Blogger Themes

News Update :

Al Islam wa Ushul Al Hukmi, Karya Razik?

Jumat, 17 Oktober 2008

HTI-Press. Kaum liberalis masih saja menjadikan buku Ali Abdur Razik sebagai rujukan. Padahal karya itu, ditengari karya seorang orientalis Yahudi. Jika demikian, apa misi dibalik penulisan buku itu?

Setelah Khilafah Islamiyah Turki Al Utsmani dijatuhkan Inggris pada tahun 1924, beberapa pihak memiliki ide untuk menegakkannya kembali. Di Mesir, lembaga Al Azhar lah yang menyerukan penegakkan khilafah waktu itu. Sehingga institusi Islam tertua di dunia ini berkeinginan untuk menyelenggarakan muktamar tingkat internasional. Disebut-sebut bahwa Malik Fuad, raja Mesir kala itu, yang paling layak untuk menduduki tampuk khalifah.

Sayangnya, di Mesir kala itu ada kelompok lain yang “menyerang” khilafah, namanya, Hizb Al Ahrar Ad Dusturi. Kelompok ini muncul setelah Syeikh Ali Abdur Razik, seorang hakim pengadilan syariah, jebolan Al Azhar, pada tahun 1925 menerbitkan buku berjudul Al Islam wa Usul Al Hukmi ((Islam dan pokok-pokok Hukum).

Buku yang tebalnya tidak lebih dari 100 halaman itu,menyebutkan bahwa masalah khilafahkhilafah. tidak memiliki dasar dalam Islam dan masalah itu tidak lebih merupakan persoalan duniawi dan politik saja. Buku ini sering dijadikan kaum liberalis sebagai rujukan. Disebutkan juga bawa tidak ada penjelasan, baik dari Al-Quran maupun as- Sunnah tentang tata cara pemilihan

Tidak cukup sampai di sini, buku itu juga menyatakan bahwa sejarah menyatakan bahwa khilafah merupakan sebuah bencana bagi Islam dan para pemeluknya, serta menyebabkan timbulnya berbegai macam kerusakan dan keburukan.
Itulah awal mula, Ali Abul Razik menjadi terkenal di Mesir, dan saat ini namanya telah dikenal di dunia internasional. Sebelumnya, masyarakat tidak banyak mengenal laki-laki yang lahir di propinsi Al Minya Mesir ini. Karyanya yang dibukukan juga tidak banyak. Dr. Dziya’ Ad Din Ar Rais dalam buku Al Islam wa Al Khilafah fi Al Ashri Al Hadits (Islam dan Khilafah di Era Modern) menyebutkan bahwa Abdur Razik tidak memiliki karya tulis lainnya, kecuali buku diktat mata kuliyah atau buku kecil tentang ilmu bayan, cabang dari ilmu balaghah.

Para kaum liberalis yang berkayakinan bahwa Islam hanya terbatas masalah ibadah ritual dan terputus hubungannya sama sekali dengan negara dan kehidupan bermasyarakat, sering kali menggunakan buku ini sebagai rujukan. Seakan-akan mereka mengatakan dengan bangga.”Lihat, yang anti khilafah adalah ulama Al Azhar!”

Al Islam wa Ushul Al Hukmi, telah “mengangkat” Abdur Razik, tapi setelah itu, buku itu “menghempaskannya” tanpa ampun. Ali Abdur Razik dikeluarkan dari jajaran hai`ah kibar ulama, dipecat dari tugasnya sebagai hakim syariah, yang mana tugas ini juga bertentangan dengan isi Al Islam wa Ushul Al Hukmi, gelarnya juga dicabut oleh Al Azhar. Setelah itu kehidupan Ali Abdur Razik asing dari kehidupan masyarakat. Bukunya sendiri telah “mati” sebelum wafatnya Abdur Razik, karena buku tersebut dibantah oleh banyak ulama.

Di masa itu beberapa ulama menanggapi buku Abdul Razik. Syeikh Muhammad Rasyid Ridha amat cepat merespon. Beliau menulis dalam koran Liwa` Al Mishri (8/6/1925), yang ditampilkan di halaman depan, menyatakan:

”Pertama kali komentar untuk menilai buku ini (Al Islam wa Ushul Al Hukmi), bukan membantahnya, yakni bahwa buku ini menghancurkan hukum Islam dan memecah jama’ahnya serta membiarkan begitu saja maksiat kepada Allah dan rasulnya di semua lini hukum syariah yang menyangkut masalah duniawi, seperti hukum privat, politik, sosial dan kriminal, dan hal ini merupakan pembodohan bagi semua umat Islam. Dan kami akan membantah semua babnya dengan rinci.”

