Blogger Themes

News Update :

Turki Kewalahan Menghadapi Revolusi Islam ?

Rabu, 06 Agustus 2008

Oleh Spengler
Islam politik tengah dikandung oleh Turki adalah suatu ungkapan jika seseorang mempercayai para menteri luar negeri Barat dan pers pada umumnya. Pemerintahan Kelompok Islam pada minggu lalu menahan 83 orang perencana kudeta dari pihak militer Turki dan kaum elit intelektual, dengan dakwaan rahasia setebal 2,445 halaman. Media Turki telah melayangkan tuduhan yang agak janggal dengan mengkaitkan para pemimpin sekuler dari kelompok “Ergenekon” dengan al-Qaeda maupun dengan Partai Pekerja Kurdi yang memakai kekerasan. Diantara orang-orang yang ditahan adalah kelompok sekuler, termasuk kepala Kamar Dagang dan Industri Ankara dan editor Koran terkemuka di negeri itu, Cumhuriyet.

Sebelum meneriakkan “Parlemen terbakar!” di teater yang penuh pengunjung, seseorang seharusnya membaca dakwaan itu, kapan dan bilamana hal ini bisa diketahui public. Sekelompok kecil analis Barat, seperti Michael Rubin dari American
Enterprise Institute, memperingatkan bahwa kedeta Islam adalah mungkin terjadi, meniru pola Revolusi Islam Ayatollah Ruhollah Khomeini tahun 1979 di Iran. Namun, pertanyaan akan waktunya adalah bukan soal penahanan massal dari para pemimpin sipil atas tuduhan yang bisa menantang Turki sebagai Negara yang demokratik, melainkan adalah soal mengapa media dunia telah membuat laporan dengan menggunakan kata-kata yang keras mengenai pemerintahan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Sikap kemarahan yang memuncak telah meliputi kaum sekuler Turki yang merasa terganggu, yang mendapati diri mereka tanpa ada teman. Hal itu adalah tragedy yang akibatnya akan dirasakan oleh Negara-negara yang berbatasan dengan Turki, suatu Negara sekuler yang menjadi model yang didirikan oleh Kemal Ataturk setelah Perang Dunia I dan suatu harapan dunia Muslim terbaik yang mengadopsi modernitas. Bertahun-tahun tindakan tercela tentara Turki dan polisi rahasia, yang merupakan lembaga-lembaga inti dari kekuatan sekuler, telah melunturkan kapasitas untuk melawan kudeta yang dilakukan oleh kelompok Islam.
Sementara itu Departemen Luar Negeri Amerika telah mendapati penggunaan taktik bagi apa yang dianggapnya sebagai jalur politik Islam moderat. Washington secara jelas berharap untuk bisa menyetir Turki kedalam blok regional dengan tujuan jangka pendek untuk meredakan ketegangan di Irak, dan tujuan jangka panjang yakni memperkuat aliansi Sunni untuk melawan ambisi Iran untuk membangkitkan revolusi Syiah di Timur Tengah.
Dengan menolak tujuan-tujuan Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa, Perancis dan Jerman telah meruntuhkan kredibilitas dari partai-partai sekuler untuk bisa berintegrasi dengan Barat. Barangkali orang Eropa telah membuang Turki ke dalam bangsal politik untuk pesakitan yang tidak bisa disembuhkan, dan tidak berpikir bahwa hal itu berguna untuk mencoba membangkitkan kembali orientasi sekulerisme Barat. Para intelektual liberal Turki, yang telah mendapat tekanan yang sementara namun brutal di tangan kaum militer Turki yang sekuler, menganggap pemerintah kelompok Islam sebagai musuh dari musuh mereka, jika itu bukan merupakan teman mereka.
Secara menyedihkan, keyakinan bahwa Islam moderat akan berkembang di Negara Turki menuntut kita untuk meyakini dua mitos, yakni, Islam moderat dan Negara Turki. Terlalu banyak usaha yang dilakukan untuk menganalisa pandangan politik Erdogan, yang memulai karirnya pada tahun 1990an dengan bersumpah setia pada kelompok Islam dan anti kelompok sekuler, tapi kemudian mendukung bentuk pembungkaman atas Islam dan dikenal sebagai pemimpin Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Apakah Erdogan adalah seorang moderat yang terlahir lagi ataukah seorang jihadi yang menyamar, hal itu hanya dirinya sendirilah yang tahu. Islam di Turki berkembang dengan pesat dan ini terlihat di masyarakat. Pada tingkat pedesaan, AKP mungkin bisa disejajarkan dengan dukungan dari Arab Saudi pada madrasah-madrasah di Pakistan selama dua dekade yang lalu, dan akhirnya melahirkan kekuatan Wahhabi yang sekarang telah berkembang dan mengubur sisa-sisa sekulerisme Pakistan.
