Blogger Themes

News Update :

Pemuda Muslim Inggris Berdiri Tegak untuk Islam, Gelar Kompetisi dari Bola Hingga Rap

Sabtu, 19 Juli 2008

Wednesday, 02 July 2008 23:14

Syabab.Com - Serangkaian kontes rap, turnamen sepak bola dan sesi grafiti akan digelar pada pergantian muslim panas ini untuk membantu para Pemuda dan remaja Muslim menguatkan mereka sendiri. Event ini akan digelar secara regional oleh Hizbut Tahrir sebagai bagian dari kampanye 'Stand for Islam' di Inggris. Kampanye tersebut menjelaskan Islam yang sebenarnya kepada dunia Barat.


Pihak Organiser kegiatan ini berharap aktivitas tersebut akan mempersiapkan yang lebih baik anak-anak muda dalam melawan serangan yang diarahkan kepada kaum Muslim dengan membantu mereka untuk memahami agamanya sendiri dengan lebih baik sehingga mereka sanggup menantang penggambaran yang negatif tentang Muslim dengan sanggup melibatkan diri dalam dialog yang positif dengan masyarakat luas.

Event tersebut digelar di seluruh tempat termasuk di Rochdale, Bolton, Accrington, Oldham, Manchester, Bradford, Halifax dan Leeds. Kegiatan akan mulai digelar pada 12 Juli mendatang.

Dari Bola Hingga Rap

"Don't sit, take it!", demikian salah satu seruan dalam sebuah poster "Stand for Islam" yang digelar buat kawula Muda Muslim di Inggris. Berbagai kompetisi digelar dari mulai bola hingga rap. Turnamen sepakbola akan melibatkan setiap kota yang terlebih dahulu mereka menggelar turnamen mini. Para pemenang dari setiap kota akan bermain dengan pemenang dari kota lainnya dalam final "Champions Leageu".

Penyelenggara mengajak para seniman untuk mengekspresikan bentuk seni mereka dalam suatu cara yang lebih positif ketimbang sibuk di depan publik. Malahan, mereka juga diundang untuk ambil bagian dalam kompetisi grafiti Islam yang bertujuan bahwa hasil pekerjaan tersebut dapat dipajang di perpustakaan lokal, pusat-pusat masyarakat atau klub olahraga. Tentu saja grafiti tersebut menyampaikan pesan-pesan Islam. Kompetisi ini menginginkan para pemuda mengekspresikan perasaan mereka tentang topik berbeda seputar pemuda Muslim di Barat dan secara global.

Sementara kompetisi rap Islam digelar tanpa diringi musik atau instrumen, hanya pada lirik-lirik bersajak saja. Rap memang menjadi salah satu sarana menyampaikan pesan-pesan tentang berbagai persoalan terkait Islam dan politik. Tak aneh bila di negeri ini muncul penyampaian pesan-pesan Islam melalui rap yang diminati kawula Muda barat. Untuk kompetisi ini sebuah workshop pembuatan lirik-lirik rap digelar selama empat pekan akan membantu penentuan lagam yang baik bagi lirik kawula muda dan berpikir seputar isu-isu menghadapi Anak Muda Muslim di Barat. Jurinya tidak lain para rapper Muslim lokal ILL IQ.

Konferensi Pemuda Muslim: Puncaknya!

Serangkaian kegiatan tersebut akan ditampilkan pada acara puncak yang akan digelar pada Konferensi Pemuda Muslim (Muslim Youth Conference) pada pertengahan Agustus mendatang. Para pemenang kompetisi tersebut akan meneriwa award.

Seorang jurubicara dari Hizbut Tahrir mengatakan, "Pemuda Muslim telah menjadi korban dari kampanye islamophobia yang gencar. Makian penghentian dan mencari kekuasaan, wanita diserang karena memakai jilbab, serangan pagi-pagi benar hanyalah sebuah contoh kecil bagaimana pemuda Muslim dicekik di Inggris."

"Konferensi Anak Muda bertujuan untuk memberikan kepercayaan kepada kawula muda Muslim di Inggris dalam menegakkan identitas mereka dan menunjukkan mereka kepada jalan dalam membuat kontribusi yang positif di masyarakat di mana para pemuda secara umum diganggu dengan sejumlah masalah termasuk drug dan penggunaan alkohol, kehamilan dini (red- tanpa nikah), tingkat depresi yang tinggi dan juga angka kejahatan yang meningkat," tegasnya lagi.

"Pemuda muslim harus memimpin jalan dan berdiri untuk Islam," demikian diantara bunyi dalam publikasi mereka.

Untuk ambil bagian dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini, para peserta dapat mendaftarkan diri melalui internet pada alamat www.stand4islam.co.uk. [z/asiannews/s4i/syabab.com]

China Gencarkan Propaganda, Tuduh Hizbut Tahrir Sebagai Musuh Baru

Thursday, 10 July 2008 09:59

Syabab.Com - Pemerintah China telah memperingatkan sebuah gerakan Islam global sebagai salah satu musuh baru di Xinjiang. Peringatan tersebut disampaikan melalui propaganda di jalan-jalan di Kota Kashgar. Namun warga di provinsi yang bermayoritas Islam tersebut tak percaya Hizbut Tahrir sebagai sebuah ancaman. Gerakan yang berdiri di Bumi al-Quds, 1953 ini ingin melanjutkan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Rasyidah.

Propaganda Busuk China

Peringatan pemerintah tersebut dilakukan melalui slogan-sloga yang dipasang di jalan-jalan di kota Kashgar. Pemerintah Cina memperingatkan ancamannya pada apa yang mereka sebut sebagai musuh baru, Partai Pembebasan Islam atau Hizbut Tahrir.

"Hantam keras perlawanan terhadap Partai Pembebasan Islam" dan "Partai Pembebasan Islam merupakan sebuah organisasi Teroris" terbaca di papan-papan di Kashgar yang tertulis dengan warna merah, keduanya menggunakan tulisan China dan bahasa Arab Uighur.

Para penduduk yang lalu lalang tampak sedikit dengan perhatian terhadap pesan itu, yang mana mereka biasa setiap hari diberondong oleh propaganda dari pemerintah yang mengumumkan "pemecahbelahan", "aktivitas agama yang ilegal" dan menyerukan persatuan dan keharmonisan etnis.

"Saya tidak mengetahui apa kelompok itu," kata seorang warga Uighur, yang tidak mau disebut namanya, sambil berjalan cepat.

Partai yang lebih dikenal sebagai Hizbut Tahrir ini bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan kembali Khilafah Islamiyyah bagi kaum Muslim. Pemerintah China mengatakan bahwa gerakan ini sebagai gerakan teroris. Ia menyebutkan bahwa gerakan ini beroperasi di kawasan barat jauh, Xinjiang, rumah bagi sekitar 8 juta kaum Muslim, masyarakat Uighur yang mereka terluka di bawah aturan China.

Tetapi menurut kelompok tersebut, termasuk juga beberapa pengamat mengatakan bahwa Hizbut Tahrir tidak mendukung kekerasan dan mereka menuduh China memainkan ancaman sebagai dalih lebih jauh perpecahan dalam kegelisahan Xinjiang, terutama di hadapan pergelaran Olimpiade Beijing pada musim panas ini. Perwakilan kelompok ini di Inggris seperti yang dikatakan Taji Mustafa menegaskan bahwa Hizbut Tahrir hanya menyokong aktivitas tanpa kekerasan.

Pihak Penjara pun Cemas Atas Pengaruh Hizbut Tahrir

Sebagai daerah bagian dari China yang sering terjadi perselisihan, seperti Tibet, Banyak warga Uighur baru-baru ini memiliki pertumbuhan ekonomi dan benturan budaya dari warga Han China yang dalam beberapa kasus telah digalakan oleh pemerintah.

Beijing menuduh para militan Uighur bekerja dengan al-Qaeda telah menggunakan teror menggiring pada kemerdekaan negara yang disebut Turkistan Timur. Klaim tersebut telah digagalkan sedikitnya dua plot pada tahun terakhir untuk meluncurkan serangan selama Olimpiade Beijing.

Tetapi munculnya isu Hizbut Tahrir merupakan fenomena aktual terbaru di Xinjiang.

"Organisasi secara ekstrim elastis dan berpengaruh, walaupun terbatas di sebelah selatan Xinjiang, rupa-rupanya telah tumbuh," kata Nicholas Bequelin dari Human Rights Watch.

"Institusi penjara juga telah cemas akan adanya pengaruh dari para pengikut Hizbut Tahrir terhadap para terpidana," ia menambahkan.

Upaya China Membungkan Islam

China menghendaki pelarangan atas Hizbut Tahrir, namun gerakan ini tak pernah menggunakan kekerasan dalam perjuangannya. Pada bulan November, kantor berita China Xinhua mengumumkan hukuman berkisar antara hukuman mati hingga hidup di penjara bagi enam warga Uighur yang dituduh melakukan "pemecahbelahan dan mengorganisir kelompok teroris" serta mencakup Hizbut Tahrir.

Satu orang ditemukan bersalah atas tuduhan "secara pro aktif mengemban akitivitas agama ekstrim dan mempromosikan jihad, membangun training berbasis teroris dan mempersiapkan sebuah Khilafah Islam," Xinhua melaporkan.

Pada bulan April, pemerintah Xinjiang menyalahkan Hizbut Tahrir karena menghasut protes di Khotan, yang mana Kongres Uighur Dunia mengatakan sekitar 1000 orang turun ke jalan-jalan.

Hizbut Tahrir merupakan partai Islam global yang bergerak di lebih 40 negera baik di negeri-negeri Muslim maupun di negeri Barat, seperti di Inggris, Belanda, Denmark dan Australia. Gerakan yang lahir di Bumi Al-Quds, Palestina pada 1953 ini menghendaki penerapan syariah Islam melalui metode penegakkan Khilafah Islamiyyah. Di China, pertumbuhan gerakan yang mengingkan syariat Islam ditegakkan melalui Khilafah Islamiyyah ini tumbuh dengan pesat. Sampai-sampai beberapa pihak khwatir atas pesatnya dakwah yang diemban oleh para aktivis Hizbut Tahrir di negeri tersebut. [z/reuters/shanghaiis/syabab.com]

Serangan Taliban Meningkat 40%, Korban NATO Bertambah

Kamis, 03 Juli 2008

Serangan pejuang Taliban meningkat sampai 40% tahun ini. Akibatnya, sejak bulan April sudah 40 tentara asing di bawah NATO tewas

Hidayatullah.com–Seorang perwira tinggi Amerika, hari Selasa (24/6) mengakui bahwa serangan para pejuang Taliban pada tahun ini meningkat hingga 40%, dibanding serangan yang dilakukan Taliban tahun lalu.

