossman dalam Sistem-Sistem Ekonomi (1995) menerangkan bahwa dalam sistem kapitalisme terdapat dua macam pengendalian ekonomi oleh pemerintah, yaitu pengendalian langsung dan tidak langsung. Pengendalian langsung adalah kebijakan yang bekerja dengan mengabaikan mekanisme pasar, contohnya embargo perdagangan dan penetapan harga tertinggi suatu barang. Sedang pengendalian tidak langsung adalah kebijakan yang bekerja melalui mekanisme pasar, misalnya penetapan tarif serta segala macam pajak dan subsidi. (Grossman, 1995).

Subsidi dapat dikategorikan dengan berbagai macam cara, tergantung alasan di balik subsidi, pihak penerima, dan sumber pembiayaan subsidi (bisa dari pemerintah, konsumen, penerimaan pajak, dll). (http://en.wikipedia.org).

Dalam RAPBN-P 2008, secara garis besar ada dua subsidi, yaitu subsidi energi dan subsidi non-energi. Subsidi energi meliputi subsidi BBM dan listrik. Sedang subsidi non-energi meliputi delapan jenis subsidi; yaitu subsidi pangan (beras untuk orang miskin), subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi public service obligation (untuk PT. Kereta Api Indonesia, PT. Pelni, dan PT. Pos Indonesia), subsidi bunga kredit program (bunga dibayar pemerintah), subsidi bahan baku kedelai, subsidi minyak goreng (operasi pasar), dan subsidi pajak (pajak ditanggung pemerintah). (Nota Keuangan & RAPBN-P 2008, III-4)

Subsidi Dalam Kapitalisme

Subsidi terkait dengan persoalan peran negara dalam ekonomi, terutama dalam pelayanan publik (public service). Karenanya, sikap kapitalisme terhadap subsidi berbeda-beda, bergantung pada konsep peran negara menurut aliran kapitalisme yang dianut. Secara sederhana dapat dikatakan pandangan kapitalisme Keynesian yang pro-subsidi berbeda dengan pandangan kapitalisme aliran neo-liberal yang anti-subsidi.

Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, di Barat diterapkan kapitalisme klasik/liberal (Ebenstein & Fogelman, 1994). Slogannya adalah laissez faire, yang didukung Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776). Slogan berbahasa Prancis itu Inggrinya adalah leave us alone. Artinya, biarkan kami (pengusaha) sendiri, tanpa intervensi pemerintah. Walhasil, peran negara sangat terbatas, karena semuanya diserahkan pada mekanisme pasar. Kapitalisme liberal ini terbukti gagal, ketika tahun 1929-1939 terjadi Depresi Besar (Great Depression) di Amerika Serikat akibat keruntuhan pasar modal di Wall Street tahun 1929. (Adams, 2004).

Sejak 1930-an, kapitalisme berganti aliran. Kapitalisme liberal yang anti intervensi pemerintah kemudian berganti menjadi kapitalisme Keynesian, dengan momentun program The New Deal oleh Presiden Franklin D. Roosevelt tahun 1933. Disebut kapitalisme Keynesian, karena mengikuti ide John Maynard Keynes (1883-1946) yang mendorong intervensi pemerintah. Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment (1936) menentang paham ekonomi klasik yang menyatakan bahwa pasar bebas akan selalu dapat memecahkan persoalannya sendiri selama tidak diintervensi pemerintah (Adams, 2004).

Antara 1930-an hingga 1970-an, kapitalisme Keynesian ini menjadi basis dari welfare state (negara kesejahteraan) yang memberi porsi besar pada intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi (termasuk subsidi dari pemerintah). Karena itu, kapitalisme Keynesian dapat dikatakan bersikap pro-subsidi.

Namun tahun 1973 ketika harga minyak dunia naik, timbul persoalan ekonomi di Barat yang tidak dapat diatasi oleh kapitalisme Keynesian, yaitu stagflasi. Ini kombinasi antara pengangguran (stagnasi) dengan kenaikan harga (inflasi). Menurut doktrin Keynesian, kedua problem ini tidak mungkin terjadi bersamaan. Masyarakat dapat mengalami salah satunya, tapi tidak kedua-duanya. Kekecawaan terhadap Keynesian inilah yang mendorong upaya pencarian solusi baru.

Lahirlah kapitalisme aliran neo-liberal (neoliberalisme/neokonservatisme), dengan penggagas utamanya Friedrich Hayek dan Milton Friedman. Naiknya Margaret Thatcher sebagai PM Inggris tahun 1979 dan Ronald Reagan sebagai presiden AS tahun 1981 dianggap momentum lahirnya neoliberalisme yang ternyata terus berlanjut hingga hari ini.

Neoliberalisme adalah versi liberalisme klasik yang dimodernisasikan, dengan tema-tema utamanya adalah pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme. Karena peran negara terbatas, maka neoliberalisme memandang intervensi pemerintah sebagai "ancaman yang paling serius" bagi mekanisme pasar. (Adams, 2004).

