Blogger Themes

News Update :

Somalia, Si Tanduk Afrika dalam Era ‘Percaturan Besar’ Baru

Rabu, 14 Mei 2008

Tuesday, 06 May 2008 09:53 Syabab.Com - Invasi Ethiopia terhadap Somalia untuk menumbangkan ambisi Persatuan Kehakiman Islam (UIC) menjadi titik puncak ketegangan di Tanduk Afrika. Setelah berbulan-bulan mengelak keberadaan pasukannya di wilayah Somalia, rezim Ethiopia melakukan penyerangan terhadap UIC, yang telah mundur dari Mogadishu, ibukota Somalia di akhir Desember 2006. Pemerintah Ethiopia mengatakan bahwa ia bertindak sebagai dukungan terhadap Pemerintah Federal Transisi Somalia (PFTS), yang berpusat di kota Baidoa yang terletak sekitar 90 kilometer bagian utara Mogadishu.

Pendudukan tentara Ethiopia mendapatkan dukungan luas dari masyarakat internasional, karena dilakukan sebagai dukungan terhadap pemerintahan yang sah di Somalia (PFTS), dalam menghadapi rival politiknya UIC. Amerika Serikat (AS) memberikan dukungan penuh kepada Ethiopia termasuk bantuan militer, dan operasi intel terhadap UIC dan keberadaan penasihat militer. Namun, dukungan AS di Somalia bukanlah perkembangan baru, atau sebagai reaksi sesaat terhadap manuver Ethiopia saja.

CIA dan Pentagon mulai meningkatkan aktifitasnya di Somalia, sejak UIC mulai menguasai beberapa wilayah di Somalia. Tidak kurang dari setahun, AS secara diam-diam maupun terang-terangan memberi dukungan kepada siapapun, termasuk Ethiopia, yang berani menghadapi UIC.

Dana diberikan kepada preman bersenjata di Mogadishu untuk mengalahkan UIC. Para ketua preman tersebut bergabung di Persekutuan Pengembalian Perdamaian dan Kontra Teroris (PPPKT), yang terbentuk di bulan Februari 2006 yang didanai dari agen CIA di Nairobi, ibukota Kenya.

Setelah UIC menumbangkan preman Mogadishu di bulan Juni, perusahaan militer swasta Amerika mulai beroperasi di Somalia, yang berkoordinasi dengan pasukan federal Somalia (PFTS) yang Presidennya bernama Abdullahi Yusuf Ahmed.

Di akhir bulan Desember, Jendral John Abizaid sebagai komandan Pusat Komando militer AS mengunjungi ibukota Ethiopia Addis Ababa untuk menyetujui rencana invasi Presiden Ethiopia, Meles Zenawai, terhadap tetangganya Somalia. Menurut sumber diplomatic, AS telah menerjunkan pasukan elit di Somalia untuk mendukung operasi Ethiopia, disamping memberi laporan satelit terhadap gerak-gerik pasukan UIC.

Alasan AS dalam mendukung invasi Ethiopia adalah perlindungan pemerintahan UIC terhadap tersangka pengeboman kedutaan Amerika di Kenya dan Tanzania di tahun 1998. Serangan terhadap dua kedutaan tersebut menewaskan sekitar 200 orang, lusinan diantaranya adalah warga AS. Maka justifikasi utama agresi Ethiopia dan AS ada dua.

  1. UIC memiliki hubungan dengan teroris yang membom kedutaan AS dan akan mengganggu keamanan regional apabila dibiarkan berkeliaran.
  2. PFTS adalah pemerintahan yang sah dan didukung oleh mayoritas penduduk Somalia.

Bagaimana fakta di lapangan?

