Blogger Themes

News Update :

Dibalik “Berhala” Valentine’s Day

Kamis, 14 Februari 2008

Selain sebagai “virus” tradisi Valentine’s Day adalah ‘berhala’ Kultural dari Barat yang ujungnya syirik dan berbau liberal. Kok mau-maunya kita mengikuti?

Oleh: Saharuddin Daming *

ImageHidayatullah.com - Dalam dunia mitologi horoscope Timur maupun Barat, setiap detak perjalanan waktu selalu dilekati esensi pemaknaan. Ada relung waktu tersebut dimaknai dengan simbol grafik seperti yang tampak pada susunan astrologi, ada juga yang dimaknai dengan manifestasi dogmatis dari tokoh yang dikultuskan dalam mitologi itu. Sebutlah Valentine’s Day yang sudah begitu mendunia, merupakan ritus mitologi yang tidak hanya melibatkan emosi para kawula muda, kalangan dewasa hingga yang berubanpun kadang-kadang gandrung dengan hingar-bingar hari Valentine’s yang dikonspirasikan berpuncak pada setiap tanggal 14 Februari.

Ritus hari Valentine’s yang mengusung panji percintaan dan kasih sayang, diperingati dengan berbagai cara. Ada yang mengekspresikannya dalam bentuk pengiriman kartu yang kadang-kadang disertai dengan hadiah yang sarat dengan simbol LOVE. Namun ada yang merayakan dengan menggelar pesta makan, minum yang diiringi musik dansa yang dinyanyikan secara berpasangan. Bahkan diakhiri hubungan seks. Semua ini tentu saja merupakan hal yang wajar dan lazim. Akan tetapi tentu bukan sesuatu yang wajar dan lazim setidaknya dalam ukuran Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius, jika tata cara pengekspresian hari Valentine’s dilakukan dengan melabrak sistem nilai dan norma.

Tidak sedikit pecandu Valentine’s Day mengeksploitasi momen klasik ini dengan menorehkan cinta dan perasaan kasih sayang pada Valentine’s card-nya dengan gambar yang bernuansa erotis dan pornografi. Demikian pula yang diekspresikan dalam bentuk ceremonial party, selain diwarnai dengan ajang perselingkuhan mini lantaran kontrak person berpasangan yang tidak mengenal lagi batas mahram juga kerap menggiring para abdi Valentino dengan mengkonsumsi barang haram mulai dari minuman keras hingga narkoba yang berujung dengan mabuk-mabukan.

ImageTak cuma itu dengan dalih hari kasih sayang, tidak jarang petualang hari Valentine’s merayakannya dengan gamely ala Valentine’s, namun yang tragis lagi adalah eksploitasi rasa cinta dan kasih sayang dari Valentine’s Day dengan mengumbar syahwat rendahnya. Pasangan muda-mudi yang tak memiliki ikatan perkawinan kerap melewatkan semalam suntuk Valentine’s Day dengan mengekspresikan seks bebas ala nudis.

Selain Valentine’s Day cenderung dimanifestasikan dengan pendewaan terhadap hedonisme dan konsumerisme luar biasa. Ia juga sarat dengan bias-bias pelanggaran hukum dan moral. Semua ini tentu dengan dalih cinta dan kasih sayang yang terkemas dalam spektrum doktrinal Santo Valentino. Anehnya karena penikmat ritus hari Valentine’s, sebagian besar hanya tahu kesemarakan prosesi ceremonial nya saja tanpa sedikitpun pengetahuan tentang apa, siapa dan mengapa Valentine’s Day itu diperingati.

Berhala & Hedonisme Cultural

Mencermati hingar bingar peringatan Valentine’s Day sebagaimana terurai di atas, sebagai komunitas yang memegang teguh budaya ketimuran dengan aksentuasi pada nilai keagamaan khususnya Islam yang dianut mayoritas masyarakat kita di negeri ini, rupanya kita perlu mawas diri dan berkontemplasi secara mendalam tentang eksistensi Valentine’s Day terutama dari aspek sosio-historisme. Ini penting, karena sudah merupakan tabiat peradaban modern, menurut John Naisbitt & Patricia Aburdens dalam “Megatrend 2000” senantiasa berorientasi pada trend gaya hidup yang bersirkulasi pada tiga F yaitu ; food, fashion, and fun.