Dari sinilah kita dapat memahami, mengapa pencabutan subsidi sangat dianjurkan dalam neoliberalisme, sebab subsidi dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah. Ringkasnya, sikap neoliberalisme pada dasarnya-- adalah anti-subsidi. Ini karena menurut neoliberalisme, pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar, yaitu negara harus menggunakan prinsip untung-rugi dalam penyelenggaraan bisnis publik. Pelayanan publik murni seperti dalam bentuk subsidi, dianggap pemborosan dan inefisiensi. (http://id.wikipedia.org).

Dalam skala internasional, neoliberalisme ini kemudian menjadi hegemoni global melalui tiga aktor utamanya; WTO, IMF, dan Bank Dunia. Bank Dunia dan MF terkenal dengan program SAP (Structural Adjustment Program) yang berbahaya, yang salah satunya adalah penghapusan subsidi. (Wibowo & Wahono, 2003; The International Forum on Globalization, 2004).

Hegemoni neoliberalisme inilah alasan prinsipil yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah sering kali mencabut subsidi berbagai barang kebutuhan masyarakat, seperti subsidi BBM dan listrik. Alasan ideologis inilah yang akhirnya melahirkan alasan-alasan lainnya yang bersifat teknis ekonomis, misalnya alasan bahwa subsisi membebani negara, subsidi membuat rakyat tidak mandiri, subsidi mematikan persaingan ekonomi, dan sebagainya. Ini semua bukan alasan prinsipil. Alasan prinsipilnya adalah karena pemerintah tunduk pada hegemoni neoliberalisme, atau telah mengadopsi neoliberalisme, yang berpandangan bahwa subsidi adalah bentuk intervensi pemerintah yang hanya akan mendistorsi mekanisme pasar.

Subsidi Dalam Islam

Islam berbeda dengan kapitalisme. Jika kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi dari perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara.

Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara, maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini. Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i'tha'u ad-daulah min amwaalihaa li ar-ra'iyah) yang menjadi hak khalifah. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka. (An-Nabhani, 2004:119).

Atas dasar itu, boleh negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya. Boleh juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen, seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.

Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-'ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya : (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat al-'ammah), seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004:104)

Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah 'ammah). Dalam distribusinya kepada rakyat, khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan lisrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004:83).

Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Pemberian ini merupakan hak Khalifah dalam mengelola harta milik negara (milkiyah al-daulah). Khalifah boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain, boleh pula khalifah mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya. Semua ini adalah hak khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004:224).

Namun dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi) (Thabib, 2004:318; Syauman, t.t.:73). Hal ini dikarenakan Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu. Firman Allah SWT :

كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

"supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS Al-Hasyr [59] : 7).

Nabi SAW telah membagikan fai` Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi SAW melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. (An-Nabhani, 2004:249). Karenanya, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang, subsidi BBM tidak sekedar boleh, tapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.

Khusus untuk sektor pendidikan, keamanan, dan kesehatan, Islam telah mewajibkan negara menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut secara cuma-cuma bagi rakyat (Abdul Ghani, 2004). Karena itu, jika pembiayaan negara untuk ketiga sektor tersebut dapat disebut subsidi, maka subsidi menyeluruh untuk ketiga sektor itu adalah wajib hukumnya secara syar'i. Wallahu a'lam [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Al-'Adalah Al-Ijtima'iyah fi Dhau` Al-Fikr Al-Islami Al-Mu'ashir, www.saaid.net, 2004

Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam), 2004

An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, Cetakan VI, (Beirut : Darul Ummah), 2004

Ebenstein, William & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Today's Isms), Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1994

Grossman, Gregory, Sistem-Sistem Ekonomi (Economics Systems), Penerjemah Anas Sidik, (Jakarta : Bumi Aksara), 1995

Neoliberalisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Neoliberalisme

Nota Keuangan dan RAPBN-P 2008

Subsidy, http://en.wikipedia.org/wiki/Subsidy

Syauman, Naimah, Al-Islam Bayna Kaynaz wa Marks wa Huquq Al-Insan fi Al-Islam, (t.tp : t.p), t.t.

Thabib, Hamad Fahmiy, Hatmiyah Inhidam Ar-Ra`sumaliyah Al-Gharbiyah, (t.tp : t.p), 2004

The International Forum on Globalization, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan (Does Globalization Help the Poor?), Penerjemah A. Widyamartaya & AB Widyanta, (Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas), 2004

Wibowo, I. & Wahono, Francis (Ed.), Neoliberalisme, (Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas), 2003

Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, Cetakan III, (Beirut : Darul Ummah), 2004

Kerusuhan Pangan: Kegagalan Ekonomi Kapitalis dan Institusi Global

food_shortage_0227.jpgKrisis kelangkaan pangan yang mengakibatkan gejolak kerusuhan di berbagai negara berkembang beberapa bulan terakhir ini adalah bukti rentannya globalisasi. Lebih jauh lagi, Bank Dunia dan IMF beserta agenda liberal pasar bebasnya pantas dituding sebagai sumber kekacauan. Beberapa faktor yang memicu melambungnya harga pangan adalah tingginya kebutuhan pangan di negeri industrialis baru seperti Cina dan India, kekeringan di Australia dan Eropa Tengah dan juga mungkin adanya permainan spekulasi di tingkat pedagang besar yang mulai beralih dari sektor keuangan (yang mengalami kerugian akibat masalah kredit macet di Barat) ke sektor komoditas pangan. Konversi lahan produksi pangan menjadi lahan pemasok bensin hayati (biofuel), sebagai sumber energi bagi mobil-mobil di Barat yang ramah lingkungan, juga berkontribusi terhadap kurangnya stok pangan.

