fksk35-_01.jpgMengamankan pasar bebas dari industri listrik itu konyol. Ini adalah angan-angan yang naïf. Tapi anehnya pikiran ini kok diadopsi, seolah semua kata-kata pasar bebas itu dianggap baik. Kalau ini terjadi maka inilah yang disebut kemiskinan struktural. Kita melihat bagaimana kapitalisme ini bekerja dan menyebabkan kemiskinan rakyat. Demikian disampaikan oleh Ismail Yusanto, jubir Hizbut Tahrir Indonesia pada acara diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan, di Jakarta, Senin (18/2). Acara yang dihadiri pembicara Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi) dan Ir Ahmad Daryoko (Ketua Umum Serikat Pekerja PLN) bertema, Pro-Kontra Privatisasi PLN. Acara rutin yang diselenggarakan Forum Umat Islam ini didukung Tabloid Suara Islam dan Kantor Berita Antara.

Menurut Yusanto, dalam kasus PLN ini sangat nyata. “Kalau ini dibiarkan akan melahirkan penjajahan baru melalui penguasaan energi dan Sumber Daya Alam. Dan selangkah lagi kita akan betul-betul dalam genggaman negara Barat. Dan habislah kita karena Barat akan makin mudah mengontrol kita dalam berbagai aspek kehidupan,” ujarnya.

Semakin nyata, neokolonialisme itu bekerja melalui penguasaan aset negara, energi khususnya. Tentu saja ini akan mengancam kemandirian energi. Selanjutnya tentu akan mengancam kemandirian politik.

Coba bayangkan, jelasnya, kalau swasta yang menguasai listrik itu menghentikan pasokannya di Jawa, bila terjadi keteganan atau perang? Maka bubarlah Jawa ini, padahal Indonesia ini ada di Jawa, karena di sini pusat pemerintahan dan lainnya. Kalau PLN kan bisa dijaga karena ia punya kita sendiri. “Karena itu tidak berlebihan kalau Hizbut Tahrir menulis awas PLN dalam bahaya, karena kemandirin energi itu sangat penting bila kita mau berbicara kemandirian politik.”

Yusanto juga menjelaskan, dalam pro kontra privatisasi PLN ini ada tiga hal yang patut diperhatikan, yakni pertama soal manajemen pengelolaan SDA atau energi. Ada pergeseran yang sangat nyata dari pengelolaan state base management menuju corporate base management, yaitu pengelolaan berbasis negara menjadi pengelolaan berbasis perusahaan. Dan sekarang ini semakin menjadi-jadi karena hampir menyentuh komoditas atau bentuk sumber daya alam atau jasa publik.

Privatisasi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Sebab sumber daya alam dan energi itu milik masyarakat. Yusanto menceritakan suatu saat ada seorang sahabat yang minta ladang garam kepada Rasulullah. Tapi kemudian diperingatkan oleh sahabat Rasulullah. Dikatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah telah memberikan sesuatu yang jumlahnya sangat banyak atau sesuatu yang akan terus mengalir. Akhirnya Rasulullah pun menarik kembali pemberian itu.

Ini selaras dengan Penyataan Rasulullah, masyarakat berserikat (memiliki bersama) terhadap air, padang rumput dan energi. “Jadi dalam hal ini mestinya karena masyarakat memiliki secara bersama, maka mereka harus memiliki akses untuk mendapatkan hak miliknya itu,” papar Yusanto.

Tentang tugas pokok dan fungsi negara, seharusnya pemerintah bekerja sebagai penyedia jasa publik, yang merupakan bukti penting kita punya negara. Sekarang tampaknya terjadi pergeseran, yakni negara yang mestinya sebagai penyedia jasa publik cuma menjadi sekadar regulator (pengawas atau pengatur) atau cuma sebagi pelaku intervesi. Tidak boleh ikut bermain. Ini semua tidak lepas dari visi Adam Smith tentang pasar bebas.

Sementara itu Ahmad Daryoko, tidak setuju dengan pernyataan Meneg BUMN, Sofyan Jalil yang mengatakan bahwa masalah privatisasi di PLN itu tidak ada. “Itu patut dipertanyakan sebab dalam UU No 19 tahun 2003 di pasal 14a3 PLN sekarang ini sudah akan memasuki masa strukturisasi. Dan dalam UU tersebut restrukturisasi itu adalah sasaran antara menuju privatisasi,” ujarnya. Daryoko mengatakan tahapannya adalah restrukturisasi, kedua unbudling, profitisasi dan privatisasi.

Ichsanuddin Noorsy mengatakan UU Kelistrikan yg sudah dibatalkan MK dan UU Migas adalah persyaratan bagi paket stand-by loan IMF sebesar $ 43 milyar dan sejumlah pinjaman struktural lainnya yang diberikan oleh Bank Dunia, ADB dan negara-negara kreditor. “IMF memaksa program penyesuaian strutural itu,” ujarnya.

Pengamat ekonomi ini juga mengatakan, sesungguhnya sejak Eropa berkuasa, sebelum perang dunia I dan II pada hakekatnya hampir semua negara dikuasai Eropa sebagai pasar dan sumber daya. Salah satunya adalah Indonesia.

Indonesia sejak soeharto berkuasa sampai SBY, seperti ditulis Jhon Perkins Indonesia adalah sapi perah bagi pertambangan Amerika. “Tapi hampir kebanyakan ekonom, politisi dan pengusaha di Indonesia tidak percaya bahwa Indonesia dijadikan sapi perah oleh pertambangan Amerika. Kenapa? karena mereka tidak tahu,” papar Noorsy.

Sebab lainnya, saat ini, katanya, kiblat ekonomi kita berpijak pada mekanisme pasar. Ekonomi kita berpijak kepada yang tidak gratis. Pasar adalah pengambil keputusan yang paling bijaksana.Kemudian pasar diminta menyelesaikan kemiskinan dan pengangguran ketimpangan. Ini kacau.

Noorsy mengatakan bahwa pasar tidak menjamin kehidupan kita ke depan. Karena itu ia mengingatkan kepada para ekonom propasar. “Kalau Yahudi-Yahudi itu mengatakan bahwa mekanisme pasar hanya menguntung kapitalis dan memiskinkan kaum miskin, kenapa kita sok-sokan masih bicara soal mekanisme pasar segala-galanya. Kenapa masalah hajat hidup orang masih mau berlakukan dalam mekanisme pasar. Padahal kapitalisme itu tak akan pernah memberikan manfaat pada masyarakat luas,” paparnya. [pd]

Foto FKSK ke-35:

fksk35-_01.jpg

Para pembicara FKSK

fksk35-_03.jpg

fksk35-_08.jpg

Jubir HTI: Ustadz Ismail Yusanto

fksk35-_09.jpg

fksk35-_05.jpg

Sebagian peserta FKSK

fksk35-_10.jpg

Ustadz Munarman, SH sedang berdialog dengan ustadz Ismail Yusanto