Meskipun sudah berakhir, KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Dakar (13-14 Maret 2008) memiliki makna yang penting. Dalam KTT negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) itu, soal demokrasi—suatu yang sebelumnya dianggap sensitif bagi sebagian besar angota OKI—akhirnya masuk menjadi salah satu butir penting, selain menghapus Islamofobia, penghormatan atas hak asasi manusia, serta penghormatan hak-hak perempuan dan anak-anak.

Peran Indonesia dalam KTT kemarin tampaknya cukup menonjol. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan jihad perdamaian untuk memicu kebangkitan kembali Islam. SBY menyerukan demokrasi yang lebih besar di negara-negara Islam.

Keinginan untuk merevitalisasi OKI bisa dimengerti, mengingat peran OKI selama ini memang dipertanyakan. Peran OKI selama ini dianggap mandul dalam penyelesaian masalah-masalah di dunia Islam, seperti pendudukan Irak dan Afganistan oleh AS, krisis Palestina, Chechnya, Moro, dll; termasuk menyikapi kampanye war on terrorism yang sering menyudutkan negeri-negeri Islam. Sidang OKI lebih banyak berisi retorika tanpa langkah nyata.

Namun revitalisasi OKI yang menekankan pada HAM, demokrasi serta penghormatan hak-hak anak dan perempuan juga perlu dipertanyakan. Benarkah kegagalan OKI selama ini disebabkan karena negara-negara OKI kurang memperhatikan hal tersebut? Sulit melihat relevansi penguatan isu-isu di atas terhadap persoalan Palestina, Afganistan, atau Irak.

Selama ini justru isu demokrasi dan HAM digunakan AS untuk kepentingan politiknya. Irak adalah contoh yang paling tepat dalam hal ini. Atas nama demokrasi dan freedom (kebebasan), AS dan sekutunya menduduki Irak dan telah menimbulkan korban jiwa yang besar dikalangan sipil. Saat berkunjung ke Irak untuk merayakan lima tahun invasi AS di Irak, Dick Cheney dengan gamblang menyatakan Perang Irak adalah persoalan ideologis. Menurutnya, kehadiran AS telah memberikan kebebasan pada rakyat Irak.

Sebaliknya, AS sendiri justru sering melanggar HAM. Perlakuan kejam dan tidak berprikemanusiaan di Penjara Abu Ghraib dan Guantanamo mencerminkan hal tersebut. Dukungan terhadap demokrasi juga penuh standar ganda. HAMAS yang menang secara demokratis di Palestina, secara sistematis berupaya dikucilkan oleh Barat.

Berbagai persoalan yang terjadi di Dunia Islam justru lebih banyak disebabkan karena penerapan sistem Kapitalisme yang diadopsi di Dunia Islam. Meskipun negeri-negeri Islam sebagian besar adalah negara yang kaya, rakyatnya banyak menderita. Kekayaan alam negeri-negeri Islam diekploitasi oleh negara-negara kapitalis atas nama penanaman modal dan perdagangan bebas. Kebijakan privatisasi dan pencabutan subsidi yang dijadikan syarat oleh IMF (yang didominasi negara-negara kapitalis) juga telah menyebabkan bertambahnya beban hidup masyarat.

Kekacauan dan penderitaan negeri Islam juga tidak bisa dilepaskan dari neokolonialisme negara-negara kapitalis. Alih-alih membawa kesejahteraan bagi masyarakat, kehadiran pasukan AS di Irak justru telah menyebabkan penderitaan rakyat sipil Irak. Laporan Amnesty International (17 Maret 2008) menyebutkan sekarang dua dari tiga warga Irak tak memiliki akses air bersih dan empat dari 10 warga Irak hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut UNHCR dua juta rakyat Irak mengungsi ke luar negeri. Lebih dari 1 juta rakyat sipil terbunuh (menurut Iraqi Body Count dan The Lancet); sementara 4000 tentara AS tewas.

