Blogger Themes

News Update :

Kontroversi Fatwa Haram Golput

Rabu, 11 Februari 2009

Tuesday, 10 February 2009

Haram, tidak menggunakan hak pilih padahal ada pemimpin/wakil rakyat yang memenuhi kriteria. Kenapa tidak menjalankan hukum-hukum Allah tidak diharamkan?

ImageDi sebuah kota kecil di Provinsi Sumatera Barat, Padang Panjang, sekitar 700 ulama berkumpul. Mereka adalah utusan dari pengurus MUI Pusat dan Komisi Fatwa MUI daerah. Selama dua hari, 24-25 Januari 2009, mereka membahas berbagai persoalan keumatan dalam forum Ijtima' Ulama III Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Acara di Pondok Pesantren Diniyah Putri Padang Panjang ini terasa begitu penting. Tak tanggung-tanggung yang mem-buka Wakil Presiden M Jusuf Kalla. Bersamanya ada Menag Maftuh Basyuni, Ketua Umum PP Muham-madiyah Din Syamsuddin, Wakil Ketua DPD RI Irman Gusman, dan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi.

Ijtima ulama ini, menurut Ketua MUI Pusat, ditujukan untuk menjawab berbagai masalah kebangsaan dan keagamaan kon-temporer seperti golput, senam pernafasan yoga, pernikahan usia dini dan rokok, juga berbagai perundang-undangan. "Melihat nilai strategisnya serta repre-sentasi kepesertaan, Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia dapat dijadikan Ijma' Ulama (konsensus Ulama) se-Indonesia atas ber-bagai masalah yang ada," jelas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini.

Ijtima' itu akhirnya menge-luarkan berbagai keputusan. Satu di antaranya yang kontroversial adalah fatwa golput. Media massa menangkap bahwa MUI meng-haramkan golput. Alasannya, ada pernyataan dalam poin putusan itu bahwa “tidak memilih sama sekali, padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.” Meskipun dalam rekomendasinya, MUI hanya mengajurkan umat Islam untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma'ruf nahi munkar.

Bak bola yang telah bergulir, wacana golput haram terus berkembang. Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ali Mustafa Ya'kub pun nimbrung dalam arus besar ini. Dalam berbagai kesempatan, ia seolah mengaminkan wacana tersebut. Menurutnya, sikap golput jika dibiarkan akan menjadi bahaya besar, yaitu kepemimpinan menjadi kehi-langan legitimasi. Paling parah-nya, rakyat bisa kehilangan kepemimpinan itu sendiri. Menu-rutnya, lebih baik tetap memilih pemimpin yang buruk daripada tidak memilih sama sekali. Dalam pandangannya, andai ada calon-calon pemimpin yang buruk-buruk, maka masyarakat harus memilih calon yang keburukan-nya lebih ringan.

Bisa jadi alasan keharaman tersebut benar jika dikaitkan dengan fakta yang berkembang. Pemilihan kepala daerah (pilkada) baik gubernur dan bupati/wali-kota menunjukkan kecenderung-an adanya peningkatan jumlah orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bahkan di beberapa daerah, angka itu ada yang mencapai 50 persen. Malah jumlah golput lebih besar dari perolehan suara para pemenang Pilkada. Belakangan berdasarkan survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei ada prediksi jumlah pemilih yang tidak akan menggunakan haknya pada pemilu 2009 akan meningkat dibanding sebelumnya.

Ini membuat sejumlah kalangan khawatir. Lagi-lagi soal legitimasi. Apalagi mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid dengan lantang mengajak simpa-tisannya untuk tidak menggu-nakan hak pilihnya dalam pemilu 2009 nanti. Di sisi lain para pemuja demokrasi berkepentingan untuk mempertahankan citra demokrasi Indonesia di mata dunia interna-sional karena selama ini Indonesia dipuji oleh orang-orang bule sebagai negara demokrasi terbesar ketiga. Tanpa partisipasi publik yang tinggi, mereka beranggapan demokrasi akan ternoda. Padahal di luar negeri sekalipun, golput adalah hal yang biasa.