Akan tetapi pendukung Ali, Dr. Husain Haikal, kepala redaksi koran As Siyasah justru memuji-muji buku tersebut. Yang membuat Syeikh Rasyid Ridha marah dan menerbitkan bantahannya kembali di majalah Al Manar (21/6/1925) yang memperingatkan bahwa pelaku bid’ah (Syeikh Ali Abdur Razik) itu, telah membagi-bagikan bukunya secara gratis. Di tulisan itulah Syeikh Muhammad Abduh menjawab semua argumen dalam Al Islam wa Ushul Al Hukmi.

Syeikh Yusuf Ad Dujawi juga menjawab buku itu di koran Liwa’ Al Mishri, setelah itu, Mufti Mesir Syeikh Bakhit Al Muthi’i. Dan di masa itu, Ali beserta para pendukungnya tidak menjawab argumen-argumen. Beberapa cendekia dan ulama Mesir setelah generasi Ali Abdur Razik seperti Muhammad Imarah, Yusuf Al Qaradhawi dan Dziya’ Ad Din Ar Rais juga melakukan bantahan.

Pada hari Rabu (15/8/1925) Al Azhar memanggil Ali Abdur Razik untuk dimintai pertanggung jawaban, akan tetapi ia meminta penundaan dan akhirnya diundurlah pertemuan itu sepekan hingga kemudian. Al Azhar menyiapkan tujuh tuduhan terhadap laki-laki yang lahir pada tahun 1888 ini, yang paling berat adalah pernyataan dalam buku yang dinisbatkan kepadanya yang menyebutkan bahwa syariah Islam hanya bersifat ruhiyah dan tidak ada hubungannya dengan hukum dan praktik dalam masalah keduaniaan.

Pada 12 Agustus 1925 selruh anggota kibar ulama (para ulama besar) dengan dipimpin oleh Syeikh Al Azhar Muhammad Abu Al Fadhl beserta 24 anggota lainnya, termasuk Syeikh Ali Abdur Razik, yang membela diri dengan menyatakan bahwa Haiah Kibar Ulama bukan pihak yang memiliki spesialisasi dalam memberi penilaian. Padahal, sebelumnya, 3 ulama sudah ditunjuk untuk meneliti dengan seksama isi buku Al Islam wa Ushul Al Hukmi. Hingga akhirnya tidak kurang dari dua jam, keluarlah keputusan dikeluarkannya Ali Abdur Razik dari jajaran kibar ulama.

“Pertaubatan” Ali Abdur Razik

Pada majalah Risalah Al Islam edisi April 1951, tulisan Dr. Ahmad Amin yang mengupas masalah ijtihad dipublikasikan, di dalamnya disebutkan bahwa dirinya melakukan dialog dengan Ali Abdur Razik, dan minta pendapat mengenai solusi agar umat Islam tidak jumud (statis) seperti saat itu.

“Sesungguhnya obat untuk itu adalah kembali kepada pemikiran yang telah saya publikasikan dulu, bahwa risalah Islam hanya bersifat ruhani saja”. Kata Razik, yang dinukil oleh Ahmad Amin.

Akan tetapi pada bulan April 1951 Ali mengirimkan tulisan di majalah yang sama yang mengingkari bahwa dia mengatakan kata “ruhani” serta dia menyatakan tidak pernah mengucapkan apa yang ditulis oleh Ahmad Amin, di mana pun dan kapan pun. Sikapnya itu juga ia utarakan kepada Dr. Muhammad Rajab Al Bayumi.

Sebagaimana juga Yasir Hijazi dalam tulisannya di Islamonline.net (27/9/2005) menyebutkan bahwa menurut keterangan dari anak-anaknya, Ali Abdur Razik telah meralat sikapnya dan menulis beberapa bab, untuk mengkritik pendapat-pendapatnya terdahulu. Sayangnya, ketika ia wafat, tulisan-tulisan itu belum juga selesai dan raib entah kemana.

Bukan Karya Ar-Razik

Sebagian pihak, terutama kaum liberalis, masih berkeyakinan dengan mantap bahwa buku Al Islam wa Ushul Al Hukmi adalah karya murni Ali Abdur Razik. Akan tetapi para ulama dan cendekiawan Mesir meragukan hal ini.

Yang pertama kali menyingkap, bahwa buku ini bukan murni karya Razik adalah pensyarah kitab Al Muhadzab karya Imam As Syairazi, yakni Syeikh Bakhit Al Muthi’i. Dalam buku Haqiqah Al Islam wa Ushul Al Hukmi, beliau menyatakan,”Karena kami telah mengetahui dari banyak pihak yang ragu-ragu bahwa penulis buku ini bukan Ali Abdur Razik, hanya saja ditulis di buku itu nama Razik, yang dinisbatkan kepadanya saja, untuk menjadikannya sebagai korban memalukan oleh para penulisnya yang bukan dari kalangan umat Islam.”

