Blogger Themes

News Update :

HTI Datangi DPR Nyatakan Sikap Tolak Intervensi AS terhadap Separatisme

Selasa, 12 Agustus 2008

Seluruh Anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bersama para Mas’ul se-Jakarta Raya Senin (11/8) kemarin mendatangi gedung DPR RI untuk menyatakan sikap penolakan terhadap surat 40 anggota Kongres AS yang ingin mengintervensi pemerintah RI terkait kasus separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Rombongan yang dipimpin Ketua DPP M. Rahmat Kurnia ditemui oleh Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN Abdillah Toha. Pada kesempatan itu, M. Rahmat Kurnia membacakan pernyataan sikap HTI tentang Dukungan AS terhadap Gerakan Separatis.

Abdillah Toha menyambut positif kedatangan rombongan HTI yang sudah dikenalnya sangat kritis dan vokal menanggapi kasus-kasus keumatan. Terkait masalah surat 40 anggota Kongres AS, Abdillah menganggap hal itu bukan representatif Kongres AS atau pun pemerintah AS. “Mereka hobinya memang nulis surat ke negara-negara di dunia,” ujarnya. Abdillah melanjutkan, para anggota Kongres ini punya kebiasaan mencampuri urusan negara lain melalui surat-suratnya itu.

Pemerintah RI, menurut Abdillah, tak perlu menanggapi surat tersebut secara berlebihan. Kalau pun mau, cukup Kementrian Luar Negeri saja yang menanggapi dengan menyatakan bahwa anggota Kongres AS itu tak bisa mengintervensi hukum di Indonesia. Takutnya jika pemerintah RI bereaksi terlalu besar, mereka menjadi besar kepala dan menganggap surat mereka itu cukup efektif untuk mempengaruhi pemerintah kita.

Abdillah menilai, sesungguhnya AS sudah tidak punya otoritas moril untuk mengatur permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia. Karena, AS sendiri merupakan pelanggar HAM terberat dunia. Oleh karena itu, daripada mengurusi HAM negara lain, lebih baik AS membenahi HAM di negerinya sendiri terlebih dahulu.

Ketua Lajnah I’lamiyah HTI, Farid Wadjdi mengatakan meskipun tidak mewakili pemerintah AS, namun surat anggota Kongres AS tersebut membuktikan adanya intervensi pada pemerintah Indonesia. “Pernyataan anggota Kongres ini bagaikan bola salju yang bisa akan membesar terus-menerus dan menjadi alat untuk mengintervensi,” ujarnya. Apalagi surat ini diawali dengan rekomendasi dari sebuah LSM Internasional asal AS, East Timor and Indonesia Asian Network atau ETAN, yang sudah berpengalaman menjadi salah satu arsitek lepasnya Timor Timur dari bumi pertiwi.

Farid Wadjdi pun menyarankan kepada anggota DPR untuk rajin pula menulis surat kepada AS yang isinya menyatakan sikap tegas dIndonesia tidak ingin diintervensi.

Juru Bicara HTI Ismail Yusanto menambahkan bahwa reputasi pemerintah Indonesia cukup buruk dalam menyikapi intervensi yang dilakukan asing, khususnya AS. Ismail mengambil contoh kasus blok Cepu dimana tanpa ada satupun dasar yang rasional baik secara historis, yuridis maupun ekonomis bagi pemerintah tapi tetap saja diserahkan pada Exxon Mobil. “Belum lagi Condoliza Rize mendarat, blok Cepu sudah diserahkan,” ungkapnya.

Sebentar lagi Indonesia akan merayakan hari kemerdekaannya. Sayangnya, yang menonjol hanyalah lomba balap karung dan makan kerupuk. Namun justru substansi kemerdekaan itu tertutupi oleh acara seremonial tersebut. Padahal kalau dicermati, negara kita semakin hari semakin terjerumus pada cengkeraman neo-liberalisme. “HTI sangat concern terhadap perwujudan Indonesia yang betul-betul merdeka secara ekonomi, politik dan hukum. Termasuk kemerdekaan secara hukum adalah ketika kita berani mencari alternatif lain yang lebih baik dari hukum yang ada kepada yang lebih compatible dengan relijiusitas mayoritas penduduk negeri ini. Dalam hal ini HTI menawarkan syariat Islam,” jelas Ismail.

Harist Abu Ulya, salah satu Ketua DPP HTI, menyampaikan usulan pada DPR untuk memberikan catatan pada pemerintah supaya memiliki sikap yang tegas pada sepak terjang LSM dan beberapa orang asing komprador yang selama ini melakukan suporting data, melancarkan opini dan bahkan propaganda demi kepentingan asing di negeri ini.

