(S Anwar Iman, Direktur Agriculture Policy Watch – Ketua DPP HTI)

Isu tentang krisis pangan dunia akhir-akhir ini telah mencemaskan banyak pihak, termasuk lembaga-lembaga dunia seperti FAO, IMF, dan Bank Dunia. Di beberapa negara, kondisi ini bahkan telah munculkan krisis sosial. Di Haiti, misalnya, diberitakan lima orang setidaknya telah tewas dalam aksi unjuk rasa memprotes kenaikan harga makanan dan bahan bakar yang berujung dengan bentrokan. Fenomena ini, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pula di negara-negara lain, khususnya negara berkembang, seperti Ethiopia, Mesir, Kamerun, Pantai Gading, Mauritania, Madagaskar, Filipinan, dan Indonesia.

Kenaikan harga pangan memang terjadi sangat mencolok. Menurut sebuah sumber, Bloomberg Markets Magazine, harga Gandum naik sebesar 130%, Kedelai 87%, Beras 74%, dan Jagung 31%. Sementara itu menurut kepala Bank Dunia, Robert Zoellick, kenaikan pangan secara keseluruhan mencapai 83 persen dalam tiga tahun terakhir. Kenaikan sebesar itu jelas tidak terjangkau oleh mayoritas masyarakat di negara berkembang, di mana 60% lebih pendapatan mereka habis untuk membeli kebutuhan makanan. Memang, bagi masyarakat di negara maju, kenaikan tersebut mungkin masih bisa dijangkau. Sebab, pada umumnya alokasi pendapatan mereka untuk kebutuhan makanan hanya sekitar 10-20% saja. Dengan kata lain, ada pilihan bagi mereka untuk mengurangi konsumsi non-makanan kemudian dialihkan untuk konsumsi makanan.

Menurut Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Dr. Jacques Diouf, ada lima faktor utama yang menyebabkan harga pangan melambung saat ini. Kelima faktor tersebut adalah, pertama, meningkatnya kebutuhan bahan pangan di negara-negara yang sedang tumbuh ekonominya seperti Cina dan India, baik dari segi kualitas maupun kuantitas; kedua, semakin meningkatnya kesejahteraan penduduk di negara-negara yang ekonominya sedang tumbuh. Peningkatan tersebut menyebabkan konsumsi produk daging dan susu meningkat, termasuk kebutuhan akan sereal; ketiga, rendahnya stok pangan dunia yang diperkirakan akan turun menjadi 405 juta ton pada akhir 2008; keempat, adanya bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai yang terkait dengan adanya perubahan iklim global; dan kelima, adanya kebutuhan sereal untuk bioenergi, di mana pada 2007, menurut FAO, sekitar 86 juta ton jagung untuk pangan sudah digunakan untuk menghasilkan energi.

Jika krisis pangan diartikan sebagai kondisi di mana terdapat sejumlah populasi manusia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan makannya, sehingga terjadi bencana kelaparan dan krisis sosial; maka ada dua kemungkinan hal itu bisa terjadi. Kemungkinan pertama, jumlah pangan tidak mencukupi kebutuhan seluruh populasi manusia, sehingga ada sebagian orang yang terpaksa tidak mendapatkan bagian makanan. Kemungkinan kedua, jumlah bahan pangan sebenarnya cukup, akan tetapi harganya terlalu tinggi. Akibatnya, ada sebagian orang yang tidak mampu membeli, sehingga tidak mendapatkan makanan.

Kemungkinan pertama bahwa krisis disebabkan oleh ketidakcukupan bahan pangan sangat diragukan. Sebab, jumlah pangan dunia sebenarnya cukup untuk mememenuhi kebutuhan seluruh populasi penduduk. Sebagai contoh, pada bulan Mei 1990, FAO (Food and Agricultural Organization) telah mengumumkan hasil studinya, bahwa produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10% untuk dapat mencukupi seluruh populasi penduduk dunia. Namun, dalam kondisi seperti itu tetap saja ada sejumlah populasi manusia di dunia yang tidak terpenuhi kebutuhan pangannya hingga terjadi kelaparan, seperti yang terjadi di Ethiopia, misalnya. Bukti lain juga dapat dilihat dalam konteks Indonesia. Saat ini jumlah produksi beras nasional sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan; hal ini ditegaskan oleh menteri Pertanian dalam sebuah dialog di salah satu stasiun TV. Dalam kondisi seperti ini, ternyata tidak berarti di Indonesia tidak ada lagi krisis pangan, sebab faktanya masih banyak dijumpai kasus kelaparan dan gizi buruk di beberapa daerah.

Jika Direktur Jenderal FAO, Dr. Jacques Diouf, mengatakan ada lima faktor penyebab kenaikan harga bahan pangan, maka sejatinya kelima faktor tersebut juga tidak sampai menurunkan jumlah produksi bahan pangan. Sebab, data-data yang ada justru menunjukkan adanya kenaikan jumlah produksi bahan pangan. Produksi gandum dunia, misalnya, yang harganya naik pada awal 2008 ini, ternyata mengalami peningkatan yang lebih besar lagi yaitu hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sementara produksi gula dunia juga meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun 2007 lalu. Suatu angka yang cukup mencengangkan ditunjukkan dalam produksi jagung dunia pada tahun 2007 lalu yang mencapai rekor produksi 781 juta ton atau meningkat 89,35 juta ton. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17 persen, itu pun karena ada penyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15 persen untuk proyek biofuel.