Jenderal yang bertanggung jawab di wilayah Afghanistan Timur itu menyebutkan bahwa bantuan dan latihan untuk pasukan Afghanistan semakin maju, tapi ia mengakui bahwa perlu waktu amat lama untuk bisa menjadikan pasukan pemerintah Afghanistan mandiri, sebagaimana dilansir oleh Herald Tribune.

Meningkatnya serangan menambah jumlah korban baik di pihak pasukan asing (Amerika dan NATO) serta pasukan lokal pro pemerintah.

Pada hari yang sama pihak ISAF, menyatakan bahwa patroli rutin pasukannya diserang oleh ranjau, di Huqiyani Nanggrahar, Afganistan Timur, yang menyebabkan tewasnya seorang tentara dan luka tiga lainnya terluka.

Di saat yang sama di Helmand seorang tentara Inggris tewas setelah terjadi kontak senjata dengan pejuang. Hal ini disampaikan oleh Menteri Pertahanan Inggris.

Serangan Taliban seakan-akan tidak akan berhenti. Pada hari yang sama juru bicara Taliban Dzabihullah Al Mujahid mengumumkan bahwa pihaknya berhasil mencegat dan menghancurkan sebuah konvoi militer di dekat distrik Salar, wilayah Wardak. Sedangan konvoi itu bertolak dari Kabul menuju Helmand .

Akibat serangan itu, pihak pejuang berhasil membakar puluhan kendaraan dan membunuh 8 tentara swasta yang ditugaskan mengawal konvoi tersebut. Sebagai mana siaran Al Jazeera juga menayangkan terbakarnya puluhan kendaran tersebut.

Pihak pemerintah Afghianistan juga mengakui bahwa mereka kehilangan 3 personil pasukannya, setelah puluhan pejuang Taliban melakukan serangan di sebuah pos militer di Syah Walikot, Kandahar , Afghanistan Selatan.

Selanjutnya pada hari Kamis (26/6), helikopter NATO dikabarkan telah jatuh, dan seluruh penumpangnyha tewas. Sebagaimana dilansir Reuters, beberapa saksi mata di wilayah Wata Por, mengatakan bahwa asap dan api melalap helikopter sebelum akhirnya jatuh.

Selanjutnya pada hari Jumat (27/6) 3 tentara Inggir tewas, setelah sebuah bom meledak di dekat kendaraan mereka di sekitar Kabul , sesuai dengan keterangan resmi dari pihak NATO. Dengan adanya peritiwa ini maka dalam satu bulan sudah 39 tentara asing tewas.

Pada hari Sabtu (28/6), kembali 1 tentara Inggri tewas dan 2 lainnya luka-luka. Kali ini di propinsi Helmand Afghansitan Selatan. Akan tetapi pihak Kementrian Pertahanan Inggris menolak jika hal itu disebbakan serangan Taliban, akan tetapi karena kecelakaan, sehingga kendaraan militer mereka terbalik.

Sedangkan pada hari Ahad (29/6) 12 tentara Afganistan tewas karena serangan Taliban. Diantaranya tewas di wilayah Faryab, sedangkan 4 lainnya tewas setelah terjadi serangan di wilayah Farah, yang dilakukan oleh para pejuang Taliban. [Al Mafkarah Al Islam/thoriq/www.hidayatullah.com]


Presiden Tak Pernah Menyesal Menaikkan Harga BBM

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku tidak akan pernah menyesal mengeluarkan keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak, akhir Mei lalu.

Sebab, kata Presiden, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan yang paling berisiko.

Pernyataan Presiden Yudhoyono itu disampaikan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menjawab pers seusai menghadiri pelantikan Kepala Staf TNI Angkatan Laut di Istana Negara, Jakarta, Selasa (1/7).

”Tidak, tidak menyesal meskipun berat. Presiden, kan, memang harus mengambil keputusan meskipun harus berkorban. Tetapi, itu untuk selamatkan bangsa serta ekonomi rakyat,” kata Andi.

Hasil riset Indo Barometer, akhir pekan lalu, menyebutkan popularitas Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla merosot dan kalah dari popularitas Megawati Soekarnoputri pascakenaikan harga BBM.

Menurut Andi, naik atau turunnya popularitas Presiden, pascakebijakan yang diambil, merupakan hal yang biasa.

”Pada tahun 2005, ketika Presiden Yudhoyono memutuskan kenaikan harga BBM, popularitas Presiden memang menurun. Tetapi, beberapa bulan kemudian, hasil polling menentukan popularitas Presiden naik lagi,” ujar Andi.

Andi juga mengatakan, untuk melihat popularitas jangan hanya berpatokan pada satu lembaga riset karena banyak lembaga riset yang melakukan riset sejenis.

Secara terpisah, saat ditanya pers di sela-sela pengambilan gambar untuk kampanye Pemilu 2009 di sebuah studio di Pondok Indah, Jakarta, Wapres Jusuf Kalla menegaskan, ”Survei itu dinamis sifatnya dan sangat bergantung pada kondisi yang ada. Jadi, tak apa-apa karena memang sangat dinamis.” (HAR)

Sumber : www.kompas.com

Obama Hadapi Isu Patriotisme

Independence, Selasa - Setelah isu rasisme, kini kandidat presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Obama, menghadapi isu patriotisme. Kubu rival Obama, Partai Republik, mempertanyakan patriotisme dan nilai inti Amerika menjelang perayaan Hari Kemerdekaan AS pada 4 Juli.

Menjawab pertanyaan itu, Obama mengatakan tidak seharusnya seorang kandidat menggunakan patriotisme sebagai ”pedang politis” dalam pemilu presiden. ”Pertanyaan tentang siapa yang patriotis dan siapa yang tidak patriotis sering meracuni debat politis dan memecah belah,” katanya, Selasa (1/7) WIB dalam kampanye di Independence, Missouri.

”Sepanjang hidup, saya selalu mencintai dan patuh kepada negara ini. Selama 16 bulan terakhir, baru kali ini patriotisme saya dipertanyakan,” ujar Obama.

”Tentu kita bisa sepakat bahwa tidak ada partai atau filsafat politik yang memiliki monopoli atas patriotisme. Perbedaan pendapat tidak akan membuat seseorang menjadi tidak patriotis,” katanya.

Obama dikritik karena tidak mengenakan pin bendera Amerika. Kritikus juga menyerang Obama, menyebutnya elitis dan tidak selaras dengan nilai dasar Amerika saat mengatakan dalam sebuah kampanye bahwa kelas pekerja menjadi sangat pahit sehingga harus berpaling kepada Tuhan dan senjata.

Obama menghadapi kontroversi baru saat pensiunan jenderal Wesley Clark, yang mendukung Obama, menyerang patriotisme kandidat Republik, John McCain. Dalam sebuah siaran di CBS, Minggu, Clark mengatakan, dia mengagumi jasa McCain selama Perang Vietnam, tetapi tidak serta-merta menjadikan McCain layak menjadi presiden.

”Saya kira, naik pesawat tempur dan tertembak jatuh bukanlah kualifikasi untuk menjadi presiden,” kata Clark. Clark membela pernyataannya itu dan mengatakan tidak mewakili kubu Obama.

Menanggapi hal itu, Obama mengatakan, patriotisme harus melibatkan kerelaan untuk berkorban. ”Bagi orang-orang seperti John McCain yang telah mengalami siksaan fisik saat berjuang bagi negara kita, pengorbanan itu tidak perlu dibuktikan lagi,” ujarnya.

Dalam kampanyenya, McCain mengusung statusnya sebagai veteran Perang Vietnam yang paling siap untuk menjaga keamanan AS. McCain menyebut pernyataan Clark tidak perlu.

”Saya bangga dengan catatan pelayanan saya. Saya punya banyak teman dan pemimpin yang bisa mengujinya,” ujar McCain.

Perdagangan bebas

Untuk menunjukkan pengalaman politik luar negeri yang lebih baik, McCain mengatakan akan mengunjungi Kolombia dan Meksiko pada pekan ini. Perdagangan bebas, obat-obatan terlarang, dan imigrasi akan menjadi agenda utamanya.

McCain dijadwalkan bertemu dengan Presiden Kolombia Alvaro Uribe, Selasa, dan sejumlah pejabat di Cartagena, Rabu. Hari Kamis, McCain dijadwalkan bertemu dengan Presiden Meksiko Felipe Calderon di Mexico City sebelum kembali ke Arizona untuk perayaan 4 Juli.

Berbicara di Pennsylvania, Senin, McCain mengatakan, dia memiliki tugas besar untuk menjelaskan dukungannya terhadap Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) yang dianggap merugikan lapangan pekerjaan di AS. ”Saya harus meyakinkan mereka bahwa konsekuensi proteksionisme dan isolasionisme bisa menghancurkan masa depan mereka,” katanya.

Obama menyatakan NAFTA harus dirundingkan ulang. Pakta itu dituding menjadi penyebab hilangnya lapangan pekerjaan rakyat AS karena ”diambil” Kanada dan Meksiko yang termasuk dalam NAFTA. (ap/afp/reuters/fro)

Sumber : http://cetak.kompas.com


Ulama Besar Iraq: “Haram Berunding dengan Penjajah!”

Ulama besar (kibar ulama) Iraq mengeluarkan fatwa tentang haramnya mengadakan kesepakatan dan kompromi dengan penjajah

Hidayatullah.com–Syeikh Dr. Abdul Malik As Sa’di, salah satu ulama besar (kibar ulama) di Iraq mengeluarkan fatwa tentang haramnya mengadakan kesepakatan dan kompromi dengan penjajah. Dalam fatwa itu disebutkan bahwa perbuatan itu adalah haram secara qath’i. Keculi jika penjajah sudah keluar dari Iraq serta memberikan hak sepenuhnya kepada Iraq untuk mengatur negerinya sendiri, hal seperti ini dibolehkan.

Syeikh As Sa’di menyebutkan Rasulullah memerintahkan untuk menulis perjanjian dengan Yahudi Madinah serta pada perjanjian Hudaibiyah. Dan tidak menyuruh menulis perjanjian di selain masa itu, yakni masa dimana kepemipinan umai Islam hilang, baik di Mekah maupun Madinah. Sehingga perjanjian itu dibangun atas dasar kekuatan.

Dan di dalam perjanjian itu tidak ada unsur meminta pertolongan kemanan terhadap orang kafir, apalagi meminta pertolongan kepada orang kafir untuk memerangi orang Muslim. Sabda beliau, ”Saya tidak meminta pertolongan terhadap kaum musyrik”.

Menurut beliau, pemerintah Iraq sekarang memang tidak memiliki kekuasaan, sehingga tidak sepatutnya melakukan perundingan dengan penjajah. “Sama sekali tidak masuk akal. Melakukan kesepakatan dengan penjajah, agar mereka bias terus melakukan penjajahan!,” ungkap As Sa’di.