Ritus-ritus Valentine’s Day yang mengekspresikan nuansa kasih sayang dengan menyajikan aktivitas makan, minum, dancing atau tata laku eksotis lengkap dengan kemasan aneka fashion kontemporer jelas merepresentasikan formulasi modernitas dan globalisasi John Naisbitt & Patricia Aburdens. Ironisnya karena ritus-ritus Valentine’s Day yang kerap diperagakan oleh masyarakat kita terutama dari anak-anak muda dewasa ini, lebih banyak karena faktor latahan dan toleransi friendly yang bersifat compliance atau identification tanpa pernah mengetahui faktor sejarah yang melatar belakangi munculnya tradisi Valentine’s Day.

Paling celaka jika ritus-ritus Valentine’s Day digunakan sebagai sarana untuk melegitimasi pola kehidupan hedonisme. Dengan dalih kasih sayang, kaum hedonistik mengeksploitasi momentum hari Valentine’s untuk memanjakan kepuasan diri secara maksimal dengan menghalalkan segala cara (The end justifies the means).

Memang tidak dapat disangkal bahwa kasih sayang merupakan salah satu pranata sosial yang paling penting dalam kehidupan modern. Sebab dengan berkasih sayang manusia dalam melakukan interaksi sosial, akan melahirkan peradaban maju yang bertumpu pada nilai-nilai perdamaian abadi. Namun tidak sedikit karena faktor kasih sayang yang diekspresikan secara berlebihan dan non-prosedural dalam konteks moral dan religi bahkan norma, maka manusia dengan segala bentuk peradaban yang diwujudkannya, akan terpuruk dan binasa di lembah kehinaan, sebagaimana yang telah menimpa beberapa kaum di masa lampau.

Lalu apakah tradisi Valentine’s Day dalam perspektif sosio-historiss benar-benar terlahir di atas altar kasih sayang? Mungkinkah tradisi Valentine’s Day, sesungguhnya merupakan bagian dari taktik barat dalam menginfasi budaya ketimuran yang berakar pada nilai-nilai religius? Dari hasil penjelajahan penulis terhadap berbagai sumber mengenai Valentine’s Day, maka kita sebagai umat Islam tampaknya harus cermat dan berhati-hati dengan tradisi ini. Betapa tidak, karena dengan mengucapkan ‘Be My Valentine’s’ (Jadilah Valentine’s-ku) sebagaimana yang lazim dilakukan dalam perayaan hari Valentine’s berarti penuturnya mendeklarasikan diri sebagai sang maha perkasa.

ImageHal ini dirujuk dari pendapat Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?”. Dalam artikel ini Sweiger menggali kata “Valentine’s” berasal dari bahasa latin yang berarti, “ Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat, Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditunjukkan kepada Nimrod dan Lupercus, dewa orang Romawi. Disadari atau tidak, tulis Ken Sweiger, jika kita meminta orang dengan “be my Valentine’s”, berarti kita melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Tidak hanya itu, ketika mengucapkan kata ini, berarti pengucapnya meminta seseorang untuk menjadi yang maha perkasa bagi dirinya, padahal dalam keyakinan kita umat Islam, hanya “Allah Yang Maha Perkasa.” Jadi ungkapan “be my Valentine’s” dalam perspektif agama Islam adalah syirik.

Selanjutnya dalam The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul Santo Valentino, diurai tentang sejarah Valentino. Sumber ini setidaknya menampilkan kisah Valentino dalam 3 versi. Versi pertama mengisahkan kegusaran seorang Kaisar Romawi (Claudius II) atas kehadiran St. Valentino yang berani tampil beda dengan paradigma keyakinan penguasa dan masyarakat Romawi zaman itu. Dengan keadaan seperti itu, St. Valentino lalu ditangkap dan dibawa kehadapan Kaisar. Dalam persidangan, Sang Kaisar mempertanyakan keyakinan St. Valentino yang dikaitkan dengan Dewa Atharid yaitu tuhan perdagangan, kefasihan, makar, dan pencurian, serta Dewa Jupiter sebagai tuhan terbesar Romawi.

St. Valentino menerangkan bahwa, tuhan-tuhan seperti itu tak lebih hanyalah berhala buatan manusia karena tuhan yang sesungguhnya Menurut St. Valentino tidak lain adalah Isa Al Masih atau Jesus Cristus. Dalam keterangannya di hadapan Kaisar, St. Valentino menolak menyembah dewa-dewa orang Romawi. Dengan sikap dan keyakinan seperti itu, maka Kaisar Claudius II menjatuhkan hukuman mati kepada St. Valentino tepat pada tanggal 14 Februari.