Dr. Dziya’ Ad Din berhasil memberi penjelasan lebih gamblang, tentang identitas si penulis buku. Beliau menyebutkan bahwa penulis Al Islam wa Al Ushul Al Hukmi sebenarnya adalah seorang orientalis Inggris yang berdarah Yahudi murni yang gigih menyerang konsep khilafah. Karena sudah dimaklumi, bahwa negaranya, Inggris kala itu merupakan musuh besar Khilafah Utsmaniyah dan tidak ingin khilafah bangkit kembali. Dan khalifah Utsmani telah mengumandangkan jihad melawan Inggris, dan isi “buku Razik” tersebut juga “menyerang” Khilafah Utsmaniyah. Akhirnya Dr. Ar Rais marajihkan bahwa David Samuel Margoliouth, orientalis Yahudi yang mengajar bahasa Arab di Universitas Oxford adalah penulis buku itu yang sebenarnya. Isi buku yang pernah ditulis Margoliouth sebelumnya tentang Khilafah Utsmaniyah, sama persis dengan isi buku Islam wa Ushul Al Hukmi. Dan Ali Abdur Razik sendiri, sebelum penerbitan buku sesat itu, telah tinggal beberapa tahun di Inggris.

Margoliouth sebelumnya telah ditunjuk oleh Inggris untuk menulis dalam rangka “menyerang” khilafah, karena negara penjajah saat itu sedang melakukan upaya untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah. Dan mereka tidak ingin umat Islam di wilayah lain, terutama India, membela kekhalifahan Turki, maka ditebarkanlah subhat bahwa khilafah tidak ada hubungannya dengan Islam.

Anwar Al Jundi, penulis Mesir dalam bukunya Syahsiyat Takhtalifu fi him Ar Ra’yu juga menyebutkan beberapa indikasi, bahwa Ali Abdur Razik bukan murni penulis Al Islam wa Ushul Al Hukmi, yakni bahwa di buku itu ada dua informasi yang berbeda tentang tahun terbitnya. Disebutkan bahwa buku itu diterbitkan tahun 1924 dan ini yang dikenal hingga kini, akan tetapi disebutkan dalam catatan kaki bahwa buku itu ada di masa Sultan Khamis, dimana masa pemerintahan beliau selesai sebelum 1918. Dari fakta ini, minimal ada dua penulis dalam buku ini.

Dan ungkapan-ungkapan yang dipakai adalah ungkapan mereka yang jauh dari dunia Islam dan Arab, tidak ada kata “bagi kami” atau “bagi Arab”, sebagaimana yang biasa dikatakan oleh umat Islam. Selain itu, ungkapan lemah lembut dalam buku ini ditujukan kepada mereka yang murtad, sambil merendahkan Abu Bakar As Siddiq, bahwa beliau memerangi kaum murtad bukan karena Islam, melainkan perebutan kekuasaan, karena mereka enggan bergabung dengan Abu Bakar As Siddiq.

Dan kanyataannya, Ali Abdur Razik tidak terbiasa menulis. Dalam kurun waktu 14 tahun setelah lulus Al Azhar tidak pernah menghasilkan karya tulis dalam masalah sejarah dan politik, kecuali kutaib alias buku kecil tentang ilmu bayan. Dan dalam jangka 40 tahun setelah terbit buku yang membuat hidupnya terkucil dari masyarakat itu, ia tidak juga menghasilkan buku lain, bahkan untuk membela buku Al Islam wa Ushul Al Hukmi itu.

Dan yang amat mencolok di buku ini, adalah munculnya ungkapan peribahasa yang tidak dikenal dalam dunia Arab maupun Islam. Yaitu ungkapan Da’ Ma li Qaishir li Qaishir wa Ma lillah lillah (Tinggalkan apa yang dimiliki kaisar untuk kaisar dan apa yang dimiliki Allah untuk Allah). Sesungguhnya tidak ada seorang yang masih mengaku Muslim memiliki keyakinan bahwa kepemilikan Allah Ta’ala amat terbatas.

Bagi Anwar Al Jundi, kasus ini hampir sama dengan kasus yang menimpa Thaha Husain, seorang yang juga amat terpengaruh dengan para orientalis, yang mana Muhammad Mahmud Syakir, seorang cendekia Mesir, menyebut buku As Syi’r Al Jahili yang dinisbatkan kepadanya, sebagai hasyiyah (catatan kaki) Thaha Husain atas karya Margoliouth. Begitu pula Al Islam wa Ushul Al Hukmi ini, bisa dinamai dengan hasyiyah Ali Abdur Razik atas karya Margoliouth. (hidayatullah.com, 15/10/08)

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.