Salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang diberlakukan oleh kepala daerah (gubernur) dan disahkan oleh DPRD, adalah Perda Syariah. Isi Perda Syariah tersebut salah satunya adalah mewajibkan wanita muslimah untuk menutupi auratnya dengan jilbab. Berbagai kontroversi mengemuka menanggapi isi Perda ini. Termasuk pernyataan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan, bahwa selama 10 tahun reformasi terdapat 27 kebijakan daerah yang diskriminatif. Salah satunya pemaksaan penggunaan jilbab di sejumlah daerah seperti Tangerang, Padang Pariaman, Maros, dll (Koran Tempo, 10 Maret 2008). Dapat dipahami maksudnya bukanlah masalah pada pemakaian jilbab, akan tetapi unsur kekerasan karena pemerintah daerah “memaksa” dalam bentuk pemberlakuan aturan. Benarkah ini adalah kekerasan?

Mendudukkan Kekerasan

Apabila kita perhatikan istilah “kekerasan”, terbersit dalam benak kita adalah sebuah penindasan, dan tidak akan ada seorang pun yang mau disifati atau pun melakukan kekerasan. Tetapi menarik untuk dikritisi fakta kekerasan ini. Bagaimana bisa seorang yang sudah terbukti korupsi, misalnya, dilepaskan dari jeratan hukuman yang pasti akan bersifat tegas dan keras? Atau bagaimana bisa seorang polisi mebiarkan lari begitu saja pelaku penjarahan toko emas, tanpa ada upaya menangkapnya? Dan bagaimana jika ada upaya perlawanan dari para penjahat tadi, apakah polisi tidak boleh bertindak fisik?

Ini artinya kita tidak bisa begitu saja memberikan pernyataan baik atau buruk terhadap suatu istilah atau ungkapan. Harus dilihat terlebih dahulu implementasinya. Berarti, tidak semua kekerasan itu adalah buruk. Karena bisa jadi dengan ketegasan dan kekerasanlah, permasalahan akan terselesaikan dengan baik

Perda Syariah yang mengatur masalah pakaian perempuan memang merupakan hal yang baru. Akan tetapi yang patut digarisbawahi, pemakaian pakaian muslimah (jilbab) bukanlah suatu hal yang baru diminati banyak wanita Islam. Jauh hari sebelum adanya aturan ini (tahun 80-an) sudah ada muslimah-muslimah yang mengenakan busana ini, walaupun dengan tantangan berat dari keluarga dan masyarakat. Bahkan ketika pihak sekolah melarang para siswi mengenakan busana ini, mereka tak pernah putus asa untuk mengupayakannya.

Jadi, catatan penting bagi pemakaian busana jilbab ini, sejatinya kaum muslimah menyadari arti penting yang asasi, yaitu ini adalah perintah Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Bahkan di banyak tempat yang belum diberlakukan Perda Syariah ini, sudah banyak kaum perempuan Islam yang kembali mengenakan busana jilbab ini.

Ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah proses panjang tentang fakta keberadaan kaum perempuan masa kini. Tidak sedikit orang yang sudah merasa jengah dengan aturan ”modern” kebebasan masyarakat saat ini. Mari kita renungkan, kebebasan bertingkah laku dan berekspresi macam apa yang dilarang di negeri ini? Terlebih lagi dalam masalah pakaian. Anda ingin seperdelapan, sepertiga, atau setengah telanjang? Atau bahkan mungkin telanjang sekalipun tidak akan ada yang bakal melarang.

Tapi dampak sosialnya tak kalah ”kebablasan”. Kebebasan menuai bencana kriminalitas seksual, perkosaan hingga pembunuhan. Aborsi akibat seks bebas sudah ratusan bahkan ribuan kali terjadi. Nasib anak-anak dan rumah tangga yang rentan dengan percekcokan hingga perceraian sudah tak bisa dihitung dengan jari-jemari lagi. Bahkan kian hari kriminalitas seksual semakin mengalami diversifikasi, semakin kejam dan sangat di luar batas kemanusiaan.

Kondisi inilah yang menyebabkan banyak orang yang merasa ”kehausan spiritual”. Sudah semua direguk kenikmatan dunia tanpa batas, tapi mengapa selalu ada yang ”hilang” dalam kehidupannya. Ya, itulah kedekatan pada Allah SWT dan segala ketertundukan pada Syariah-Nya yang agung, mulia, dan memuliakan manusia yang menjalankannya.

Ternyata ketertundukan mereka terhadap ”otoriterianisme busana modern” membawa ketidaktenangan dalam kehidupan dunia. Justru ketika mereka mengenakan busana Muslimah, mereka mendapatkan ketenangan dan kenyamanan, bahkan kehormatan diri sebagai seorang perempuan sangat terasa dengan jilbab.

Bukan Masalah Individual

Busana dalam Islam tidak semata-mata dianggap masalah individual. Masalah busana mempunyai dampak sosial yang erat kaitannya dengan ketaatan individu yang melaksanakannya. Seorang muslimah ketika taat pada Allah dalam pakaiannya, maka ia sekaligus menyelamatkan masyarakatnya. Ia telah meminimalisir unsur seksual dalam pergaulannya.

