Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi mengajak warga NU untuk meng-NU-kan kembali warga NU. Menurutnya, banyak generasi muda yang ‘kosong’. ‘’untuk itu perawarisan metodologi perjuangan Wali Songo dalam mengislamkan dan mengembangkan masyarakat Indonesia menjadi penting kita runut kembali dalam konteks dinamika ke-Indonesiaan serta di tengah arus globalisasi. Hal ini disampaikan dalam pidato sambutannya pada Harlah NU ke-82 di Stadion Gelora Bung Karno, Ahad (3/2). Stadion GBK yang berkapasitas 100 ribu orang ini dipadati warga NU yang datang dari berbagai daerah.

Hasyim juga menyatakan NU tidak mengadopsi sistem, filsafat, dan gerakan politik luar negeri yang belum tentu sesuai dan cocok dengan kondisi negara Indonesia berdasarkan wadah republik dengan filsafat dan aturan mainnya. Sebaliknya NU ingin mempromosikan manhaj serta tata cara kejuangan NU yang tawassuth dan i’tidal (moderat) ke seluruh dunia. Caranya dengan membentuk ICIS (International Conference of Islamic Scholars).

Dalam pidato di hadapan warga nahdliyin yang didominasi kaum ibu dari berbagai majelis ta’lim DKI, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah itu, Hasyim kembali menegaskan bahwa NU bukanlah partai politik (praktis) yang bergerak dalam perebutan kekuasaan praktis, tetapi merupakan organisasi sosial keagamaan yang berpolitik keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan berdasarkan amar ma’ruf nahi munkar dan membangun mabadi’ khairu ummat. ‘’Oleh karenanya, NU selalu menempatkan kepentingan keumatan dalam konteks kebangsaan dan dalam kerangka negara republik proklamasi dan konsitusi negara yng didirikan oleh para pendiri Negara termasuk di dalamnya ulama-ulama Indonesia,’’ katanya.

Ia juga mengulang kembali imbauannya yang selama ini sering disampaikannya di berbagai kesempatan yakni agar warga NU ‘merebut’ kembali masjid-masjid dan mushala NU. Menurutnya, warga NU perlu memberdayakan tempat itu dengan pengajian yang mengacu kepada kitab-kitab kuning (klasik). ‘’Perlu dilestarikan kembali agar warga nahdliyin tidak mudah ‘masuk angin’ dan tahan terhadap serangan ideologi-ideologi lain,’’ katanya disambut tepuk tangan. Ciri khas ahlussunnah waljamaah yang dibawa dan diterapkan oleh para Wali Songo, lanjut Hasyim, adalah gerakan Islam yang Indonesiawi melalui perjuangan keindonesiaan yang diisi dengan nilai-nilai agama. Ini, menurutnya, bukan berarti membedakan agama Islam Indonesia dengan agama Islam di luar Indonesia. ‘’Yang berbeda adalah cara pemahaman terhadap Islam itu sendiri dan bagaimana penerapannya dalam konteks bangsa-bangsa yang beragam dan dalam konteks kebangsaan

Indonesia yang plural baik agama maupun budayanya,’’ paparnya. Ia mengharuskan warga NU menjadi NU karena ajaran serta metodologi perjuangannya bukan karena keturunan, pergaulan, atau kepentingan. ‘’Warga NU yang tawassuth dan I’tidal (garis tengah dan lurus) haruslan juga dapat membedakan dirinya dengan gerakan-gerakan tatharruf tasyaddudi (ekstrim dengan kekerasan) maupun tatharruf tasaahuli (ekstrim liberalis) yang keram melakukan kesembronoan, yang keduanya bukanlah ciri khas perjuangan Islam domestic Indonesia,’’ kata Hasyim.

Ia menilai tatharruf tasyaddudi menempatkan Islam pada citra yang buruk serta memposisikan Islam dalam posisi terjepit dan menjauhkan Islam dari pembangunan keadilan dan kesejahteraan secara rahmatan lil alamin. Sedangkan ekstrim liberal tidak berangkat dari manhaj yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga mengancam akidah dan syariah agama. Harlah ke-82 NU ini juga diisi dengan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia berterima kasih kepada NU. NU, menurut SBY, adalah gerakan yang mengambil jalan tengan dan bukan ekstrim.

Ia kembali meminta masyarakat bersabar atas perjalanan pembangunan selama ini. Menurutnya, jika mau jujur sudah banyak hasil pembangunan selama 10 tahun terakhir. Namun juga banyak masalah yang muncul. SBY kemudian meminta rakyat melihat perjuangan Rasulullah yang bertahap dalam membangun masyarakat. Acara pokok Harlah NU yaitu mendengarkan pidato KH Hasyim Muzadi dan SBY, serta doa istighasah. Hadir dalam acara ini Wakil Presiden Jusuf Kalla, para menteri, pejabat tinggi negara, dan duta besar negara lain. KH Abdurrahman Wahid tidak tampak dalam acara ini. (LI/muji)