Blogger Themes

News Update :

Andai Kartini Khatam Mengaji…

Jumat, 02 Mei 2008

Tepatkah jika setiap 21 April di peringati dengan acara-acara wanita berkebaya dan lomba berbusana ala kartini di sekolah-sekolah maupun di lingkungan perkantoran? Aktivis perempuan sudah menobatkan R.A. Kartini sebagai pejuang emansipasi. Dia digambarkan sebagai sosok yang bersemangat memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hak yang sama dan sejajar dengan kaum pria. Pada bulan April tokoh ini kembali diangkat sembari terus mendorong perempuan Indonesia untuk menempati posisi-posisi yang biasanya didominasi oleh pria. Bagai gayung bersambut, kaum perempuan Indonesia pun bergegas mencari peluang karir setinggi-tingginya, tanpa peduli harus mengorbankan keluarga maupun harga dirinya. Benarkah semua ini sejalan dengan perjuangan Kartini?

Agaknya kesimpulan ini terlalu terburu-buru. Mengenal Kartini salah satunya dengan membaca buku kumpulan surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Negeri Belanda. Dalam buku ini tampak bahwa Kartini adalah sosok yang berani menentang adat-istiadat yang kuat di lingkungannya. Dia menganggap setiap manusia sederajat sehingga tidak seharusnya adat-istiadat membedakan berdasarkan asal-usul keturunannya., Peduli apa aku dengan segala tata cara itu? Segala peraturan semua bikinan manusia, dan itu menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu…Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, & Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Peerasaan Kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh di jalankan”. [ Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899] .

Kebencian Kartini terhadap segala bentuk etiket yang diskriminatif, mendorongnya untuk mengintip nilai-nilai yang berlaku di kalangan temen-teman Belandanya. Memang, pada awalnya Kartini begitu mengagungkan kehidupan liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana di Jawa. .” Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik. Orang baik-baik itu meniru perbuatan yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa.” [ Surat Karini Kepada Stella, 25 Mei 1899].

Tahun-tahun terakhir sebelum wafat, kartini menemukan jawaban atas pertanyaan yang bergejolak dalam hatinya. Ia mencoba mendalami ajaran yang di anutnya, yaitu ISLAM. Ajaran Islam pada awalnya tak mendapat tempat di benak kartini. Hal ini di karenakan pengalaman yang tak mengenakkan dengan sang Ustadzah. Sang Ustadzah menolak menjelaskan makna ayat yang di ajarkannya. ” Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh di terjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang di ajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang di bacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang di ajar membaca tapi tidak di ajar makna yang di bacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang engkau jelaskan kepadku apa artinya. Tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa. Asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” [ Surat Kartini kepada Stella, 3 November 1899].

Namun, pertemuannya dengan KH. Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat Semarang, telah mengubah segalanya. Kartini tertarik dengan terjemahan surat Al-fatihah yang di sampaikan Kyai. Kartini pun mendesak salah satu pamannya untuk bertemu dengan sang Kyai. Berikut adalah petikan dialog Kartini dengan Kyai Soleh Darat, yang di tulis oleh Nyonya Fadhilla Sholeh, Cucu Kyai Sholeh Darat. “ Kyai, perkenakanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnnya apabila seseorang yang berilmu, namun menyembunykan Ilmunya?” Tertegun Kyai Soleh Darat mendengar perkataan Kartini yang di ajukan secara diplomatis itu. ” Mengapa Raden ajeng bertanya demikian?” Kyai Soleh berbalik Tanya. Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa? bukankah al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” Begitu komentar Kartini ketika bertanya kepada gurunya, Kyai Sholeh Darat.

Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Soleh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, beliau menghadiahi terjemahan Al-Qur’an (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Qur’an), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu, Kyai Spleh Darat meninggal dunia, sehingga belum selesai di terjemahkan seluruh Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa.

Andai saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al-Qur’an) maka tidak mustahil jika ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua kandungan ajarannya. Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudh terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal ketaatan yang tinggi terhadap ajran Islam. Pada mulanya, beliau adalah sosok paling keras menentang poligami. Tetapi setelah mengenal ajran Islam, beliau mau menerimanya.

Setelah sedikit mengenal Islam, Kartini justru mengkritik peradapan masyarakat Eropa dan menyebutnya sebagai kehidupan yang tidak layak disebut sebagai peradaban. Pemikiran Kartini berubah, yang tadinya menganggap Barat (Eropa) sebagi kiblat, lalu menjadikan Islam sebagai landasan dalam pemikirannya. Hal ini setidaknya terlihat dari [Surat Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902] yang isinya berbunyi, “Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?” .Demikian juga dalam [ Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” yang isinya,

Dalam suratnya Kartini meminta pemerintah Hindia Belanda memperhatikan nasib pribumi dengan menyelenggarakan pendidikan. Kartini memiliki cita-cita yang luhur, yaitu mengubah masyarakat, khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan, juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya. Ini sebagaimana terlihat dalam tulisan [ Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902], yang isinya, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Ia mengungkap hal yang sama kepada sahabat-sahabatnya, terutama pendidikan bagi kaum perempuan. Hal ini karena perempuanlah yang membentuk budi pekerti anak. Berulang-ulang Kartini menyebut perempuan adalah istri dan pendidik anak yang pertama-tama. Dia memaksudkan keinginannya mengusahakan pendidikan dan pengajaran agar perempuan lebih cakap dalam menjalankan kewajibannya dan tidak bermaksud menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan laki-laki. Tidak ada keinginan Kartini untuk mengejar persamaan hak dengan laki-laki dan meninggalkan perannya dalam rumah tangga. Bahkan ketika ia menikah dengan seorang duda yang memiliki banyak anak, Kartini sangat menikmati tugasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak suaminya. Inilah yang membuat Stella,rela menikah dan menjalani kehidupan rumah tangganya. sahabatnya, heran mengapa Kartini

Setelah mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya dan mengkaji isi al-Quran, Kartini terinspirasi dengan firman Allah SWT (yang artinya), “mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) .(QS al-Baqarah [2]: 257),” yang diistilahkan Armyn Pane dalam tulisannya dengan, “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Demikianlah, Kartini adalah sosok yang mengajak setiap perempuan memegang teguh ajaran agamanya, dan meninggalkan ide kebebasan yang menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Kini jelas apa yang diperjuangkan aktivis jender dengan mendorong perempuan meraih kebebasan dan dan meninggalkan rumah tangganya bukanlah perjuangan Kartini. Sejarah Kartini telah disalahgunakan sesuai dengan kepentingan mereka. Kaum Muslim telah dijauhkan dari Islam dengan dalih kebebasan, keadilan dan kesetaraan jender.

Jadi, kaum Muslimah saat ini harus kembali pada Islam, menjalankan tugasnya sebagai ibu dan istri sekaligus menyadarkan Muslimah yang lain agar tidak tertipu ide jender yang sejatinya merendahkan martabat mereka, membahayakan generasinya serta menjauhkan dari agamanya. ( Dari berbagai Sumber).

http://salamrevolusi.wordpress.com

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.