oleh : Eko Yuniarsih, S.TP (Pemerhati Masalah Sosial)

Ibu adalah sosok yang sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang. Pola ibu dalam mendidik anak-anaknya memiliki andil yang sangat besar terhadap kepribadian sang anak. Sangat tepat ungkapan yang menyatakan bahwa ibu adalah guru yang pertama dan utama. Bagaimana tidak, interaksi seorang ibu kepada anaknya jauh lebih banyak dari sang ayah, yaitu dimulai sejak dalam kandungan sampai kemudian lahir bayi, tumbuh menjadi anak-anak, remaja dan dewasa..

Dengan kata lain peran ibu tidak sebatas sebagai ibu biologis yang hanya bertugas melahirkan saja tetapi juga berperan sebagai pendidik anak-anaknya. Ketika peran pendidik ini dijalankan dengan benar maka diharapkan lahirlah anak-anak yang siap menjadi generasi penerus yang tangguh.

Namun saat ini, peran ibu sebagai pendidik yang baik bagi anak-anaknya menjadi sesuatu yang sangat sulit dijalankan. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan peran ibu sebagai pendidik yang baik ini semakin berat dijalankan. Pertama adalah globalisasi kapitalisme yang membentuk atmosfer kapitaklistik bagi kehidupan, dan yang kedua adalah tekanan liberalisme melalui undang-undang.

Globalisasi Kapitalistik dan Pemaksaan Nilai Liberal

Globalisasi kapitalisme telah menimbulkan berbagai permasalahan bahkan membuat negara-negara berkembang mengalami krisis multidimensi. Gaya hidup kapitalis ini telah menimbulkan tekanan ekonomi dan menumbuhsuburkan penindasan pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah termasuk kaum perempuan dan para ibu. Terlebih setelah krisis ekonomi yang menimbulkan tekanan ekonomi semakin parah, sehingga acapkali berujung pada perceraian suami istri, konflik dalam keluarga hingga terjadinya penganiayaan terhadap istri maupun anak-anak. Semua ini merupakan hasil dari globalisasi idiologi kapitalisme, idiologi yang menihilkan peran Tuhan dalam pengaturan urusan hidup di dunia dan mengusung kebebasan. Salah satu ide buah kapitalisme adalah ide kesetaraan gender (Gender Equality. Konsep kesetaraan gender ini langsung membawa dampak buruk pada kaum perempuan, termasuk ibu, dan anak-anak.

Ide gender yang saat ini sedang gencar digembar-gemborkan oleh para feminis di negeri ini, ternyata telah membawa kaum perempuan di barat menderita. Konsep kesetaraan gender, Equal Rights Amandement (ERA), telah menyebabkan peningkatan angka perceraian di AS. Data terakhir 50% pernikahan berakhir pada perceraian, bahkan di New York mencapai 70%. Konsep ERA ini juga secara langsung berdampak pada penghapusan undang-undang yang memberi perlindungan kepada kaum perempuan, cuti hamil, jam kerja malam dan lain sebagainya. Dalam tuntutan ERA, UU ini dianggap merendahkan perempuan. Keberhasilan kaum feminis AS lainnya adalah meloloskan UU Perceraian (No Fault Diforce), dimana setiap pasangan boleh menceraikan suami atau istrinya tanpa melihat siapa yang salah dan negara tidak turut campur dalam urusan perceraian.. UU Perceraian ini telah menghapuskan alimoni, yaitu hukum sebelumnya yang mengharuskan suami yang menceraikan istri memberi tunjangan kepada istri sampai istri menikah lagi. Maka kaum perempuan di barat sendiri menolak keras ide kesetaraan gender ini karena justru ide kesetaraan 50/50 telah membuat mereka tertindas dan menderita.

