Talks Show 100 Tahun Kebangkitan Indonesia

diskusikebangkitan01.jpgPenjajahan secara fisik di Indonesia memang sudah berakhir. Namun penjajahan non fisik masih terus berlangsung hingga sekarang. Penjajahan non fisik ini lebih berbahaya. Demikian yang terangkum dalam Talk Show bertajuk “Bangkit Menuju Indonesia yang Lebih Baik” yang diselenggarakan DPP Hizbut Tahrir Indonesia, di Gedung BPPT, Jakarta, Kamis (22/5). Hadir dalam talk show itu Dr Iman Sugema (Tim Indonesia Bangkit), Munarman SH (Direktur An Nashr Institute), Fachri Ali MA (Pengamat Politik), Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu (Mantan KASAD) dan Hafidz Abdurrahman MA (Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia). Ratusan peserta hadir dalam acara diskusi itu. Tampak di antaranya Ketua MUI KH Cholil Ridwan.

Menurut Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Hafidz Abdurrahman MA, Kemenangan sekutu saat perang dunia ke dua memang telah membawa perubahan dari segi pola penjajahan. Saat itu dimunculkan opini bahwa era penjajahan fisik harus diakhir. Opini ini digalang di seluruh dunia hingga terjadilah perang revolusi di mana-mana.

“Ini strategi Amerika, secara fisik mereka berhasil merdeka, namun secara non fisik, Amerika dan negara penjajah lainnya tentu tidak ingin bekas koloni penjajahannya ini benar-benar merdeka,” terangnya.

Karena itu, kata Hafidz, Amerika dan negara penjajah lainnya melakukan berbagai macam strategi penyesatan pemikiran dan penyesatan politik. Nah penyesatan pemikiran dan penyesatan politik inilah yang kemudian digunakan sebagai strategi baru penjajahan itu.

Strategi yang dilakukan Amerika di antaranya adalah menjadikan rakyat tidak bangkit-bangkit, dengan membuat mereka takut terhadap Amerika. Kemudian menjadikan rakyat yang dijajah itu cuek, misalnya dengan memiskinkan mereka, sehingga yang dipikirkan hanya masalah perut. Dan yang lainnya memecah belah umat Islam dengan membuat kategorisasi umat Islam dalam beberapa kelompok seperti liberal, moderat, radikal, fundamentalis dan lainnya. Kelompok-kelompok tersebut kemudian dihadapkan satu sama lain. “Ini strategi penjajahan yang paling dahsyat, sehingga kita tidak bangkit-bangkit,” ujar Hafidz.

Iman Sugema sepakat bahwa Indonesia saat ini masih terjajah. Esensi penjajahan dulu dan sekarang pun sama yaitu penguasaan sumber daya ekonomi negara jajahan. Buktinya, katanya, meski sekarang kita kaya dengan sumber daya alam mulai dari emas, minyak, batu bara, nikel dll, namun 95 persen pelakunya adalah asing.

“Jadi kondisi Indonesia dibandingkan zaman VOC dulu dalam penguasaan aset kekayaan alam tidak jauh berubah namanya. Strukturnya tetap. Kalau dulu raja-raja Jawa kongkalingkong dengan VOC. Sekarang penguasa-penguasa kita yang namanya presiden selalu berkolaborasi dengan perusahaan-perusaan asing,” terang Iman.

Munarman mengatakan, undang-undang di bidang ekonomi kondisinya malah makin parah. “UU di sektor ekonomi justru lebih parah, karena kembali ke zaman liberal atau neoliberal,” ujarnya. Transpormasi ke arah yang makin rusak itu, lanjut dia, terus berjalan dengan berbagai produk perundang-undangan seperti UU SDA, UU Pertambangan, UU Mineral dan Batu Bara, UU Penanaman modal.

Kenapa kualitas produk hukum kita masih imperialistik dan neokolonialistik, padahal kita sudah merdeka katanya? Munarman menjelaskan itu terjadi karena ulah orang-orang yang ada di Bapenas. “Kita tahu di Bapenas itu banyak sekali konsultan-konsultan asing yang kerjanya menawarkan bantuan keuangan kepada Indonesia dengan cara utang, tetapi dengan persyaratan yang disebut structural adjusment programe,” terang Munarman. Persyaratan inilah, yang menurutnya, melahirkan berbagai produk perundang-undangan yang memihak kepada asing sebagaimana disyaratkan agar Indonesia mendapat bantuan.

