Oleh : Charles Cumming
The Guardian
china.jpgDalai Lama sudah sering mendapatkan sebutan dalam berbagai kesempatan. Rubert Murdoch pernah menggambarkan dia sebagai “seorang biksu tua yang sangat berpandangan politik yang berjalan dengan memakai sepatu Gucci”, sementara Larry King dari CNN pernah salah salah menggambarkan pemimpin politik dan spiritual rakyat Tibet itu sebagai seorang aktivis muslim terkemuka. Namun, hingga minggu lalu, tidak seorangpun yang menyebut dirinya sebagai seorang teroris.

Pastilah pemerintah China yang melontarkan tuduhan itu. Menurut Beijing, kekerasan yang terjadi baru-baru ini di Tibet didalango oleh Dalai Lama bersekongkol dengan kelompok militan Uighur dari Xinjiang, yang merencanakan tindakan teroris pada Olimpiade nanti. Ini adalah kali yang kedua dalam dua minggu yang dituduhkan China atas kelompok separatis Xinjiang bahwa mereka merupakan ancaman bagi Olimpiade itu. Namun, dengan pengecualian sebuah tulisan Parag Khanna pada halaman ini, pers Inggris tidak berhasil meliput peristiwa ini lebih lanjut.

Murni karena alasan-alasan kepentingan sendiri, saya kecewa dengan hal ini. Secara kebetulan, novel saya, Typhoon, berkaitan dengan rencana yang dibuat kelompok radikal Uighur yang disponsori Amerika untuk meledakkan Olimpiade di Beijing. Saran yang diberikan China bahwa conspirasi semacam ini sebenarnya adalah saluran publisitas yang kebanyakan diimpikan oleh para novelis. Namun, ada sesuatu hal yang lebih serius yang dibuat. Obsesi media Inggris dengan penduduk Tibet yang beragama Budha mengatakan tindakan Barat atas Xinjiang dan penduduknya yang kebanyakan adalakah kaum muslim berbahasa Turki.

Mungkin saja bahwa orang-orang itu masih tidak peduli terhadap Xinjiang karena mereka tidak punya Dalai Lama, tidak ada Richard Gere yang menjadikan hal ini menjadi perhatian internasional. Jika hal itu ada, maka kita akan lebih banyak tahu atas tindakan barbar atas penduduk Uighurs dari hari ke hari.

Sedemikian paranoidnya pemerintah China atas ancaman dari sebuah kelompok separatis Xinjiang sehingga mereka akan memenjarakan penduduk yang tidak berdosa atas alasan alasan yang lemah.

Penduduk Uighurs telah ditahan karena membaca Koran yang bersimpati atas perkara kemerdekaan. Yang lainnya ditahan hanya karena mendengar Radio Free Asia, sebuah stasiun radio berbahasa Inggris yang didanai oleh Konggres Amerika. Bahkan membicarakan separatisme di muka umum adalah hal yang bisa berakibat hukuman penjara yang lama, tanpa ada surat perintah penangkapan, perwakilan hukum yang efektif atau pengadilan yang fair. Sekitar 100 orang penduduk Uighur ditahan di Khotan baru baru ini setelah beberapa ratus orang berdemonstrasi di tempat belanja di kota, yang terletak di Jalan Sutera.

Dan apakah yang terjadi pada penduduk Uighur laki-laki dan perempuan yang tidak berdosa itu ketika mereka ditahan pada penjara Xinjiang yang terkenal sebagai “penjara hitam”? Amnesty Internasional telah melaporkan sedemikian banyak insiden penyiksaan, darimulai sundutan rokok pada kulit hingga menenggelamkan kepala di air atau berenang telanjang bulat di tempat pembuangan kotoran. Para tahanan dicungkin kukunya dengan tang, diserang oleh anjing and dibakar dengan tongkat pemukul listrik, bahkan dipecut dengan pecutan untuk hewan ternak.

Di Typhoon, saya mengkaitakan kisah nyata yang menakutkan atas seorang tahanan Xinjiang yang ujung penisnya dimasukkan helai rambut kuda. Melalui penyiksaan yang kejam ini, korban dipaksa untuk memakai helm metal dikepalanya. Kenapa? Karena teman satu penjara yang sebelumnya begitu trauma dengan perlakuan di penjara itu hingga dia membenturkan kepalanya ke sebuah radiator dalam usaha bunuh diri.

Ini adalah realitas kehidupan modern Xinjiang. Apa yang orang China harapkan dari perlakuan yang tidak manusiawi ini masih tidak jelas. Menurut Corinna-Barbara Francis, seorang peneliti dalam tim Amnesty Internasional untuk Asia Timur, “tekanan yang meningkat atas penduduk Uighur oleh pihak berwenang China bisa memberikan kesan yang berbahaya bahwa yang sedang dilakukan China adalah memerangi radikalisasi penduduk dan penggunaan respon penindasan yang keras.”

Penduduk Uighur memiliki motif, pada akhirnya, untuk melawan. Pada tanggal 5 Januari tahun ini, 18 orang penduduk Uighur dibunuh dan 17 orang lainnya ditahan selama serangan pada apa yang digambarkan oleh China sebagai “kamp pelatihan teroris” in pegunungan Pamir. Namun, banyak pengaman barat yang meragukan keabsahan

klaim itu. Itu karena tidak adanya bukti rencana serangan pada Olimpiade, dan pihak berwenang China belum mengeluarkan bukti apapun yang menunjukkan bahwa

laki-laki dan perempuan yang dibunuh di bulan Januari itu terkait dengan Al-Qaida.

Rebiya Kadeer, presiden Konggres Uighur Sedunia, yang tinggal di pengasingan di Amerika Serikat meyakini bahwa ancaman “terorisme” di Xinjiang adalah dilebih-lebihkan dan dipakai oleh Beijing “baik sebagai justifikasi bagi penindasan lebih lanjut maupun sebagai asimilasi budaya dari penduduk Uighur” dan sebagai taktik pengecoh yang didisain untuk mengelabui catatan buruknya pelanggaran HAM di wilayah itu. Tapi siapa yang mau mendengarnya?(www.hizb.org.uk; 7/04/2008)