Pejabat Bank Dunia dan IMF cepat sekali menyalahkan faktor di atas sebagai penyebab utama adanya krisis pangan. Kenaikan harga dua kali lipat mengakibatkan miliaran penduduk di dunia berkembang yang hidup dibawah garis kemiskinan kehilangan haknya untuk mendapatkan akses makanan pokok. Lebih jauh lagi, miliaran penduduk lainnya semakin tenggelam di bawah garis kemiskinan, yaitu kurang dari 1 dolar sehari, sebagaimana didefinisikan oleh pakar ekonomi internasional. Dominique Strauss-Kahn, direktur manajemen IMF dan Robert Zoellick, Presdir World Bank, secara enteng tidak mau bertanggungjawab atas kebijakan yang gagal dan praktek korup yang dilakukan oleh institusi mereka masing-masing. Padahal dua institusi inilah yang mengawasi agenda pembangunan di negara berkembang se

lama puluhan tahun, dimana tingkat kemiskinan justru semakin memburuk. Ini juga terbukti dari naiknya angka kemiskinan di Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah dan Amerika Latin sebagaimana dicatat dari publikasi World Development Report (Laporan Pembangunan Dunia), tahun 2008. Dengan adanya krisis pangan, maka tidak heran apabila laporan tersebut menjadikan bidang pertanian sebagai fokus pengembangan ekonomi. Akan tetapi, laporan tersebut menyanyikan lagu lama yang sudah terdengar selama puluhan tahun dengan merekomendasikan sebagai berikut: Ekonomi negeri miskin harus mengurangi tariff bea cukai dari produk pertanian ekspor dan impor, dan meliberalisasi pasar domestik.

Bank Dunia dan IMF tidak ambil pusing walaupun rekomendasi seperti itu sebenarnya toh sudah dijalankan berpuluh tahun oleh negara-negara berkembang. Dua institusi ini juga tidak begitu peduli bahwa krisis yang terjadi sebelumnya di negara berkembang sebenarnya terjadi karena imbas dari jatuhnya harga pasar komoditas dunia. Bahkan kebijakan negeri kaya dari benua Amerika Utara dan Eropa Barat yang menerapkan proteksi terhadap produk pertanian mereka sendiri, tidak dianggap bermasalah. Malahan subsidi pemerintahan Amerika dan juga Eropa (Common Agricultural Policy )dengan terhadap para petani mereka sendiri justru meningkat.

Lebih jauh lagi, tidaklah penting bagi dua lembaga keuangan dunia tersebut, bahwa pihak yang paling diuntungkan dari program liberalisasi ekonomi, adalah produser gabah di Amerika (yang menguasai sekitar 30% dari nilai ekspor gabah dunia) dan juga perusahaan agrokimia multinasional seperti Monsanto dan Dupont.Mesir dimana rakyatnya telah terbunuh dalam beberapa peristiwa kekacuaan telah mengikuti secara detil rekomendasi dari Bank Dunia dan IMF, dan menggantungkan dirinya pada impor gandum sebesar 44% dari konsumsi total (di tahun 1960an) dan sebesar 50% atau lebih, menurut prediksi terakhir.

Ketahanan pangan sering diejek karena tidak lagi menjadi tren, meskipun sebenarnya Mesir menghabiskan tingkat konsumsi per kapitanya sekitar 70-80% dari pendapatannya untuk membeli makanan. Ekonom mesir, yang mematuhi aturan diet dari IMF dan Bank Dunia, berdalih bahwa swasembada pangan tidak lah penting karena selalu bisa mengakses pangan impor. Namun akses saja tidak berarti banyak apabila harga pangan impor pun tidak bisa dijangkau rakyat biasa. Alangkah bertanggungjawabnya suatu negara yang mengalihkan usaha memberikan pangan kepada rakyat kepada usaha produksi bensin hayati, pemberian pakan ternak, atau kepada spekulan perdagangan yang menarik keuntungan dari membumbung tingginya harga komoditi pangan.

Padahal, komoditas bahan pangan sangatlah penting untuk kelangsungan hidup, sebab kelangkaan komoditas seperti barang elektronik, perekam video, maupun mobil tidak akan dituding sebagai sebab darurat nasional.Akar dari kelangkaan pangan adalah gagalnya kebijakan dari Bank Dunia dan IMF. Padahal kebijakan yang dibuat di Washington dan London, tidak diterapkan di Amerika maupun Eropa sendiri, dan keduanya justru ingin berswasembada pangan dan menjual produksi pertaniannya ke luarnegeri dengan cara paksa (dengan dalih liberalisasi). Kebijakan jahat semacam ini hanya menghasilkan penderitaan di negeri-negeri yang lain. Namun, tanggungjawab terbesar jatuh di pundak para penguasa pengkhianat di dunia muslim, seperti Mubarak, yang menerapkan kebijakan jahat tersebut secara mentah-mentah dan tidak memperdulikan efek kesengsaraan yang menimpa kalangan masyarakat terlemah, yang justru seharusnya lebih diperhatikan oleh negara.