Sedangkan di mata partai-partai Islam larangan golput akan sangat bermanfaat untuk meraup suara karena mereka berasumsi kebanyakan yang tidak menggu-nakan hak pilihnya berasal dari kalangan Islam. Padahal belum tentu asumsi itu benar sebab hingga sekarang tidak ada yang bisa menjelaskan karakter mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya itu siapa. Benarkah itu orang Islam atau malah kaum sekuler-sosialis? Jika yang kedua, malah dengan fatwa itu maka partai-partai Islam akan kian tertinggal perolehan suaranya.

Sempat pula muncul kecu-rigaan bahwa fatwa ini muncul karena adanya pesanan pihak-pihak tertentu. Bulan lalu ada permintaan yang tegas dari Ketua MPR Hidayat Nur Wahid kepada MUI agar lembaga ini menge-luarkan fatwa haram golput. Mantan Presiden Partai Keadilan ini menganggap permintaan itu tak berlebihan karena bertujuan menyukseskan pemilihan umum. Apalagi, sudah ada tokoh nasional yang mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya. "Ini akan jadi fatwa yang populis," katanya.

Namun KH Ma'ruf menolak tegas rumor tersebut. Menurut-nya, MUI tidak ujug-ujug menge-luarkan fatwa. Sebelumnya ada pertanyaan masyarakat. “Karena masalah pemilu sangat krusial, maka putusannya tidak diambil di komisi fatwa. Maka kita agen-dakan ijtima' ulama dengan melibatkan 700 ulama seluruh Indonesia dari semua kelompok. Semua partai politik, bahkan bukan partai Islam semua sepa-kat,” tandasnya.

Yang jelas beberapa partai politik menyambut gembira ke-luarnya fatwa golput MUI ini. Tentu yang paling gembira me-nyambut keluarnya fatwa MUI yang melarang umat Islam golput, alias tidak memilih, yakni Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Pantas karena ia yang meminta sebe-lumnya. “Dengan keluarnya fatwa MUI ini sudah selayaknya diikuti oleh seluruh umat Islam, betul-betul diamankan oleh MUI dan umat,” kata Hidayat, Senin (26/1).

Ketua Fraksi DPR Partai Keadilan Sejahtera, Mahfudz Siddiq, menyujui penetapan fatwa haram golput yang bisa menjadi rujukan pemilih. "Tentu demi kepentingan penyelamatan demokrasi dan menciptakan pemerintahan dengan legitimasi yang kuat," ujarnya seperti dikutip tempointeraktif. Meski ada fatwa, katanya, pemilih memiliki kede-wasaan menentukan pilihan sesuai harapannya.

Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saefuddin mengatakan, fatwa tersebut dinilai sebagai upaya dari proses memilih pe-mimpin. "PPP mendukung penuh fatwa MUI yang menyatakan bahwa umat Islam wajib meng-gunakan hak pilihnya dalam pemilu. Bagi PPP, adanya pemim-pin itu wajib hukumnya. Sebab bila tidak ada pemimpin akan timbul anarki," ujar Lukman.

Kontroversi

Di luar sikap pro tersebut, muncul pula yang kontra. Pe-ngamat politik Bima Arya Sugiarto menilai MUI telah melampaui otoritasnya. Hak pilih masyarakat sudah diatur konstitusi yaitu UUD 45 dan UU partai politik. Terlebih lagi memilih itu adalah hak dan kontitusi tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Menurutnya, kasus golput itu tidak dianggap sepele. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi politik. Karena itu, lanjutnya, semestinya MUI mendiagnosa secara teliti kenapa ada golput. Ia menjelas-kan, sebenarnya kontribusi ter-tinggi dari golput adalah ketidak-percayaan publik kepada partai politik. Karena itu yang harus dibenahi adalah partai politik. “Jadi jangan menyalahkan rakyat karena tidak menggunakan hak pilihnya,” jelasnya.