Di Indonesia, kondisi ekonomi yang lemah memaksa ibu-ibu keluar rumah untuk bekerja, akibatnya pendidikan anak-anak di rumah diserahkan kepada pembantu yang hanya lulus SMP dan sekolah yang hanya memperhatikan aspek kognitif, dengan sederet tugas, dan hanya sedikit memperhatikan aspek moral. Di dalam rumah anak-anak disuguhi tontonan-tontonan tidak mendidik berisi kekerasan, gaya hidup materialistik, hedonis dan hanya memuja kesenangan-kesenangan sesaat. Di luar rumah pun pengaruh yang sama diterima anak-anak, VCD, majalah dan koran yang memuat pornografi dan pornoaksi dapat dengan mudah diakses. Food, fun, dan fashion yang menjadi tren di barat diboyong ke Indonesia tanpa memperhatikan bahwa di barat sendiri gaya hidup seperti itu telah mengakibatkan kerusakan masyarakat secara meluas. Ujungnya anak-anak hidup dengan atmosfer masyarakat yang serba permisif dan liberal. Akibatnya materi dianggap sebagai Tuhan, narkoba adalah solusi untuk lari dari persoalan, dugem menjadi gaya hidup, penyakit kelamin menyebar luas dan kekerasan merajalela.

Globalisasi kapitalistik ini semakin tumbuh subur karena didukung oleh undang-undang yang mengusung nilai-nilai liberal. Berkaitan dengan ibu dan anak, nilai-nilai liberal yang diusung adalah ide kesetaraan gender. Ada beberapa undang-undang yang telah disahkan dan sedang dalam proses pengesahan yang apabila dicermati secara mendalam berusaha untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, mengkampanyekan nilai-nilai liberal dan gender yang berujung pada hancurnya tatanan keluarga. UU PKDRT telah menjamah ranah keluarga, dimana UU ini telah menggunting ketaatan istri kepada suami, sehingga solusi-solusi yang ditawarkan adalah selalu berujung pada perceraian. Tatanan masyarakat juga dihancurkan melalui legalisasi aborsi melalui rancangan amandemen Undang-undang Kesehatan No.23 tahun 1992, legalisasi seks bebas dengan program kondomisasi dengan dalih mencegah penularan HIV/AIDS, program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang mengarahkan remaja untuk melakukan hubungan seks tanpa harus menikah serta kuota 30 % perempuan dalam partai politik yang akan mengeluarkan ibu-ibu dari tugasnya mendidik anak-anak yang berkualitas. Belum lagi fakta terbaru tentang rencana pemerintah untuk merevisi PP Perkawinan. Kesemuanya berujung pada penghancuran dan peniadaan lembaga perkawinan.

Korban dari globalisasi kapitalisme dan undang-undang yang mengusung nilai liberal dan gender itu tak lain dan tak bukan adalah ibu dan anak. Seorang ibu dibebankan tugas ganda, mendidik anak dan pada saat yang sama mencari nafkah yang seharusnya merupakan tugas suami. Dalam konflik rumah tangga, seorang istri dipaksa menjanda melalui solusi perceraian. Korban anak-anak juga telah jelas terlihat. Kasus banyaknya korban smackdown adalah salah satu cermin kurangnya kontrol orang tua terutama ibu terhadap konsumsi tontonan anak. Belum lagi terjadinya pelecehan seksual, pemerkosaan, dan aborsi yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Semua ini yang paling dirugikan adalah kaum perempuan termasuk ibu dan anak-anak.

Menangkal Globalisasi dan Liberalisasi

Sekelumit paparan di atas setidaknya dapat menggambarkan betapa rusaknya masyarakat yang telah terpengaruh globalisasi kapitalisme dan liberalisme. Apakah kita masih berharap kebaikan dari ideologi kapitalis dan gaya hidup liberalis tersebut ? Sementara di barat, negara asalnya, ide ini telah membuahkan kerusakan masyarakat. Selayaknya kita segera menolak produk-produk pemikiran dan gaya hidup sekularis yang jelas-jelas membuat hidup menjadi tidak tenang dan selalui dilingkupi rasa khawatir.

Apa yang harus kita lakukan untuk menangkalnya ? Sikap yang harus kita ambil untuk menangkalnya adalah dengan, pertama, menyadari bahwa saat ini sedang berlangsung globalisasi dengan misi westernisasi (pembaratan); kedua, mengokohkan keluarga dengan memberikan pendidikan agama yang baik terhadap seluruh anggota keluarga serta menciptakan suasana keluarga yang harmonis; ketiga, tidak serta merta menerima apa-apa yang berasal dari barat khususnya berkaitan dengan gaya hidup; dan terakhir adalah menumbuhkan sikap peduli terhadap seluruh anggota masyarakat.


http://www.hizbut-tahrir.or.id/2008/05/13/liberalisasi-global-menjerat-ibu-dan-anak/