Fatwa yang dilansir oleh Al Islam Al Yaum pada Kamis (26/6) menyebutkan bahwa As Sa’di juga memberi saran kepada pemerintah kini, untuk tidak mengindahkan omongan para penjajah.

“Pemerintah jangan percaya dengan omongan Amerika yang jelas-jelas sudah bohong soal senjata pemusnah masal.”

Adapun meminta pertolongan terhadap orang kafir, tetap haram, dalam kondisi apapun.”Meminta pertolongan kemanan dan militer terhadap orang kafir adalah hal yang haram di kondisi apapun. Walau setelah penjajahan selesai. Karena miminta pertolongan termasuk salah satu bentuk loyalitas.

“Dan barangsiapa diantara kalian menjadikan mereka wali (pemimpin, penolong, pelindung) maka ia bagian dari mereka”. Beliau menyitir Al Maidah 51. [Al Islam Al Yaum/www.hidayatullah.com]

Saatnya Migas Dikelola Bangsa Sendiri

JAKARTA –Momentum krisis energi dan krisis pangan saat ini harus diantisipasi oleh pemerintah dan DPR dengan berinisiatif melakukan terobosan keputusan politik di sektor minyak dan gas bumi (migas). Intinya, industri migas nasional yang saat ini telah berumur 130 tahun harus ditangani oleh bangsa sendiri. “Caranya bisa dengan ‘nasionalisasi’ atau apapun namanya, ” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Effendi Siradjuddin di Jakarta, kemarin.

Gagasan nasionalisasi, menurut Effendi, sebenarnya sudah dilakukan oleh Ibnu Sutowo melalui PT Permina saat mengambil alih lapangan Branda pada 1957. Ketika itu, Ibnu Sutowo mencanangkan, dalam 20 tahun industri migas nasional harus ditangani oleh bangsa sendiri. “Namun yang terjadi adalah set back, sehingga migas nasional justru dikuasai oleh asing,” ujar Effendi.

Effendi mencontohkan, nasionalisasi di Rusia diawali dengan keputusan Parlemen Duma membatasi kepemilikan asing maksimum 45 persen. Diikuti dengan negosiasi pemerintah dan menyisakan 20 persen dari 80 persen kepemilikan asing. “Bagi Indonesia, keputusan untuk ‘menasionalisasi’ kepemilikan asing merupakan pilihan yang tepat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945,” kata Effendi.

Nasionalisasi layak dipertimbangkan, lanjut Effendi, utamanya jika melihat makin beratnya beban pemerintah, tambal sulam utang tiap tahun untuk menutupi dan masih besarnya potensi kekayaan nasional yang saat ini didominasi asing.

Selain itu, saat ini muncul kecenderungan di banyak negara pemilik tambang migas untuk menguasai dan mengelola sendiri kekayaan nasionalnya. “Pengamat energi dari Amerika Serikat bahkan meramalkan, pada 2012 hampir seluruh tambang migas di dunia sudah dikelola oleh bangsanya sendiri.”

Effendi tak menutup mata, SBY-JK telah bekerja sangat keras setahun terakhir. Namun, jujur diakui, telah terjadi kegagalan dalam implementasi kebijakan energi dan migas nasional yang bahkan telah berlangsung sejak 10 tahun lalu. Indikasinya, kegagalan program diversifikasi dan konservasi energi, penurunan produksi minyak terus-menerus, ketergantungan konsumsi BBM dalam negeri pada 70 persen minyak impor hampir 800 ribu barel per hari.

Realitas tersebut bila impor terhenti dinilai sangat rawan terhadap keamanan dan ketahanan nasional. Bahkan menurutnya keluar OPEC sebagai wujud badan kerja sama Selatan-Selatan negara penghasil minyak dinilai tindakan yang keliru. Apalagi, 80 persen produksi minyak nasional masih didominasi perusahaan migas asing. “Sebanyak 90 persen belanja sektor migas yang Rp 100 triliun per tahun, juga didominasi jasa dan barang asing.”

Effendi meyakini, nasionalisasi tidak haram dilakukan. Selain mengemban misi menyejahterakan rakyat, tindakan tersebut juga telah berlangsung di banyak negara. Contoh, nasionalisasi ala Venezuela atas lapangan Orinoco yang dikelola ExxonMobil. Selaku kontraktor, ExxonMobil meminta harga 25 miliar dolar AS, Venezuela hanya bersedia membayar 6 miliar dolar AS untuk lapangan Orinoco, yang memproduksi minyak 600 ribu barel per hari (bph) dengan cadangan terbukti 30 miliar barel. Venezuela menyelesaikan dengan Total Prancis senilai 834 juta dolar AS, ENI Italia dibayar US$ 700 juta, Statoil Norwegia dibayar 226 juta dolar AS, seluruhnya 1.80 miliar dolar AS.

Effendi mengkalkulasi, nasionalisasi model Venezuela sangat mungkin dilakukan Indonesia. Ia menghitung, Indonesia saat ini memiliki cadangan terbukti minyak sebesar 4,7 miliar barel dan cadangan potensial yang 5,0 miliar barel. Bila cadangan terbukti dan 50 persen cadangan potensial diproduksikan, asumsi harga minyak US$ 150 per barel, maka nilainya sekitar 1.000 miliar dolar AS.

( ant/dia )

Sumber : www.republika.co.id

Golput dan Pemilu 2009

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di sejumlah daerah menunjukkan cenderung meningkatnya jumlah mereka yang tidak menggunakan hak memilih (golput). Dua pilkada terakhir di Sumatera Utara dan Jawa Tengah, tingkat partisipasi masyarakat kurang dari 60 persen. Mengapa demikian dan sejauh mana fenomena golput mewarnai Pemilu 2009 mendatang?

Secara umum, ketidakhadiran sebagian masyarakat dalam memberikan suaranya dalam pemilu dan pilkada dapat dikategorikan atas dua kelompok.

Pertama, karena faktor teknis seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, tidak memperoleh kartu pemilih, dan alasan-alasan lain yang bersumber pada kekacauan manajemen pemilihan.

Kedua, karena faktor politik seperti kekecewaan terhadap partai, kandidat yang diajukan partai, dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemilu dan pilkada mengubah kehidupan masyarakat. Hanya, data mereka yang tidak memilih sering tidak tersedia karena alasan teknis dan masyarakat golput karena faktor politik.

Golput karena faktor teknis sebenarnya tak perlu dikhawatirkan karena hal itu bisa berkurang jika kualitas manajemen pemilu dan pilkada dibenahi oleh komisi penyelenggara pemilihan. Penyebutan golput pun tidak tepat karena istilah yang berasal dari frasa ”golongan putih” itu ditujukan bagi mereka yang tidak menggunakan hak pilih karena kecewa dengan sistem politik yang berlaku. Karena itu, yang tampaknya perlu menjadi perhatian adalah fenomena tidak menggunakan hak pilih akibat kekecewaan terhadap semua faktor yang terkait pemilu dan pilkada.

Ekspresi kekecewaan

Penilaian yang bersifat positif memandang, golput politik yang cenderung meningkat mencerminkan kian meluasnya kesadaran masyarakat akan sistem politik yang lebih demokratis, adil, dan berpihak kepada kepentingan umum. Sistem pemilu atau pilkada, mekanisme pencalonan kandidat, dan format penyelenggaraannya dipandang belum merepresentasikan partisipasi dan kepentingan publik. Pemilu dan pilkada lebih dilihat sebagai arena elite politik yang memiliki uang untuk mendapat kekuasaan, tetapi lalu mengkhianati mandat rakyat saat sudah terpilih. Meluasnya fenomena korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang diindikasikan pengadilan terhadap para mantan wakil rakyat, bupati, wali kota, gubernur, bahkan mantan menteri mencerminkan realitas itu.

Jadi, fenomena golput politik yang cenderung meningkat adalah ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap klaim-klaim keberhasilan reformasi dan demokratisasi yang dialami bangsa kita selama sekitar 10 tahun terakhir. Secara obyektif, kualitas penyelenggaraan pemilu dan pilkada kian bebas dan demokratis. Dimulai pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat tahun 2004, diikuti pilkada langsung sejak Juni 2005. Indonesia bahkan dibanggakan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan AS.

Namun, sebenarnya klaim keberhasilan dan kebanggaan itu bersifat semu karena yang meningkat secara signifikan sejak 1999 adalah demokrasi prosedural ketimbang demokrasi substansial. Demokrasi prosedural hanya menyediakan arena bagi elite untuk merebut kekuasaan, tetapi tanpa keberpihakan dan tanggung jawab untuk menggunakan kekuasaan bagi kepentingan umum. Tak mengherankan jika klaim keberhasilan demokratisasi berjalan seiring merosotnya kepercayaan publik terhadap partai, parlemen, dan lembaga demokrasi lainnya, seperti ditunjukkan oleh berbagai hasil survei selama ini.

Golput dan Pemilu 2009

Fenomena meningkatnya golput dalam sejumlah pilkada di provinsi dan kabupaten serta kota beberapa waktu terakhir tidak mustahil akan memuncak pada pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2009. Kinerja pemerintah, parlemen, dan partai-partai yang masih buruk di tengah berbagai pidato dan jargon tentang keadilan, korupsi, dan pengentasan kemiskinan bisa menjadi faktor penting yang mendorong meluapnya ekspresi kekecewaan masyarakat dalam pemilu.

Apalagi jika pemilu mendatang tidak menawarkan format keterlibatan publik yang lebih meningkat, mekanisme pencalonan para kandidat yang lebih transparan dan demokratis serta tidak ada jaminan bagi lahirnya elite politik yang lebih bertanggung jawab. Undang-undang pemilu baru yang dihasilkan DPR bersama pemerintah juga tidak menjanjikan perubahan signifikan kendati berupaya melembagakan koherensi antara sistem kepartaian dan sistem presidensial melalui mekanisme parliamentary threshold 2,5 persen. Berbagai UU bidang politik pada akhirnya lebih merupakan ”aturan main” di antara para politisi ketimbang sebagai mekanisme untuk menerjemahkan aspirasi publik ke dalam sistem politik.

Ironisnya, partai-partai yang berkinerja buruk dan partai-partai baru yang juga belum jelas komitmennya itu ”harus” dipilih rakyat dalam pemilu legislatif mendatang. Di sisi lain, kandidat presiden yang tiap hari ditawarkan media adalah tokoh ”daur ulang” yang sebagian di antaranya terbukti gagal mengangkat harkat bangsa kita menjadi lebih baik. Kalaupun media mengiklankan kandidat presiden alternatif, yang diusung akhirnya hanya ”popularitas”, sementara rekam jejak sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dibiarkan larut dalam sejarah.