Direktur Eksekutif IndoBaro-meter Muhammad Qodari menilai fatwa MUI tentang golput salah sasaran. Soalnya bagi mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya karena masalah adminis-trasi maka fatwa itu tidak akan mengubah apa-apa. Menurutnya, fatwa itu bisa berbahaya, karena orang-orang yang tidak terdaftar sebagai pemilih di KPU itu bisa datang ke TPS dan memaksa untuk mencoblos karena takut berdosa. “Bisa celaka nanti, karena namanya tidak ada di TPS, tapi maksa untuk memilih, sementara panitia tidak bisa mengizinkan. Bisa berantem masyarakat di bawah,” ungkapnya.

Di sisi lain, Qodari menjelas-kan ada golput karena faktor politis yakni orang-orang yang tidak mau memilih partai atau caleg karena kecewa terhadap partai dan caleg tersebut. Partai dan caleg dianggap tidak ama-nah, tidak kerja untuk rakyat dan seterusnya. Jadi mereka golput itu sebagai protes. Dengan protes itu sebetulnya politisi mendapat masukan bahwa kinerja mereka selama ini tidak bagus. “Kalau ada fatwa ini kan orang nanti pada milih. Tidak ada protes, tidak ada masukan, dan tidak ada kritikan lagi. Sistemnya tetap bobrok, tetap buruk. Jadi fatwa MUI itu bisa melanggengkan sistem yang bobrok. Ini kan celaka. Fatwa MUI itu seharusnya meluruskan yang bengkok. Ini malah memper-tahankan yang bengkok itu,” tuturnya.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono menilai Majelis Ulama Indonesia telah bertindak terlalu jauh. Agung menganggap fatwa haram ter-sebut tidak akan efektif mendong-krak jumlah pemilih. "Ada cara lain yang lebih efektif," katanya, di Gedung DPR, Selasa (27/01). Cara yang tepat misalnya tepat dengan membenahi partai dan penye-lenggara pemilihan. Sebab, tingginya angka golput karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap peserta pemilu sangat rendah. "Gairah ikut pemilu akan meningkat kalau perilaku peserta pemilu diubah," katanya.

Sebelum fatwa ini keluar, mantan Ketua MPR Amien Rais pun telah memberi warning kepada para pengusul fatwa haram golput. Seperti dikutip MBM Tempo, mereka yang meminta fatwa golput hanya memperjuangkan kepentingan politik, tapi agama yang dijadikan dalih. Bahkan, kata Amien, fatwa itu berkaitan dengan kepentingan politik yang nista dan hina. ”Mau golput atau tidak, itu hak asasi,” katanya.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama KH Hasyim Muzadi menilai MUI tak perlu mengharamkan golput. "Tidak usah ditarik ke haram. Itu tidak benar," katanya. Ia beralasan golput bisa terjadi karena ada yang sibuk bekerja, ada yang sibuk dengan keluarga dan ada juga yang tidak berkenan dengan sosok yang akan dipilihnya. "Jadi ini soal selera tidak bisa kita menyalahkan," ungkapnya.

Tanggapan yang tak jauh berbeda datang dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syam-suddin. Meskipun fatwa meru-pakan kewenangan ulama, Din mengingatkan, para ulama harus arif dan bijaksana, dan selalu memperhatikan kondisi masyara-kat. “Seperti golput misalnya, tidak semua bisa dikaitkan dengan hukum agama halal dan haram,” jelasnya. Namun ia meng-anjurkan masyarakat tetap meng-gunakan hak pilihnya.

Menarik apa yang ditulis Arie Sujito, Sosiolog UGM. Menurut-nya, jika golput diharamkan, konsekuensinya, para calon legis-lator dan partai politik harus mendapat sertifikasi halal dari MUI. “Tambah aneh kan? Seharus-nya, fatwa MUI bukanlah meng-haramkan golput, tapi meng-haramkan memilih calon legis-lator yang bermasalah dan mengutuk politik uang,” katanya.

