Liputan Acara
Aula Gedung Majelis Ulama Indonesia Kota Depok
7 Februari 2008

Aliran sesat dan menyesatkan muncul silih berganti di Indonesia. Satu kelompok sesat berhasil diatasi, kelompok lain atau mungkin kelompok yang sama dengan memakai nama baru muncul kembali. Di antara berbagai agama yang ada di Indonesia, agama Islam adalah agama yang paling sering menjadi target pembajakan, penodaan, dan penistaan. Aliran-aliran sesat telah menyelewengkan Akidah dan Syariah Islam. Bila hal ini dibiarkan saja, makin lama makin membawa kerugian yang sangat besar bagi umat Islam. Putra-putri kaum muslimin yang kebetulan masih sangat kurang pengetahuan dan pemahaman keislamannya, akan dengan sangat mudah disesatkan.

Pada era 70-an, ada aliran sesat Islam Jama’ah dan Darul Hadist, era 80-an ada Inkarus Sunnah, era 90-an ada Darul Arqam. Akhir-akhir ini tahun 2000-an muncul Komunitas Eden pimpinan Lia Aminuddin, kelompok Yusman Roy yang melakukan shalat dengan Bahasa Indonesia, yang mana keduanya sudah divonis penjara, dan Al-Qiyadah Al Islamiyah pimpinan Ahmad Mushaddeq yang saat ini dia dan beberapa pentolan pimpinan kelompoknya sedang diseret ke meja hijau.

Selain kelompok yang telah disebutkan di atas, Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan sudah sangat lama bercokol yaitu sudah masuk di Indonesia sejak tahun 1920-an, hingga kini masih eksis dan bahkan berkembang luas. Permasalahannya justru menjadi berlarut-larut sehingga sangat meresahkan umat Islam di mana-mana. Ada apa di balik semua ini?

Tak kurang keputusan Fatwa Munas II MUI pada tahun 1980 dan pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005, para ulama di tingkat internasional pun telah mengeluarkan fatwa tentang status Ahmadiyah, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Keputusan Majma al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406H./22-28 Desember 1985M tentang Aliran Qodiyaniyah, yang antara lain menyatakan; bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi sesudah Nabi Muhammad SAW dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan di sepakati oleh seluruh Ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir; (2) Keputusan Majma’ al-Fiqh Rabitha’ Alam Islami; dan (3) Keputusan Majma’ al-Buhuts.

Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) melalui rapatnya yang diselenggarakan di Kejaksaan Agung, Selasa, 15 Januari 2008 lalu memutuskan untuk tidak melarang kelompok Ahmadiyah. Keputusan itu diambil setelah rapat menerima 12 butir Penjelasan PB JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) tentang Pokok-pokok Keyakinan dan Kemasyarakatan Warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang disampaikan oleh Abdul Basith, Amir JAI.

Dalam Penjelasan itu, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyatakan Nabi Muhammad SAW sebagai khatamun nabiyyin (nabi penutup) dan menegaskan bahwa pendiri Jemaat Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad, sebagai mursyid, guru dan panutan warga Ahmadiyah. Ditegaskan pula bahwa Buku Tadzkirah hanyalah merupakan kumpulan pengalaman rohani Mirza Gulam Ahmad, bukan kitab suci, karena kitab suci Ahmadiyah hanyalah Al Quran, dan bersama sunnah Nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran Islam yang dipedomani. Lebih jauh dijelaskan bahwa Ahmadiyah tidak pernah mengkafirkan orang Islam non-Ahmadiyah, dan menyatakan Masjid-masjid Ahmadiyah terbuka bagi kaum Muslimin.

Bakorpakem menilai penjelasan itu sebagai niat baik Ahmadiyah untuk kembali kepada jalan yang benar (ruju’ ilal haq), dan selanjutnya memberikan kesempatan kepada Ahmadiyah selama 3 bulan untuk melaksanakan 12 butir penjelasan tersebut. Bila terbukti nanti bahwa penjelasan itu hanya merupakan akal-akalan supaya tidak dikatakan sesat, Bakorpakem seperti ditegaskan oleh ketuanya, yang juga Jaksa Agung Muda Intelijen, Wisnu Subroto, akan bersikap lain.