Versi kedua menceritakan Kaisar Claudius II menganggap tentara bujangan lebih tabah dan kuat di medan perang dari pada tentara yang telah menikah. Untuk itulah maka Kaisar melarang para pemuda untuk menikah. Perintah Kaisar tersebut ditentang oleh St. Valentino dan diam-diam ia tetap menikahkan banyak pemuda. Perbuatan St. Valentino tersebut, akhirnya diketahui Kaisar yang berbuntut St. Valentino divonis mati. Selama masa penahanan, St. Valentino bertemu dengan seorang putri penjaga penjara yang sedang terserang penyakit dan ia pun mengobatinya hingga sembuh. Karena gadis itu sering mengunjunginya, St. Valentino jatuh cinta kepadanya. Tepat pada tanggal 14 Februari 269 M, St. Valentino menjalani eksekusi. Sebelum dieksekusi, ia menitipkan sehelai surat yang bertuliskan “from your Valentine’s” kepada gadis pujaannya. Hal inilah yang kemudian diasosiasikan sebagai momentum pelembagaan kasih sayang.

Versi ketiga, menyebutkan bahwa St. Valentino berasal dari Romawi Kuno, yaitu ritual upacara penyucian setiap 13 - 18 Februari. Dua hari pertama dipersembahakan untuk Juno Februata, Dewi cinta (Queen of Ferish Love). Pada hari itu para pemuda desa berkumpul. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam sebuah kotak serta mengundinya. Setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak tersebut secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi kekasihnya atau pasangannya selama setahun untuk bersenang-senang. Mereka juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan, “Dengan nama Tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini.” Pada tanggal 15 Februari, mereka meminta perlindungan Dewa Lupercalia dari gangguan serigala. Selama upacara ini, kaum muda mencambuk orang dengan kulit binatang, sedangkan para wanita berebut untuk di lecut karena menganggap bahwa lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik masuk ke Roma dan tradisi ini sulit dihilangkan, maka para pendeta dan pengikutnya mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti kalimat “dengan nama Tuhan Ibu” diganti dengan kalimat “dengan para pendeta Valentine’s”, serta mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastur. Sehingga dapat mengikat para pemuda tersebut dengan agama Nasrani. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregorius I. Untuk lebih mendekatkan ke dalam agama Kristen, pada 496 M Paus Glasisus I menjadikan tradisi Romawi Kuno ini menjadi perayaan gereja dengan nama Saint Valentino’s Day untuk menghormati St. Valentino yang kebetulan mati pada tangal 14 Februari.

Sekularisme-Liberal

Memperhatikan deskripsi tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa kisah kehidupan St. Valentino secara sosio-historis, hampir tidak mempunyai korelasi secara jelas dengan pranata kasih sayang sebagaimana yang banyak diusung oleh berbagai kalangan dalam memperingati Valentine’s Day dewasa ini.

Dengan deskripsi historikal background Valentine’s Day seperti ini, setidaknya kita menangkap sinyal penting bahwa hari Valentine’s merupakan tradisi yang lahir dan berkembang dalam khazanah budaya Barat. Di mana dari segi pemahaman terhadap sistem nilai, tentu sangat berbeda dengan akar budaya masyarakat Timur seperti Indonesia yang bercorak keagamaan khususnya Islam.

Masyarakat Barat dengan peradaban Sumaria yang terbukti unggul dan mendominasi peradaban manapun saat ini merupakan peradaban yang lahir dari akar budaya liberalisme dan sekularisme dimana Kristen menjadi basis sentralnya. Dalam buku Arend Theodor Van Leeuwen, “Christianity in World History”, mencatat penyebaran Kristen di Eropa membawa pesan sekularisasi. “Kristenisasi dan sekularisasi terlibat bersama dalam suatu hubungan yang dialektikal. Maka persentuhan antara kultur sekular Barat dengan kultur tradisional religius di Timur Tengah dan Asia adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab, kultur sekular adalah hadiah Kristen kepada dunia.

Dalam sejarah Kristen Eropa, kata sekular dan liberal dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkeraman kekuasaaan Gereja yang sangat kuat dan hegemonik di zaman pertengahan. Proses berikutnya bukan saja dalam bidang sosial-politik, tetapi juga menyangkut metodologi pemahaman keagamaan. Merebaknya pemikiran teologi liberal dalam dunia Kristen, proses sekularisasi-liberalisasi agama, semisal Valentine’s Day kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, termasuk Islam.