Sementara di bidang hukum, kata Munarman, juga sama kondisinya. Hukum di Indonesia hingga kini masih belum terbebas dari hukum Belanda (Barat). Asas-asas hukum perdata dan pidana masih mem-photocopy KUHP di zaman Belanda yang dibuat tahun 1600. “Padahal Belanda sendiri tidak menggunakan KUHP itu sebagai hukum positif. Sudah ditinggalkan itu,” ujarnya.

Ini tentu sangat ironis. Ryamizard Riacudu mengatakan potensi Indonesia sebenarnya besar sekali. Seandainya bangsa ini bisa mengelola semuanya maka dipastikan negara lain akan segan. “Ketahanan nasional kita tidak ada masalah seandainya kita yakin mampu, dan memiliki kebersamaan,” ujarnya.

Sayangnya kata dia, keberanian inilah yang tidak dimiliki kita. “Dan kita pun selalu bergantung pada bangsa lain, padahal jika selalu bergantung kita tak mungkin akan jadi negara kuat. Makanya jangan selalu bergantung kepada negara lain,” tegasnya.

Ia pun menegaskan bahwa yang diperlukan Indonesia saat ini adalah pemimpin yang bersih baik lahir maupun batin.

Kembali kepada Islam

Ketua umum MUI, KH Cholil Ridwan mengatakan, berbicara tentang kebangkitan itu harus memakai konsep Islam. “Untuk kebangkitan ke depan kita harus bergeser ke Islam,” tegasnya. Dengan konsep Islamlah, bumi ini nanti dikelola oleh orang-orang yang soleh.

Menurutnya ada lima golongan yang doanya tidak akan ditolak Allah. Salah satunya adalah imam atau pemimpin yang berbuat adil. ”Kalau dia (presiden, gubernur, bupati dll) itu soleh maka doanya tidak akan ditolak oleh Allah Swt,” ujarnya.

Sementara itu Hafidz Abdurrahman mengatakan, kebangkitan yang sahih adalah kebangkitan yang didasarkan pada akidah yang shahih. Inilah kebangkitan Islam. Sementara kebangkitan yang salah adalah kebangkitan yang didasarkan pada akidah yang salah. Contohnya, kebangkitan Barat yang didasarkan pada Sekularisme, atau kebangkitan Sovyet dengan Komunisme.

Kenapa Rahasia Kebangkitan Islam, sebagai satu-satunya kebangkitan yang sahih? “Karena, Islamlah satu-satunya fikrah yang benar yang didasarkan pada ruh, yang mengakui eksistensi Allah dengan segala otoritasnya dalam seluruh aspek kehidupan,” jelasnya.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menurutnya Hafidz, telah menyiapkan seluruh konsepsi yang dibutuhkan untuk mewujudkan kebangkitan: akidah, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem pendidikan, sanksi hukum, hukum pembuktian, politik luar negeri, dan sebagainya.

Selanjutnya, kata ia, HTI mensosialisasikan fikrah kepada umat Islam, Membangun kesadaran politik umat, dan Meraih dukungan politik untuk fikrah.

“Setelah seluruh komponen umat Islam menerima dan mendukung, maka dukungan politik terhadap fikrah tersebut akan menguat. Dukungan politik yang kuat terhadap fikrah inilah yang akan menjadi sarana paling efektif untuk mewujudkan kebangkitan yang hakiki dan benar. Itulah kebangkitan Islam,” jelasnya lagi.

[LI/Abu Ziad]

Foto-foto by Fahmiy Ramadhan:

diskusikebangkitan01.jpg

Ketua DPP HTI, Hafidz Abdurrahman,MA memaparkan Kontribusi HTI Dlm Proses KEbangkitan

diskusikebangkitan02.jpg

Pembicara Talk Show 100Th Kebangkitan Indonesia

diskusikebangkitan03.jpg

Ketua DPP HTI, Hafidz Abdurrahman, MA

diskusikebangkitan04.jpg

Host Talk Show 100 Th Kebangkitan Indonesia, H.M Luthfie Hakim

diskusikebangkitan05.jpg

Direktur an Nashr Institute, Munarman, SH

diskusikebangkitan06.jpg

Dr. Iman Sugema, Tim Indonesia Bangkit

diskusikebangkitan07.jpg

Fachry Ali, MA (Pengamat Sosial Politik)

diskusikebangkitan09.jpg

Mantan KASAD, Jenderal (Purn) Riyamizard Riyacudu

diskusikebangkitan08.jpg

Ketua MUI Pusat, KH. A Cholil Ridwan

diskusikebangkitan10.jpg

Para peserta menyimak presentasi Munarman, SH

diskusikebangkitan11.jpg

Peserta memenuhi Ruang Komisi 1,2, 3 GEdung BPPT Jakarta

diskusikebangkitan12.jpg

sebagian peserta bapak-bapak