Berangkat dari seriusnya persoalan ini, Hizbut Tahrir Indonesia Kota Depok berhasil menyelenggarakan acara Tasqif Jama’i dalam bentuk diskusi publik yang mengambil tema “AHMADIYAH: ANTARA PERSOALAN AKIDAH ISLAM DAN POLITIK”. Acara ini terselenggara pada hari Kamis, 7 Februari 2008 yang lalu bertempat di Aula Utama Gedung Majelis Ulama Indonesia Kota Depok. Ratusan peserta mulai memadati ruang acara mulai pukul 09.00 WIB.

Pembicara yang hadir antara lain: H. M. Amin Djamaluddin sebagai Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI); Munarman, SH sebagai Ketua Tim Advokasi Forum Umat Islam (FUI); H. Achmad Michdan, SH sebagai Koordinator Operasional Tim Pembela Muslim (TPM); KH Dr. Dimyati Badruzzaman, MA sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok; dan Ir. Abu Zaid sebagai Anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia.

KH Dimyati Badruzzaman sebagai pembicara pertama menyampaikan keputusan MUI mengenai Ahmadiyah dimana beliau menegaskan bahwa sejak tahun 1980 MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan. Beliau juga menuturkan bahwa pada tahun 2006, MUI Kota Depok telah difasilitasi oleh Walikota Depok untuk melakukan debat dengan Jemaat Ahmadiyah Kota Depok. Acara tersebut berlangsung di Aula Departemen Agama Kota Depok. KH Dimyati yang saat itu ditunjuk untuk mewakili umat Islam telah menyampaikan argumen-argumen syar’i berdasarkan Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Sementara Jemaat Ahmadiyah menggunakan dalil-dalil yang tidak syar’i (lemah).

Beliau yang telah menempuh pendidikan doktoral di bidang Tafsir Hadits juga menyampaikan bahwa penjelasan tentang QS Al Ahzab ayat 40, yang artinya:

Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”, yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir Al Quran baik kitab-kitab klasik hingga kontemporer adalah bahwa pengertian ‘khatamun nabiyyin’ adalah penutup para nabi, bukan cincin para nabi sebagaimana yang ditafsirkan Ahmadiyah.

Pada sesi kedua, Ust. H. M Amin Djamaluddin menyampaikan pokok-pokok kesalahan Ahmadiyah. Salah satu di antaranya adalah mengenai kitab Tadzkirah. Beliau membawa sendiri kitab tersebut untuk ditunjukkan kepada para peserta diskusi publik. Ahmadiyah menganggap bahwa Tadzkirah adalah kitab suci mereka. Padahal kitab suci umat Islam adalah Al Quran al Karim. Dari sini kita bisa memahami bahwa Jemaat Ahmadiyah tidak layak menyebut diri mereka sebagai bagian dari kaum Muslim.

Dalam kitab Tadzkirah yang asli tertulis di lembar awalnya kata-kata berikut ini: “TADZKIRAH YA’NI WAHYU MUQODDAS”, artinya Tadzkirah adalah WAHYU SUCI. Jadi, kaum Ahmadiyah jelas menganggap bahwa kitab Tadzkirah adalah “wahyu yang disucikan”. Karena itu, sangat tidak benar jika mereka tidak mengakuinya sebagai Kitab Suci. Sangat jelas, mereka memiliki kitab suci lain, selain al-Quran, yaitu kitab Tadzkirah. Tentu saja, umat Islam seluruh dunia menolak dengan tegas, bahwa setelah Nabi Muhammad SAW, ada nabi lagi, atau ada orang yang menerima wahyu dari Allah SWT.

Dalam buku Apakah Ahmadiyah itu? Karangan HZ. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad disebutkan: “Hadhrat Masih Mau’ud a.s tampil ke dunia dan dengan lantangnya menyatakan, bahwa Allah Ta’ala bercakap-cakap dengan beliau dan bukan dengan diri beliau saja, bahkan Dia bercakap-cakap dengan orang-orang yang beriman kepada beliau serta mengikuti jejak beliau, mengamalkan pelajaran beliau dan menerima petunjuk beliau. Beliau berturut-turut mengemukakan kepada dunia Kalam Ilahi yang sampai kepada beliau dan menganjurkan kepada para pengikut beliau, agar mereka pun berusaha memperoleh ni’mat serupa itu.” (hal. 63-64).

