Blogger Themes

News Update :

Sengsara Bersama Demokrasi

Rabu, 14 Mei 2008

FRESH!/MEI/2008
Demokrasi konon kabarnya menjanjikan kebebasan, menjanjikan hidup lebih sejahtera, lebih beradab, lebih maju. Nyatanya, janji-janji itu hanya omong kosong belaka. Jika pun ada janji yang tertunaikan, adalah kebebasan tanpa batas. Pornografi kian marak, freesex ditumbuh-suburkan, kriminalitas meningkat tajam, prostitusi mendapat restu penguasa demi meraih pendapatan dari bisnis haram tersebut, makanan dan minuman haram gampang dicari dan dikonsumsi tanpa perlu malu dan takut dihukum asal ada izin dari pihak berwenang.

Demokrasi pun melanggengkan kemiskinan dan kian mengembangkannya karena kekayaan hanya berputar di segelintir konglomerat. Sudah begitu, korupsi menjadi-jadi. Rakyat yang katanya berkuasa dalam sistem demokrasi tak punya kekuatan sedikit pun untuk menghentikan berkeliarannya para penguasa dan koruptor lintah darat atas nama demokrasi. Rakyat hanya mampu menyaksikan pesta pora penguasa menyedot seluruh sumber daya di atas penderitaan dan kemiskinan yang melilit kuat, di depan mata seluruh rakyat yang menatap kosong dan perut dibalut kelaparan.

Kejadian yang mengerikan dan sangat tragis tentu masih membekas dalam ingatan kita. Di Sulawesi, seorang ibu yang tengah hamil 7 bulan tewas karena kelaparan. Pertanyaannya? Mengapa hal itu bisa terjadi? Padahal keluarga tersebut tinggal bersama keluarga lain di sebuah komunitas warga. Apa peran RT, RW, desa, kelurahan sehingga tak bisa mengetahui persoalan tersebut dan melaporkannya ke atasan mereka? Kita seringkali baru sadar ketika masalah tersebut sudah terjadi. Masyarakat kita seringkali baru tersentuh ketika segalanya sudah terlambat. Menyedihkan.

Pemilu melanggengkan demokrasi

Apakah kita pantas menjadikan demokrasi sebagai pegangan hidup, pandangan hidup dan tujuan hidup? Rasa-rasanya jika kita mau arif, demokrasi seharusnya diletakkan di tong sampah peradaban karena sistem ini sudah cukup menjadi neraka. Pemilu yang dijadikan alat untuk menyeleksi calon pemimpin dan wakil rakyatpun telah gagal total. Meski pemilihan langsung sering digelar dari tingkat terendah sampai tertinggi dari jenjang pemerintahan, tapi tetap saja menyisakan penderitaan dan masalah kehidupan bagi rakyat banyak yang persoalannya terus menumpuk tak terselesaikan.

Ini sebuah kenyataan pahit yang seharusnya segera menyadarkan kita semua. Para calon pemimpin dan wakil rakyat hanya menjadikan rakyat sebagai pasar untuk mendulang suara dalam pildes, pilkada, pilgub, dan pilpres. Bahkan untuk itu, mereka melakukannya dengan cara terkutuk dan kecurangan di sana-sini demi sebuah raihan jabatan. Lagi pula seharusnya kita pun mafhum dan perlu mencurigai setiap calon pemimpin yang jor-joran menggelontorkan duitnya baik dalam pilkada, pligub, maupun pilpres karena pasti ada pamrihnya. Pamrih yang sudah jelas adalah jabatan dan harta. Lalu buat apa kita masih berharap kepada calon pemimpin seperti itu? Celakanya lagi, semuanya menempuh jalan yang sama dan sama sekali tak ada pilihan bagi kita kecuali tidak memilihnya.

Maka, jika kita masih berharap kepada demokrasi, masih percaya bahwa pemilu dalam sistem demokrasi dapat menjadi alat ampuh menyeleksi calon pemimpin kita, masih yakin bahwa dengan modal demokrasi dan pemilu kita bisa bangkit, itu artinya kita sama saja rela dijajah oleh utopia. Sama utopianya dengan demokrasi itu sendiri. Menyedihkan sekaligus tragedi dari sebuah rendahnya pemikiran.

Percayalah, bahwa pemilu dalam koridor demokrasi adalah upaya mempertahankan dan melanggengkan demokrasi itu sendiri. Percayalah, meski demokrasi disebut-sebut sistem paling ideal memberikan kebebasan, nyatanya tak pernah ada kebebasan bagi yang berpotensi mengancam demokrasi itu sendiri. Buktinya, calon independen yang tak didukung partai politik yang ada tetap dijegal. Apalagi jika partai Islam yang ngotot mengusung asas Islam dan syariat Islam untuk diterapkan, pemelihara demokrasi pasti dengan semangat menggagalkannya. Gara-gara aturan anomali dari demokrasi itu sendiri, maka banyak partai Islam yang dilematis. Bertahan menempuh jalur demokrasi untuk memperjuangkan Islam atau memutus ikatan dengan berjuang di luar pagar demokrasi. Sayangnya, lebih banyak partai Islam yang memilih bertahan meski idealisme digerus pragmatisme bahkan akhirnya masuk ke comberan yang dibuat demokrasi. Akibatnya sungguh mengenaskan ada banyak partai Islam yang mengusung pluralisme dan sekularisme. Musibah besar!

Jika ini terus terjadi, kebangkitan hakiki pasti tak akan pernah teraih. Kebangkitan umat Islam pasti akan terus dihadang oleh demokrasi. Maka, menjadikan demokrasi sebagai jalan keluar dari penderitaan selama ini sebenarnya sedang menelusuri setapak demi setapak jalan sesat yang menjebak dan menjerumuskan serta menjauhkan impian kebangkitan Islam itu sendiri. Dan, kita akan tetap sengsara bersama demokrasi. Jalan keluar yang benar adalah: kuburkan demokrasi di liang lahat peradaban, kampanyekan dan perjuangkan ideologi Islam. [rahadi]


http://www.gaulislam.com/sengsara-bersama-demokrasi/

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.