Blogger Themes

News Update :

Saatnya Migas Dikelola Bangsa Sendiri

Kamis, 03 Juli 2008

JAKARTA –Momentum krisis energi dan krisis pangan saat ini harus diantisipasi oleh pemerintah dan DPR dengan berinisiatif melakukan terobosan keputusan politik di sektor minyak dan gas bumi (migas). Intinya, industri migas nasional yang saat ini telah berumur 130 tahun harus ditangani oleh bangsa sendiri. “Caranya bisa dengan ‘nasionalisasi’ atau apapun namanya, ” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Effendi Siradjuddin di Jakarta, kemarin.

Gagasan nasionalisasi, menurut Effendi, sebenarnya sudah dilakukan oleh Ibnu Sutowo melalui PT Permina saat mengambil alih lapangan Branda pada 1957. Ketika itu, Ibnu Sutowo mencanangkan, dalam 20 tahun industri migas nasional harus ditangani oleh bangsa sendiri. “Namun yang terjadi adalah set back, sehingga migas nasional justru dikuasai oleh asing,” ujar Effendi.

Effendi mencontohkan, nasionalisasi di Rusia diawali dengan keputusan Parlemen Duma membatasi kepemilikan asing maksimum 45 persen. Diikuti dengan negosiasi pemerintah dan menyisakan 20 persen dari 80 persen kepemilikan asing. “Bagi Indonesia, keputusan untuk ‘menasionalisasi’ kepemilikan asing merupakan pilihan yang tepat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945,” kata Effendi.

Nasionalisasi layak dipertimbangkan, lanjut Effendi, utamanya jika melihat makin beratnya beban pemerintah, tambal sulam utang tiap tahun untuk menutupi dan masih besarnya potensi kekayaan nasional yang saat ini didominasi asing.

Selain itu, saat ini muncul kecenderungan di banyak negara pemilik tambang migas untuk menguasai dan mengelola sendiri kekayaan nasionalnya. “Pengamat energi dari Amerika Serikat bahkan meramalkan, pada 2012 hampir seluruh tambang migas di dunia sudah dikelola oleh bangsanya sendiri.”

Effendi tak menutup mata, SBY-JK telah bekerja sangat keras setahun terakhir. Namun, jujur diakui, telah terjadi kegagalan dalam implementasi kebijakan energi dan migas nasional yang bahkan telah berlangsung sejak 10 tahun lalu. Indikasinya, kegagalan program diversifikasi dan konservasi energi, penurunan produksi minyak terus-menerus, ketergantungan konsumsi BBM dalam negeri pada 70 persen minyak impor hampir 800 ribu barel per hari.

Realitas tersebut bila impor terhenti dinilai sangat rawan terhadap keamanan dan ketahanan nasional. Bahkan menurutnya keluar OPEC sebagai wujud badan kerja sama Selatan-Selatan negara penghasil minyak dinilai tindakan yang keliru. Apalagi, 80 persen produksi minyak nasional masih didominasi perusahaan migas asing. “Sebanyak 90 persen belanja sektor migas yang Rp 100 triliun per tahun, juga didominasi jasa dan barang asing.”

Effendi meyakini, nasionalisasi tidak haram dilakukan. Selain mengemban misi menyejahterakan rakyat, tindakan tersebut juga telah berlangsung di banyak negara. Contoh, nasionalisasi ala Venezuela atas lapangan Orinoco yang dikelola ExxonMobil. Selaku kontraktor, ExxonMobil meminta harga 25 miliar dolar AS, Venezuela hanya bersedia membayar 6 miliar dolar AS untuk lapangan Orinoco, yang memproduksi minyak 600 ribu barel per hari (bph) dengan cadangan terbukti 30 miliar barel. Venezuela menyelesaikan dengan Total Prancis senilai 834 juta dolar AS, ENI Italia dibayar US$ 700 juta, Statoil Norwegia dibayar 226 juta dolar AS, seluruhnya 1.80 miliar dolar AS.

Effendi mengkalkulasi, nasionalisasi model Venezuela sangat mungkin dilakukan Indonesia. Ia menghitung, Indonesia saat ini memiliki cadangan terbukti minyak sebesar 4,7 miliar barel dan cadangan potensial yang 5,0 miliar barel. Bila cadangan terbukti dan 50 persen cadangan potensial diproduksikan, asumsi harga minyak US$ 150 per barel, maka nilainya sekitar 1.000 miliar dolar AS.

( ant/dia )

Sumber : www.republika.co.id

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.