Wawancara dengan Muhammad Ismail Yusanto (Jubir Hizbut Tahrir Indonesia).

Metode perjuangan Hizbut Tahrir untuk menegakkan Khilafah adalah pertanyaan yang sering dilontarkan. Termasuk anggapan bahwa perjuangan penegakan Khilafah terlampau dini dan tidak memiliki arah yang jelas. Berikut ini kami tampilkan kembali wawancara kami dengan Muhammad Ismail Yusanto (Jubir HTI) , wassalam (redaksi)

Apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir (HT)?

HT menyebut perjuangan yang dilakukannya sebagai da‘wah li isti’nâfi al-hâyah al-islâmiyyah atau dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam, yakni upaya untuk mengembalikan umat pada pengamalan seluruh hukum-hukum Islam; baik oleh individu, kelompok, maupun oleh negara. Pengamalan hukum Islam oleh individu dan kelompok bisa dilakukan saat ini juga, tetapi pelaksanaan oleh negara hanya mungkin bila telah tegak negara yang memang didirikan untuk tujuan menerapkan syariat Islam.

Dimana letak Daulah Khilafah dalam perjuangan HT? Apakah sebagai tujuan atau metode penerapan hukum Islam saja?

Dengan tujuan perjuangan sebagaimana dirumuskan tadi, maka jelaslah bahwa keberadaan Daulah Khilafah adalah semata sebagai metode penerapan hukum Islam, bukan tujuan. Sebagai sebuah metode (thariqah), Khilafah wajib dilaksanakan dan hanya dengannya kewajiban-kewajiban Islam lainnya bisa ditunaikan dengan sempurna. Oleh karena itu, tepat sekali pernyataan Abu Abdul Fattah Ali Belhaj, tokoh FIS di Aljazair, bahwa menegakkan Khilafah adalah sebagai al-fardhu al-akbar (kewajiban terbesar) dan mengabaikannya disebut sebagai salah satu kabâ’ir al-itsm (kemaksiatan terbesar). Lebih dari seribu tahun, sejak berdiri Daulah Islam pertama di Madinah, umat Islam senantiasa berada dalam naungan Daulah Khilafah yang menata kehidupan umat dan menjaga kemuliaannya dengan syariat. Tapi, setelah Daulah Khilafah Utsmani yang berpusat di Turki runtuh, kehidupan Islam tidak ada lagi dan umat di seluruh dunia hidup dalam sistem selain Islam; mereka bertubi-tubi didera berbagai krisis—ekonomi, politik, sosial, budaya, dsb. Tidak salah bila runtuhnya Khilafah adalah pangkal dari munculnya problematika umat (ummu al-jarâ’im) yang membuat kita tidak lagi bisa disebut sebagai khayru ummah. Maka, ke sanalah HT berjuang, yakni menegakkan kembali kehidupan Islam melalui penerapan syariat dan tegaknya Khilafah.

Mengapa HT memilih menjadi partai dengan aktivitas politik?

Keinginan untuk melaksanakan seluruh hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara hingga kerahmatan Islam bisa terwujud secara nyata merupakan sebuah tujuan politik. Setiap tujuan politik hanya mungkin diraih melalui kelompok atau partai politik. Tidak mungkin sebuah kelompok sosial atau ekonomi akan mencapai tujuan tersebut karena kelompok itu memang tidak didirikan untuk meraih tujuan politik. Di sinilah mengapa Hizbut Tahrir memilih menjadi partai politik. Ini juga semestinya menjadi tujuan politik kelompok atau gerakan-gerakan Islam lainnya. Patut dicatat, Khilafah sebagai sebuah negara adalah institusi politik.

Bukankah ide Khilafah itu masih terlampau dini untuk digulirkan mengingat belum siapnya pemahaman umat? Tidakkah itu ide, maaf, utopis?

Rumusan perjuangan tadi, yakni da‘wah li isti’nâfi al-hâyah al-islâmiyyah bi tharîqi iqâmati al-khilâfah dalam istilah sekarang merupakan “vision and mission statement” atau pernyataan visi dan misi. Setiap gerakan, perjuangan atau usaha apapun, termasuk di lapangan bisnis, harus jelas visi-misinya, karena visi dan misi itu akan menjadi penentu arah perjalanan sebuah usaha. Jika terkesan ideal, bahkan utopis, itu wajar. Contoh, Anda tahu, apa visi dan misi orang Yahudi? Visinya menguasai dunia, misinya mendirikan Israel dengan melenyapkan Palestina. Tak sampai satu abad, sebagian visi dan misi mereka itu kini telah terwujud. Islam dan Rasulullah juga mengajari kita untuk memiliki visi yang gamblang. Apalagi bila visi dan misi itu, yakni tegaknya syariat dan Khilafah, bukan merupakan keinginan atau cita-cita kita semata, melainkan sebuah kewajiban agama. Semestinya visi dan misi tadi bukan hanya milik HT melainkan milik setiap gerakan Islam. Harus diingat, hanya orang yang memiliki visi besar yang bisa membuat sejarah besar.