Pertanyaannya, haruskah para pemilih digiring ke tempat-tempat pemungutan suara jika setelah pemilu ternyata mereka yang terpilih akhirnya hanya ”berpesta” di atas penderitaan rakyat?

Mungkin di sinilah letak urgensi kesadaran elite politik di partai, lembaga perwakilan, dan pemerintahan, bahwa fenomena golput adalah suara protes rakyat yang tak lagi mampu bersuara. Ia bisa mendorong lahirnya sikap pembangkangan dan tindak anarki jika elite politik serta penyelenggara negara tidak cerdas dan tak kunjung becus mengelola republik ini.

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI

Syamsuddin Haris

Sumber : www.kompas.com

Wajah Baru “Pedagang” Minyak

Rhenald KasaliKalau kami produksi minyak lebih banyak lagi, tidak ada yang membeli,” kata Raja Abdullah saat menutup KTT produsen-konsumen minyak. Semua pemimpin dunia pusing mencari solusi menahan laju harga. Kaya minyak, kok, tak berdaya? Di sini, selain disambut amarah rakyat, pemerintah juga disambut ”hak angket”. Sementara itu, yang tak punya minyak menari-nari dengan perdagangan dan spekulasi.

Ketidakberdayaan ini tak dapat diatasi dengan kecurigaan dan bermabuk wacana, apalagi dengan jalan pintas. Banyak hal telah berubah dan kita harus berlari lebih kencang lagi. Namun, ada yang sudah berubah, tetapi miskin pengakuan sehingga memicu frustrasi.

Menari di atas bara api

Ibarat menari di atas bara api dengan genderang ditabuh orang lain, Indonesia jelas menderita. Dulu, genderang itu ditabuh International Oil Company (IOC, perusahaan swasta, seperti Exxon Mobil, Chevron, dan Shell) yang bekerja sama dengan National Oil Company (NOC, milik negara, seperti Saudi Aramco, Petronas, Petrobras, Statoil, PDVSA Venezuela, dan Pertamina). Namun, sejak menjadi net importer, kita cuma menjadi penari, sedangkan genderangnya berpindah ke pengendali keuangan di bursa komoditas.

Kongres Amerika mengungkapkan, investasi terbesar belakangan ini berbentuk ”paper” di bidang energi. Porsinya bergeser dari 4,6 persen (2003) menjadi 30,7 persen (2005), dan sekarang di atas 50 persen (NYMEX, 2006). Menurut The New York Times, keuntungan minyak sebesar 1,5 miliar dollar AS yang dinikmati Goldman Sachs dan Morgan Stanley (2005) menimbulkan efek domino panjang.

Stok minyak (juga kekayaan) telah beralih dari NOC-IOC kepada para trader dan pelaku sektor keuangan yang tidak punya sumur, fasilitas kilang, gudang, atau kapal. Persepsi yang hidup di bursa itu berbeda dengan angka riilnya. Lord Browne, mantan CEO BP, menandaskan, ”Tidak ada indikasi kelangkaan. Naiknya harga tidak berhubungan dengan suplai-permintaan.”

Maka, harga minyak pun bergerak-gerak seperti harga saham. Secara empiris, semua ini hanya bisa ditangkal NOC dengan membentuk oil trader yang kuat.

Transformasi NOC

Karena kini minyak diperdagangkan trader dan ”spekulator”, penting mentransformasi tangan-tangan perdagangan NOC. Masalahnya, NOC selalu sarat belenggu dengan berbagai aturan dan diganggu berbagai kepentingan. Kalau belenggu-belenggu itu tidak dilepaskan, oil trader tidak bisa bergerak optimal karena pengambilan keputusannya butuh manuver cepat, perencanaan matang, jaringan luas, dan manajemen keuangan yang canggih. Pengawasan perlu, tetapi bukan dengan kecurigaan berlebihan, apalagi dengan bureaucratic control. Gunakan saja result-based control yang lazim dipakai perdagangan modern.

Di Indonesia, harus diakui, banyak kemajuan yang dicapai dari transformasi Pertamina yang didasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Namun, kemajuan itu mahal pengakuan karena banyak kepentingan terusik, baik dari dalam maupun luar negeri.

Kalau Pertamina kuat, misalnya, tidak ada ruang bagi tangan-tangan perdagangan asing yang mengincar pasar-pasar gemuk di kota-kota besar. Mereka akan berjuang mengarahkan Pertamina agar mengurus pasar di pinggiran saja yang ongkos kirim BBM-nya lebih mahal dengan menunjukkan NOC Indonesia ini kalah bersaing karena tidak efisien.

Di negara yang politiknya kondusif, NOC-nya berhasil memutasikan DNA oil trader-nya. Aramco, misalnya, melakukan penetrasi ke Amerika dengan jaringan SPBU Motiva. Petronas membeli jaringan SPBU di Afrika Selatan, Petrobras (Brasil) mengembangkan eksplorasi laut dalam bersama Statoil (Norwegia), dan NIOC (Iran) keuangannya beroperasi di New Jersey dan Swiss.

Untuk menangkal spekulator, NOC memodernkan tangan- tangan oil trading-nya. PETCO (milik Petronas), NICO (milik NIOC-Iran), Saudi Petroleum International (Saudi Aramco), Sonatrach Petroleum International (Sonatrach, Aljazair), Q8 (Kuwait), dan Petral (Pertamina) mengalami overhaul.

Oil Trading Company itu ditaruh di pusat perdagangan dunia dan serius melawan broker yang dulu dikuasai para kroni. Mereka juga bertransformasi dari buying agent menjadi trader modern.

Wajah baru ”trader” minyak

Jelaslah kesejahteraan kini sudah tidak bisa dipungut begitu saja dari perut bumi. Sebagai big consumer, Indonesia bisa sejahtera melalui Pertamina asalkan Petral dipertajam perannya dengan melakukan transaksi jangka panjang untuk pasar domestik, tetapi juga melakukan penetrasi global, kerja sama dengan pemilik kilang mancanegara, swap produksi, dan sebagainya. Adaptasi diperlukan untuk menghadapi wajah perdagangan yang sudah berubah.

Ia butuh fleksibilitas dan kepercayaan. Dan, karena financing-nya kompleks, butuh pemahaman tingkat tinggi, konsensus politik, dan status ”Approved Oil Trader” yang dikeluarkan otoritas perdagangan dunia.

Sepengetahuan saya, Petral sudah memilikinya, bahkan mulai kembali dipercaya bank asing. Jadi, Petral berpotensi memperoleh competitive price untuk konsumen Indonesia asalkan diberi kepercayaan lebih. Tanpa itu, hanya ada kecurigaan dan rakyat semakin menderita.

Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia

Sumber : http://cetak.kompas.com

Ekonomi Islam Vs Ekonomi Neo-Liberal

IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru atau rudal, tetapi dengan wabah kelaparan. (Andres Perez, Mantas Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000).

Banyak yang tahu dan paham bahwa baik neo-liberalisme maupun liberalisme adalah kebijakan ekonomi dunia yang berbahaya yang harus dilawan dan dicegah. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu sistem ekonomi seperti apa yang bisa membendung kebijakan neo-liberalisme ini. Berharap pada sistem ekonomi Komunisme tentunya tidak bisa. Alih-alih sebagai pengganti, sistem ini sendiri sudah nyata-nyata ambruk. Pilihannya tinggal satu: Sistem Ekonomi Islam. Bagaimana sistem ini mampu menjadi lawan seimbang bagi Kapitalisme global?

Kebijakan yang Bertolak Belakang

Secara ideologis Islam dan Kapitalisme bertolak belakang. Islam menjadikan akidah Islam berikut syariatnya sebagai landasan sistem ekonominya. Sebaliknya, dasar sistem ekonomi Kapitalisme adalah sekularisme, yang menghalangi agama terlibat dalam ekonomi. Akibatnya, kebijakan ekonomi kapitalis lebih didasarkan pada hawa nafsu manusia yang rakus.

Lalu bagaimana pandangan dan solusi Islam terhadap kebijakan ekonomi neo-liberal ini?

1. Persoalan ekonomi: distribusi atau produksi?

Kalangan ekonomi kapitalis (liberal) percaya bahwa persoalan ekonomi terletak pada masalah produksi. Maksudnya, persoalan ekonomi terletak pada tidak terbatasnya keinginan manusia, sementara sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhinya terbatas. Untuk menghilangkan gap ini harus dengan peningkatan produksi. Karena itu, hitungan angka rata-rata statistik seperti GDP (Gros domestik product) dan GNP (gross national product) adalah persoalan penting; tanpa melihat orang-perorang, apakah mereka sejahtera atau tidak.

Sebaliknya, dalam Islam, persoalan ekonomi terletak pada masalah distribusi kekayaan. Sebenarnya terdapat sumber-sumber yang cukup untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok 6 miliar penduduk dunia. Masalahnya adalah pada pendistribusian. Tidak sahihnya pendistribusian inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan yang luar biasa antara negara maju dan Dunia Ketiga (yang ironisnya mayoritas negeri-negeri Islam).

Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 miliar dolar AS menjadi lebih dari 1 trilun dolar AS; aset tiga orang terkaya di dunia lebih besar dari GNP 48 negara terbelakang; 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa; 1/5 orang termiskin dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja (The United Nations Human Development Report, 1999).

Di sinilah peran negara, yang dalam pandangan ekonomi Islam, wajib melakukan pendistribusian kekayaan ini dengan mekanisme tertentu yang sesuai dengan syariat Islam sehingga setiap orang terpenuhi kebutuhan pokoknya.

2. Peran negara: perlu atau tidak?

Konsekuensi dari keyakinan tentang persoalan ekonomi di atas, penganut ekonomi neo-liberal percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari kompetisi bebas. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Jika harga murah berarti persediaan memadai. Sebaliknya, jika harga mahal berarti produknya mulai langka. Dalam keadaan harga tinggi, orang akan menanamkan modal kesana. Oleh sebab itu, harga menjadi tanda apa yang diproduksi. Itulah alasannya, mengapa negara tidak perlu campur tangan; serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar untuk berkerja.

Sebaliknya, dalam Islam negara memiliki peran yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan rakyatnya; termasuk pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan keamanan. Ini merupakan policy mendasar ekonomi Islam. Sebab, bisa jadi seorang individu tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dengan berbagai alasan seperti cacat tubuhnya atau lemah akalnya, sementara keluarganya tidak cukup untuk membantu.

Di samping itu negara (Daulah Khilafah Islam) harus berperan untuk menjamin pendistribusian kekayaan berdasarkan syariah seperti: memungut dan membagikan zakat; melarang penimbunan kekayaan, investasi pada bank ribawi untuk mendapatkan keuntungan dari bunga, penimbunan emas dan perak, penimbunan barang yang mengancam kewajaran harga pasar, pemilikan harta milik umum oleh individu/swasta, dsb.

