Blogger Themes

News Update :

Golput Naik, Parpol Panik

Rabu, 11 Februari 2009

Tuesday, 10 February 2009

Menjelang Pemilu 2009, MUI mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Blunder atau titipan?

ImageAngka golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat. Pemilu 1955 jumlah partisi-pasinya lebih dari 90 persen. Di awal reformasi, partisipasi itu turun menjadi sekitar 86 persen. Pemilu 2004 legislatif turun lagi menjadi sekitar 77 persen. Banyak pengamat memprediksi jumlah mereka yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya akan membengkak.

Banyak pihak merasa was-was dengan kenyataan ini. Ter-masuk di dalamnya partai-partai Islam. Mereka mengasumsikan, pemilih yang tidak memilih itu berasal dari kalangan Islam. Karena itu, perlu sebuah arahan yang memungkinkan pemilih tersebut menggunakan haknya pada pemilu tahun 2009. Mereka sangat khawatir jika banyak yang golput, partai Islam akan turun perolehan suaranya nanti.Bisa jadi ini pulalah yang mendorong Ketua Majelis Per-musyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terhadap golongan putih atau golput. Hidayat menilai fatwa haram bisa mendongkrak keikut-sertaan pemilih dalam pemilihan umum 2009. "MUI harus meng-haramkan golput," katanya di Gedung MPR/DPR, Jumat (12/12/2008) seperti dikutip tempointeraktif.com. Konon, seperti ditulis majalah Tempo, niat ini muncul karena kekhawatiran adanya kelompok ideologis di partainya yang berancang-ancang untuk tidak memilih (golput) bila partainya keluar dari rel perjuangan.

Namun seperti dikatakan Wakil Ketua Bidang Fatwa MUI Profesor Ali Mustafa Yaqub, MUI membantah fatwa golput ditunggangi partai politik, apalagi berdekatan dengan pemilu. Menurutnya, pembahasan soal fatwa golput ini kebetulan saja. Apalagi, apa yang dibahas MUI dalam ijtima' ini sudah dirancang sejak dua tahun lalu. “Kebetulan banyak masukan juga soal pemilu ini kepada MUI," kata Wakil Ketua Bidang Fatwa MUI Profesor Ali Mustafa Yaqub beberapa waktu lalu.

Imam besar Masjid Istiqlal ini tidak menjelaskan siapa saja yang memberikan masukan tersebut. "Fatwa itu hal yang dilakukan ulama atas pertanyaan masya-rakat dan ketika ulama menjawab atas tanggung jawab kepada Allah, umat boleh mengikuti atau tidak namun pertanggung-jawabannya kepada Allah," kata Ali kepada padangkini.com.

Hal yang senada ditegaskan Ketua MUI KH Ma'ruf Amin. Menurutnya, fatwa itu keluar karena adanya permintaan dari masyarakat sekaligus menghadapi pro-kontra golongan putih. “Namun, kami tidak masuk dalam istilah golput, tapi masuk pada istilah memilih pemimpin dan tidak memilih pemimpin. Ini lebih memiliki landasan kuat. Dalam rangka akhdul imamah, dengan fatwa ini kita kasih tuntutan memilih pemimpin muslim,” katanya.

Bunyi Fatwa

Fatwa ini tertuang dalam Hasil Ijtima' Ulama III MUI bagian IV, sub judul: Tidak Menggunakan Hak Pilih (Golput) dalam Pemi-lihan Umum. Bunyinya adalah sebagai berikut:

Pertama, pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Kedua, memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Ketiga, imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat.

Keempat, memilih pemim-pin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemam-puan (fathonah), dan memper-juangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. Kelima, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai-mana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram. Fatwa ini diikuti dengan dua rekomendasi, yakni: (1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma'ruf nahi munkar; (2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosia-lisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masya-rakat terpenuhi.

Memang bila membaca rekomendasinya, MUI tidak mewajibkan orang untuk memilih tapi hanya menganjurkan. Namun dalam persidangan di ijtima' tersebut dan berbagai wawancara para pengurus MUI ada nuansa yang menyatakan golput itu haram. Padahal butir kelima sebenarnya membuka peluang kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, dalam hal ini haram hukumnya, jika pemimpin/wakil rakyat itu tidak memenuhi syarat sebagai-mana ada dalam butir satu. Sayangnya MUI tidak menen-tukan siapa saja yang layak dipilih dan tidak.

Tidak dipungkiri, ada nuansa kepentingan di balik keluarnya fatwa ini. Beberapa pengurus MUI baik di pusat dan di daerah ada yang menjadi pengurus parpol. Bahkan ada pengurus parpol besar sekuler yang menjadi tim perumus.

Seorang peserta kepada Media Umat menyatakan, sepertinya semua keputusan yang akan keluar dari ijtima' ulama seluruh Indonesia ini sudah di-set dari awal. Mereka menyesalkan kenapa MUI tidak mengeluarkan fatwa yang lebih penting yakni tentang wajibnya menerapkan syariah oleh negara. “Susah kita berbicara kalau masih menya-maratakan antara UU 45 dan Pancasila dengan Alquran dan Sunnah dalam berupaya mencari kebenaran,” ujar peserta yang tak mau disebut namanya.[] mujiyanto/rikhwan/www.mediaumat.com


KH Ma'ruf Amin, Ketua MUI

ImageFatwa sebagai Guidance

Saat di forum ijtima', kami memutuskan tidak menggunakan istilah golput, karena istilahnya banyak. Nanti jadi debatable. Kami pakai istilah memilih pemimpin dan tidak memilih pemimpin. Jadi ada tiga hal penting. Pertama, memilih pemimpin itu hukumnya apa. Kami sepakati hukumnya wajib, walau ada perdebatan. Kedua, wajib memilih pemimpin yang beriman, bertakwa, amanah, cerdas, dan memperjuangkan aspirasi umat Islam. Ketiga, kalau memilih yang tidak seperti itu, atau tidak memilih padahal ada pemimpin seperti itu, hukumnya haram.Pemimpin di sini ya presiden dan wakil-wakil masyarakat, DPR. Termasuk juga kepala-kepala daerah.

Kami memandang masih ada pemimpin yang baik. Walau kriteria kami itu minimal. Karena yang optimal kan sulit, mungkin jarang. Tapi kalau minimal banyak. Yakni, amanah, bertakwa, jujur, dia memperjuangkan aspirasi umat Islam.

Kami berpendapat, ada pemerintahan itu lebih baik daripada tidak ada pemerintahan, sekalipun pemerintahan itu kurang baik. Karena itu, ada pemerintahan yang tidak baik masih lebih baik. Walaupun kita tetapkan idealisasi pemerintah yang terbaik. Kedua, kalau tidak bisa memilih yang terbaik, pilih yang baik. Kemudian, kalau tidak ada yang baik, (pilih) yang paling sedikit jeleknya. Sambil terus melakukan perbaikan dalam sistem. Karena itu, perlu guidance. Kita kan punya kesepakatan nasional bahwa demokrasi itu ya melalui pemilu. Tentu, ulama pun tidak puas. Tapi ini kesepakatan. Karena itu, kami perlu memperbaiki, tidak asal memilih, tidak money politics. Ini bahasa kasarnya, "Jangan pilih politikus busuk." Tapi ini kan bukan bahasanya ulama. Ulama tidak setuju menggeneralisasi semua jelek.

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.