Jika Islam politik masih ada di Turki, apa yang akan muncul bukanlah sebuah Negara yang sama dengan warna yang berbeda, melainkan adalah sebuah Negara yang idiot dan sama sekali berbeda. Pada pidatonya tahun 1997 yang menyebabkan dirinya masuk penjara, Erdogan memperingatkan dua kelompok yang secara fundamental berbeda, kaum sekularis yang adalah pengikut Kemal, dan kaum Muslim yang mengikuti shariah. Namun keduanya bukanlah hanya berbeda secara kelompok, tapi berbeda dalam susunan masyarakat Turki hingga pada tingkat yang paling kecil. Seperti sebuah hologram, Turki menawarkan dua pandangan radikal yang berbeda bila dilihat dari sudut yang berbeda. Orang Islam Turki, yang berada di pedesaan-pedesaan Anatolia dan wilayah-wilayah kumuh di Istanbul, adalah berbeda secara radikal dari tentara, pegawai pemerintah, dan kaum elit lulusan universitas-universitas yang berpandangan Barat di Istanbul. Jika sisi Islam Turki bangkit, akibatnya tidak dapat dibayangkan.
Turki Modern adalah sebuah Negara dengan ide abstrak, bukan sebuah Negara sebagaimana pandangan orang-orang Barat dalam memahami istilah itu; Negara itu adalah sekumpulan imperium multi-etnis yang musnah pada Perang Dunia I, dan sebuah proyek atas sebuah Negara yang maju karena pandangan seorang pemimpin yang visioner yang sayangnya tidak dapat menembus lapisan bawah kelompok-kelompok etnis, bahasa dan sejarah yang menjadikan Turki modern kurang dari jumlah bagian-bagian yang seharusnya ada. Tentara Turki masih merupakan sebuah lembaga institusi dominan hanya karena tidak ada entitas lain yang dapat mengatur petani-petani miskin dari dataran tinggi Anatoli agar sesuai dengan program sekuler.
Yang menjadi masalah adalah tidak ada banyak pengikut Kemal di Turki. Untuk menggantikan identitas kerajaan dari Imperium Ottoman, Kemal memperkenalkan Turkum, atau Ke-Turkian, suatu identitas nasional yang didirikan atas banyak peradaban yang telah memerintah Negara semenanjung itu. Identitas etnis dalam pandangan nasionalisme Eropa tidak menjelaskan baik itu Imperium Ottoman maupun Negara Kemalis. Orang Turki Orghuz yang menaklukkan wilayah pedalaman Imperium Byzantium selama abad ke-12 tidak lebih hanyalah penduduk minoritas. Pada puncak penaklukkan yang mereka lakukan selama abad ke 17, imperium Ottoman menguasai lebih banyak orang Kristen dibanding orang Muslim.
Kemal menciptakan Turki modern dengan membuang setiap usaha kekuatan Barat untuk memecah belah negaranya setelah kekalahan Negara itu pada Perang Dunia, tapi ongkos untuk hal itu teramat mahal. Dua puluh juta penduduk Imperium berkurang menjadi hanya 7 juta saja (perkiraan seorang pejabat pemerintah Perancis) pada tahun 1924. Lebih dari satu setengah juta orang Kristen Armenia dibunuh selama tahun 1914-1918 atas dorongan pemerintah Turki, untuk menetralisir sikap penduduk yang dianggap bersimpati pada lawan selama masa perang. Kebanyakan dari pembunuhan itu dilakukan oleh suku Kurdi. Satu setengah hingga tiga juta penduduk Kristen Ortodox Yunani, yang nenek moyangnya telah tinggal di Asia Kecil selama ribuan tahun sebelum orang-orang Turki datang, diusir pada tahun 1924 sebagai akhir Perang Yunani-Turki.