Negara juga bertanggung jawab untuk mengelola kepemilikan umum (milkiyah ‘amah) untuk kepentingan rakyat banyak, memanfaatkan sumber-sumber pendapatan negara untuk rakyat, menciptakan situasi perekonomian yang kondusif seperti keluasan lapangan kerja dan kemampuan yang tinggi dari para pekerja (profesionalitas).

(3) Subsidi bagi rakyat: penting atau tidak?

Menurut ekonom liberal, subsidi adalah racun bagi rakyat. Karena itu, subsidi harus dicabut. Alasannya, selain bertentangan dengan prinsip menjauhkan campur tangan negara dalam perekonomian, subsidi juga bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Ini pula alasan mengapa dalam kebijakan ekonomi neo-liberal harus ada privatisasi perusahaan yang dikelola negara agar tidak menghalangi terjadinya persaingan bebas dalam pasar bebas.

Sebaliknya, dalam Islam, karena prinsip politik ekonominya adalah menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, adalah wajar bahkan wajib negara memberikan bantuan secara gratis kalau memang ada rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adalah tanggung jawab negara juga menyediakan fasilitas kebutuhan kolektif masyarakat yang vital seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan secara murah. Apalagi biaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut memang milik rakyat (milkiyah ‘âmah) dan digunakan untuk kepentingan rakyat.

Terbukti pula bahwa pencabutan subsidi dalam kebijakan ekonomi neo-liberal telah mengsengsarakan rakyat. Kebutuhan pokok rakyat pun terbaikan. Beban mereka semakin berat akibat negara lepas tangan dalam masalah pendidikan, pendidikan, dan kesehatan yang mahal akibat diserahkan ke mekanisme pasar (privatisasi).

(4) Pasar bebas atau tidak?

Jelas, dalam pandangan neo-liberal harus ada liberalisasi perdagangan dalam bentuk pasar bebas. Agenda utama liberalisasi perdagangan adalah penghapusan hambatan non-tarif (proteksi) dan penurunan tarif perdagangan dalam transaksi perdagangan internasional. Tujuannya, masih menurut ekenom neo-liberal, untuk memacu semakin meningkatnya volume perdagangan antarnegara di seluruh dunia. Mereka berharap, kalau volumenya bertambah akan menjadi motor penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dunia yang berkelanjutan (Kruman dan Obstfeld, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan, 2002).

Persoalannya, persaingan ini tidak seimbang. Dengan perbedaan struktur, perkembangan ekonomi, dan ketimpangan kemampuan sains dan teknologi, negara terbelakang tidak akan mampu bersaing melawan negara maju. Yang terjadi adalah dominasi negara-negara maju dalam perdagangan dunia yang membuat mereka semakin untung; negara terkebelakang hanya jadi obyek dalam pasar bebas ini. Celakanya lagi, sektor-sektor industri yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat seperti pertanian dan sektor informal disikat habis akibat ketidakseimbangan persaingan ini. Tanah pertanian mereka pun digusur menjadi industri pabrik pemilik modal besar.

Apalagi kalau perusahan-perusahan transnasional ini masuk pada industri yang sebenarnya termasuk dalam kategori milik umum (milkiyah âamah) seperti minyak, air, atau tambang emas; pastilah negara terbelakang akan kalah bersaing. Akibatnya, lewat keunggulan modal dan teknologi, kekayaan alam negara-negara terbelakang itu disedot habis oleh negara maju. Perdagangan bebas dan investasi asing menjadi senjatanya. Negara terbelakang pun semakin termiskinkan. Mereka menjadi kuli di tanah air mereka sendiri.

Dalam Islam sendiri, dibedakan antara perdagangan dalam negeri dan luar negeri.

Perdagangan dalam negeri berkaitan dengan aktivitas antar rakyat (warga) negara Daulah Khilafah sendiri. Aktivitas ini tidak butuh campur tangan negara. Hanya saja, aktivitas ini tetap membutuhkan pengarahan secara umum agar tiap individu yang melakukan perdagangan terikat pada hukum syariat dalam jual-belinya; termasuk memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar. (Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, hlm. 325). Berkaitan dengan perdagangan dalam negeri ini negara tidak boleh mematok harga tertentu untuk barang, apapun alasannya. Harga barang diserahkan kepada pasar.

Adapun perdagangan luar negeri adalah aktivitas jual-beli yang berlangsung antara bangsa dan umat. Oleh karena itu, negara akan campur tangan. Hubungan-hubungan antarbangsa seperti ini harus tunduk pada kekuasaan negara; negaralah yang mengatur dan mengarahkan perdagangan tersebut secara langsung. Islam dalam konteks ini menolak perdagangan bebas. Negara Khilafah Islam akan melarang dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan komiditi lain sesuai dengan pertimbangan syariat. Negara Khilafah tentu saja akan melarang warganya yang menjual senjata kepada pasukan musuh, misalnya. Negara juga tidak membolehkan pihak asing untuk melakukan investasi untuk menguasai sektor-sektor yang berhubungan dengan pemilikan umum, seperti minyak dan tambang emas. Perusahan-perusahan multinasional tidak akan dibolehkan memanfaatkan apalagi memiliki sumber-sumber alam negara Khilafah.

Negara juga akan campur tangan dalam pelaku bisnis kafir harbi atau mu’âhad. Sebab, prinsip yang diadopsi oleh negara Khilafah dalam aktivitas perdagangan ini adalah prinsip asal-muasal (kewarganegaraan) pedagangnya, bukan asal-muasal komoditasnya. Dalam hal ini, Negara Khilafah tidak akan mengadakan hubungan dagang dengan negara-negara yang memerangi kaum Muslim secara langsung (muhâriban fi’lan) seperti AS, Inggris, dan Israel. Intervensi negara tersebut bukan sebatas kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk tujuan-tujuan politik sekaligus mengemban dakwah.

Negara Khilafah pada prinsipnya akan menolak setiap perdagangan yang justru memberikan jalan bagi pihak luar untuk menguasai dan mendominasi negara seperti yang terjadi sekarang ini. Setiap warga negara berkewajiban mengamankan negara sehingga tidak bergantung pada produk-produk asing yang mengancam kemandirian negara. Warganegara didorong untuk memperkuat dan memanfaatkan produk lokal serta mendorong ekspor. Dalam hal ini, negara boleh memproteksi pasar dalam negeri dari masuknya barang-barang yang justru mengancam industri dalam negeri seperti dalam bidang pertanian.

(5) Liberalisasi keuangan: diterima atau ditolak?

Pada dasarnya liberalisasi keuangan dalam kebijakan ekonomi neo-liberal ditujukan untuk mendorong pengintegrasian sebuah negara secara penuh ke dalam sistem perekonomian dan keuangan internasional. Dengan demikian, akan terbentuk jalan bebas hambatan bagi berlangsungnya transaksi keuangan dan perdagangan antar berbagai negara di seluruh dunia (Singh, Memahami Globalisasi Keuangan, 1998).

Persoalannya, akibat liberalisasi ini negara-negara miskin sangat rentan terhadap berbagai gejolak dan spekulasi moneter yang dilakukan spekulan internasional dari negara kaya tertentu. Banyak pihak yang percaya, krisis moneter di Asia pada 1997, yang kemudian juga menguncang Indonesia, merupakan permainan para spekulan internasional ini.

Apalagi liberalisasi keuangan berarti menjadikan dolar sebagai mata uang yang dominan di dunia internasional. AS memegang kendali nilai mata uang dunia dan dengan mudah mempengaruhi perekonomian negara lain. Dolar kemudian menjadi alat penjajahan AS di dunia internasional.

Dalam hal ini, Negara Khilafah akan menerapkan sistem mata uang dengan standar emas dan perak, bukan dolar. Dengan demikian, sistem moneter internasional akan terjadi secara adil. Siapapun yang ingin mencetak uang kertas harus mengupayakan persediaan emas dan perak yang setara. Berbeda dengan saat ini, AS hanya tinggal mencetak uang kertas, sementara negara lain harus melakukan jual-beli untuk mendapat dolar. Percetakan uang kertas dalam jumlah yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan kekayaan real juga telah menjadi akar penyebab inflasi.

(6) Ihwal privatisasi BUMN.

Kebijakan privatisasi BUMN sesungguhnya menjadi agenda utama kebijakan ekonomi neo-liberal. Tentu saja hal ini menyebabkan dieksploitasinya kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk rakyat oleh perusahaan swasta, terutama transnasional. Kekayaan yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, memenuhi kebutuhan pokok rakyat, pendidikan dan kesehatan gratis justru jatuh ke individu-individu. Wajarlah jika Indonesia yang kekayaan alamnya luar biasa, rakyatnya harus hidup miskin.

Dalam Islam kepemilikan dibagi tiga: individu, umum, dan negara. Yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah:

(1) segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital rakyat, yang ketiadaannya akan menyebabkan kehidupan masyarakat tidak berjalan baik seperti air dan sumber energi (gas, listrik, minyak bumi, tambang batu bara, dll);

(2) berbagai komoditas yang secara alamiah tidak bisa dimiliki secara pribadi seperti lautan, sungai, taman umum, masjid, jalan umum, termasuk kereta api maupun alat transportasi lainnya;

(3) barang tambang yang depositnya tidak terbatas seperti sumberdaya mineral (garam, besi, emas, perak, timah dll).

Semua yang termasuk dalam kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta (seperti perusahan multi nasional) dan bukan pula milik negara. Negara hanya mengelolanya saja; hasil pendapatannya diserahkan ke Baitul Mal yang digunakan untuk kepentingan rakyat. Jadi, bisa kita bayangkan, betapa banyaknya sumber kas Baitul Mal.

Agenda ke Depan

Tentu saja, kebijakan ekonomi Islam di atas harus dijalankan secara komprehensif. Karena itu, agenda umat Islam ke depan adalah membangun sistem politik untuk itu, yaitu Daulah Khilafah Islam. Negara global inilah yang akan menggeser dan menundukkan arogansi dan kerakusan negara-negara kapitalis lewat kebajikan ekonomi neo-liberalnya yang merugikan umat manusia saat ini. Wallâhu a’lam. (M. Arif Adiningrat dan Farid Wadjdi)


http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/03/ekonomi-islam-vs-ekonomi-neo-liberal/

DEPRESI SOSIAL Gejala dan Akar Penyebabnya

hizbut-tahrir.or.id - Istilah stress dan depresi sering tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa seseorang disebut stressor psikososial, yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ tubuh. Reaksi tubuh (fisik) dinamakan stress. Manakala fungsi organ-organ tubuh sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan depresi adalah reaksi kejiwaan (psikis) seseorang terhadap stressor yang dialami. Karena faktor fisik dan psikis dalam diri manusia saling mempengaruhi, maka antara stress dan depresi juga saling mempengaruhi dan merupakan satu kesatuan. Reaksi kejiwaan lainnya yang berhubungan dengan stress adalah kecemasan (anxiety).

