Blogger Themes

News Update :

Mis Persepsi Perjuangan Kartini

Sabtu, 19 April 2008

“Menjauhkan diri dari perbuaatn hina adalah perhiasan orang miskin, dan bersyukur itu adalah hiasan orang kaya.” (Ali bin Abi Thalib)

Bagi anak TK, hari Kartini berarti hari dimana mereka mesti dandan kemayu pake pakaian adat dan saling berpasangan (emangnya sendal jepit hehehe…. ). Terus dipajang di atas panggung dan berjalan layaknya model di atas catwalk untuk dapet tepuk tangan meriah dari ortu dan guru. Bagi siswa/i SMP dan SMA, pastinya hari Kartini jadi ajang apresiasi seni dan hiburan. Kaya lomba mirip tumpeng dan bikin Kartini, eh ketuker. Maksudnya bikin tumpeng dan mirip R.A. Kartini. Lengkap dengan konde dan kebaya yang jarang dilirik remaja putri. Cuma setaun sekali ini.

Bagi mahasiswa, hari Kartini berarti momen yang pas untuk ngadain seminar yang mengupas perjuangan kartini dan pemberdayaan perempuan saat ini. Sementara aktifis perempuan ngeliat hari Kartini sebagai saat yang tepat untuk mengkampanyekan emansipasi dan tuntutan perbaikan nasib perempuan. Bagaimana dengan kamu? Kalo buat kita,…kayanya hari Kartini tahun ini berarti waktunya baca Bukamata yang ngupas emansipasi. Hehehe.. maksa deh!

Mengenal Perjuangan Ibu Kartini

Lahir dari keluarga ningrat, membuat Kartini mesti kehilangan sedikit kebebasannya dalam menuntut ilmu. Pendidikan gadis jawa kelahiran Jepara 21 April 1879 ini mentok di ELS (Eropese Lagere School) pada usia 12 tahun. Jadi cuman tamatan SD. Soalnya di adat jawa, usia segitu udah harus menjadi perumtel alias penunggu rumah teladan. Istilah jawanya, dipingit. Padahal kakaknya yang laki-laki, bisa lanjutin sekolahnya ke tingkat lebih tinggi. Kartini jadi ngiri dong.

Untungnya Kartini sempet belajar bahasanya Van Nistelrooy ketika di ELS. Jadi bisa tetep dapet banyak ilmu dengan baca surat kabar Semarang De Locomotief, majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, atau majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie yang pernah memuat beberapa tulisan yang beliau kirim. Dari media-media massa yang berbahasa Belanda itu, Kartini tertarik dengan kemajuan berpikir perempuan Eropa saat itu yang punya hak sama dalam soal pendidikan.

Selain baca, Kartini juga hobi korespondensi alias surat-menyurat dengan teman-temannya dari negeri Belanda. Lewat surat-suratnya, beliau curhat tentang kegundahannya hidup dalam kungkungan adat ningrat jawa yang sopan santun antar anggora keluarganya ribet banget. Juga kekecewaannya akan nasib perempuan pribumi yang tak berpendidikan. Makanya beliau bertekad untuk memperjuangkan hak perempuan pribumi dalam menuntut ilmu dan belajar. Beliau tulis,

“Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya” (Suratnya kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901)

Menginjak usia 24, Kartini harus menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat sesuai keinginan orangtuanya. Untungnya, suami yang dinikahi kartini pada 12 November 1903 itu ngerti bener keinginannya untuk ngasih peluang pada perempuan pribumi biar dapet pendidikan layak. Makanya sang Suami ngedukung Kartini mendirikan sekolah wanita. Setelah satu tahun menikah, Kartini dikaruniai seorang anak petama sekaligus terakhirnya, RM Soesalit yang lahir pada 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Demi mengenang perjuangan hak pendidikan perempuan, kemudian didirikan Sekolah Wanita bernama “Sekolah Kartini” oleh Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer di Semarang pada tahun 1912. Terus dibuka cabangnya di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Dan akhirnya, Presiden Soekarno mengeluarkan KepPres RI No.108 tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan tanggal 21 April untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Gitu asal-usulnya pren.

Kartini = Pejuang Emansipasi?

Meski perjuangan Kartini awalnya terinspirasi dari kemajuan wanita Barat pada jamannya, tapi kayanya bukan untuk ikut ambil bagian dalam perjuangan emansipasi deh. Beliau cuman meminta agar perempuan pribumi diperlakukan sama dalam pendidikan. Sementara gerakan emansipasi wanita Barat menuntut persamaan hak wanita-pria dalam segala hal. Nggak cuman pendidikan. Ini yang bikin repot.

Sekilas, perjuangan emansipasi wanita yang merupakan ide feminisme itu keliatannya emang mulia. Berusaha mengangkat derajat kaum hawa yang katanya sering dapet perlakuan nggak adil. Baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Padahal dibalik ‘perjuangan mulia’ itu ada sisi lain yang kudu diwaspadai. Iih.. kesannya kaya wabah flu burung aja.

Soalnya, gaung emansipasi nggak cuman ngomongin persamaan hak pria dan wanita, tapi udah ngotak-ngatik peran wanita sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Kehidupan keluarga dianggap merantai kebebasan perempuan yang hidup cuman untuk urusan sumur (nyuci baju atau piring), dapur (masak), dan kasur (ngelonin suaminya). Apalagi banyak wanita yang jadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Lengkap deh alasan wanita untuk keluar dari ‘dunia fitrahnya’.