Para penguasa tersebut adalah kaki tangan pemerintahan Barat untuk memastikan kelanggengan pengaruh mereka dengan meliberalisasi pasar dan meredam keinginan sebagian rakyatnya yang menghendaki berakhirnya dominasi Barat dan menginginkan kembalinya penerapan Islam.

Gambaran bagaimana Sistem Ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khalifah dalam menangani krisis seperti sekarang, dengan mengambil Mesir sebagai wilayah yang potensial, akan terlihat dengan penerapan beberapa instrumen Syariah sebagai berikut. Reformasi pengaturan penggunaan tanah akan dilakukan dengan mendistribusikan ulang tanah yang menganggur untuk menciptakan kompetisi di sektor pertanian yang didukung oleh dana investasi dari negara dalam pengembangan infrastruktur pertanian seperti penelitian dan perbaikan mutu benih-benih unggulan. Hal ini penting dilakukan karena konsumsi gandum di Mesir membutuhkan produksi dua kali lipat. Menarik untuk diingat bahwa di tahun 1950an, Korea dan Taiwan, sebagai macan ekonomi Asia, membangun roda perekonomiannya dengan diawali reformasi pengaturan penggunaan tanah dan investasi pertanian sehingga mampu memperbaiki tingkat pendapatan dari pertumbuhan sektor pertanian. (rusydan; sumber : Hizb.org.uk; 13 April 2008)

Tak Rela Islam Dihina

Andai dunia ini masih dianggap berharga, bukankah akhirat itu jauh lebih berharga dan mulia? Andai jasad ini memang diciptakan untuk mati, bukankah mati di jalan Allah lebih mulia? (Husain bin Ali bin Abi Thalib)

Selain Ayat-ayat Cinta (A2C), film Fitna juga lumayan banyak menyita perhatian publik bulan maret kemaren. Bedanya, kalo A2C banyak yang nyari versi bajakannya di lapak kaki lima, sementara Fitna banyak yang hunting di dunia maya. Kalo A2C mencoba mengenalkan ajaran Islam yang damai dan sejuk, Fitna malah menyudutkan Islam sebagai agama kekerasan. Kalo A2C berhasil memancing banjir air mata sebagian besar penontonnya, film Fitna justru sukses menuai protes dari umat Islam sedunia. Betul?

Film Fitna yang menebar fitnah itu dibuat oleh seorang anggota parlemen Belanda, Greet Wilders. Nih orang emang benci banget ama Islam. Dia pikir ajaran Islam itu jadi biang aksi terorisme yang menyerang non muslim. Meski menuai banyak kecaman, Wilder tetep ngeyel untuk menayangkan film berdurasi 17 menit itu di dunia maya. Walhasil, film Fitna sempet mejeng dalam websites liveleak.com. Tapi nggak lama, pengelola situs berbagi video di Inggris ini mindahin file film Fitna dari servernya. Soalnya mereka ngeri kalo efek penayangan itu bakal mengancam keselamatan staf-stafnya. Makanya jangan cari perkara!

Terjadi Berulang Kali

Tingkah polah Wilders yang islamophobia menambah daftar panjang kasus-kasus penghinaan terhadap Islam. Tahun 1989 dulu, seorang Salman Rusydi bikin buku berjudul the Satanic Verses alias ayat-ayat setan. Ini nggak ada sangkut pautnya dengan ayat-ayat cinta lho. Isinya menggambarkan al-Qur’an sebagai ayat-ayat Setan. Nggak cuman itu, dia juga melecehkan isteri-isteri Nabi yang mulia. Malah ka’bah yang disucikan oleh umat Islam sepanjang hidup dilukiskan sebagai tempat mesum. Na’udzubillah! Sialnya, hingga kini Salman Rusydi enak-enakan hidup dalam perlindungan pemerintah dan dinas keamanan Inggeris.

Kemudian pada Juli 1997, seorang wanita Yahudi Israel, Tatyana Suskin (26) membuat dan menyebarkan 20 poster yang menghina Islam dan Nabi Muhammad. Di antaranya ada poster seekor babi yang mengenakan kafiyeh ala Palestina. Di kafiyeh itu tertulis dalam bahasa Inggris dan Arab kata: Muhammad. Dengan pensil di kukunya, babi itu tampak tengah menulis di atas sebuah buku bernama “al-Quran”.

