food_shortage_0227.jpgKrisis kelangkaan pangan yang mengakibatkan gejolak kerusuhan di berbagai negara berkembang beberapa bulan terakhir ini adalah bukti rentannya globalisasi. Lebih jauh lagi, Bank Dunia dan IMF beserta agenda liberal pasar bebasnya pantas dituding sebagai sumber kekacauan. Beberapa faktor yang memicu melambungnya harga pangan adalah tingginya kebutuhan pangan di negeri industrialis baru seperti Cina dan India, kekeringan di Australia dan Eropa Tengah dan juga mungkin adanya permainan spekulasi di tingkat pedagang besar yang mulai beralih dari sektor keuangan (yang mengalami kerugian akibat masalah kredit macet di Barat) ke sektor komoditas pangan. Konversi lahan produksi pangan menjadi lahan pemasok bensin hayati (biofuel), sebagai sumber energi bagi mobil-mobil di Barat yang ramah lingkungan, juga berkontribusi terhadap kurangnya stok pangan.

Pejabat Bank Dunia dan IMF cepat sekali menyalahkan faktor di atas sebagai penyebab utama adanya krisis pangan. Kenaikan harga dua kali lipat mengakibatkan miliaran penduduk di dunia berkembang yang hidup dibawah garis kemiskinan kehilangan haknya untuk mendapatkan akses makanan pokok. Lebih jauh lagi, miliaran penduduk lainnya semakin tenggelam di bawah garis kemiskinan, yaitu kurang dari 1 dolar sehari, sebagaimana didefinisikan oleh pakar ekonomi internasional. Dominique Strauss-Kahn, direktur manajemen IMF dan Robert Zoellick, Presdir World Bank, secara enteng tidak mau bertanggungjawab atas kebijakan yang gagal dan praktek korup yang dilakukan oleh institusi mereka masing-masing. Padahal dua institusi inilah yang mengawasi agenda pembangunan di negara berkembang se

lama puluhan tahun, dimana tingkat kemiskinan justru semakin memburuk. Ini juga terbukti dari naiknya angka kemiskinan di Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah dan Amerika Latin sebagaimana dicatat dari publikasi World Development Report (Laporan Pembangunan Dunia), tahun 2008. Dengan adanya krisis pangan, maka tidak heran apabila laporan tersebut menjadikan bidang pertanian sebagai fokus pengembangan ekonomi. Akan tetapi, laporan tersebut menyanyikan lagu lama yang sudah terdengar selama puluhan tahun dengan merekomendasikan sebagai berikut: Ekonomi negeri miskin harus mengurangi tariff bea cukai dari produk pertanian ekspor dan impor, dan meliberalisasi pasar domestik.

Bank Dunia dan IMF tidak ambil pusing walaupun rekomendasi seperti itu sebenarnya toh sudah dijalankan berpuluh tahun oleh negara-negara berkembang. Dua institusi ini juga tidak begitu peduli bahwa krisis yang terjadi sebelumnya di negara berkembang sebenarnya terjadi karena imbas dari jatuhnya harga pasar komoditas dunia. Bahkan kebijakan negeri kaya dari benua Amerika Utara dan Eropa Barat yang menerapkan proteksi terhadap produk pertanian mereka sendiri, tidak dianggap bermasalah. Malahan subsidi pemerintahan Amerika dan juga Eropa (Common Agricultural Policy )dengan terhadap para petani mereka sendiri justru meningkat.

Lebih jauh lagi, tidaklah penting bagi dua lembaga keuangan dunia tersebut, bahwa pihak yang paling diuntungkan dari program liberalisasi ekonomi, adalah produser gabah di Amerika (yang menguasai sekitar 30% dari nilai ekspor gabah dunia) dan juga perusahaan agrokimia multinasional seperti Monsanto dan Dupont.Mesir dimana rakyatnya telah terbunuh dalam beberapa peristiwa kekacuaan telah mengikuti secara detil rekomendasi dari Bank Dunia dan IMF, dan menggantungkan dirinya pada impor gandum sebesar 44% dari konsumsi total (di tahun 1960an) dan sebesar 50% atau lebih, menurut prediksi terakhir.

Ketahanan pangan sering diejek karena tidak lagi menjadi tren, meskipun sebenarnya Mesir menghabiskan tingkat konsumsi per kapitanya sekitar 70-80% dari pendapatannya untuk membeli makanan. Ekonom mesir, yang mematuhi aturan diet dari IMF dan Bank Dunia, berdalih bahwa swasembada pangan tidak lah penting karena selalu bisa mengakses pangan impor. Namun akses saja tidak berarti banyak apabila harga pangan impor pun tidak bisa dijangkau rakyat biasa. Alangkah bertanggungjawabnya suatu negara yang mengalihkan usaha memberikan pangan kepada rakyat kepada usaha produksi bensin hayati, pemberian pakan ternak, atau kepada spekulan perdagangan yang menarik keuntungan dari membumbung tingginya harga komoditi pangan.

Padahal, komoditas bahan pangan sangatlah penting untuk kelangsungan hidup, sebab kelangkaan komoditas seperti barang elektronik, perekam video, maupun mobil tidak akan dituding sebagai sebab darurat nasional.Akar dari kelangkaan pangan adalah gagalnya kebijakan dari Bank Dunia dan IMF. Padahal kebijakan yang dibuat di Washington dan London, tidak diterapkan di Amerika maupun Eropa sendiri, dan keduanya justru ingin berswasembada pangan dan menjual produksi pertaniannya ke luarnegeri dengan cara paksa (dengan dalih liberalisasi). Kebijakan jahat semacam ini hanya menghasilkan penderitaan di negeri-negeri yang lain. Namun, tanggungjawab terbesar jatuh di pundak para penguasa pengkhianat di dunia muslim, seperti Mubarak, yang menerapkan kebijakan jahat tersebut secara mentah-mentah dan tidak memperdulikan efek kesengsaraan yang menimpa kalangan masyarakat terlemah, yang justru seharusnya lebih diperhatikan oleh negara.

Para penguasa tersebut adalah kaki tangan pemerintahan Barat untuk memastikan kelanggengan pengaruh mereka dengan meliberalisasi pasar dan meredam keinginan sebagian rakyatnya yang menghendaki berakhirnya dominasi Barat dan menginginkan kembalinya penerapan Islam.

Gambaran bagaimana Sistem Ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khalifah dalam menangani krisis seperti sekarang, dengan mengambil Mesir sebagai wilayah yang potensial, akan terlihat dengan penerapan beberapa instrumen Syariah sebagai berikut. Reformasi pengaturan penggunaan tanah akan dilakukan dengan mendistribusikan ulang tanah yang menganggur untuk menciptakan kompetisi di sektor pertanian yang didukung oleh dana investasi dari negara dalam pengembangan infrastruktur pertanian seperti penelitian dan perbaikan mutu benih-benih unggulan. Hal ini penting dilakukan karena konsumsi gandum di Mesir membutuhkan produksi dua kali lipat. Menarik untuk diingat bahwa di tahun 1950an, Korea dan Taiwan, sebagai macan ekonomi Asia, membangun roda perekonomiannya dengan diawali reformasi pengaturan penggunaan tanah dan investasi pertanian sehingga mampu memperbaiki tingkat pendapatan dari pertumbuhan sektor pertanian. (rusydan; sumber : Hizb.org.uk; 13 April 2008)