Blogger Themes

News Update :

Golput Jadi Tren?

Rabu, 11 Februari 2009

Tuesday, 10 February 2009

Perilaku pemimpin negeri dan wakil rakyat yang tidak amanah menjadi faktor penentu meningkatnya jumlah golput. Kondisi bangsa tidak berubah, malah kian buruk.

ImageBanyak alasan mela-tarblekangi sese-orang memilih un-tuk tidak memilih alias golput. Ter-kadang hanya soal administrasi. Yana Haudy dalam sebuah situs menulis, ia terpaksa golput karena memang tidak didata oleh kelu-rahan. Padahal ia adalah warga asli Jakarta yang lahir di Jakarta dan ingin partisipasi dalam pemilu. Ia memiliki dokumen lengkap ke-pendudukan. “Gimana bisa data saya tidak ada? Sejak itulah sam-pai sekarang saya memutuskan golput,” katanya.

Lain lagi dengan Priyo. Pria ini mengaku sudah Golput sejak tahun 1977. Alasannya selama ini ia tidak pernah menemukan par-tai yang pas dalam memper-juangkan kepentingan masya-rakat. Tahun 2004 dalam pemi-lihan presiden Priyo mencoba memilih. “Tapi hasilnya kok begini saja? Selanjutnya setiap ada Pil-kada dan Pilgub saya nongol di TPS pun tidak karena sudah males, buktinya setelah mereka jadi Walikota dan Gubernur, mana janji-janjinya yang dulu diucap-kan?'' katanya.

Yang menarik adalah sebuah alasan warga bernama Chasnah. Dalam sebuah situs ia mengisah-kan interaksinya dengan anggota dewan yang berasal dari partai Islam. “Dengan sangat jelas mereka, tidak menampakkan ke-islamannya dalam hal berpolitik. Sama saja dengan anggota dewan dari partai-partai yang lain. Sangat jauh dengan yang kita baca di sejarah para sahabat Rasul. Jangankan dari segi amanah yang diberikan, dari segi interaksi sesama muslimpun lebih banyak ashabiyahnya, daripada ukhuwahanya. Dan ujung-ujungnya tetap kekuasaaan dan uang. Nauzubillah mindzalik,” katanya.

Boleh jadi banyak alasan yang melatarbelakangi orang tidak memilih. Informasi yang kian terbuka menjadikan masyarakat pun kian sadar dan cerdas dalam menentukan pilihannya termasuk memilih untuk tidak memilih. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Ansyari AZ me-nyebut alasan yang melatar-belakangi munculnya golput dalam masyarakat. Di antaranya kejenuhan masyarakat dalam menggunakan hak pilih, tingkat kepercayaan terhadap partai yang melorot serta juga tingkat keper-cayaan terhadap para caleg yang akan dipilih. Di luar itu juga terkait dengan tingkat kepercayaan terhadap KPU serta jajaran di bawahnya.

Hampir semua pengamat memprediksikan angka golput akan meningkat pada pemilu legislatif dan presiden pada tahun ini. "Masyarakat mulai jenuh dengan politik. Akibatnya partisi-pasi akan menurun," kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indone-sia Saiful Mujani pertengahan tahun lalu.

Prediksi ini mengacu pada tren semakin menurunnya jumlah pencoblos dalam beberapa pil-kada yang digelar belakangan. "Kalau dirata-ratakan, total partisi-pasi dalam pilkada sekitar 60 persen saja," ujarnya. Padahal, dalam pilkada, masyarakat pemilih berkepentingan langsung dengan hasil pilkada. Mereka akan merasakan langsung berbagai kebijakan dari calon pemimpin kepala daerah yang menang. Sebaliknya, pemilu legislatif dan presiden sangat jauh dengan kehidupan sehari-hari para pemilih.

