pilkadajabar02.jpgPilkada yang saat ini marak di berbagai tempat menyimpan banyak problem. Disamping makin tajamnya konflik horisontal antar pendukung calon, juga makin rendahnya partisipasi masyarakat yang diindikasikan oleh tingginya angka golput. Sebagai contoh pada Pilkada Jawa Barat baru-baru ini. Sebagaimana yang dilaporkan oleh KPUD Jabar bahwa total pemilih berjumlah 28 juta orang. Hade memperoleh 7.3 suara (40.5%), Aman sebanyak 6.2 juta suara (34.5%), dan Da’i meraup 4.5 juta suara (25.0%). Berarti ada sekitar 10 juta orang tidak mengunakan hak pilihnya atau golput. Apabila persentase tersebut dihitung berdasarkan total pemilih (28 juta), maka golput 35.7 persen, Hade 26.0 persen, Aman 22.2 persen, dan Da’i 16.0 persen.

pilkadajabar02.jpg pilkadajabar01.jpg

Tentu ada sejumlah hal yang dapat dicermati dari kondisi hasil pilkada yang demikian:

Pertama, tingginya angka golput tersebut menunjukkan bahwa masyarakat saat ini mulai apatis terhadap ‘pesta demokrasi’ untuk memilih pemimpin daerah. Faktanya, trilyunan rupiah telah dikucurkan untuk beberapa acara pilkada, namun pemimpin yang terpilih tidak mampu mewujudkan perbaikan tingkat kehidupan masyarakat. Justru yang mendapat perbaikan hanya terbatas pada pemimpin dan keluarganya serta partai-partai yang menjadi pendukungnya saat pilkada.

Kedua, fenomena golput juga dapat menjadi simbol ‘warning’ bagi setiap parpol, karena dari beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa kondisi parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat sudah mulai memahami bahwa keberadaan parpol lebih identik dengan kuda tunggangan yang super komersial, siap direntalkan kepada siapa saja yang ingin berkuasa. Bukan rahasia umum lagi, setiap orang yang berhasrat berkuasa lewat jalur pilkada, mereka harus mengeluarkan ratusan juta bahkan milyaran rupiah untuk menyewa parpol. Kalau bukan dalam bentuk tunai bisa juga berupa komitmen pemberian sesuatu yang lain yang tidak kalah tinggi nilai ekonomisnya apabila mereka berhasil merebut tampuk kekuasaan.

Maka sudah menjadi gejala umum, di suatu daerah partai A berkoalisi dengan partai B menghadapi partai C dalam upaya memenangkan calon seorang bupati, walikota, atau gubernur. Sementara pada daerah yang lain, partai A tersebut justru berkoalisi dengan partai C untuk menghadapi partai B. Realitas semacam ini hanya bisa dibaca bahwa koalisi partai dibangun atas dasar kepentingan bukan lagi garis perjuangan partai. Padahal di tengah-tengah masyarakat mereka sering menggembor-gemborkan garis perjuangan partai terutama saat kampanye. Parpol-parpol telah terjebak atau menjebakkan diri ke dalam pragmatisme yang bertumpu pada kepentingan sesaat.

Ketiga, alasan orang untuk golput memang beragam, ada yang hanya bersifat alasan teknis, misalnya saat pencoblosan sedang pergi bekerja sehingga tidak memberikan suaranya. Ada pula yang diakibatkan oleh alasan ideologis, misalnya para calon tidak ada yang secara eksplisit dan serius akan menyandarkan kebijakannya pada ideologi Islam. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa masyarakat menganggap pilkada tersebut bukanlah hal yang penting bagi mereka. Andaikata hal itu dinilai penting apalagi bisa memberikan harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS.

Sedangkan yang punya alasan ideologis karena menganggap bahwa perubahan menuju perbaikan hanya mungkin dilakukan jika syari’at Islam dijadikan landasannya. Sehingga dianggap hanyalah harapan hampa bagi perbaikan jika yang terjadi hanya perubahan personil pemimpin tanpa disertai perubahan sistem. Sebagaimana diketahui, para pengambil kebijakan di negeri ini (eksekutif, legislatif, yudikatif, parpol) telah menjadikan politik dan ekonomi berjalan di atas rel rusak kapitalisme. Sistem ini telah menyuburkan praktek politik opportunistik yang hanya mengabdi pada kepentingan pribadi, kelompok, dan partainya.

Sementara rakyat hanya menjadi alat legalitas untuk meraih kekuasaan melalui pilkada dan pemilu. Sementara fakta buruk dalam ekonomi, sistem ini telah memberikan keleluasaan kepada para pemilik modal untuk menguasai berbagai sumber kekayaan negara. Misalnya, pemberian konsesi kepada perusahaan asing untuk mengelola tambang minyak, emas, juga pemberian ijin kepada segelintir orang dalam pengelolaan hutan, atau barang tambang lainnya. Dengan cara seperti ini, hasilnya lebih banyak dinikmati oleh segelintir pengusaha dan penguasa yang berkolusi dengan para pengusaha ketimbang yang dirasakan oleh rakyat.

Keenam, merupakan konsekuensi logis bagi umat Islam untuk bangkit guna mengakhiri kesengsaraannya dalam hegemoni sistem politik dan ekonomi kapitalisme ini. Karenanya, umat Islam memerlukan wadah gerakan perjuangan yang terbebas dari pragmatisme politik yang sedang porak-poranda seperti yang terjadi saat ini. Yakni sebuah gerakan umat yang secara konsisten berupaya mencabut sistem kapitalisme yang menjadi akar penyakit, kemudian menggantinya dengan Islam secara totalitas. Cepat atau lambat, secara pasti gerakan umat semacam ini akan sampai pada titik waktunya untuk menghadirkan kembali sistem Islam yang berasal dari Allah Swt, yaitu Khilafah Islamiyah. Sistem ini akan mengelola kekayaan negeri-negeri Muslim di dunia, baik sumberdaya manusia maupun alam, secara amanah dan efisien. Hanya dengan cara inilah umat Islam akan mampu mengakhiri kesengsaraannya dalam cengkraman politik yang opportunistik dan ekonomi yang materialistik.

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu ”. (QS. An-Anfal: 24)

Lajnah Siyasiyah – HTI

27 April 2008


sumber: hizbut-tahrir.or.id