Dengan demikian Turki modern mulai tumbuh bukan hanya oleh beraneka ragamnya sisa-sisa imperium, tapi juga dengan berkurangnya hampir setengah penduduknya pada tahun 1924. Karena konsep Kemal memerlukan dukungan bagi identitas nasional yang tidak pernah ada, Turki telah menghindari suatu konsensus kaum minoritasnya sejak tahun 1965. Mungkin 30% dari penduduknya adalah orang Kurdi, dimana integrasi mereka dengan Negara Turki adalah tidak pasti. Suku Kurdi terkonsentrasi di wilayah Timur Turki, di suatu wilayah yang sebelum tahun 1918 dikenal sebagai Armenia Barat – karena suku Kurdi mengganti posisi orang-orang Armenia yang dibantai. Terlebih lagi, ada tiga juta orang Kirkasian, dua juta orang Bosniak, satu setengah juta orang Albania, sejuta orang Georgia, dan berbagai macam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Tapi di dalam wilayah yang bahkan terdapat kelompok mayoritas yang dianggap sebagai “beretnis Turki” pun masih ada lapisan penghalang dan memerlukan waktu puluhan tahun untuk menyatukan suku-suku dan peradaban itu.
Kaum Kemal telah mendapat hasil yang beraneka ragam dalam usaha mereka untuk menyatukan kelompok yang berbeda secara etnis dan budaya untuk menjadi sebuah identitas baru dengan disain baru. Apa yang terkadang disebut sebagai “kegelapan malam” – dimana kelompok rahasia Kemalis mengendalikan militer dan dinas intelejen – mungkin ternyata akan terlihat dangkal dan rapuh. Seorang sejarawan Turki mengatakan kepada saya, “Sebagaimana yang dialami oleh Sultan Abdul Hamid dari Imperium Ottoman, yang jatuh tepat seratus tahun pada minggu ini karena meletusnya kerusuhan, militer Turki adalah korban dari kesuksesan mereka sendiri dalam menciptakan masyarakat yang berneka ragam dan modern yang ingin hidup dalam sistim yang lebih bebas. Sikap keras mereka atas kaum intelektual mendorong sebagian orang intelektual didikan barat jatuh kedalam pangkuan kelompok Islam – dan ini adalah aliansi yang pada saat ini sedang berjalan untuk menghancurkan baik pengaruh militer di dalam politik dan (barangkali) keseluruhan warisan Kemal Kemal Ataturk.”
Seperti pendahulunya Ottoman, kaum Kemalis baru menyadari adanya bahaya ini dengan sangat terlambat. Tahun ini, Pengadilan Konstitusi berusaha untuk melarang partai AKP, partainya Erdogan, karena berusaha untuk meruntuhkan Negara sekuler. Mungkin saja, bahwa ini adalah penindasan akan apa yang seharusnya merupakan kudeta, maupun tindakan pendahuluan atas taktik terakhir dari kaum sekularis, yakni intervensi militer dan mencegah Turki tergelincir kedalam pelukan kelompok Islam.
Turki pada saat ini terdiri dari 70 juta penduduk yang tidak mengetahui siapa diri mereka. JIka hologram berputar ke arah Islam, yakni, kembali kepada shariah dan kehidupan tradisional sebagai lawan dari kehidupan yang modern, Turki tidak lagi akan serupa dengan Negara “Muslim moderat” pada tahun 2008 daripada Turki masa Kemal dan serupa dengan Imperium Ottoman tahun 1908. Menurut seorang analis Turki, “Gerakan Islam di Turki berada pada suatu koalisi yang luas dan bervariasi dimana AKP hanyalah batang hidungnya. Hal Ini didisain untuk melihat kaum moderat secara hati-hati dan menghilangkan kecurigaan baik pada militer dan opini dunia. Beberapa unsur AKP, tidak diragukan lagi, bersikap moderat atau pragmatis dan layak mendapatkan reputasi yang demikian. Tapi seiring dengan partai itu, ada begitu banyak gerakan Islam yang merakyat yang pada saat ini bekerja untuk merubah masyarakat dan lembaga-lembaga Turki. Revolusi yang sukses cenderung menyembunyikan tujuannya hingga tibanya saat kemenangan: Jika ada seseorang di AKP yang bermaksud untuk menuju shariah tampaknya seperti meneriakkan hal ini dari atas atap.”