UIC lahir sebagai jawaban dari harapan rakyat Somalia yang menginginkan kedamaian dan stabilitas dalam menyelesaikan segala bentuk persengketaan. Sejak ditumbangkannya pemerintahan Mohammed Siad Barre di tahun 1991, Somalia tidak pernah memiliki pemerintahan yang fungsional. Secara praktis wilayah Somalia diatur oleh para preman bersenjata dari berbagai suku. Di tahun 1990an, Somalia menderita krisis pangan yang menyebabkan kematian sekitar ribuan penduduk, kemunduran ekonomi, dan perebutan bantuan pangan oleh para preman. Intervensi ‘kemanusiaan’ AS yang terakhir, terjadi di masa itu yang berakhir dengan kematian 18 tentaranya, setelah menewaskan sekitar 10,000 penduduk Mogadishu.

Sejak mundurnya AS, beberapa kekuatan asing baik regional maupun internasional saling bersaing untuk memperebutkan pengaruh masing-masing secara politis di Somalia, namun tidak ada yang berhasil. Tidak kurang dari 14 macam pemerintahan transisi telah dibentuk namun gagal semua, karena tidak didukung oleh penduduk Somalia, meski didanai oleh lembaga internasional.

Di saat yang sama, penduduk sipil terus menderita. Pertumpahan darah terus terjadi akibat persaingan sesama preman bersenjata di berbagai wilayah Somalia. Para preman tersebut merampok dan memperkosa tanpa bisa diadili. Dari situasi demikian, lahirlah UIC (Persatuan Kehakiman Islam) untuk menjawab frustasi penduduk Somalia, yang capek dengan penyelesaian sengketa yang selalu berakhir dengan pertumpahan darah. Para ulama dari berbagai suku mulai sering diminta untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan koridor Syariah. Ketika pendekatan atau penyelesaian Syariah ini mulai mendapatkan dukungan dari mayoritas penduduk, gerakan ini mulai mengambil alih kekuasaan politik. Dan rakyatpun mulai lega dengan larinya para preman.

Maka UIC lahir sebagai jawaban dari keinginan penduduk Somalia sendiri yang menginginkan Syariah untuk menyelesaikan persoalan mereka. UIC pun menjadi suatu gerakan populis, karena ia memberikan jalan keluar yang kongkrit dalam berbagai aspek seperti stabilitas, keamanan, dan penyelesaian sengketa yang damai di masyarakat.

Mengenai klaim bahwa UIC menampung pelarian teroris, perlu diingat bahwa ini bukan pertama kalinya rakyat Somalia dituding sebagai pelindung teroris. Setelah 911, Hussein Mohammed Farah Aideed (seorang ketua preman yang bergabung dengan PFTS) menyatakan bahwa perusahaan transfer uang Al-Barakat memiliki “hubungan dengan teroris dan Somalia memiliki teroris yang bersimpati kepada Osama bin Laden”. Saat itu Al Barakat adalah penyedia lapangan pekerjaan terbesar di Somalia, dan mentransfer sekitar 140 juta dollar per tahunnya ke Somalia yang dikirim oleh warga muslim Somalia dari seluruh penjuru dunia.

Dari tuduhan tersebut, Amerika dan PBB lalu melakukan investigasi terhadap Al Barakat dan memaksanya untuk menghentikan seluruh operasinya. Ini menyebabkan hilangnya jutaan dollar yang dikirim dari warga Somalia yang tinggal di luarnegeri, karena proses transfer yang dipaksa dibekukan. Setelah bertahun-tahun diperiksa, baik pemilik dan karyawannya, tidak ada satupun yang menghasilkan tuntutan di pengadilan tentang keterlibatan Al Barakat dengan terorisme, padahal jutaan dolar dana warga Somalia telah hilang. Maka Amerika, Ethiopia dan anteknya memiliki sejarah menggunakan tuduhan palsu untuk melakukan tindakan agresi.

Siapakah PFTS (Pemerintah Federal Transisi Somalia), apakah mereka sah dan popular?

Ethiopia dan AS telah menjustifikasi intervensi di Somalia dengan dalih mendukung PFTS sebagai satu-satunya lembaga yang mampu memberikan kedamaian dan stabilitas di Somalia. Padahal dengan melihat sejarah PFTS, kita akan melihat fakta dibalik propaganda ini.