Mengkritisi

Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto meng-kritisi fatwa MUI tersebut. Ia sepakat kepemimpinan adalah perkara yang sangat penting dalam Islam. Dengan adanya seorang pemimpin, maka kepe-mimpinan (imamah) dan peng-aturan (imarah) masyarakat agar tercipta kemashlahatan bersama dapat diwujudkan. Oleh karena itu, benar pula bahwa memilih pemimpin dalam Islam yang memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama (Islam), yakni yang beriman dan ber-takwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemam-puan (fathonah), dan memper-juangkan kepentingan umat Islam, agar terwujud kemashla-hatan bersama dalam masyarakat adalah sebuah kewajiban. “Tapi kewajiban di sini harus dikatakan sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah), dimana bila kepemim-pinan yang Islami telah terwujud, maka kewajiban itu bagi yang lainnya telah gugur,” katanya.

Ismail menjelaskan tidak cukup seorang dipilih menjadi pemimpin atas dasar syarat-syarat individual. Sebagai pemimpin ia wajib memimpin semata-mata berdasarkan syariat Islam saja, karena kemashlahatan bersama hanya akan benar-benar terwujud bila pemimpin mengatur masya-rakat dengan syariat Islam. “Tanpa syariat Islam, meski pemimpin itu secara personal telah memenuhi syarat agama, yang terjadi bukan kemaslahatan, tapi mafsadat atau kerusakan seperti yang terjadi sekarang ini,” tambahnya.

Di samping itu, lanjutnya, MUI sebelumnya telah menge-luarkan fatwa bahwa sekularisme hukumnya haram. “Maka memim-pin berdasarkan sekularisme juga harus dinyatakan haram. Karena-nya, memilih pemimpin yang akan memimpin dengan sekular-isme atau menolak syariat Islam demi mempertahankan sekular-isme, juga seharusnya dinyatakan haram,” tandasnya.

Adapun ketetapan bahwa tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram, menu-rutnya, tidaklah tepat. Alasannya, karena kewajiban memilih pe-mimpin adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah), bukan kewajiban perorangan (fardhu ain). Itu pun dengan catatan, jika pemimpin yang dipilih atau diangkat ter-sebut adalah pemimpin yang benar-benar akan menjalankan syariat Islam.

Karena itu, bagi siapa saja yang akan turut memilih pemim-pin, maka wajib ia memilih pemimpin yang memenuhi krite-ria agama (Islam), dan yang dipastikan akan memimpin berdasarkan syariat Islam semata. Karena itu, rekomendasi poin 1 dimana umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar, tidaklah tepat. Mestinya, bukan dianjurkan, tapi diwajibkan memi-lih pemimpin yang mampu mengemban tugas amar makruf nahi mungkar, bukan yang sebaliknya.

Adapun tentang pemilihan wakil rakyat, ia berpendapat ini tidaklah bisa disamakan dengan pemilihan pemimpin. Menurut-nya, hukum memilih pemimpin yang mengemban tugas amar ma'ruf nahi munkar melalui penerapan syariat Islam secara kaffah adalah fardhu kifayah. Sedangkan memilih wakil rakyat yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar adalah mubah, mengingat hukumnya mengikuti hukum wakalah (per-wakilan) dimana seseorang boleh memilih, boleh juga tidak. Maka, bagi umat Islam yang akan memilih wakilnya mestinya juga bukan sekadar dianjurkan, tapi diwajibkan untuk memilih yang akan benar-benar mampu mengemban amar makruf nahi munkar. Dan sebaliknya, dalam fatwa itu semestinya harus dinyatakan haram memilih wakil rakyat yang sekuler dan tidak mengemban amar ma'ruf nahi munkar.[]mujiyanto/www.mediaumat.com

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.