Tahun 2002, penghinaan kepada Nabi Muhammad dan Islam kembali terjadi seiring dengan munculnya sebuah tulisan jurnalis Nigeria, Isioma Daniel tentang Rasul dan Miss World. Tahun 2004, Warga Belanda, Theo Van Gogh, mengeluarkan film dokumenter berjudul ”Submission”. Film ini digarap bareng Ayan Hirsi Ali, Muslimah kelahiran Somalia yang pernah menjadi anggota parlemen Belanda. Di situ digambarkan ajaran Islam telah menindas perempuan. Dalam film itu diperlihatkan sejumlah perempuan tanpa busana dan di tubuhnya dituliskan ayat-ayat Al-Quran. Film ini jugalah yang memicu kemarahan hampir satu juta warga Muslim Belanda, dan mengakibatkan pembunuhan terhadap Theo Van Gogh, sutradara film tersebut.

Tahun 2005, koran Jyllands Posten Denmark memuat beberapa kartun Nabi Muhammad saw. Dalam kartun itu, Rasul saw digambarkan lagi bawa pedang dan menenteng bom. Terus dalam kartun lain, digambarkan Rasul sebagai orang bersorban yang di atasnya terselip bom. Januari 2006, kartun-kartun itu nongol lagi di koran Norwegia dan Prancis. Seolah nggak puas, Februari 2008 lalu kartun yang melecehkan Rasul saw itu dimuat lagi oleh sebelas media massa Denmark dan beberapa harian di Swedia, Belanda, dan Spanyol. Nantangin nih?!

Dan kini, setelah film Fitna, di mesir juga terjadi penghinaan terhadap islam dan nabi muhammad melalui terbitan majalah Jerman, Der Spiegel edisi khusus berjudul ‘Allah di dunia Barat’. Dengan berlindung dibalik kebebasan berpendapat, Der Spiegel menganggap sebagai hal yang bisa diterima dengan menggambarkan Islam sebagai cabang dari agama Kristen dan mempublikasikan gambar-gambar dan komentar yang menghina Nabi Muhammad SAW. Atas perintah Menteri Penerangan Mesir Anas Al-Fiqi, majalah Der Spiegel edisi 25 Maret disita dan dilarang dijual di Mesir. (hidayatullah.com, 06/04/08).

Standar Ganda Kapitalisme Barat

Pren, wajar kalo umat Islam sewot ngeliat penghinaan dalam film Fitna. Apalagi yang bikinnya, Geert Wildert terang-terangan nunjukkin kebenciannya terhadap Islam sebagai misi politiknya. Anggota parlemen dan pimpinan Partai Kebebasan Belanda ini juga menyerukan agar Al Qur’an dilarang, sebagaimana dilarangnya Mein Kampf, buku Hitler. “Muslim yang tinggal di Belanda harus menyobek setengah dari Al Qur’an, Jika Muhammad tinggal di sini (Belanda) sekarang, aku akan menyuruhnya keluar dari Belanda dengan belenggu”, hina Wilder. Wah kebangetan nih!

Pernyataan Wilders itu dimuat di surat kabar De Pers, Selasa (13/2/08).”Orang-orang Muslim yang ingin hidup di Belanda, mereka harus melempar setengah Al-Qur’an dan menjauhi para imam (masjid), ” ujar Wilders. Lebih lanjut Wilders mengatakan bahwa Islam itu berbahaya dan membawa misi kekerasan terhadap masyarakat. Ia juga menegaskan, kalau saja Nabi Muhammad saw masih hidup, niscaya ia akan dicap sebagai ekstrimis dan harus diusir dari Belanda karena akan dianggap sebagai sumber tindak terorisme. Asal bunyi aja nih orang!

Makanya, Wilders diadukan ke pengadilan oleh Federasi Islam Belanda (DIF), karena membandingkan Al-Quran dengan Mein Kampf, buku yang dibuat Adolf Hitler dan dianggap sebagai kitab suci kaum Nazi. Udah gitu, Wilders juga telah menghasut dan menimbulkan rasa kebencian terhadap Muslims melalui film amatir buatannya. Sialnya, hakim pengadilan Belanda mengatakan, anggota parlemen dari kubu konservatif itu tak bersalah dan memiliki hak untuk berbicara dan mengekspresikan opininya. (Hidayatullah.com, 09/04/08). Kok bisa ya?!

Sikap pemerintah Belanda yang membiarkan penghinaan terhadap Islam secara tidak langsung ‘menyetujui’ kejahatan berupa penghinaan terhadap agama. Padahal di Eropa, kalo ada yang meragukan atau mengkritik kebenaran Hollocaust (pembantaian massal) yang dilakukan oleh Nazi terhadap orang-orang Yahudi di Eropa bakal diseret ke pengadilan sebagai tindakan kriminal. Bukankah mengkritik Hollocaust (yang berbau agama) juga adalah bagian dari kebebasan berpendapat? Mengkritik Hollocaust dilarang, tapi menghina Islam dibiarkan atas nama kebebasaan. Nggak konsisten tuh!

Inkonsistensi alias standar ganda dalam kapitalisme sering sekali terjadi. Terutama kalo udah nyangkut Islam dan umat Islam. Kondisi ini semakin menunjukkan karakter musuh-musuh Islam seperti diingatkan Allah swt dalam firman-Nya:

Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. (QS. Ali’Imran [3]: 118).

Makanya, percuma kalo kita ngarepin ’kepedulian’ pemerintah negara-negara Eropa untuk menindak tegas mereka yang udah melecehkan Islam. Yang ada cuman makan ati. Cape deh!