Yang penting kemudian adalah bagaimana visi dan misi itu diwujudkan. Ini terkait dengan strategi, metode, dan kegiatan. Visi dan misi HT itu dicapai melalui perubahan pemikiran (taghyîr al-afkâr), karena kita tahu bahwa orang berbuat bergantung pada pemikiran dan pemahamannya. Jadi, meski memiliki visi dan misi besar, HT mewujudkannya dengan langkah yang tampak sangat sederhana, yakni dakwah untuk mengubah pikiran masyarakat. Untuk itu, HT menempuh dua kegiatan utama, yakni pembinaan intensif melalui halqah-halqah demi terbentuknya kader dakwah yang berkepribadian Islam dan pembinaan umum untuk mewujudkan kesadaran umum masyarakat tentang Islam. Kegiatan ini sama pentingnya. Dari pembinaan intensif dilahirkan kader yang akan memperbesar tubuh jamaah, yang berarti makin besar pula sumberdaya dan upaya yang bisa dilakukannya, termasuk dalam pembinaan umat. Dari pembinaan umat dihasilkan calon kader, kesadaran umum, dan dukungan.

Perjuangan akan menemukan fase penting ketika banyak anggota masyarakat memiliki fikrah Islam dan kesadaran umum tentang Islam makin berkembang. Pada titik ini, umat akan menjadi kekuatan yang sangat besar untuk terjadinya perubahan. Perubahan besar dimana pun, seperti Revolusi Prancis, Revolusi Bolsevijk, tumbangnya Orde Baru dan tentu saja keberhasilan dakwah Rasul, selalu melalui dukungan dan dorongan masyarakat.

Mengapa HT tidak memilih langkah lewat parlemen? Bukankah perjuangan ini lebih kongkret: kumpulkan banyak suara, raih banyak kursi, ubah hukum negara?

Perlu ditelaah perubahan sejauh apa yang mungkin bisa dilakukan melalui Pemilu? Di mana pun, termasuk di Indonesia sendiri, Pemilu tidak didesain untuk terjadinya perubahan yang sangat mendasar atas konsitusi negara. Di samping itu, apa pun cita-cita kita, termasuk tegaknya syariat, pasti memerlukan kekuatan. Tentang hal ini, HT memandang ternyata sumber kekuatan terbesar, yaitu masyarakat, justru tidak atau belumlah tergarap secara sungguh-sungguh bagi perubahan ke arah Islam. Maka, bila kita berbicara tentang 4 fungsi partai politik, yakni representasi yang kemudian melahirkan kegiatan legislasi, edukasi, artikulasi, dan agregasi, HT lebih fokus melakukan tiga yang terakhir. HT berpendapat tiga fungsi parpol yang terakhir, terutama edukasi yang dalam bahasa HT disebut tatsqîf, sangatlah penting, tapi justru fungsi-fungsi itu selama ini terabaikan. Padahal, untuk membuat masyarakat memilih parpol Islam semestinya fungsi kedua terutama harus dijalankan lebih dulu. Mengapa 50% lebih masyarakat Indonesia lebih memilih partai sekular? Ini jelas karena umat tidak paham bagaimana harus memilih. Ketidakpahaman ini berakar pada problem edukasi yang tidak mereka terima secara semestinya selama Orde Baru dan Orde Lama dulu.

Anda tampaknya pesimis bahwa Pemilu akan memberikan penyelesaian masalah. Konsep apa yang Anda tawarkan untuk menyesaikan persoalan rakyat ini?

Saya tidak pesimis. Saya cuma mengajak kita semua untuk berpikir secara jernih, jujur, dan senantiasa berpegang pada tuntunan agama kita. Saya juga mengajak untuk mempertanyakan kepada diri kita, perubahan seperti apa yang semestinya kita capai? Tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti apa pula yang semestinya kita tegakkan? Ingat, sistem sekular yang memimpin negeri ini lebih dari 50 tahun telah terbukti gagal memenuhi janji-janjinya. Sosialisme telah tumbang. Kapitalisme pun makin tampak loyo. Kemana lagi kita akan mengadu bila tidak kepada Islam? Jadi, tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara berlandaskan (syariat) Islam itulah yang semestinya kita tuju. Karena itu, harus ada perubahan yang relatif fundamental dan substansial, yang dalam istilah HT disebut taghyîr. Inilah yang kita harapkan juga menjadi agenda parpol-parpol Islam di parlemen.