Selain itu ada kecende-rungan penurunan tingkat partisipasi dalam tiga kali pemilu demokratis yang pernah digelar di Indonesia. Pada Pemilu 1955 jumlah partisipasinya di atas 90 persen. Selanjutnya, pada Pemilu 1999 turun sekitar 86 persen. Dan di Pemilu 2004 turun lagi menjadi sekitar 80 persen. “Saya perki-rakan pada Pemilu 2009 tingkat partisipasi akan turun menjadi antara 60-70 persen saja," kata Saiful menambahkan.

Prediksi itu bisa jadi benar. Menarik disimak jajak pendapat yang dilansir Harian Kompas 5 Januari 2009 lalu. Responden yang dijaring selama seminggu sebelumnya memberi citra nega-tif kepada partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tingkat keyakinan publik ter-hadap kinerja parpol dan DPR paling rendah jika dibandingkan dengan tingkat keyakinan publik terhadap lembaga-lembaga negara lain.

Jajak pendapat yang men-jaring 862 responden dari sepuluh kota besar di Indonesia, lebih dari separuh responden (53,8 persen) menyatakan citra parpol buruk. Sementara responden yang meni-lai sebaliknya sebanyak hanya 38,3 persen. Mayoritas responden (68,6 persen) menyatakan bahwa kiprah wakil rakyat yang mereka pilih pada Pemilu 2004 masih jauh dari harapan mereka. Hanya satu dari empat responden yang menyatakan kiprah wakil rakyat sudah memenuhi harapan.

Pada jajak pendapat yang sama sebelumnya, dalam fung-sinya sebagai tempat menya-lurkan aspirasi sosial politik, kiprah parpol yang ada diakui paling rendah (11,3 persen), dibandingkan dengan lembaga swadaya masyarakat/LSM (16,7 persen), lembaga keagamaan (22,7 persen), maupun media massa (39 persen).

Di sisi lain, ada tuntutan masyarakat akan penerapan syariat Islam. Survei Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 mengatakan, sebanyak 52 rakyat Indonesia menuntut penerapan syariah Islam. Hal ini se-jalan dengan hasil survei yang dilaku-kan oleh lembaga lainnya sebe-lumnya. Hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 dan 2002. Hasil survei itu menunjukkan: sebanyak 67 persen (2002) responden berpen-dapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Padahal survei sebelumnya (2001) hanya 57,8 persen responden yang setuju dengan pendapat demikian. Berarti peningkatannya cukup signifikan, yakni sekitar 10 persen. Pertanyaannya, adakah partai politik yang sekarang ingin menerapkan Islam secara nyata, bukan sekadar jargon kampanye? Silakan nilai sendiri.[] mujiyanto/www.mediaumat.com


Golput Juara Pilkada

Tahukah Anda jika golput memenangi berbagai pilkada di Indonesia? Dari 26 pemilihan gubernur selama tahun 2005-2008, sebanyak 13 provinsi atau 50 persen dimenangi golongan putih. Angka golput jauh lebih besar ketimbang perolehan suara pemenang pilkada.

Pilkada gubernur yang terakhir berlangsung di Jawa Timur. Di provinsi ini angka golput mencapai 39,2 persen, jauh dari pasangan yang memenangi Pilkada Soekarwo-Saifullah Yusuf yang tak sampai mencapai 30 persen. Angka golput yang tinggi ini hampir merata di Jawa. Di Pilkada Jawa Tengah angka golput mencapai 45 persen, Jawa Barat 35,7 persen, Banten 39,28 persen, dan DKI 36,2 persen. Di Sumatera Utara golput meraih 41 persen dan di Kalimantan Timur 34 persen.

Golput tidak hanya memenangi Pilkada provinsi, tapi juga di kabupaten/kota. Dari data yang ada di 130 daerah, golput menang di 39 pilkada kabupaten/kota. Bahkan di beberapa daerah, angka golput mencapai lebih dari 50 persen. Sayangnya hingga kini tidak ada data mengenai karakter mereka yang memilih untuk tidak memilih ini.[] Emje

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.