Khilafah Menjaga Kemuliaan Islam

Sebagai bentuk protes terhadap film Fitna, ajakan boikot terhadap produk Belanda menggema di negeri-negeri Muslim. Hasilnya, emang lumayan bikin ngeper pemerintah Belanda yang takut ekonomi negaranya terancam akibat aksi boikot. Seperti yang pernah dialami negeri Viking, Denmark pasca kasus kartun Nabi saw. Sayangnya, aksi boikot produk nggak bikin mereka yang menghina Allah swt dan Rasul-Nya kapok. Apalagi dalih kebebasan berpendapat atau berekspresi bisa melindungi mereka dari jeratan hukum. Makanya, mereka malah makin jor-joran.

Kalo udah gini, kerasa banget deh pentingnya menghadirkan institusi yang bisa menyatukan muslim sedunia. Institusi itu adalah kekhilafahan Islam seperti yang ditunjukkan para shahabat pasca Rasul wafat. Ini ditegaskan Rasul dalam sabdanya:

«اْلإِمَامُ ـ الْخَلِيْفَةُ ـ جُنَّةٌ يُتَّقَى بِهِ وَيُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ»
Sesungguhnya seorang imam—Khalifah—adalah perisai orang-orang akan menjadikannya pelindung dan berperang di belakangnya (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dengan adanya khilafah, mereka yang menghina Allah swt dan Rasul-Nya bakal dapet ganjaran setimpal. Penghinaan terhadap Islam atau kaum Muslimin sama dengan menabuh genderang perang. Seperti yang terjadi pada masa Khilafah Abbasiyah, yaitu ketika Nuruddin Zanki menjabat sebagai wali (gubernur) Syam pada tahun 557 H. Ada pihak yang berupaya menyerang makam Rasulullah saw. Atas sepengetahuan Khalifah, Nuruddin pun bertolak ke Madinah untuk menangkap dan membunuh mereka yang menyerang makam Nabi saw. Rasain tuh!

Ketegasan Khilafah dalam menjaga kemuliaan Islam cukup bikin ngeper mereka yang hendak melecehkan Islam. Seperti diakui oleh Bernard Shaw dalam memoarnya. Bahwa pada masa Khilafah Utsmaniyah tahun 1913 M, dia dilarang mengeluarkan kisah yang berisi penghinaan kepada Rasulullah saw. Lord Chamberlin melarangnya karena takut terhadap reaksi duta besar Daulah Khilafah Utsmaniyah di London.

Begitu juga yang pernah terjadi pada masa Khalifah Abdul Hamid. Saat itu, Prancis hendak mengadakan pertunjukan drama yang diambil dari hasil karya Voltaire. Isinya bertemakan “Muhammad atau Kefanatikan”. Di samping mencaci Rasulullah saw., drama tersebut menghina Zaid dan Zainab. Ketika Khalifah Abdul Hamid mengetahui berita tersebut, melalui dutanya di Prancis, beliau segera memberikan ancaman kepada Pemerintah Prancis supaya menghentikan pementasan drama tersebut. Kalo tetep ngeyel, bakal ribut gede urusannya. Prancis pun ngeper lalu membatalkannya.

Ngerasa nggak dapet angin di Prancis, perkumpulan teater itu malah jalan ke Inggris untuk menyelenggarakan pementasan serupa. Sekali lagi, Khalifah Abdul Hamid memberikan ancaman kepada Inggris. Tapi Inggris menolak ancaman tersebut dengan alasan tiket sudah terjual habis dan pembatalan drama tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan (freedom) rakyatnya. Khalifah pun ngasih ultimatum, ”Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita! Saya akan mengobarkan jihad akbar!”. Akhirnya, nyali Pemerintah Inggris jadi ciut lalu menelan ludahnya sendiri tentang kebebasan dan pementasan drama itu pun dibatalkan. Makanya jangan cari gara-gara!

Nah pren, terbukti hanya Khilafah yang bisa membungkam mulut Wilders dkk yang menghina Allah swt dan Rasul-Nya. Makanya, selain aksi boikot produk dan aksi demo mengecam penghinaan terhadap Islam, jangan lupakan juga aktifitas dakwah. Membongkar rencana jahat musuh-musuh Islam dan menyeru masyarakat agar bersama-sama berjuang demi tegaknya Khilafah Islamiyah yang mengikuti jejak kenabian. Agar kemuliaan Islam dan kaum Muslimin tetep terjaga dan terlindungi. Go khilafah go! [hafidz341@gmail.com]


http://hafidz341.wordpress.com/2008/04/14/022-tak-rela-islam-dihina/

Mis Persepsi Perjuangan Kartini

“Menjauhkan diri dari perbuaatn hina adalah perhiasan orang miskin, dan bersyukur itu adalah hiasan orang kaya.” (Ali bin Abi Thalib)

Bagi anak TK, hari Kartini berarti hari dimana mereka mesti dandan kemayu pake pakaian adat dan saling berpasangan (emangnya sendal jepit hehehe…. ). Terus dipajang di atas panggung dan berjalan layaknya model di atas catwalk untuk dapet tepuk tangan meriah dari ortu dan guru. Bagi siswa/i SMP dan SMA, pastinya hari Kartini jadi ajang apresiasi seni dan hiburan. Kaya lomba mirip tumpeng dan bikin Kartini, eh ketuker. Maksudnya bikin tumpeng dan mirip R.A. Kartini. Lengkap dengan konde dan kebaya yang jarang dilirik remaja putri. Cuma setaun sekali ini.