Kecemasan dan depresi merupakan dua jenis gangguan kejiwaan yang saling berkaitan. Seseorang yang mengalami depresi sering juga mengalami kecemasan, demikian pula sebaliknya. Gejala fisik maupun psikis (depresi dan kecemasan) sering tumpang-tindih, tidak ada batasan yang jelas. Seseorang yang mengalami stress dapat diartikan bahwa orang itu memperlihatkan berbagai keluhan fisik, kecemasan, dan juga depresi. Faktor-faktor psikososial seperti masalah keuangan, pekerjaan, keluarga, hubungan interpersonal dan sebagainya cukup menjadi pemicu terjadinya stress atau depresi pada seseorang. Depresi ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa, dan sebagainya.

Terus Meningkat

Dari sekian banyak masalah kesehatan yang cenderung meningkat, kesehatan jiwa merupakan masalah yang makin nyata peningkatannya. Data yang diperoleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, 10 persen dari populasi penduduk dunia membutuhkan pertolongan atau pengobatan di bidang kesehatan/psikiatri. Bahkan menurut studi World Bank tahun 1993 di beberapa negara, 8,1 persen dari global burden disease (penyakit akibat beban globalisasi) disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa, yang menunjukkan dampak yang lebih besar daripada penyakit TBC (7,2 persen), kanker (5,8 persen), jantung (4,4 persen), dan malaria (2,6 persen). Hasil survei Prof. Ernaldi Bahar tahun 1995 dan Direktorat Kesehatan Jiwa tahun 1996 menyatakan, bahwa di Indonesia, 1-3 dari setiap 10 orang mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang dimaksud bukanlah gangguan jiwa yang dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai “orang gila”, tetapi dalam bentuk gangguan mental serta perilaku yang gejalanya mungkin tidak disadari oleh masyarakat; seperti depresi, kecemasan, kepanikan, penyakit yang berhubungan dengan kondisi psikologis (psikosomatis); juga yang berhubungan dengan masalah psikososial seperti tawuran, perceraian, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan Napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang lain).

Berapa banyak anggota masyarakat Indonesia yang mengalami depresi belum ada data yang pasti. Namun, diperkirakan jumlahnya semakin banyak karena beberapa hal, antara lain: usia harapan hidup semakin bertambah, stressor psikososial semakin berat, berbagai penyakit kronik semakin bertambah, serta kehidupan masyarakat yang semakin hedonistik dan jauh dari nilai-nilai transendental (ruhiah). Meningkatnya angka depresi juga dapat dilihat dari semakin banyaknya pasien yang berobat di klinik psikiatri di rumah sakit, meningkatnya pemakaian obat-obat anti depresi, dan semakin meningkatnya kasus bunuh diri.

Depresi merupakan penyebab utama bunuh diri. Bunuh diri sebagai jalan terakhir bagi orang yang mengalami depresi juga meningkat tajam. Jumlah kasus bunuh diri di Indonesia selama 6 bulan terakhir pada tahun 2004 sudah mencapai 92 kasus. Hampir menyamai jumlah seluruh korban tahun 2003 yang tercatat 112 kasus. Peningkatan kasus ini jelas merupakan suatu gejala yang mencemaskan. Faktor penyebab dari banyaknya kasus bunuh diri adalah adanya ketidakmampuan seseorang dalam mengelola stress yang dialami.

Di AS, setiap tahun sekitar 1,3 juta orang mencoba bunuh diri dan lebih kurang 400.000 orang di antaranya tewas. Angka ini 1,5 kali lebih banyak daripada angka kematian akibat tindak kriminal. Walhasil, angka bunuh diri di AS menempati urutan ketiga terbesar penyebab kematian penduduk usia 15-24 tahun. Salah satu tempat favorit untuk bunuh diri adalah jembatan terkenal Golden Gate Bridge di San Fransisco. Lebih kurang 850 orang di laporkan telah tewas bunuh diri di jembatan berwarna merah yang sangat terkenal itu (Kompas, 17/7/2004).

Faktor Penyebab

Penyebab stress kadangkala mudah untuk dideteksi, tetapi sering sulit untuk diketahui. Ada yang mudah untuk dihilangkan, ada yang sulit atau bahkan tidak bisa dihindari. Tiga sumber utama adalah: lingkungan (keluarga dan masyarakat serta negara), badan dan pikiran yang keduanya bisa dimasukkan sebagai faktor individu.

Faktor Individu.

Stress dapat ditimbulkan oleh perubahan faali pada tubuh seseorang yang terjadi. Contohnya, perubahan yang terjadi waktu remaja, perubahan fase kehidupan akibat fluktuasi hormon, dan proses penuaan. Selain itu, datangnya penyakit, makanan yang tidak sehat, kurang tidur dan olahraga juga akan mempengaruhi respon terhadap stress.

Potensi stress utama juga datang dari pikiran yang terus-menerus menginterpretasikan isyarat-isyarat dari lingkungan secara tidak tepat. Bagaimana seseorang menginterpretasi peristiwa-peristiwa yang terjadi menentukan apakah ia akan mengalami stress atau tidak. Ini sangat dipengaruhi oleh cara berpikir seseorang dari yang bersifat sederhana sampai yang filosifis menyangkut pandangan hidup. Contoh sederhana, di depan ada gelas berisi air separuh, bagaimana seseorang milihatnya? Sebagai setengah penuh atau setengah kosong? Pikiran-pikiran yang menyebabkan stress sering bersifat negatif, penuh kegagalan, katastrofik, hitam-putih, terlalu digeneralisasi, tidak berdasarkan fakta yang cukup, dan terlalu dianggap pribadi.

Pandangan hidup seseorang sangat berpengaruh pada bagaimana orang tersebut menjalani kehidupannya. Pandangan hidup yang materialistis tentu akan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku seseorang. Tolok ukur keberhasilan dan kesuksesan hidup jadinya bersifat material. Akibatnya, jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, akan timbul kegelisahan yang luar biasa. Ketika orang kehilangan pangkat, jabatan, status sosial, uang, kekuatan fisik, intelektual, cinta, perhatian, dan lain-lain yang bersifat lahiriah, maka ia bisa merasa tak berguna lagi.

Di sinilah pentingnya memahami apa sesungguhnya hakikat manusia diciptakan. Pemahaman ini akan mengubah cara pandang terhadap peristiwa apapun yang dihadapi dalam hidup ini sehingga memunculkan keberanian dan optimisme.

Faktor Lingkungan.

Lingkungan selalu membuat kita harus memenuhi tuntutan dan tantangan, yang karenanya merupakan sumber stress yang potensial; misalnya ketika orang mengalami musibah akibat terjadinya bencana alam (banjir, gempa bumi dan sebagainya) atau cuaca buruk, kemacetan lalu-lintas, beban pekerjaan, problema rumahtangga, dan hubungan antarmanusia; atau ketika orang dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi keuangan, pindah kerja, atau kehilangan orang yang dicintai.

Lingkungan paling dekat dan karenanya sangat mudah mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang adalah keluarga. Kehadiran orangtua (terutama ibu) dalam perkembangan jiwa anak amat penting. Jika anak kehilangan peran dan fungsi ibunya—sehingga dalam proses tumbuh kembangnya ia kehilangan haknya untuk dibina, dibimbing, diberikan kasih sayang, perhatian, dan sebagainya—maka ia disebut mengalami “deprivasi maternal”. Jika peran ayahnya yang tidak berfungsi, maka ia disebut sebagai “deprivasi paternal”.

Dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan, peran orangtua dalam mendidik anak akan terganggu. Akibatnya, besar kemungkinan selama pertumbuhannya, anak akan mengalami deprivasi. Anak mungkin tidak kehilangan ibunya secara fisik. Namun, jika peran ibu yang amat penting dalam proses imitasi dan identifikasi dirinya tidak ada, maka perkembangannya akan terganggu. Hal yang sama bakal terjadi pada anak jika figur dan peran ayahnya tidak ada.

Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan dan mengalami deprivasi maternal (juga paternal dan atau parental), mempunyai risiko tinggi menderita gangguan kepribadiannya; yaitu gangguan dalam perkembangan mental-intelektual, perkembangan mental-emosional, bahkan perkembangan psikososial dan spiritualnya. Tidak jarang dari mereka, jika kelak dewasa, akan memperlihatkan berbagai perilaku yang menyimpang, anti sosial, bahkan sampai melakukan tindak kriminal.

Anak-anak sebagaimana digambarkan di atas pada umumnya dibesarkan dalam keluarga yang tidak sehat dan tidak bahagia. Hal ini disebabkan karena ketidakberadaan orangtua atau karena tidak berfungsinya orangtua sebagaimana mestinya. Dalam 20 tahun terakhir ini, para ahli telah melakukan berbagai penyelidikan perihal pola perkawinan/keluarga yang ternyata tidak sehat dan tidak membawa kebahagian rumahtangga, yang dampaknya amat tidak baik bagi tumbuh-kembang anak.

Dua sarjana dari Universitas Nebraska (AS), yaitu Prof. Nick Stinnet dan Prof. John De Frain, dalam studinya yang berjudul, “The National Study On Family Strenght,” mengemukakan bahwa paling sedikit harus ada enam kriteria bagi perwujudan suatu keluarga/rumahtangga yang dapat dikategorikan sebagai keluarga yang sehat dan bahagia, yang amat penting bagi tumbuh kembangnya anak. Keenam kriteria tersebut adalah:

§ Kehidupan beragama dalam keluarga.

§ Mempunyai waktu untuk bersama.

§ Mempunyai pola komunikasi yang baik antar sesama anggota keluarga.

§ Saling menghargai satu sama lain.

§ Masing-masing anggota keluarga merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai kelompok.

§ Jika terjadi suatu permasalahan, mampu menyelesaikan secara positif dan konstruktif.

Para ahli berpendapat bahwa perceraian, perpisahan, serta pertengkaran antara ayah dan ibu akan berpengaruh pada anak. Anak mempunyai risiko tinggi untuk menjadi nakal dengan tindakan-tindakan anti sosial. Berikut ini adalah hasil penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh kondisi orangtua terhadap kenakalan anak. (M. Rutter: Parent-Child Separation, 1980).

1. Pada keluarga broken homes, kenakalan anak laki-laki jauh lebih tinggi presentasinya daripada keluarga yang orangtuanya meninggal atau keluarga utuh.