Pada sesi ketiga, Ust. H. Achmad Michdan, SH yang saat ini aktif sebagai koordinator operasional TPM menyampaikan bahasan tentang Tinjauan Hukum atas Penodaan Agama Islam oleh Ahmadiyah. Beliau menyampaikan bahwa pertimbangan dan putusan hukum syar’i yang telah diambil oleh MUI dan lembaga lainnya yang memang berkompeten untuk itu sudah sepatutnya menjadi pertimbangan dan landasan hukum yang kuat dalam menjatuhkan ketentuan hukum positif di Indonesia menyangkut status Ahmadiyah, karena bagaimanapun hal ini menyangkut kepentingan dan maslahat mayoritas penduduk negeri ini yang memang muslim.

Bagi mayoritas penduduk Indonesia, perasaan keagamaan adalah dominan dan sangat diutamakan, sehingga nilai-nilai dan ajaran agama, terutama Agama Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, sangatlah dipegang teguh dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu maka dinyatakan dalam hukum dasar tertulis (konstitusi) kita bahwa Indonesia adalah negara bertuhan (Pembukaan UUD 1945 alinea 3) dan memiliki filosofi ketuhanan (Pasal 29 ayat (1)). Indonesia juga merupakan negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945).

Konstitusi kita telah memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam beragama (Pasal 28 E) namun hak ini bukanlah bersifat mutlak karena dibatasi oleh ketentuan pasal selanjutnya (Pasal 28 J ayat (1) dan (2)) bahwa setiap orang wajib menghormati hak orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Sehingga dapat kita tarik benang merah bahwa kebebasan beragama ini harus dibedakan dari kebebasan mengacak-acak, membajak dan menodai kemurnian agama Islam seperti yang telah dilakukan oleh Ahmadiyah dengan memutar-balikkan ayat-ayat suci Al Quran dan penyelewengan akidah lainnya.

Kebebasan beragama sekaligus pembatasannya ini juga selaras dengan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi Indonesia lewat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, dalam Pasal 18 ayat (1) ICCPR setiap orang bebas dalam memilih agama dan meyakininya sebagai hak/kebebasan internalnya namun hak eksternalnya dibatasi oleh ketentuan ayat (3) untuk menjamin agar tidak merugikan ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat, dan kebebasan dan hak-hak fundamental orang lain, tentu saja dalam hal ini adalah kesucian agamanya.

Orang-orang Ahmadiyah bila secara diam-diam, selama tidak dimanifestasikan keluar, mungkin bisa saja tetap meyakini ajarannya yang menyimpang itu atas dasar kebebasan internalnya, namun tunggu dulu, kekebasan eksternalnya tentu akan dibatasi oleh hak asasi orang lain menyangkut perlindungan terhadap kemurnian agama Islam.

Sangat disesalkan Komnas HAM dan beberapa tokoh hukum nasional secara salah kaprah melakukan pembelaan HAM bagi Ahmadiyah yang jelas-jelas telah melanggar HAM umat Islam menyangkut kesucian dan kemurnian Agama Islam. HAM tidaklah identik dengan boleh merusak kedaulatan suatu agama. Pengrusakan akidah yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap umat Islam sangatlah berat dan serius implikasi hukumnya, baik secara syar’i maupun hukum positif kita.

Ahmadiyah jelas-jelas telah melanggar beberapa ketentuan hukum positif Indonesia, antara lain: Penetapan Presiden RI Nomor: 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang sampai saat ini belum dicabut dan masih berlaku; dan juga Pasal156 a KUHP yang menyatakan bahwa dipidana dengan pidana penjara selama–lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, (1) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dan (2) Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Pemerintah berkewajiban untuk segara melarang Ahmadiyah secara nasional, tidak boleh membiarkan masalah ini berlarut-larut sehingga membuka peluang terjadinya ekses di tengah masyarakat yang semakin resah dengan keberadaan Ahmadiyah. Yang ditakutkan adalah ketika hukum tidak tegak, maka hukuman masyarakat yang berlaku.