Krisis Palestina yang berkepanjangan tidak bisa dilepaskan dari dukungan membabi-buta AS terhadap setiap kebijakan negara Zionis Israel. Dalam kunjungannya ke Israel (22/03) Wakil Presiden Amerika Dick Cheney mengatakan, Amerika tidak akan pernah menekan Israel untuk mengambil langkah yang mengancam keamanannya. Cheney juga mengatakan, komitmen Amerika pada keamanan Israel adalah kekal dan tidak dapat digoyang. (VOA, 22/3/2008)

Dukungan membabi-buta ini membuat Israel bisa melakukan apa saja untuk membunuh rakyat Palestina. Padahal masalah substansial Palestina sebenarnya adalah dirampasnya tanah Palestina oleh Israel. Jadi, keberadaan negara Israel yang didukung Barat itulah yang yang menjadi awal dari konflik di bumi Palestina dan krisis Timur Tengah.


Kendala Terbesar OKI

Umumnya, yang menjadi kendala utama dalam pembentukan organisasi internasional yang menghimpun negara-negara bangsa (nation state) adalah perbedaan kepentingan akibat kedaulatan negara (sovereignity) dan kepentingan nasional (national interest) masing-masing negara anggota. Penghalang terbesar justru muncul secara internal dari negara-negara OKI sendiri.

Masing-masing negara OKI cenderung lebih mementingkan kepentingan nasional daripada komitmen pada OKI. Tidak mengherankan kalau kemudian muncul berbagai perbedaan kepentingan dalam menyikapi masalah-masalah aktual kaum Muslim. Irak-Iran hampir delapan tahun berselisih. Konflik perbatasan antara Arab Saudi dan Qatar serta Kuwait dan Irak juga sering menjadi persoalan. Negara-negara OKI juga pecah saat menyikapi invasi AS ke Irak. Perbedaan sikap apakah berdamai atau tidak dengan Israel juga sering menjadi penghalang dalam penyelesaian persoalan Palestina.

Faktor lain yang mempengaruhi kesolidan OKI adalah ketergantungan mereka yang besar terhadap negara-negara Barat, baik secara politik, militer maupun ekonomi. Padahal persoalan Dunia Islam justru tidak bisa dilepaskan dari akibat kebijakan negara-negara Barat tersebut. Tentu sulit bagi negara-negara OKI mengambil sikap tegas sementara mereka bergantung sangat besar kepada negara-negara Barat.

Lebih menyedihkan, negara-negara OKI justru memuluskan langkah AS. Keberhasilan invasi AS ke Irak tidak lepas dari dukungan negara seperti Kuwait, Bahrain, Saudi Arabia dan Turki yang selama ini telah memberikan berbagai fasilitas seperti pangkalan militer kepada AS dan sekutunya.

Beberapa gagasan brilian untuk menghadapi dominasi AS justru dihalangi oleh negara-negara peserta OKI sendiri. Irak dan Malaysia, misalnya, pernah mengusulkan agar menggunakan ‘senjata’ minyak untuk menekan AS, tetapi justru ditentang negara penghasil minyak yang besar seperti Saudi Arabia. Padahal ‘senjata’ minyak ini cukup efektif untuk menekan Barat seperti yang terjadi pada embargo minyak tahun 1973-1974.

Ketergantungan negara-negara OKI kepada AS menjadi kendala yang besar sehingga membuat OKI tidak mampu bersikap tegas kepada negara-negara Barat. Melepaskan ketergantungan kepada negara-negara Barat adalah penting dalam revitalisasi OKI ke depan.

Walhasil, revitalisasi ikatan yang menjadi landasan yang menyatukan OKI sangatlah penting. Ikatan Islam yang selama ini ada jelas masih sebatas formalitas, bukan merupakan ikatan Islam yang sesungguhnya, tetapi sebatas bahwa negara tersebut mayoritas penduduknya beragama Islam. [Farid Wadjdi]


http://www.hizbut-tahrir.or.id/al-waie/index.php/2008/05/06/revitalisasi-oki/