2. Meskipun keluarga utuh (kedua orangtua masih hidup dan tinggal satu atap), suasana rumah yang tidak sehat dan tidak bahagia akan menyebabkan prosentase anak menjadi nakal semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Graig dan Glick (1965), Mc Cord (1959), Tait dan Hodges (1962).

3. Ada perbedaan perkembangan anak yang hidup dalam suasana rumah yang tegang (tension) dan hangat (warm). Suasana rumahtangga yang tegang mengakibatkan tingginya prosentase perilaku menyimpang anak. Sebaliknya, suasana rumah yang hangat di antara kedua orangtua menurunkan prosentase kenakalan anak.

4. Hubungan buruk antara anak dan kedua orangtua mengakibatkan prosentase kenakalan anak meningkat.

Lingkungan kedua yang memasok faktor munculnya stress tentu saja adalah masyarakat. Masyarakat yang berpaham materialis cenderung individualis. Kepekaan terhadap lingkungan sosialnya sangat rendah. Orang akan bersaing untuk untuk dirinya sendiri dengan berbagai cara tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Hubungan interpersonal semakin fungsional dan cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seperti keramahan, perhatian, toleransi, dan tenggang rasa. Akibatnya, tekanan isolasi dan keterasingan kian kuat; orang makin mudah kesepian di tengah keramaian. Inilah yang disebut lonely crowded, gejala mencolok dari masyarakat kapitalis di mana-mana.

Orang yang banyak mengikuti kegiatan sosial seperti pengajian, dakwah, dan kegiatan sosial lain akan merasa dirinya diperhatikan sebagai bagian dari kebersamaan. Biasanya, dalam perkumpulan seperti itu, kebutuhan dan kesulitan bersama dibicarakan. Aktivitas-aktivitas seperti itu perlu makin dikembangkan guna mengatasi rasa cemas dalam kehidupan bersama khususnya di perkotaan. Dengan demikian, kebutuhan akan perhatian, dihargai, hingga aktualisasi diri dapat diwujudkan. Selain itu, perkumpulan-perkumpulan semacam itu menjadi bagian dari kontrol bagi para anggotanya.

Penentu corak lingkungan utama di mana individu dan masyarakat hidup tentu saja adalah negara. Banyak sebab terjadinya kasus bunuh diri dan depressi di tengah masyarakat tidak lepas dari faktor kesulitan ekonomi, rendahnya pendidikan, buruknya tingkat kesehatan, dan beban hidup yang semakin tinggi. Kasus bunuh diri terbanyak di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jakarta, terutama diakibatkan oleh tekanan ekonomi di tengah situasi sosial politik yang carut-marut. Relasi sosial yang sehat hanya dapat terbentuk jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi—pangan, sandang, dan papan, kesehatan, pendidikan dasar, dan ruang-ruang publik yang memungkinkan orang berinteraksi secara normal.

Menurut E. Kristi Purwandari, pengajar Fak. Psikologi UI, faktor penyelenggaraan kehidupan bernegara yang carut-marut menjadi penyebab depresi terbesar bagi masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. Keadaan seperti ini menyebabkan orang frustasi dan putus harapan karena merasa tidak memiliki masa depan. Seseorang cenderung kecil hati dan cepat menyerah menghadapi realitas hidup. Ditambah dengan makin maraknya ketidakadilan di berbagai bidang (ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan hukum, ketidakadilan politik, dan sebagainya) yang membuat hidup di Indonesia dirasakan tidak nyaman. Tidak aneh jika stress dan depresi meningkat.

Di bidang kesehatan, misalnya, pemerintah Indonesia terbukti tidak mampu menyediakan lingkungan sosial yang kondusif untuk kesehatan mental masyarakat. Tentang ini, menurut Kirti, Pemerintah Indonesia masuk dalam kategori sangat buruk dalam layanan kesehatan masyarakat, terutama karena perilaku para penguasa yang membuat kondisi kejiwaan rakyat terganggu, di samping ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang menjadikan orang depresi dan kehilangan makna hidup.

Televisi sebagai media yang banyak menayangkan adegan kekerasan disinyalir juga memiliki andil dalam mengajari bagaimana orang menyelesaikan masalah, terutama pada anak-anak. Maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak sedikit banyak dipengaruhi oleh tayangan itu. Dalam hal ini, negara (pemerintah) mestinya mengatur tayangan tivi agar tidak berdampak buruk pada perilaku anak-anak. Akan tetapi, faktanya?

Perlu Solusi Total

Ada kecenderungan, orang yang mengalami stress mencari solusi yang bersifat sesaat dan justru menimbulkan kemadaratan. Ini ditunjukkan oleh semakin maraknya dunia hiburan, penyaluran hobi, seks bebas, dan sebagainya. Alkohol, obat-obatan, merokok, dan makan berlebihan juga sering dijadikan alat untuk membantu menghadapi stres. Padahal, efeknya hanya berlangsung sementara, dan dalam jangka panjang akan merusak badan dan pikiran atau jiwa. Perilaku lainnya yang terlihat adalah sikap menunda-nunda, perencanaan yang buruk, tidur berlebihan dan menghindari tanggung jawab. Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru bagi individu tersebut.

Ada juga yang mengalihkannya dalam kegiatan ritual seperti kajian-kajian tasawuf, zikir, majelis taklim, dan sebagainya. Secara personal, ini mungkin bisa membantu, tetapi secara komunal cara ini tidak akan menyelesaikan masalah secara komprehensif. Harus ada penyelesaian yang bersifat kolektif, menyeluruh, dan bersifat sistemik. Semua itu dapat dimulai dari pengembangan SDM secara sehat yang berbasis tauhid, keluarga yang bahagia (sakinah), dan sistem yang kondusif, yakni sistem yang belandaskan pada nilai-nilai yang agung; dialah sistem Islam yang akan melahirkan tata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pendidikan serta layanan sosial yang baik. Hanya dengan sistem Islamlah stress dan depresi sosial dapat diatasi dengan sebaik-baiknya.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. (Dra. Zulia Ilmawati, S.Psi; psikolog dan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)

Ironi Mencari Jati Diri Perempuan

hizbut-tahrir.or.id - Unbreakable…demikanlah tema iklan salah satu produk shampoo terkenal di Indonesia saat ini. Semangat yang hendak ditorehkan bagi perempuan Indonesia yang tidak mudah lemah, tidak mudah patah semangat, dan tidak mudah kalah dalam kehidupan. Sebuah pesan sederhana, menyentuh, yang dilukiskan oleh seorang penyanyi terkenal dan kebetulan memiliki citra dari produk yang diluncurkan sebagai strategi bisnisnya. Disisi lain, pesan yang disampaikan lewat iklan produk shampoo yang dicitrakan buat kaum hawa, dengan model perempuan cantik berambut lurus nan anggun ini mengajak audiencenya bersikap terhadap sebuah paradigma tentang perempuan itu sendiri. Sejauhmana paradigma tentang perempuan saat ini?

Sudah menjadi hal yang umum bahwa setiap perempuan ingin tampil cantik dan menarik. Perempuan selalu diidentikkan dengan keindahan. Pandangan sebagaian masyarakat saat ini bahwasanya keindahan dan kecantikan seolah-olah yang hanya dapat membahagiakan dan berikutnya menjadi tujuan seorang perempuan hidup. Tak ayal lagi, pandangan tentang mitos kecantikan menjadi hal yang diburu oleh kaum perempuan dan hal yang dieksploitir oleh para kapitalis. Maka berlomba-lombalah para pencari keuntungan menangguk pemasukan dengan strategi pemasarannya. Hanya saja sebuah pesan yang disampaikan lewat media massa saat ini, tidak saja sekedar menyampaikan sebuah informasi tentang suatu produk yang akan ditawarkan, tetapi sisipan hiburan atau entertainment dalam penyampaian pesan tersebut justru lebih menonjol dibanding infromasi yang diinginkan. Hampir semua tayangan iklan di media massa kita dibumbui dengan citra perempuan. Hal yang sangat jauh dan bisa jadi tidak berhubungan dengan perempuan seolah dipaksakan identik dengan perempuan hanya untuk menarik perhatian khalayak. Tentunya yang menjadi ukuran dapat menarik perhatian khalayak adalah perempuan karena perempuan diidentikkan dengan kecantikan dan keindahan tersebut.

Persoalan menjadi rumit manakala sejumlah pendapat yang mengasumsikan perempuan saat ini mempunyai posisi yang tidak boleh dimarjinalkan, tidak boleh berada di ketiak kaum partiriarki atau diinjak oleh produk budaya maupun agama yang secara sengaja melumatkan harga kesetaraan yang diinginkan dalam pencapaian status sosial di masyarakat, dan sejumlah pendapat ini mengasumsikan bahwa nilai agama berhasil mengukuhkan posisi kaum patriarki l membabat daya kreativitas perempuan dalam persaingan hidup. Karenanya sejumlah pendapat ini bergeliat mencari status untuk kemudian mendapatkan status setara dalam berbagai bidang kehidupan.

Pergulatan mencapai status tersebut hampir dipastikan berkembang seiring dengan pergeseran ideologi yang mewarnai kehidupan umat manusia saat ini. Sudah menjadi rahasia umum jika kehidupan kapitalis nan sekularistik saat ini mendorong umat manusia berpikir tentang pengaturan hidup ada ditangan manusia. Ukuran kebahagiaan ada pada ukuran manusia, diantaranya ukuran tentang kesetaraan itu sendiri. Sejumlah pendapat yang mengatakan jika posisi kaum perempuan saat ini berada di marjinal sosial, maka penghalang-penghalang ukuran setara yang ada harus disingkirkan sekalipun itu bernuansa agama.

Pergerakan mencapai status ini menjadi final manakala diakomodir oleh sistem kapitalis-sekuler. Paradoks perjuangan mencapai kesetaraan lewat berbagai bidang kehidupan. Sementara hampir dalam setiap upaya tersebut justru mengeksploitir perempuan. Mulai dari tayangan yang eksplotiasi sensualitas dan kebertubuhan perempuan sampai legalitas undang-undang atas dasar azasi “prochoice” yang justru tidak melindungi perempuan.