Dalam kesempatan itu, Abdillah Toha mengungkapkan perbedaan masalah separatisme yang terjadi di Aceh dan Papua. Jika di Aceh dukungan pihak luar negeri sangat kecil tapi di Papua networking-nya sangat kuat termasuk jaringan LSM, gereja-gereja, dan institusi politik maupun non politik dunia. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam kasus di Papua ini, pertama, jangan sampai terprovokasi sehingga muncul insiden-insiden yang meminta korban. Kedua, pemerintah harus melaksanakan otonomi daerah di sana secara konsekuen. Kalau tidak, dikhawatirkan akan menibulkan kekecewaan pada masyarakat Papua yang ini akan mempermudah kelompok separatis melakukan rekrutmen.

Ketua Umum DPP HTI Hafidz Abdurrahman menyatakan fakta adanya jaringan kuat di balik kelompok separatis disadari betul oleh HTI. Hal ini mengingatkan pada sejarah disintegrasi yang terjadi di beberapa wilayah Khilafah Turki Utsmani hingga keruntuhannya. Salah satu faktor terjadinya Disintegrasi itu karena pengaruh kaum misionaris. Kasus yang sama terjadi pula di Timor Timur. Oleh karenanya, HTI mengingatkan pada kaum Nasrani bahwa sesungguhnya kepentingan AS dan negara-negara imperialis lainnya bukanlah untuk kepentingan Kristen namun semata-mata hanya untuk mengeruk kekayaan yang ada.

HTI menyerukan pada kaum Kristen di Papua dan di wilayah lain bahwa upaya separatisme yang dilakukan hanyalah akan merugikan diri mereka sendiri. Kaum Kristen juga diingatkan supaya tidak mau diperalat demi kepentingan negara-negara imperialis tersebut. HTI juga mengingatkan pada kaum muslimin di Papua supaya berjuang agar Papua tidak lepas dari Indonesia.

M. Rahmat Kurnia mengungkap informasi mengenai anatomi masyarakat Papua. Menurut syabab HTI yang ada di sana, ada kolaborasi antara misionaris dan pihak asing yang dijembatani oleh LSM asing. Di sana terjadi pula upaya adu domba antara kaum muslimin dan masyarakat kristen dengan isu Islamisasi. Ada pula upaya diskriminasi antara penduduk asli dan pendatang. Pada sisi lain, ada kelompok-kelompok yang menentang disintegrasi, termasuk HTI. Justru HTI di sana disebut-sebut sebagai ancaman dengan label organisasi hardliner atau garis keras.

Abdillah Toha menyambut baik informasi yang diberikan tersebut. Namun ia meminta fakta yang lebih terinci dan spesifik supaya dapat dibawa dalam rapat-rapat DPR.

Sebagai penutup, Ismail Yusanto menegaskan kedatangan HTI ke gedung DPR untuk menyampaikan penentangan terhadap intervensi AS dan kekhawatiran pada gerakan separatisme. Sikap ini merupakan bagian dari gagasan Khilafah. Substansi Khilafah adalah syariah dan ukhuwah. Perwujudan ukhuwah ini salah satunya adalah persaudaraan dalam kesatuan wilayah. Oleh karenanya, HTI bersikap tegas menolak segala upaya pemisahan wilayah kesatuan negeri ini. Argumennya, kaum muslimin diperintahkan oleh Allah untuk bersatu, sementara fakta kaum muslimin saat ini telah berpecah belah. “Bagaimana kalau sudah pecah, pecah lagi. Tentu ini sangat membahayakan,” ujarnya.

Ismail juga mengklarifikasi komentar dari pihak tertentu yang menyatakan bahwa ide Khilafah bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme. Jika yang dimaksud nilai kebangsaan dan nasionalisme itu adalah pembelaan terhadap kesatuan wilayah, HTI telah membuktikan concern terhadap hal tersebut. Jika nilai kebangsaan dan nasionalisme diartikan dengan pembelaan terhadap nasib bangsa, HTI berulangkali menyatakan pembelaan sekaligus peringatan terhadap upaya-upaya menjerumuskan bangsa ini ke dalam cengkeraman neo-liberalisme.

Tetapi memang kalau nasionalisme diartikan dengan sekularisme, hal ini yang ditentang oleh HTI. Karena, sekularisme dan kapitalisme telah terbukti gagal membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. Maka, sesungguhnya ide syariah dan Khilafah merupakan kepedulian yang nyata dari HTI terhadap masa depan negeri ini. Dalam pandangan HTI, untuk menyelamatkan bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik, tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan Islam. (ihsan/li)

Galeri Foto Delegasi HTI:

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.