Bagi mahasiswa, hari Kartini berarti momen yang pas untuk ngadain seminar yang mengupas perjuangan kartini dan pemberdayaan perempuan saat ini. Sementara aktifis perempuan ngeliat hari Kartini sebagai saat yang tepat untuk mengkampanyekan emansipasi dan tuntutan perbaikan nasib perempuan. Bagaimana dengan kamu? Kalo buat kita,…kayanya hari Kartini tahun ini berarti waktunya baca Bukamata yang ngupas emansipasi. Hehehe.. maksa deh!

Mengenal Perjuangan Ibu Kartini

Lahir dari keluarga ningrat, membuat Kartini mesti kehilangan sedikit kebebasannya dalam menuntut ilmu. Pendidikan gadis jawa kelahiran Jepara 21 April 1879 ini mentok di ELS (Eropese Lagere School) pada usia 12 tahun. Jadi cuman tamatan SD. Soalnya di adat jawa, usia segitu udah harus menjadi perumtel alias penunggu rumah teladan. Istilah jawanya, dipingit. Padahal kakaknya yang laki-laki, bisa lanjutin sekolahnya ke tingkat lebih tinggi. Kartini jadi ngiri dong.

Untungnya Kartini sempet belajar bahasanya Van Nistelrooy ketika di ELS. Jadi bisa tetep dapet banyak ilmu dengan baca surat kabar Semarang De Locomotief, majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, atau majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie yang pernah memuat beberapa tulisan yang beliau kirim. Dari media-media massa yang berbahasa Belanda itu, Kartini tertarik dengan kemajuan berpikir perempuan Eropa saat itu yang punya hak sama dalam soal pendidikan.

Selain baca, Kartini juga hobi korespondensi alias surat-menyurat dengan teman-temannya dari negeri Belanda. Lewat surat-suratnya, beliau curhat tentang kegundahannya hidup dalam kungkungan adat ningrat jawa yang sopan santun antar anggora keluarganya ribet banget. Juga kekecewaannya akan nasib perempuan pribumi yang tak berpendidikan. Makanya beliau bertekad untuk memperjuangkan hak perempuan pribumi dalam menuntut ilmu dan belajar. Beliau tulis,

“Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya” (Suratnya kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901)

Menginjak usia 24, Kartini harus menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat sesuai keinginan orangtuanya. Untungnya, suami yang dinikahi kartini pada 12 November 1903 itu ngerti bener keinginannya untuk ngasih peluang pada perempuan pribumi biar dapet pendidikan layak. Makanya sang Suami ngedukung Kartini mendirikan sekolah wanita. Setelah satu tahun menikah, Kartini dikaruniai seorang anak petama sekaligus terakhirnya, RM Soesalit yang lahir pada 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Demi mengenang perjuangan hak pendidikan perempuan, kemudian didirikan Sekolah Wanita bernama “Sekolah Kartini” oleh Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer di Semarang pada tahun 1912. Terus dibuka cabangnya di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Dan akhirnya, Presiden Soekarno mengeluarkan KepPres RI No.108 tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan tanggal 21 April untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Gitu asal-usulnya pren.

Kartini = Pejuang Emansipasi?

Meski perjuangan Kartini awalnya terinspirasi dari kemajuan wanita Barat pada jamannya, tapi kayanya bukan untuk ikut ambil bagian dalam perjuangan emansipasi deh. Beliau cuman meminta agar perempuan pribumi diperlakukan sama dalam pendidikan. Sementara gerakan emansipasi wanita Barat menuntut persamaan hak wanita-pria dalam segala hal. Nggak cuman pendidikan. Ini yang bikin repot.

Sekilas, perjuangan emansipasi wanita yang merupakan ide feminisme itu keliatannya emang mulia. Berusaha mengangkat derajat kaum hawa yang katanya sering dapet perlakuan nggak adil. Baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Padahal dibalik ‘perjuangan mulia’ itu ada sisi lain yang kudu diwaspadai. Iih.. kesannya kaya wabah flu burung aja.

Soalnya, gaung emansipasi nggak cuman ngomongin persamaan hak pria dan wanita, tapi udah ngotak-ngatik peran wanita sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Kehidupan keluarga dianggap merantai kebebasan perempuan yang hidup cuman untuk urusan sumur (nyuci baju atau piring), dapur (masak), dan kasur (ngelonin suaminya). Apalagi banyak wanita yang jadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Lengkap deh alasan wanita untuk keluar dari ‘dunia fitrahnya’.