Solusi

Ada sebuah pepatah mengatakan ”Tak kenal maka tak sayang”. Tidak mengenal hakikat kedudukan perempuan maka bisa dipastikan tidak ada rasa sayang kita, rasa peduli kita pada kaum perempuan. Ukuran untuk menilai hakikat kedudukan perempuan itu harusla bukan berasal dari manusia, sebab jika ukuran itu diserahkan pada manusia maka berpotensi untuk salah, serba lemah, dan dipengaruhi oleh lingkungan dia hidup. Mengukur kedudukan perempuan haruslah diletakkan pada yang membuat adanya kaum perempuan itu sendiri, dalam hal ini tentu Sang Khalik melalui produk hukum yang sudah dilegalkan dalam mengatur kehidupan umat manusia, yaitu sejumlah aturan agama. Islam mengajarkan kedudukan perempuan adalah sebagai ibu/anak dalam rumah tangganya (Al Umm/ Al Bintu wa rabbatul bait) dan bukan yang lain. Pada kedudukan tersebut tidaklah dikatakan perempuan hanya ada pada sektor domestik, karena dari latar belakang kesadaran kedudukan perempuan ini ketaatan yang muncul bukan bermakna keterjajahan kaum perempuan dari dominasi kaum patriarki. Munculnya keterjajahan atas kaum perempuan adalah karena ideologi kapitalis-sekuler yang merangsek keseluruh dunia dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan hingga tatanan kehidupan sebuah keluarga. Akibat sistem kapitalis, kondisi perekonomian yang timpang saat ini mendorong secara massiv kaum perempuan untuk terjun di sektor publik. Walhasil dalam ranah publik ini perempuan dipaksa bersaing dengan kaum patriarki, muncullah berbagai persoalan kemudian. Pelecehan seksual, Traficcking, prostitusi, upah rendah dan sebagainya. Akibat kehidupan sekuler, atas nama kebebasan kebertubuhan perempuan eksploitasi dan eksplorasi menjadi hal yang wajar demi mencapai nilai kebahagiaan yang notabene bersifat materi belaka. Tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi diperjuangkan untuk dilegalkan. Ironi sebuah pergulatan pencarian kesetaraan.

Menjadi wajar jika saat ini orang mulai melirik dan berpikir untuk mengatasi sengkarut posisi kaum perempuan dikembalikan pada nilai agama, nilai syariah dan berpikir jernih untuk membuang sistem aturan kehidupan kapitalis-sekuler dalam keranjang sampah. Beramai-ramai para pencari kesetaraan saat ini untuk kembali pada solusi agama sebagai penangkal solusi absurd tentang kesetaraan yang sudah ditinggalkan oleh para penggagasnya dua dasawarsa yang lalu. Menjadi ironi ide yang justru baru diusung oleh para penggagas kesetaraan jender di negeri ini.

(TRISNO KUMARI; Anggota Aliansi Penulis Pro Syariah (AlPen Pro Sa) Surabaya)



PERSOALAN SEPUTAR MAZHAB Oleh M. Shiddiq Al-Jawi

Pengantar Redaksi:

Umat Islam sering menghadapi beberapa persoalan dan pertanyaan di seputar mazhab (fikih), misalnya: bagaimana sejarah lahirnya mazhab; apakah bermazhab itu dibolehkan atau tidak; bagaimanakah bermazhab secara benar; apakah Hizbut Tahrir suatu mazhab atau bukan?

Tulisan ini bertujuan menjawab beberapa persoalan seputar mazhab tersebut. Maka dari itu, di sini akan ditelaah kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islâmiyyah Jilid I karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994) serta beberapa referensi lain yang terkait.

Pengertian Mazhab

Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).

Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.

Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i. (Nahrawi, 1994: 208).

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).

Lahirnya Mazhab

Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991: 209; Khallaf, 1985:46; Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dengan para imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) (Lihat: al-’Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).

Bagaimana mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun sejarah saat itu? Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai faktor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain:

Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.

Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha.

Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha

Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih.

Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama. Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih (Nahrawi, 1994: 164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182; Khallaf, 1985: 46-48; Al-Hashari, 1991: 209-213).

Terbentuknya Mazhab

Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994: 386), berbagai mazhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.

Lebih jauh An-Nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut. Ini disebabkan adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash (An-Nabhani, 1994: 387-392). Penjelasannya sebagai berikut:

Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:

1. Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. (Khallaf, 1985: 57-58).

2. Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya. (Khallaf, 1985: 58-59).

3. Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. (Khallaf, 1985: 59).

4. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah. (An-Nabhani, 1994: 388-389).

Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum). (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili, 1996: 909-911).

Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash. (Khallaf, 1985: 64).

Tentang Bermazhab

Bolehkan kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994:232) menyatakan, sesungguhnya Allah Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah Swt. kepada kita adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Karena itu, An-Nabhani menandaskan, secara syar‘î kita tidak dibenarkan kecuali mengikuti hukum-hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti pribadi-pribadi tertentu. (An-Nabhani, 1994: 232).

Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Mereka mengambil hukum syariat yang digali oleh orang lain, yaitu para mujtahidin. Karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka (An-Nabhani, 1994: 232). Persoalannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang dibenarkan syariat Islam?

An-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap masalah ini. Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat yang digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika umat berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam (An-Nabhani, 1994: 232).

Walhasil, para pengikut mazhab wajib memperhatikan hal ini dengan sangat seksama; sekali lagi, sangat seksama, yaitu bahwa yang mereka ikuti hanyalah hukum syariat yang digali oleh mujtahid, bukan pribadi mujtahid yang bersangkutan. Kalau seseorang bermazhab Syafi’I, misalnya, maka wajiblah dia mempunyai persepsi, bahwa yang dia ikuti bukanlah Imam Syafi’i sebagai pribadi (taqlîd asy-syaksh), melainkan hukum syariat yang digali oleh Imam Syafi’i (taqlîd al-ahkâm). Jika persepsinya tidak demikian, maka para pengikut mazhab pada Hari Kiamat kelak akan ditanya oleh Allah Azza wa Jalla, mengapa mereka meninggalkan hukum Allah dan mengikuti pribadi-pribadi yang statusnya juga sesama hamba-Nya seperti halnya para pengikut mazhab itu? (An-Nabhani, 1994: 232 & 394).

Bermazhab Secara Benar

Para pengikut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar tentang bermazhab (seperti diuraikan sebelumnya), wajib memahami setidaknya 2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab (Abdullah, 1995: 372), yaitu:

Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub) terhadap mazhab yang diikutinya (Ibn Humaid, 1995: 54). Tidaklah benar, ketika Syaikh Abu Hasan Abdullah al-Karkhi (w. 340 H), seorang ulama mazhab Hanafi, berkata secara fanatik, “Setiap ayat al-Quran atau hadis yang menyalahi ketetapan mazhab kita bisa ditakwilkan atau dihapus (mansûkh).” (Abdul Jalil Isa, 1982: 74).

Karena itu, jika terbukti mazhab yang diikutinya salah dalam suatu masalah, dan pendapat yang benar (shawâb) ada dalam mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar itu menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri mengajarkan agar kita tidak bersikap fanatik. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Idzâ shaha al-hadîts fahuwa madzhabî (Jika suatu hadis/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).” (Al-Bayanuni, 1994: 90).

Al-Hakim dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan, bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga pernah berkata, “Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah hadis tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.” (Al-Dahlawi, 1989: 112).

Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab, kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Beliau pun membenarkan hal tersebut dengan taqrîr-nya. (Abdullah, 1995: 373).

Hizbut Tahrir Sebuah Mazhab?

Satu persoalan yang juga menarik adalah, apakah Hizbut Tahrir itu suatu mazhab atau bukan? Jawabnya, Hizbut Tahrir bukanlah sebuah mazhab, melainkan sebuah partai politik yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir adalah sebuah kelompok yang berdiri di atas dasar ideologi Islam yang diyakini para anggotanya, yang diperjuangkan untuk menjadi pengatur interaksi masyarakat dalam segala aspek kehidupan.

Disebutkan dalam kitab Hizbut Tahrir (1995: 22) bab Keanggotaan Hizbut Tahrir, bahwa Hizbut Tahrir adalah partai bagi seluruh kaum Muslim tanpa melihat lagi faktor kebangsaan, warna kulit, dan mazhab mereka, karena Hizbut Tahrir memandang mereka semua dengan pandangan Islam. (Lihat: Hizbut Tahrir, 1995: 22).

Namun demikian, jika umat Islam menaruh kepercayaan (tsiqah) kepada kualitas keilmuan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, radhiyallâhu ‘anhu, pendiri Hizbut Tahrir, maka dimungkinkan akan dapat terwujud mazhab An-Nabhani—bukan mazhab Hizbut Tahrir—pada masa mendatang. Sebab, beliau adalah mujtahid mutlak yang memiliki metode istinbâth (ushul fikih) tersendiri dan meng-istinbâth hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut. Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhûm Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah (1991: 267) berkata, “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fukaha dan mujtahidin, namun beliau tidak mengikuti satu mazhab dari mazhab-mazhab yang telah dikenal. Sebaliknya, beliau mengadopsi ushul fikih yang khas bagi beliau dan menggali hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut.”

Wallâhu a‘lam. []

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl sl-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.

Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah. 1989. Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Inshâf fî Bayân Asbâb al-Ikhtilâf). Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis. Bandung: CV Rosda.

Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1987. Adâb Al-Ikhtilâf fî al-Islâm. Washington: Al-Ma’had Al-‘Alami li Al-Fikr Al-Islami (IIIT).

Al-Bakri, As-Sayyid. T.t. I‘ânah ath-Thâlibîn. Jld. I. Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putera.

Al-Bayanuni, M. Abul Fath. 1994. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab (Dirâsât fî al-Ikhtilâfât al-Fiqhiyah). Terjemahan oleh Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu.

Al-Hashari, Ahmad. 1991. Târîkh al-Fiqh al-Islami Nasy’atuhu, Mashâdiruhu, Adwâruhu, Madârisuhu. Beirut: Darul Jil.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1994. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah. Jld. I. Beirut: Darul Ummah

As-Sayis, M. Ali. 1997. Fiqih Ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdi wa Athwâruhu). Terjemahan oleh M. Muzamil. Solo: CV Pustaka Mantiq.

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jld. II. Beirut: Darul Fikr.

Bik, M. Al-Hudhari. 1981. Târîkh Tasyrî‘ al-Islâmi. T.tp.: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah.

Ibn Humaid, Shalih Abdullah. 1995. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khilâf). Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.

Isa, Abdul Jalil. 1982. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidak Boleh Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (Mâ Lâ Yajûzu fîhi al-Khilâf bayna al-Muslimîn). Terjemahan oleh M. Tolchah Mansoer & Masyhur Amin. Bandung: PT Alma’arif.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulâshah Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islâmî). Terjemahan oleh Zahri Hamid & Parto Djumeno. Yogyakarta: Dua Dimensi.

Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘ fî al-Islâm). Terjemahan oleh Ahmad Sudjono. Bandung: PT Alma’arif.

Nahrawi, Ahmad. 1994. Al-Imâm asy-Syâfi‘i fî Mazhabayhi al-Qadîm wa al-Jadîd. Kairo: Darul Kutub.

Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhûm al-’Adalah al-Ijtimâ‘yah fî al-Fikri al-Islâmî al- Mu‘âshir. Beirut: Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.


sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/03/persoalan-seputar-mazhab-oleh-m-shiddiq-al-jawi/

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.