Ketika ia berinteraksi dengan laki-laki dalam komunitasnya, sebagai pelajar misalnya, maka ia akan mendapatkan kenyamanan dari pandangan seksual lawan jenisnya. Sehingga pergaulan yang terjadi hanya semata-mata interaksi manusia tanpa unsur seksis sama sekali. Bandingkan dengan perempuan yang mengumbar kemolekan tubuhnya, tentu dampak pergaulan yang seksis akan kemungkinan besar terjadi, dan tentu akan mengganggu kealamian interaksi. Yang tadinya bertujuan diskusi ilmiah, menjadi ajang pacaran.

Bagaimana jika aturan berpakaian ini dilegalisasi oleh pemerintah? Apakah akan terjadi kekerasan dan pemaksaan, hingga akan terjadi hukuman bagi muslimah yang tidak mengenakannya? Jelas apabila sebuah aturan sudah legal maka akan terjadi pemaksaan dan sanksi. Ini suatu hal yang lumrah, sebagaimana ketika pemerintah menjaga kebebasan individu, maka negara akan memberi sanksi bagi yang mengganggu kebebasan individu masyarakat.

Akan tetapi jika antara kebebasan dan pengaturan dengan Syariah ternyata masyarakat akan lebih tenang kehidupannya dan terhindar dari kriminalitas dengan pemberlakuan Syariah, maka akan secara pasti masyarakat yang ”sehat” akan lebih memilih Syariah. Bahkan bisa jadi yang non Muslim sekalipun akan mendukung ini.

Sebagaimana pemberlakuan Perda Syariah di Bulukumba, non Muslim pun merasa aman dari pencurian ternaknya karena diberlakukan hukuman bagi pencuri dan pemabuk. Jadi ketegasan dan kekerasan pemberlakuan syariah Islam akan dianggap justru dibutuhkan oleh masyarakat dan jauh dari unsur diskriminan. Ia akan memberikan rasa aman bagi siapa pun yang melaksanakannya, bukan malah dianggap sebuah aturan yang menakutkan.

Isu Liberalisme

Kalau begitu, ada apa dibalik isu kekerasan terhadap perempuan yang selalu menunjukkan arahnya pada Syariah Islam ini? Ini tidak lain adalah perang opini yang dilakukan oleh para pengusung Liberalisme melawan opini Syariah Islam yang sudah semakin mendapatkan tempat di hati Umat Islam. Mereka tidak henti-hentinya menghembuskan opini anti Syariah dengan segala bentuk dan cara agar Islam dalam kondisi terpojok.

Ini sangat dimengerti, mengingat Liberalisme sebagai anak kandung Kapitalisme, sudah menampakkan kebobrokannya di tengah masyarakat. Dari aspek spiritual, Liberalisme menampakkan gejala kekosongan spiritual umat, sehingga menghasilkan masyarakat yang gampang stress (lihatlah kasus bunuh diri yang kian meningkat).

Dari aspek ekonomi, Liberalisme menampakkan kekejamannya dengan penjualan asset ummat melalui UU Penanaman Modal Asing, sehingga negara penghasil minyak menjadi miskin minyak. Efek kemiskinan yang semakin menjadi-jadi membenarkan ungkapan ”ayam mati di lumbung padi”. Lagi-lagi masyarakatlah korbannya.

Dari aspek budaya tak kalah mencolok, Liberalisme memelihara pornografi dan pornoaksi dengan alasan seni. Generasi kita sudah terbiasa dengan tayangan dan bacaan porno (ingat perjuangan kaum Liberalis dalam pelegalan majalah Play Boy).Jadi Liberalisme dalam perjuangannya tak henti-hentinya ingin menjerumuskan umat ini dalam kenistaan dan kesengsaraan. Perjuangan mereka amat jauh dari niat baik, melihat dampak yang ditimbulkan. Mereka hanyalah pejuang-pejuang bayaran yang bergerak atas asupan dana besar dan kontinyu dari negara Kapitalis Besar, untuk memuluskan penjajahan di negeri-negeri dunia ketiga (baca: dunia Islam).

Khilafah adalah Solusi

Perda Syariah memang banyak aspek positifnya, akan tetapi ketika penerapan Syariah Islam yang tidak sempurna, maka tidak akan menyelesaikan seluruh problematika manusia. Sebagai gambaran, masalah pemerkosaan, tidak bisa diselesaikan hanya dengan pemberlakuan jilbab saja. Ini juga terkait dengan masalah pendidikan masyarakat yang harus secara gratis diperoleh oleh masyarakat. Juga kurikulum pendidikannya, yang benar-benar harus menghasilkan anak-anak didik dengan kepribadian mulia. Agar mereka bisa terhindar dari split personality, satu sisi mendapatkan ilmu di sekolah, tapi di sisi lain kosong dari moral.

Yang juga terkait dalam masalah ini adalah masalah ekonomi umat, dimana hak-hak masyarakat harus dikembalikan kepada masyarakat. Negara harus membuat regulasi yang ketat agar kepemilikan masyarakat yang strategis seperti minyak bumi, gas alam, batu-bara, emas, yang dalam jumlah berlimpah, harus dikelola oleh negara. Hasilnya akan dikembalikan pada masyarakat dalam bentuk pelayanan yang mudah dan gratis, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi.Jadi Syariah Islam akan terasa perlindungannya dengan sempurna, apabila diterapkan secara sempurna pula.(Ummu Salamah)


sumber: hizbut-tahrir.or.id