Jangan sampai pemerintah melakukan pembiaran secara terus-menerus atas pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Ahmadiyah sehingga membuka peluang masyarakat menjadi berani untuk main hakim sendiri (eigenrichting, taking the law into their own hands) terhadap pengikut aliran sesat Ahmadiyah. Agar supaya tindakan masyarakat yang dilakukan di Lombok NTB, Manis Lor Kabupaten Kuningan Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya, tidak berulang lagi, sehingga hukum benar-benar tegak, secara seimbang selain untuk menciptakan ketertiban kehidupan bermasyarakat juga dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat itu sendiri.

Terhadap para pengikut Ahmadiyah, umat Islam tentu tetap berkewajiban untuk mengajaknya kembali kepada ajaran Islam yang benar (al-ruju’ ila al-haqq).

Ust. Munarman, SH sebagai Ketua Tim Advokasi FUI menyampaikan bahasan tentang Ahmadiyah dan Skenario Asing Menghancurkan Islam. Sebagaimana telah luas diketahui bahwa Ahmadiyah pada awal kemunculannya telah didukung Inggris yang saat itu tengah menjajah India. Inggris memiliki peran strategis membidani lahirnya Ahmadiyah. Sejak awal kelahirannya, aliran ini sesungguhnya bermotif untuk menangkal semangat jihad di tubuh kaum Muslim dalam melawan Inggris saat itu (Maryam Jameelah, Islam and Modernism, 1968, Lahore-Mohammad Yusuf Khan, hlm. 54).

Pada tahun 1876 M Mirza Ghulam Ahmad mengaku pertama kali menerima wahyu. Pada 1889 M, di India, Mirza menobatkan dirinya sebagai nabi dan rasul sekaligus sebagai al-Masih al-Maw‘ûd (al-Masih yang Dijanjikan). Pada masa tersebut, India sedang diduduki Inggris. Pada saat yang sama, Inggris dan Prancis sedang gigih untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Pada tahun 1865 Menteri Luar Negeri Inggris Lord Clardon mengatakan, “Sesungguhnya satu-satunya jalan untuk melakukan reformasi pemerintahan Utsmani adalah dengan memusnahkannya dari muka bumi secara keseluruhan” (Ismail Yagha, Ad-Dawlah al-Utsmaniyyah, hlm. 159).

Dalam kondisi seperti itulah, pada 1889 M lahir Ahmadiyah di India. Gerakan ini tumbuh dan berkembang berkat rencana penjajah Inggris di India. Mirza telah menghapuskan kewajiban jihad demi bangsa-bangsa kafir. Dia sangat memuji orang-orang Inggris dan menyerukan para pengikutnya untuk membantu penjajah Inggris di manapun mereka berada (Utsman Abdul Mun‘im, ‘Aqîdât Khatam an-Nubuwwah, hlm. 209). Mirza juga memerankan dirinya sebagai ’’intel’’ kolonial Inggris yang melaporkan sejumlah ulama agar segera ditangkap serdadu Inggris.

Munarman menjelaskan bahwa saat ini sedang berlangsung skenario global untuk menghancurkan Islam. Strategi yang dianggap paling mujarab oleh Barat dalam menghadapi geliat kebangkitan kaum Muslimin adalah dengan memberikan dukungan penuh terhadap “Muslim Moderat” yang mengusung Sekularisme, Plurarisme, dan Liberalisme.

Beliau juga memaparkan strategi Barat yang terungkap dalam dokumen berjudul “Building Moderate Muslim Network” yang diterbitkan Center for Middle East Public Policy (RAND Corporation). Rand Corporation sendiri dulunya adalah perusahaan persenjataan Douglas Aircraft Company di Santa Monica/California yang didirikan setelah berakhirnya perang dunia ke-2. Kini perusahaan tersebut melihat dirinya sebagai lembaga think tank independen, walaupun sebagian besar dana untuk 800 orang staf penelitinya didapatkan dari badan militer AS, Pentagon.