Sejak akhir Perang Dunia ke-2, jumlah penduduk dunia telah meningkat dua kali lipat, namun di sisi lain, jumlah produksi pangan dunia meningkat tiga kali lipat. Semua ini membuktikan bahwa krisis pangan bukan disebabkan oleh kurangnya ketersediaan pangan, namun lebih disebabkan oleh kemungkinan kedua, yaitu tingginya harga pangan, yang mengakibatkan sebagaian orang tidak mampu untuk membelinya.

Sebenarnya, seberapa pun tingginya harga bahan pangan, tidak akan menjadi masalah, atau dengan kata lain tidak akan menyebabkan krisis, selama semua lapisan masyarakat mampu membelinya. Namun dalam faktanya, senantiasa ada di tengah masyarakat orang-orang yang mampu dan yang tidak mampu. Masalahnya kemudian muncul ketika masyarakat yang tidak mampu tetap “dipaksa” untuk mendapatkan bahan makanan dengan cara membeli barang yang tidak terjangkau harganya. Sehingga dengan mekanisme ini, seseorang seolah tidak berhak makan jika dia tidak mampu menjangkau harga bahan pangan tersebut.

Inilah yang terjadi dalam sistem kapitalis, di mana harga dijadikan sebagai pengendali tunggal distribusi barang di tengah masyarakat. Harga lah yang akan menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas tertentu, dan siapa yang tidak berhak mendapatkannya sama sekali. Orang yang mampu membeli barang dengan harga tinggi, dia akan mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas yang diinginkannya. Sementara itu, orang yang tidak mampu sama sekali menjangkau harga barang tersebut, dia tidak berhak mendapatkanya, meskipun barang itu merupakan kebutuhan pokok baginya. Dalam kondisi yang kedua inilah krisis akan muncul. Dengan demikian, menjadikan harga sebagai usur pengendali tunggal distribusi, telah mengakibatkan buruknya distribusi barang di tengah masyarakat, yang berpotensi memunculkan terjadinya krisis sosial.

Jadi, krisis pangan saat ini secara fundamental tidak disebabkan oleh kenaikan harga bahan pangan yang dipengaruhi oleh lima faktor di atas, akan tetapi lebih disebabkan oleh distribusi yang buruk dari sistem kapitalis. Distribusi yang buruk itulah yang menjadikan sebagian masyarakat tidak mampu, tidak mendapatkan hak untuk makan. Karena itu wajar jika fenomena krisis pangan ini tidak hanya terjadi di negara yang mengalami kelangkaan bahan pangan saja, akan tetapi juga terjadi di negara yang bahan pangannya cukup. Di Indonesia, misalnya, pemerintah sudah berencana untuk mengeksport beras, jika stok beras mencapai 3 juta ton. Apakah ini berarti sudah tidak ada lagi rakyat Indonesia yang kelaparan? Fakta menunjukkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia masih banyak dijumpai masyarakat yang tidak makan, meskipun hanya satu kali sehari, bahkan ada yang hingga mati kelaparan. Tampak di sini bahwa pemerintah lebih memilih mengeksport beras ke luar negeri karena harganya yang tinggi, daripada menjual beras murah atau membagikan secara gratis kepada rakyatnya sendiri. Ini lagi-lagi membuktikan betapa buruknya sistem kapitalis, di mana harga dijadikan sebagai unsur tunggal pengendali distribusi barang di tengah masyarakat.

Semestinya, harga tidak dijadikan sebagai pengendali distribusi barang, apalagi barang kebutuhan pokok seperti bahan pangan. Sebab, barang kebutuhan pokok merupakan barang keperluan mendasar yang diperlukan oleh masyarakat individu per individu. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok bagi seseorang tidak bisa diwakili oleh orang lain. Jika harga dijadikan sebagai pengendali distribusi, niscaya akan senantiasa ada orang-orang yang tidak mendapatkan akses untuk memenuhi bebutuhan pokoknya. Hal ini sangat berbahaya dan merupakan kedzaliman. Karena itu lah, dalam hal kebutuhan pokok, Islam mewajibkan negara untuk memberikan jaminan pemenuhan atas rakyatnya. Caranya, rakyat didorong untuk bekerja dan diberi kesematan untuk bekerja dengan membuka lapangan pekerjaan. Jika dengan cara ini masih dijumpai orang-orang yang tidak mampu, misalnya karena cacat atau lanjut usia, dan tidak ada anggota keluarga yang sanggup menopang kebutuhannya, maka negara wajib turun tangan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Sering muncul pertanyaan, dari mana pemerintah memperoleh dana untuk melakukan hal itu? Sebenarnya pemerintah Indonesia memiliki dana untuk melakukannya, jika saja kebijakannya didasarkan pada sistem syariah. Salah satu alternatif, misanya, pemerintah bisa mengalokasikan dana membayaran bunga utang yang nilainya lebih dari Rp. 85 Trilyun (APBN 2007). Dana itu lebih dari cukup untuk membantu rakyat yang kelaparan. Jika diasumsikan rakyat yang terancam kelaparan adalah yang pendapatannya di bawah UDS 2/hari/orang, maka jumlahnya sebesar 126 juta jiwa. Dengan kebutuhan beras standart 133kg/orang/tahun, dibutuhkan sebanyak 16,76 juta ton beras. Jika harga beras Rp. 4500,-/kg, maka dibutuhkan dana sekitar Rp. 75,4 Trilyun. Jadi, sangat ironis jika pemerintah justru mementingkan bayar bunga utang yang notabene hukumnya haram, daripada membantu rakyat miskin yang hukumnya wajib.