Isu Valentine’s Day sebagai tradisi yang lahir dari kultur Barat tidak dapat disangkal jika ia telah menginvasi dan menjadi bagian dari kultur masyarakat kita. Dengan perangkat kehidupan modernitas mulai dari food, fashion, fun, Valentine’s Day melenggang mulus masuk ke jantung masyarakat kita. Pernak-pernik nilai spiritual Barat yang termanivestasikan dalam ceremony Valentine’s Day, kini tidak lagi terasa bahkan banyak sekali muda-mudi begitu bangga dan enjoy dengan ritus Valentine’s Day.

Tanpa mengurangi rasa penghargaan dan toleransi terhadap ajaran agama tertentu, penulis berkesimpulan bahwa tradisi perayaan hari Valentine’s dari banyak segi lebih tampak sebagai bentuk penghormatan, terhadap pemuka maupun prosesi peribadatan agama tertentu.

Sayangnya karena kebanyakan di antara kita tidak mengetahui sejarah ini, ataukah pura-pura tidak mau tahu demi sebuah gengsi yang ternyata menjadi korban latahan tradisi budaya Barat yang cenderung mengemas ritus-ritus keagamaan dengan nilai-nilai sekularisme dan hedonisme. Dalam hal ini, rupanya kita perlu kembali menggali akar sejarah kebudayaan barat sebagaimana yang dikemukakan oleh Syeikh Abul Hasan Ali an-Nadwi. Menurutnya bahwa kebudayaan Barat tidak lain adalah kelanjutan peradaban Yunani dan Romawi dengan karakteristik sebagai berikut:

  • Kepercayaan yang berlebihan terhadap kemampuan panca indera,
  • rapuhnya pegangan spiritualitas,
  • sangat mendewakan kehidupan duniawi dan menaruh perhatian lebih terhadap manfaat dan kenikmatan hidup,
  • sangat bangga dengan patriotisme filsafati.

Selanjutnya Sayyid Qutb mengingatkan bahwa dewasa ini Barat dengan isu globalisasi, telah menganeksasi Timur tidak dengan kekuatan senjata, melainkan dengan bombardir kebudayaan. Menurutnya bahwa peradaban Barat sesungguhnya tumbuh pada satu akar budaya materialisme yang tidak memiliki hati dan jiwa, tetapi hanya mendengarkan suara dan alat. Mereka hanya mau bicara dengan bahasa perdagangan, yang melihat dengan lensa keuntungan, serta mengukur nilai kemanusiaan dengan ukuran tersebut.

Prof. Naquib al-Attas lebih mempertegas lagi karakteristik peradaban Barat yaitu:

  1. Berdasarkan falsafah dan bukan agama.
  2. Falsafah menjelmakan humanisme, mengikrarkan faham dualisme yang mutlak dan bukan kesatuan sebagai nilai serta kebenaran hakekat semesta alam.
  3. Kebudayaan Barat berdasarkan pandangan hidup yang iragic yakni menerima pengalaman, kesengsaraan hidup, sebagai suatu kepecayaan mutlak mempengaruhi peranan manusia dalam dunia.

Sampai disini Valentine’s Day bukan saja telah sukses mendobrak demarkasi kultural yang bersifat nasional dan etnisitas, juga telah menjadi trend gaya hidup masyarakat modern dengan mengusung nilai hedonisme dan konsumerisme. Tak cuma itu, Valentine’s Day sebetulnya merupakan bukti yang paling nyata dari kesuksesan Barat dalam menginvasi Timur secara kultural.

Bukankah cukup banyak pranata sosial yang berlatar belakang sejarah dan nilai-nilai luhur masyarakat kita sendiri telah padam dan tenggelam dengan terpaan invasi kebudayaan Barat, semisal Valentine’s Day. Namun cukupkah kalau kita hanya bisa mendiagnosis kronisme kebudayaan kita adalah akibat serbuan virus peradaban Barat yang liberal dan sekuler itu tanpa ada tindakan konkrit untuk memulihkan dan membangun jati diri, budaya dan sistem nilai masyarakat kita sendiri. Wallahu ‘Allam Bisawwab.

* Saharuddin Daming adalah seorang tunanetra yang saat ini duduk sebagai Anggota Komnas HAM periode 2007-2012 khususnya pada Sub-Komisi Pendidikan dan Penyuluhan HAM. Penulis sedang dalam penyelesaian Program Doktor pada Pasca Sarjana Unhas. Tulisan ini diselesaikan saat masih berbaring sakit

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.