Biar nggak ditindas, dijajah, dan tergantung pada laki-laki, wanita dikomporin untuk nyari penghasilan sendiri dan berani menyuarakan pendapatnya. Kalo laki-laki bisa sukses di dunia kerja, wanita karir juga dong. Kalo laki-laki banyak yang jadi politisi, perempuan pun harus ada wakilnya. Ujung-ujungnya, para wanita rame-rame turun ke ruang publik untuk bersaing dengan laki-laki. Baik di tempat kerja, di atas panggung politik, atau dunia hiburan. Lantas siapa yang ngurus rumah tangga atau ngasuh anak? Kan ada pembantu. Gubrakz!

Selain keluarga, emansipasi juga menganggap banyak aturan Islam yang nggak adil sama perempuan. Laki-laki boleh poligami dan perempuan kudu rela dimadu. Dalam pembagian hak waris, perempuan cuman dapet setengahnya dari bagian laki-laki. Dalam pemerintahan, perempuan gak boleh jadi pemimpin strategis seperti presiden, gubernur, atau walikota/bupati. Dalam berpakaian, aurat wanita yang harus ditutup lebih banyak dibanding laki-laki. Walhasil, menjadi peserta pilpres atau pilkada, pake baju yang mengumbar aurat, atau gaul bebas dengan lawan jenis, dianggap wajar dan udah jadi tuntutan emansipasi wanita. Padahal, aturan agama Islam itu Allah swt yang buat, bukan manusia. Masa iya seorang muslimah meragukan kebaikan yang Allah swt tawarkan dalam syariah Islam?

Kasian banget ya Ibu Kartini kalo perjuangannya dipake untuk membenarkan tuntutan emansipasi yang menjauhkan wanita dari fitrahnya. Padahal Ibu Kartini pengen perempuan juga berpendidikan agar bisa jadi ibu dan pengurus rumah tangga yang baik sesuai perannya. Seperti dituliskan dalam suratnya,

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Bukan Dengan Emansipasi

Perlakuan nggak adil yang menimpa kaum hawa, sejatinya lahir dari pola hidup dan cara berpikir masyarakat yang sekuler bin hedonis. Meski gaung emansipasi kedengaran di sana-sini, gaya hidup hedonis tetep memaku derajat wanita di level bawah. Dengan balutan tren fashion dan kebebasan berekspresi yang trendi, wanita nggak nyadar kalo sedang dikondisikan sebagai pemuas syahwat laki-laki. Dan sialnya, wanita dibuat bangga dengan pelecehan ini melalui penghargaan perempuan tercantik, terseksi, dan berprestasi. Waduh!

Sehingga cara paling pas untuk melanjutkan perjuangan Kartini adalah dengan mengubur gaya hidup sekulerisme-hedonis dan menyuarakan kebenaran Islam. Kenapa mesti Islam? Lantaran hanya aturan Islam yang menghargai, menjaga, melindungi, dan memuliakan wanita.

Seperti pengakuan seorang Anna Rued, penulis buku—Eastern Mail. ia menyebutkan “Kita harus iri kepada bangsa-bangsa Arab yang telah mendudukkan wanita pada tempatnya yang aman. Dimana hal itu jauh berbeda dengan keadaan di negeri ini (Inggris) yang membiarkan para gadisnya bekerja bersama laki-laki di kilang-kilang minyak—yang tidak saja menyalahi kodrat—tetapi bisa menghancurkan kehor­matannya.” Tuh kan?

Meski wanita banyak berkutat di dalam rumah, nggak berarti kedudukan mereka lebih rendah dibanding laki-laki. Karena di hadapan Allah swt, bukan prestasi atau jumlah materi yang dinilai. Tapi ketaatannya terhadap perintah dan larangan Allah swt. Makanya nggak pantes deh laki-perempuan saling iri hati. Allah swt ngingetin kita dalam firman-Nya:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa`[4]: 32)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Ya Rasulullah, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang laki-laki. Apakah dalam perkara amalan kami juga demikian? Jika ada seorang wanita berbuat kebaikan hanyalah dicatat untuknya separuh dari kebaikan tersebut?” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat: “Janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.” Sesungguhnya ini adalah keadilan dari-Ku dan Aku yang membuatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/462)

Nah Pren, cara pandang masyarakat yang merendahkan wanita emang mesti diubah. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga emang kudu dilawan. Sikap diskriminasi yang dialami wanita di luar rumah juga wajib dihilangkan. Tapi apa semuanya mesti ditempuh dengan kampanye emansipasi? Hmm.. kayanya nggak deh. Bukan apa-apa, kenyataannya, ide emansipasi malah bikin persoalan wanita tambah runyam. Yang bener, perjuangkan hak wanita dengan getol mengkampanyekan penerapan syariah Islam oleh negara yang akan menjaga, melindungi, dan memuliakan wanita dan kehidupannya. Islam akan membawa wanita dari kegelapan menuju cahaya. Sementara emansipasi membawa wanita dari kegelapan menuju bahaya. Jauhi emansipasi dan perjuangkan Islam ideologi. Yuk! [hafidz341@gmail.com].


http://hafidz341.wordpress.com/2008/04/19/023-mis-persepsi-perjuangan-kartini/

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.