Biar nggak ditindas, dijajah, dan tergantung pada laki-laki, wanita dikomporin untuk nyari penghasilan sendiri dan berani menyuarakan pendapatnya. Kalo laki-laki bisa sukses di dunia kerja, wanita karir juga dong. Kalo laki-laki banyak yang jadi politisi, perempuan pun harus ada wakilnya. Ujung-ujungnya, para wanita rame-rame turun ke ruang publik untuk bersaing dengan laki-laki. Baik di tempat kerja, di atas panggung politik, atau dunia hiburan. Lantas siapa yang ngurus rumah tangga atau ngasuh anak? Kan ada pembantu. Gubrakz!

Selain keluarga, emansipasi juga menganggap banyak aturan Islam yang nggak adil sama perempuan. Laki-laki boleh poligami dan perempuan kudu rela dimadu. Dalam pembagian hak waris, perempuan cuman dapet setengahnya dari bagian laki-laki. Dalam pemerintahan, perempuan gak boleh jadi pemimpin strategis seperti presiden, gubernur, atau walikota/bupati. Dalam berpakaian, aurat wanita yang harus ditutup lebih banyak dibanding laki-laki. Walhasil, menjadi peserta pilpres atau pilkada, pake baju yang mengumbar aurat, atau gaul bebas dengan lawan jenis, dianggap wajar dan udah jadi tuntutan emansipasi wanita. Padahal, aturan agama Islam itu Allah swt yang buat, bukan manusia. Masa iya seorang muslimah meragukan kebaikan yang Allah swt tawarkan dalam syariah Islam?

Kasian banget ya Ibu Kartini kalo perjuangannya dipake untuk membenarkan tuntutan emansipasi yang menjauhkan wanita dari fitrahnya. Padahal Ibu Kartini pengen perempuan juga berpendidikan agar bisa jadi ibu dan pengurus rumah tangga yang baik sesuai perannya. Seperti dituliskan dalam suratnya,

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Bukan Dengan Emansipasi

Perlakuan nggak adil yang menimpa kaum hawa, sejatinya lahir dari pola hidup dan cara berpikir masyarakat yang sekuler bin hedonis. Meski gaung emansipasi kedengaran di sana-sini, gaya hidup hedonis tetep memaku derajat wanita di level bawah. Dengan balutan tren fashion dan kebebasan berekspresi yang trendi, wanita nggak nyadar kalo sedang dikondisikan sebagai pemuas syahwat laki-laki. Dan sialnya, wanita dibuat bangga dengan pelecehan ini melalui penghargaan perempuan tercantik, terseksi, dan berprestasi. Waduh!

Sehingga cara paling pas untuk melanjutkan perjuangan Kartini adalah dengan mengubur gaya hidup sekulerisme-hedonis dan menyuarakan kebenaran Islam. Kenapa mesti Islam? Lantaran hanya aturan Islam yang menghargai, menjaga, melindungi, dan memuliakan wanita.

Seperti pengakuan seorang Anna Rued, penulis buku—Eastern Mail. ia menyebutkan “Kita harus iri kepada bangsa-bangsa Arab yang telah mendudukkan wanita pada tempatnya yang aman. Dimana hal itu jauh berbeda dengan keadaan di negeri ini (Inggris) yang membiarkan para gadisnya bekerja bersama laki-laki di kilang-kilang minyak—yang tidak saja menyalahi kodrat—tetapi bisa menghancurkan kehor­matannya.” Tuh kan?

Meski wanita banyak berkutat di dalam rumah, nggak berarti kedudukan mereka lebih rendah dibanding laki-laki. Karena di hadapan Allah swt, bukan prestasi atau jumlah materi yang dinilai. Tapi ketaatannya terhadap perintah dan larangan Allah swt. Makanya nggak pantes deh laki-perempuan saling iri hati. Allah swt ngingetin kita dalam firman-Nya:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa`[4]: 32)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Ya Rasulullah, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang laki-laki. Apakah dalam perkara amalan kami juga demikian? Jika ada seorang wanita berbuat kebaikan hanyalah dicatat untuknya separuh dari kebaikan tersebut?” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat: “Janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.” Sesungguhnya ini adalah keadilan dari-Ku dan Aku yang membuatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/462)

Nah Pren, cara pandang masyarakat yang merendahkan wanita emang mesti diubah. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga emang kudu dilawan. Sikap diskriminasi yang dialami wanita di luar rumah juga wajib dihilangkan. Tapi apa semuanya mesti ditempuh dengan kampanye emansipasi? Hmm.. kayanya nggak deh. Bukan apa-apa, kenyataannya, ide emansipasi malah bikin persoalan wanita tambah runyam. Yang bener, perjuangkan hak wanita dengan getol mengkampanyekan penerapan syariah Islam oleh negara yang akan menjaga, melindungi, dan memuliakan wanita dan kehidupannya. Islam akan membawa wanita dari kegelapan menuju cahaya. Sementara emansipasi membawa wanita dari kegelapan menuju bahaya. Jauhi emansipasi dan perjuangkan Islam ideologi. Yuk! [hafidz341@gmail.com].


http://hafidz341.wordpress.com/2008/04/19/023-mis-persepsi-perjuangan-kartini/

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.