Jakarta, Kompas - Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa.Data Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah orang miskin se-Indonesia adalah 16,85 persen dari total populasi atau sekitar 36,8 juta jiwa.

Berdasarkan simulasi yang dibuat, kenaikan harga BBM 30 persen juga mengakibatkan tambahan inflasi sebesar 26,94 persen. Selain memperhitungkan harga BBM, simulasi itu juga memasukkan komponen produk domestik bruto, penerimaan dan pengeluaran pemerintah, defisit anggaran, investasi, dan ekspor.

Memang angka ini terlihat sangat besar, tetapi kalau dilihat dari realitas kenaikan harga barang, memang lebih tinggi,ujar Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Rabu (7/5).

Menurut Pri Agung, untuk kenaikan harga BBM sebesar 30 persen, kompensasi yang harus diterima masyarakat minimal Rp 168.000. Sementara itu, pemerintah berencana memberikan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000 per bulan kepada 19,1 keluarga miskin begitu harga BBM dinaikkan. Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan komoditas pangan berupa minyak goreng dan gula. Bantuan ini akan berlangsung setidaknya selama satu tahun.

Pri Agung menambahkan, kalau rata-rata harga minyak naik sampai 105 dollar AS per barrel, pemerintah masih bisa menekan defisit anggaran dengan mengurangi marjin keuntungan dan biaya pendistribusian (alpha) Pertamina maupun mengurangi belanja pembangunan. “Menurunkan alpha dari 9,5 persen menjadi 5 persen, subsidi energi bisa dihemat sekitar Rp 9,5 triliun,” ujar Pri Agung.

Inflasi langsung turun

Pengamat ekonomi Chatib Basri memperkirakan, begitu harga BBM naik 30 persen, inflasi bisa naik sampai 3 persen pada bulan tersebut. “Tapi, inflasi langsung turun pada bulan berikutnya karena konsumsi BBM biasanya langsung turun. Kalau konsumsi turun, impor BBM juga berkurang. Inflasi juga bisa ditekan lagi bila pemerintah melakukan program stabilisasi harga pangan,”kata Chatib.

Jika dibandingkan dengan kenaikan harga BBM pada Maret 2005 yang juga 30 persen, dampak terhadap inflasi akibat kenaikan harga BBM tahun ini akan lebih tinggi karena porsi premium dalam kenaikan lebih besar.

Berbagai penghematan

Sebelumnya, pemerintah sudah menegaskan bahwa selain menaikkan harga BBM, berbagai upaya untuk mengurangi tekanan terhadap APBN juga akan dilanjutkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penyaluran dana bagi hasil migas akan dibatasi agar sesuai dengan pagu, pembatasan volume BBM dengan kartu kendali dilanjutkan, serta tagihan listrik di departemen dan instansi akan dijatah. Penghematan dari tagihan listrik ditargetkan mencapai 30 persen.

Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi J Purwono mengatakan, inpres penghematan energi yang akan segera dikeluarkan memuat sanksi yang tegas tidak hanya kepada instansi pemerintah, tetapi juga pelanggan swasta. “Pelanggan besar di atas 6.600 VA yang boros akan dikenai tarif nonsubsidi,”kata Purwono.

Dipertanyakan

Di Bandung, pengamat ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Ina Primiana, mempertanyakan efektivitas BLT. Program BLT hanya sebagai penanggulangan jangka pendek yang tidak menyelesaikan akar permasalahan.

”BLT itu hanya mampu merambah masyarakat miskin selama satu tahun ke depan. Padahal, kenaikan harga BBM hingga 30 persen ini menyebabkan daya beli masyarakat semakin rendah sehingga uang BLT itu tidak ada artinya,”ujar Ina.

Menurut Ina, kenaikan harga BBM tidak hanya memukul masyarakat kecil dan menengah, tetapi juga sektor dunia usaha, sedangkan pemberian BLT hanya menanggulangi sesaat kesulitan masyarakat miskin saja.

“Pemerintah seharusnya menyadari bahwa kenaikan ini memukul dunia usaha yang hitungannya baru berdiri dari pukulan kenaikan harga BBM pada 2005,” kata Ina. Maka, seharusnya pemerintah dapat lebih arif menanggulangi masalah kenaikan harga BBM dunia dengan membentuk suatu program ekonomi jangka panjang atau menengah.

Ini dapat dilakukan dengan mengevaluasi kembali kebijakan dan proyek pemerintah yang kurang efisien. Dengan demikian, penghematan tidak dilakukan melalui pencabutan subsidi BBM. “Dana hasil efisiensi proyek dan kebijakan dapat dialihkan untuk menjaga kestabilan harga BBM sehingga sektor usaha yang baru berdiri dapat tumbuh,”kata Ina.

Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengemukakan, kenaikan harga BBM hanya merupakan jalan pintas pemerintah untuk melepaskan diri dari beban keuangan negara. Namun, kebijakan tersebut menuai dampak buruk yang melemahkan daya beli masyarakat, meningkatkan kemiskinan, dan memukul sektor usaha.

Menurut Ichsanuddin, ada sejumlah kebijakan alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan ekonomi, antara lain mengurangi alokasi pembayaran pokok dan bunga utang melalui penjadwalan kembali pembayaran utang luar negeri, seperti yang dilakukan Argentina dan Brasil, serta restrukturisasi utang dalam negeri dan pemangkasan biaya pengadaan BBM. (Kompas online : 08 mei 2008)