Dalam bukunya, Haml ad-Da‘wah al-Islâmiyyah Wâjibât wa Shifât, Mahmud Abdul Lathif ’Uwaidhah menjelaskan bahwa mengemban dakwah (haml ad-da’wah) terdiri dari dua kata: mengemban (haml[un]) dan dakwah (ad-da’wah). Mengemban adalah satu hal dan dakwah adalah hal lain. Dakwah bisa dimaknai sebagai sekumpulan pemikiran dan hukum-hukum syariah, yakni Islam itu sendiri secara keseluruhan. Adapun mengemban pada dasarnya sama dengan menyampaikan (tablig). Karena itu, mengemban dakwah (haml ad-da’wah) bisa didefinisikan: menyampaikan—kepada manusia—pelbagai pemikiran dan hukum-hukum syariah Islam (’Uwaidhah, 1996: 229).

Setiap pengemban dakwah wajib istiqamah (teguh) dalam mengemban dakwah; ia tidak boleh berpaling sedikit pun dari mengemban maupun dari dakwah-nya. Setiap upaya melalaikan keduanya adalah dosa.

Pertama: terkait dengan kewajiban istiqamah dalam mengemban (tablig), Allah Swt. berfirman (yang artinya): Sungguh, telah didustakan pula para rasul sebelum kamu. Namun, mereka tetap bersabar atas pendustaan dan penganiayaan yang dilakukan atas mereka hingga datang pertolongan Allah…(QS al-An’am [6]: 34).

Dalam ayat ini, secara tersirat Allah memerintahkan kepada Rasul saw. agar tetap sabar dan istiqamah dalam mengemban (tablig) meskipun dihadapkan pada berbagai pendustaan dan penganiayaan orang-orang kafir yang menentang dakwah Beliau. Sebab, memang demikian pula yang dialami para rasul sebelum Beliau. Masalahnya ’sederhana’. Mengemban dakwah adalah menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum ’baru’ yang biasanya bertentangan dengan ide-ide, hukum-hukum bahkan tradisi lama yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, wajar jika dakwah yang haq sering dihadapkan pada penentangan masyarakat yang merasa ’terusik’ dengan dakwah. Inilah sunatullah yang berlaku dan dialami para rasul terdahulu dan para pengikutnya, Nabi Muhammad saw. dan para Sahabat, serta tentu para pengemban dakwah yang istiqamah mengikuti jejak-langkah mereka di manapun dan kapanpun.

Jika dulu Rasul dan para Sahabat dihadapkan pada ide-ide, hukum-hukum dan tradisi-tradisi Jahiliah yang berpangkal pada paganisme (kesyirikan) maka saat ini para pengemban dakwah dihadapkan pada ide-ide, hukum-hukum dan tradisi-tradisi yang berpangkal pada sekularisme. Saat ini, upaya mengusung ide serta hukum syariah dan Khilafah, misalnya, dihadapkan pada ide HAM, demokrasi, pluralisme, nasionalisme/negara-bangsa, dll; dihadapkan pula pada penerapan UU dan hukum positif warisan para penjajah. Tidak jarang, untuk itu para pengemban dakwah dilabeli dengan cap ’fundamentalis’, ’ekstremis’ bahkan ’teroris’; baik oleh penguasa, masyarakat ataupun musuh-musuh mereka dari kalangan orang-orang kafir. Tidak jarang pula, perlawanan dari para penentang dakwah itu mengancam jiwa para pengemban dakwah. Itulah yang digambarkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya (yang artinya): Apakah kalian mengira kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh berbagai malapetaka dan kesengsaraan serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) hingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (QS al-Baqarah [2]: 214).

Ayat ini setidaknya mengingatkan agar para pengemban dakwah tetap sabar dan istiqamah dalam mengemban (tablig) dakwah, apapun resikonya.

Kedua: terkait dengan istiqamah di dalam dakwah, yakni konsisten dalam memegang teguh ide-ide dan hukum-hukum syariah. Dalam hal ini, setiap pengemban dakwah haram untuk melenceng sedikitpun dari ide-ide dan hukum-hukum syariah.

Sayangnya, tidak sedikit pengemban dakwah yang tidak istiqamah dalam dakwah-nya. Misal: betapa banyak pengemban dakwah yang menyimpang dari ide-ide dan hukum-hukum syariah; entah karena kedangkalan pemahaman mereka atau karena sikap pragmatis mereka. Mereka tidak lagi menyerukan Islam dalam wujud yang utuh sebagaimana yang diserukan Rasulullah saw. Mereka tidak berani secara tegas menyerukan syariah. Sebaliknya, mereka malah menyerukan ide-ide dan hukum-hukum sekular yang bertentangan dengan ide-ide dan hukum-hukum Islam seperti demokrasi, HAM, pluralisme, nasionalisme dll. Padahal Allah Swt. sendiri telah mengancam keras kekasihnya, Baginda Rasulullah saw., seandainya Beliau menyerukan apa yang tidak Dia perintahkan. Allah Swt. berfirman (yang artinya): Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami, niscaya Kami benar-benar akan memegangnya pada tangan kanannya, kemudian memotong urat tali jantungnya…(QS al-Haqqah [69]: 44-46).

Yang lebih parah, banyak pengemban dakwah—yang tidak sabar segera ingin meraih kemenangan—menjerumuskan diri dalam kancah sistem kufur. Tidak aneh jika kemudian ada partai Islam yang lebih konsisten menyerukan demokrasi ketimbang menyerukan penerapan syariah Islam karena khawatir partainya tidak laku dalam Pemilu; berkoalisi dengan partai sekular; atau memproklamirkan diri sebagai partai ’terbuka’—yang memungkinkan orang-orang non-Muslim pun bisa menjadi anggota bahkan pengurus partai—demi meraih konstituen sebanyak-banyaknya. Padahal, jika mereka konsisten memperjuangkan Islam, itu tidak mungkin mereka lakukan. Sebabnya, mustahil orang-orang kafir akan memperjuangkan Islam, padahal mereka sendiri mengingkari Islam.

Mungkin dengan semua itu mereka menyangka akan meraih kemenangan. Jika kemenangan yang dimaksud adalah berhasilnya partai Islam atau para kadernya duduk di kursi kekuasaan, itu mungkin saja. Namun, jika yang dimaksud kemenangan adalah berdaulatnya ideologi Islam yang terwujud dalam penerapan syariahnya secara total oleh negara, maka itu hanya mungkin diraih dengan keistiqamahan dan keteguhan dalam mengemban dakwah, apapun risikonya!

Wama tawfiqi illa billah. [Arief B. Iskandar]