Bagaimana anggapan yang menyatakan bahwa perubahan yang mendasar akan membawa korban terlalu banyak dan cenderung anarkis?

Pendapat tadi benar bila perubahan yang dituju itu bersifat Marxian dan dilakukan oleh orang komunis atau sekular yang menghalalkan segala cara. Tapi, bila perubahan yang dituju adalah Islam dan dilakukan oleh gerakan Islam yang memahami bahwa mereka tidak boleh sama sekali meneteskan darah tanpa hak atau menimbulkan kerusakan, maka kekhawatiran tadi, insya Allah, tidak akan terjadi.

Jadi, menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan oleh parpol-parpol Islam sekarang ini?

Yang harus dilakukan oleh parpol Islam adalah: Pertama, tegas menyatakan bahwa visi dan misinya adalah untuk mewujudkan kehidupan Islam dan mengganti sistem Demokrasi sekular ini menjadi sistem Islam . Kedua, sungguh-sungguh melaksanakan semua fungsi parpol, terutama fungsi edukasi, agar secepatnya terwujud kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat. Hanya melalui cara ini, kita bisa memiliki kekuatan untuk mewujudkan perubahan mendasar tadi.

Bagaimana pandangan HT tentang perjuangan mengangkat senjata untuk menegakkan kembali Khilafah Islam?

Perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islam intinya adalah perjuangan menyadarkan umat tentang betapa pentingnya khilafah bagi penerapan syariat dan persatuan umat. Umat hanya mungkin disadarkan bila kepada mereka dijelaskan melalui dakwah yang menggugah akal, menggetarkan jiwa, dan menyentuh perasaan. Hanya melalui dakwah seperti itu, perubahan pemikiran umat yang menjadi titik awal penting bagi perubahan besar, bisa dilakukan. Pemikiran umat seperti ini tidak mungkin diubah dengan kekerasan, karena sekeras apapun kita lakukan, pikiran hanya bisa diubah dengan pikiran. Di sinilah mengapa dalam dakwahnya, HT berprinsip lâ mâdiyah (non-kekerasan).

Tidakkah perjuangan HT seperti ini akan memakan waktu yang lama?

Lama atau sebentar sebenarnya sangat relatif. Bahkan fakta membuktikan justru cara-cara konvensional yang dilakukan selama ini telah gagal menghasilkan perubahan yang diinginkan. Lihatlah, perubahan Orde Baru ke ‘Orde Reformasi’ tidak terjadi melalui Pemilu meski telah diadakan berulang kali selama 30 tahun, tapi justru terjadi melalui Gerakan Reformasi yang hanya beberapa bulan. Tapi, karena Reformasi juga tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, maka keadaan pasca Reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan, bahkan banyak orang menyebut keadaan sekarang lebih buruk dari sebelumnya. Maka, tak heran bila Indonesia yang kita cita-citakan juga belum terwujud meski sudah lebih dari 50 tahun kita ‘berjuang’.

Sejarah juga menunjukkan, perjuangan Rasul dalam mengubah dunia baru tampak setelah hijrahnya di Madinah. Fase ini tidak mungkin terjadi bila Rasul tidak menempuh fase pengkaderan dan pembinaan yang memang memakan waktu lama, sekitar 13 tahun, untuk perolehan kader yang hanya sekitar 1400 orang. Setelah 10 tahun di Madinah, dakwah Rasul mencapai perkembangan luar biasa, lebih dari apa yang dihasilkan selama 13 tahun di Makkah. Andai saja kita tekun mengawali dakwah ini seperti yang dicontohkan oleh Rasul sejak Indonesia merdeka, saya kira Indonesia tidak perlu terpuruk-puruk seperti sekarang ini.

Bisakah Anda memberikan gambaran, bagaimana kondisi perjuangan HT di dunia internasional saat ini?

Setelah 50 tahun sejak didirikan oleh Allahuyarham Syekh Taqiyyudin al-Nabahani, dengan segala hambatan dan tantangan, HT sekarang telah berkembang di lebih dari 40 negara, termasuk Indonesia. Di sejumlah negara, seperti di Timur Tengah dan Asia Tengah, juga di sebagian negara Eropa, mengalami hambatan yang luar biasa: eksistensinya dilarang, anggotanya ditangkap, sebagiannya dipenjara bahkan dibunuh. Ini membuktikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi hanya berlaku bila menguntungkan sekularisme. Tapi, HT tidak akan gentar. Insya Allah, HT akan terus berjuang demi tegaknya kembali ‘izzul Islam wal Muslimin melalui syariat dan Khilafah. Pilihan kita, seperti kata Imam Ali, cuma dua: hidup mulia atau mati syahid. []