Presiden PFTS, Abdullah Yusuf Ahmed adalah bekas pimpinan wilayah Puntland, yang terpisah dari Somalia dan membentuk pemerintahan sendiri di tahun 1990an. Dia menjadi presiden hingga tahun 2001. Ketika masa kekuasaannya berakhir, Abdullah tidak begitu saja melepaskannya dan justru memimpin pemberontakan. Setelah menguasai Garowe, ibukota Puntland di tahun 2002, ia menjadi presiden lagi sampai tahun 2004, waktu dimana ia menjadi presiden PFTS.

Orang-orang PFTS yang menjabat sebagai Presiden, menteri pertahanan, menteri keuangan dan lain-lain adalah para preman dari berbagai milisi. Orang-orang ini adalah preman yang sama yang menghancurkan Somalia hingga hamper bangkrut, dan AS serta PBB tidak sungkan untuk mendukung PFTS, sebagai sumber harapan Somalia Baru.

Meski AS nampaknya cukup puas dengan keberhasilan mcncapai tujuannya dengan menggunakan Eithiopia dan PFTS, ini baru tahapan terbaru dalam konflik untuk menguasai Somalia. Somalia adalah tanah strategis, yang merupakan kunci regional. Di samping memiliki sumber daya alam, seperti minyak, gas dan uranium, pantai Somalia mencakup Laut Merah, sebagai jalur transportasi maritime internasional yang penting. Konsekuensi dari perang antek yang dikontrol oleh AS akan memberikan dampak secara meluas.

Klaim Eithiopia tentang terorisme di Somalia menaikkan suhu ketegangan dengan Eritrea, tetangga Eithiopia di bagian Timur. Kedua Negara tersebut adalah sekutu AS dan pernah terlibat dalam persengketaan perbatasan. Konflik ini mencetuskan perang antara Mei 1998 hingga Juni 2000. Meskipun perjanjian damai telah ditandatangani melalui mahkamah internasional, ketegangan kian meningkat. Tahun 2006, dua negeri tetangga tersebut memobilisasi pasukan masing-masing ke perbatasan.

Ethiopia menuduh bahwa Eritrea memasok senjata bagi UIC dan klaim ini didukung oleh AS. Implikasinya, Eritrea menjadi pendukung langsung atau tidak langsung dari terorisme. Meski Presiden Eritrea, Isaias Aferwerski membantah tuduhan tersebut, pemerintahannya juga mengutuk AS dan pasukan Eithiopia di Somalia. Ketegangan antara Eritrea dan Eithiopia bisa menyulut api pertempuran.

Ethiopia bukan satu2nya negeri yang ingin ikut campur di Somalia. Atas permintaan AS, Presiden Uganda Yoweri Museveni telah menginstrusikan 1500 prajurit untuk bergabung dengan misi intervensi PBB di Somalia. Pemerintahan Museveni memiliki peran di wilayah Afrika ini termasuk krisis di Congo. Uganda dan Rwanda mengirim ribuan tentaranya sebagai respon terhadap pembunuhan genosida Rwanda di tahun 1994 yang menewaskan 800,000 rakyat Rwanda, sebagian besar korbannya berasal dari suku Tutsi.

Tidak lama, para tentara tersebut memiliki tugas baru untuk menjaga keamanan tambang berlian dan sumber daya alam di Congo Timur, yang menghasilkan jutaan dollar setahun bagi para pejabat militer dan politisi di dua Negara tersebut. Dengan ini, ada dugaan bahwa peran Uganda perlu dipertanyakan motifnya.

Sebagaimana kekuasaan regional, negeri lain juga ingin berebut pengaruh di wilayah Tanduk Afrika ini. Cina adalah investor terbesar di Sudan dan menerima 7% dari penghasilan minyak dari negeri ini. Beberapa tahun lalu, Cina membina hubungan baik dengan tetangga Sudan, karena suplai minyak Cina berada di wilayah perairan tetangga Sudan. Itu sebabnya, Cina adalah pemasok senjata bagi Ethiopia dan Eritrea sekaligus. Karena sedang menghadapi dominasi AS, Cina memberikan perhatian khusus dengan negara2 di Afrika yang memiliki sumber daya alam besar.