Tidaklah mengherankan bahwa Departemen Luar Negeri melihat arah kelompok Islam Turki; tepat sebagaimana Foggy Bottom melihat Iran tahun 1979, ketika revolusi Islam menjatuhkan shah. Tampaknya adalah bahwa Amerika dan Saudi Arabia, untuk alasannya masing-masing, melakukan hal yang bisa mereka lakukan untuk mendorong Turki ke arah kelompok Islam. Dukungan Saudi Arabia bagi organisasi-organisasi Islam pada tingkat akar rumput adalah merupakan rahasia umum di Turki, dan pengaruh dari parti AKP Erdogan pada tingkat pedesaan adalah berasal dari dukungan yang besar dari Saudi.
Pengaruh yang tidak kelihatan adalah berasal dari semakin pentingnya kontrak Negara-negara Teluk bagi ekonomi Turki. Turki memiliki dua sumber utama bisnis ke luar negeri: barang-barang konsumsi untuk diekspor ke Eropa, dan kontrak-kontrak maupun ekspor ke Dubai dan Uni Emirat Arab dan Saudi Arabia. Keadaan ekonomi Turki saat ini memburuk, dan pasar modal Negara itu berada pada penampilan terburuk pada tahun ini diantara pasar-pasar serupa yang tumbuh. Dengan Eropa yang berada pada masa resesi, dan prospek hilangnya kemungkinan bagi Turki untuk masuk ke dalam komunitas Eropa, Saudi Arabia masuk lebih jauh ke dalam ekonomi Turki, sehingga memperkuat tangan Erdogan diantara elit bisnis.
Kekhawatiran Washington adalah kestabilan yang mulai tampak di Irak, yang akan mempengaruhi pemilu presiden Amerika pada bulan November nanti. Sebagai seorang yang mengaku sunni moderat, Erdogan tampaknya akan menjadi ide pemain utama dari sebuah sekutu Irak. Erdogan menerima sambutan yang luar biasa ketika dia berkunjung ke Irak minggu lalu, dengan menjanjikan sekutu ekonomi dan politik bagi Negara itu.
Seorang juru bicara Irak, Ali al-Dabbagh, menyatakan setelah kunjungan Erdogan bahwa “Turki adalah pintu Irak menuju Eropa “, dengan menambahkan bahwa Turki “dapat menjadi partner dagang yang terbaik bagi Irak “, menurut BBC pada tanggal 13 July. Bahkan lebih lagi, “Dimensi keamanan dan politik juga menjadi amat penting karena kedua Negara berada di jalan demokrasi. Turki adalah sebuah Negara demokrasi dan demokrasi telah mulai berakar di Irak … Saya kira hubungan ini akan menjadi inti yang besar dan Negara-negara lain akan berlomba sehingga wilayah itu akan berkembang menjadi sebuah pasar bersama yang akan menguntungkan bangsa-bangsa di wilayah itu.”
Yang kurang dramatis, tapi mungkin lebih penting dari penahanan massal, adalah perkembangan lain yang terjadi di Turki. Mahkamah Agung membatalkan semua tuduhan atas ulama muslim dalam pengasingan Fethullah Gulen, orang yang diyakini oleh Michael Rubin akan menjadi jawaban bagi Khomeini. Jaksa penuntut umum telah menuduh Gulen mendanai organisasi illegal dengan tujuan untuk meruntuhkan struktur sekuler negara. Gulen, seorang tua penderita diabetes, telah tinggal dalam pengasingan di Amerika sejak tahun 1998. “Kami harap Gulen berada di sini suatu saat,” kata seorang analis Turki kepada saya. Apakah Rubin benar dalam penilaiannya melihat Gulen sebagai Khomeini dari Turki kurang mendapat perhatian. Gerakan Gulen adalah satu dari banyak entitas yang mungkin menjadi inti yang akan membentuk Turki menjadi Republik Islam Turki.
Departemen Luar Negeri Amerika tidak memahami jenis obyek yang sedang mereka mainkan. Islam politik tidak hanya akan berganti warna di Negara itu, tapi akan merubah karakternya dari tingkat akar rumput hingga naik ke atas. Atas semua kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Kemalis, para diplomat Amerika akan menyesali kegagalan mereka sebagaimana mereka menyesali kejatuhan shah Iran. (Asia Times; Senin, 21 July 2008 )

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.