Islam telah memberikan contoh, bagaimana kesigapan negara dalam membantu rakyat yang kelaparan. Khalifah Umar bin Khaththab, di suatu malam, pernah melakukan inspeksi ke perkampungan penduduk. Tanpa sengaja beliau mendengar rintihan anak menangis dari arah sebuah rumah. Beliau pun menghampiri rumah tersebut dan memperhatikannya dari luar. Ternyata anak itu menangis karena lapar, sebab orang tuanya tidak lagi memiliki bahan makanan. Sang Ibu sudah mencoba menghibur anaknya, dengan seolah-olah sedang menanak makanan, padahal yang dimasak adalah batu. Si Ibu berharap anaknya tertidur sambil menunggu makanan yang sedang dimasak. Setelah mengetahui kondisi yang terjadi, sang Khalifah pun bergegas megambil sekarung bahan makanan dari Baitul Mal, lalu dipikulnya sendiri untuk diberikan pada keluarga yang sedang menghadapi kelaparan tersebut. Inilah wujud tanggung jawab negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.

Dalam konteks hubungan internasional, Islam juga menetapkan adanya kewajiban syar’i bagi Negara Khilafah untuk membatu negara lain yang membutuhkan bantuan pangan. Hal ini seperti apa yang pernah dilakukan oleh Khalifah Abdul Majid saat memimpin Kekhilafahan Turki Ustmani. Pada tahun 1845, terjadi kelaparan besar yang melanda Irlandia yang mengakibatkan lebih dari 1,000,000 orang meninggal. Untuk membantu mereka, Sultan Abdul Majid berencana mengirimkan uang sebesar 10,000 sterling kepada para petani Irlandia. Akan tetapi, Ratu Victoria meminta Sultan untuk mengirim 1,000 sterling saja, sebab dia sendiri hanya mengirim 2,000 sterling. Maka, Sultan pun mengirim 1,000 sterling. Namun, secara diam-diam beliau juga mengirim 3 kapal penuh makanan. Pengadilan Inggris berusaha untuk memblokir kapal itu, tapi meski demikian makanan tersebut sampai juga ke pelabuhan Drogheda dan ditinggalkan di sana oleh para pelaut Ustmani. Dengan peristiwa ini rakyat Irlandia, khususnya mereka yang tinggal di Drogheda, menjadi bersahabat dengan orang Turki. Peristiwa ini juga menyebabkan munculnya simbol-simbol Usmani di kota tersebut.

Tindakan seperti ini, praktis tidak pernah dilakukan oleh negara-negara kapitalis Barat terhadap negeri-negeri yang saat ini ditimpa krisis pangan seperti Eithopia, dll. Sebab, dalam prisip kapitalis “tidak ada makan siang gratis”, artinya tidak ada bantuan yang diberikan secara cuma-cuma, kecuali harus ada kompensasi tertentu. Maka, wajar jika kemudian terjadi kesenjangan yang lebar di dunia ini; di satu sisi ada negara-negara yang jumlah bahan pangannya melimpah dan di sisi lain ada negara yang rakyatnya kelaparan karena mengalami krisis pangan.

Jadi jelas, krisis pangan yang terjadi saat ini bukan karena jumlah pangan tidak mencukupi kebutuhan manusia, melainkan karena sistem distribusi yang buruk, akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. Seberapa pun produksi pangan bisa ditingkatkan, jika sistem distribusinya buruk, tetap saja akan terjadi krisis pangan. Dalam diskusi FKSK yang mengangkat tema “Awas Bahaya Krisis Pangan Global dan Nasional” baru-baru ini, terungkap betapa besarnya potensi pertanian di Indonesia. Hanya saja, jika semua itu tidak dikelola dengan sistem yang baik, yaitu sistem syariah, tetap saja tidak akan mensejahterakan rakyat. Islam telah memberikan solusi dengan sistem syariahnya, yang dapat mengatasi masalah krisis pangan sekaligus dapat memacu peningkatan produksi pertanian untuk mencapai kemandirian dan ketahanan pangan. []


hizbut-tahrir.or.id