Perancis adalah Negara lain yang juga memiliki sejarah panjang dengan negeri2 di Tanduk Afrika sejak jaman kolonialisme. Campur tangan AS di wilayah ini membuat Perancis merasa terancam. Instalasi militer Perancis di Djibouti, Camp Lemonier, kini juga menjadi pangkalan tentara AS, yaitu Komando operasi militer Tanduk Afrika yang dibentuk sejak 2002 dan terletak di sebelah utara Somalia. Perancis juga memiliki ribuan pasukan yang berpangkalan di Chad, Negara tetangga Sudan di bagian Barat.

Perancis secara tidak langsung menyokong pemberontak di Darfur melalui pemerintahan Chad yang dipimpin oleh Idriss Deby. Ia memiliki hubungan dekat dengan pemberontak Darfur melawan Sudan. Sebaliknya, pemerintahan Sudan yang dipimpin Omar al Bashir mendukung tentara pemberontak melawan Chad. Pesawat tempur Perancis menyerang pasukan pemberontak yang didukung oleh Sudan di bulan April 2006, dan mengecilkan nyali pemberontak yang berusaha menumbangkan pemerintahan Deby.

Somalia dan Tanduk Afrika secara keseluruhan bisa menyaksikan berlangsungnya persaingan kekuatan asing dalam mendukung pimpinan Negara-negara di wilayah tersebut. Beberapa analis memperkirakan bahwa kesulitan yang dihadapi AS di Iraq dan Afganistan membuat saingan AS menjadi bersemangat untuk menandingi dominasi AS di bidang ekonomi dan politik. Bekas pembantu Menteri Dalam Negeri AS, Chester Crocker mengakui kepada BBC di bulan Desember,” Permainan di Afrika kembali berlangsung… Hanya saja, dengan kompetisi yang lebih ketat dalam mempengaruhi para pemerintahan lokal di Afrika, demikian juga adanya potensi kompetitor dan penyeimbang kebijakan diplomatik AS. Tidak hanya Cina, tapi juga Brazil, negeri Eropa, Malaysia, Korea, Rusia dan India.”

Setelah menderita dari gejolak yang berkepanjangan, Somalia perlu harapan baru dengan munculnya UIC. Pergerakan UIC nampaknya adalah puncak dari sentiment Islam di kalangan penduduk Somalia dan wujud keyakinan mereka bahwa Syariah Islam adalah satu-satunya fondasi untuk memerintah. Salah satu tonggak utama bagi masyarakat untuk maju adalah adanya rujukan umum yang memancar dari kultur yang sama. Sebaliknya ada motif tertentu dari PFTS yang dipimpin para preman, Somalia justru akan makin terpuruk. Wilayah Tanduk Afrika dan sekitarnya memerlukan sistem pemerintahan alternatif. Sebagai balas budi terhadap loyalitast terhadap kekuatan asing, para pimpinan lokal seakan menerima lampu hijau untuk melakukan apa saja dalam mengeruk kekayaan sumber daya alam untuk kantong masing-masing. Dengan kekayaan tersebut mereka berharap mendapatkan dukungan dari kekuatan asing tersebut, kecuali apabila ada kompetitor baru.

Satu-satunya jalan keluar bagi Somalia dan wilayah Tanduk Afrika raya adalah dengan terbentuknya Khilafah, yang akan menyelenggarakan pemerintahan yang peduli dengan rakyatnya dengan Islam, menyatukan para suku di bawah bendera aqidah Islam dan memastikan bahwa seluruh anggota masyarakat bisa menikmati kekayaan bumi mereka yang melimpah ruah. [rusydan/kcom/syabab.com]

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.