Dalam dokumen tersebut dipaparkan bahwa Agenda Kebebasan (Freedom Agenda) yang senantiasa digembar-gemborkan tak lain tak bukan adalah “grand strategy” AS dalam Global War on Terrorism. Namun ternyata konsensus mengenai bagaimana mengidentifikasi dan mendukung partner dalam perang ide (War of Ideas) perlu segera dirumuskan.

Bangunan jaringan muslim moderat dapat diproses pada 3 level; (1) memperkuat jaringan yang sudah ada; (2) mengidentifikasi jaringan potensial dan mempromosikan perkembangannya; serta (3) melakukan kontribusi di bawah payung pluralisme dan toleransi beragama yang mendukung perkembangan jaringan ini. Dalam rangka menerjemahkan kebijakan tersebut dalam bentuk aksi, US Department of State dan US Agency for International Development (USAID) menjalin kerjasama dengan Organisasi-organisasi NonPemerintah seperti National Endownment for Democracy (NED), the International Republican Institute (IRI), the National Democratic Institute (NDI), the Asia Foundation, dan Center for the Study of Islam and Democracy.

Prioritas bidikan dari program ini adalah (1) akademisi dan intelektual muslim liberal dan sekular, (2) pelajar sekolah agama moderat, (3) aktivis komunitas (LSM), (4) Kelompok-kelompok kajian wanita yang terlibat dalam kampanye kesetaraan gender, dan (5) jurnalis dan penulis moderat.

Pembicara terakhir, yaitu Ust. Ir. Abu Zaid selaku anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia menegaskan bahwa saat ini baik sadar maupun tidak sadar semua umat manusia sedang digiring untuk ‘masuk neraka’. Sistem kehidupan yang saat ini eksis tidak memfasilitasi kaum Muslimin untuk menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Berbagai pintu kemaksiyatan dibuka lebar, sedangkan pintu kebajikan coba ditutup rapat-rapat. Belum selesai satu persoalan, muncul lagi persoalan lain. Ahmadiyah merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang menimpa kaum Muslimin.

Pada dasarnya menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengingatkan saudara sesama muslim agar terhindar dari kesalahan dan kesesatan. Dan menjadi kewajiban setiap muslim pula yang bila sadar ia berada dalam kesalahan dan kesesatan segera meninggalkan kesalahan dan kesesatan itu dan kembali kepada jalan yang benar (ruju’ ilal haq). Selanjutnya, dengan sikap khusnudzan (sangka baik) pernyataan ruju’ ilal haq itu harus diterima karena Islam menuntunkan untuk menilai sesama muslim berdasarkan pada apa yang tampak (tahkum bi dhahir), bukan menilai sikap batin.

HTI mendukung sikap MUI untuk tidak dulu mencabut fatwa sesat terhadap Ahmadiyah, sampai benar-benar seluruh doktrin, keyakinan dan paham sesat yang mereka miliki benar-benar berubah. Mustinya sikap harus diambil oleh pemerintah adalah merujuk kepada fatwa MUI dengan menyatakan Ahmadiyah sesat, melarang dan membubarkannya. Bila kemudian mereka benar-benar ruju’ ilal haq, barulah keputusan itu dicabut.

Menyerukan kepada seluruh umat Islam, termasuk pihak pemerintah, untuk mendengar dan menaati fatwa MUI tentang Ahmadiyah, karena fatwa tersebut adalah fatwa yang benar yang dikeluarkan oleh para ulama yang berkompeten. Fatwa tersebut jelas mestinya harus dipatuhi untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari rongrongan berbagai pihak yang dengan berbagai cara terus melakukan upaya penyimpangan dan pendangkalan akidah umat.

Beliau menyerukan kepada kaum Muslim untuk bersegera kembali pada penerapan syariah dan khilafah. Sebab, pemerintahan sekuler seperti selama ini berlangsung makin terbukti tidak dapat melindungi kesucian ajaran Islam dan akidah umat.

Akhirnya semoga Allah SWT melindungi, merahmati dan memberikan hidayah taufiqiyah kepada kita semua, khususnya para ulama yang lurus, dalam memperjuangkan tegaknya risalah Islam yang haq ini di negeri ini agar tercipta rahmat bagi sekalian alam

(Liputan: Abu Khalil)