Mengangkat Khalifah: Fardhu Kifayah

Pada kesempatan ini kami mengkompilasikan sebagian pendapat para ulama mu‘tabar dari berbagai mazhab, terutama mazhab Syafii yang merupakan mazhab mayoritas kaum Muslim di Indonesia, tentang wajibnya Imamah atau Khilafah. Tentu pernyataan mereka itu merupakan hasil istinbâth mereka dari dalil-dalil syariah, baik mereka menjelaskannya ataupun tidak.

1. Imam an-Nawawi:1 Suatu keharusan bagi umat adanya Imam (Khalifah) yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang dizalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya menyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) Imamah itu adalah fardhu kifayah.

2. Muhammad asy-Syarbini al-Khatib:2 Mewujudkan Imamah/Khilafah yang agung itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan.

3. Imam Abu Yahya Zakaria al-Anshari dalam kitab Fath al-Wahâb bi Syarhi Minhâj ath-Thullâb:3 Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kapabel untuk peradilan).

4. Imam Fakhruddin ar-Razi, penulis kitab Manâqib asy-Syâfi’i, ketika menjelaskan QS al-Maidah ayat 38:4 Para Mutakallimin ber-hujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam (khalifah) yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Allah Swt. mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina…Sungguh, umat telah sepakat bahwa tidak seorang pun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut, bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam. Karena itu, ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jâzim) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam (khalifah), dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam (khalifah) adalah wajib.

5. Imam Abul Qasim an-Naisaburi asy-Syafii:5 Umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khithâb (maka cambuklah) adalah imam (khalifah) hingga mereka ber-hujjah dengan ayat ini akan wajibnya mengangkat imam (khalifah).

6. Asy-Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwani:6 (Mewujudkan Imamah [Khilafah] adalah fardhu kifayah) karena bagi umat itu harus ada seorang imam (khalifah) untuk menegakkan agama, menolong sunnah, memberikan hak orang yang dizalimi dari orang yang zalim, menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya.

7. Pengarang Hasyiyah Qalyubi wa Umayrah:7 Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan sehingga berlaku di dalam Imamah (Khilafah) tersebut apa yang berlaku untuk peradilan, baik dalam kebolehan menerima maupun tidaknya.

8. Asy-Syaikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad al-Bajairimi:8 Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan sehingga disyaratkan untuk Imam (Khalifah) itu hendaknya layak untuk peradilan (menjadi hakim).

9. Imam Ibn Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri:9 Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan adanya Imam (Khalifah) merupakan keharusan, kecuali an-Najadat. Pendapat mereka sesungguhnya telah menyalahi Ijmak…

10. Imam Ibn Katsir, ketika menjelaskan QS al-Baqarah ayat 30:10 Sesungguhnya al-Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong orang yang dizalimi dari yang menzalimi, menegakkan hudud, mengenyahkan kemungkaran, dan sebagainya yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya Imam (Khalifah).

11. Imam al-Qurthubi, ketika menjelaskan QS al-Baqarah ayat 30: Ayat ini adalah pokok (yang menegaskan) mengenai pengangkatan imam dan khalifah untuk didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan—melalui Khalifah—hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut di antara umat, tidak pula di antara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Asham. 11

12. Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali ad-Dimasyqi (Ibnu Adil), ketika menjelaskan QS al-Baqarah ayat 30:12 Ibn al-Khatib berkata, “Ayat ini adalah dalil atas wajibnya mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut di antara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Asham dan orang yang mengikutinya.”

13. Imam Abu al-Hasan al-Mirdawi al-Hanbali, dalam kitab al-Inshâf:13 …mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah.

14. Imam al-Bahuti al-Hanafi:14 (Mengangkat Imam al-A‘zham [khalifah] itu) atas kaum Muslim (adalah fardhu kifayah). Sebab, manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar makruf dan nahi munkar.

15. Pengarang kitab Hasyiyyah al-Jumal:15 Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan.

16. Pengarang kitab Mathalib غlî an-Nuhâ fî Syarh Ghayat al-Muntahâ:16 (Mengangkat imam [khalifah] adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsistensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf nahi mungkar.

17. Pengarang Al-Husun al-Hamidiyyah, Syaikh Sayyid Husain Afandi:17 Ketahuilah bahwa mengangkat imam (khalifah) yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan pasukan…secara syar‘i adalah wajib.

Dari beberapa pendapat di atas, kita dapat menyimpulkan, para ulama mu‘tabar dari berbagai mazhab menegaskan bahwa hukum mengangkat imam/khalifah adalah wajib, yaitu fardhu kifayah.


Pelaksaan Fardhu Kifayah

Suatu hal yang ma’lûm bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Sebagai suatu kewajiban, fardhu kifayah sama kedudukannya dengan fardhu ‘ain meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menegaskan,18 “Tidak ada perbedaan (menurut ashâb kita) antara wajib ‘ain dan wajib kifayah, dari sisi kewajiban…”

Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah, Imam asy-Syirazi, dalam kitab Al-Luma’ fî Ushûl al-Fiqh, menjelaskan,19 “Jika terdapat khithâb (seruan) dengan ungkapan umum maka masuk di dalamnya siapa saja yang visible dengan seruan tersebut baginya. Perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali syariah datang di dalamnya dan Allah menetapkan bahwa seruan tersebut adalah fardhu kifayah, seperti jihad serta mengkafani, menshalatkan dan menguburkan jenazah. Jika kewajiban tersebut telah selesai ditunaikan (di sini Imam asy-Syirazi menggunakan kata aqâma, bukan qâma; dalam bahasa Arab kata aqâma artinya adalah ja’alahu yaqûmu20) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah kewajiban tersebut atas yang lain.”

Artinya, menurut Imam Asy-Syirazi, apabila fardhu kifayah belum selesai ditunaikan maka kewajiban tersebut masih tetap dibebankan atas pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek seruan taklif.

Syaikhul Islam Imam al-Hafizh an-Nawawi, dalam Al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzdzab, menjelaskan,21 “Makna fardhu kifayah adalah jika siapa saja yang pada dirinya ada kifâyah (kecukupan untuk melaksanakan kewajiban) telah melaksanakannya maka hal itu akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun jika mereka semua meninggalkan kewajiban tersebut maka mereka semua berdosa.”

Al-’Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari menegaskan,22 “Hukum fardhu kifayah itu adalah jika fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki kifâyah maka akan gugurlah beban atas orang tersebut dan juga bagi yang lain. Setiap orang dari kaum Muslim yang tidak memiliki uzur, jika mereka meninggalkannya, adalah berdosa meski mereka tidak tahu.”

Di sini pengarang Fath al-Mu’in menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi. Beliau menambahkan catatan bahwa kaum Muslim yang tidak ada udzur, tetapi meninggalkan kewajiban tersebut, adalah berdosa.

Alhasil, jika kita merangkum penjelasan para ulama di atas maka: Pertama, kewajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna jika telah sempurna ditunaikan. Jika belum maka tetap menjadi kewajiban bagi seluruh kaum Muslim. Kedua, siapa saja yang melalaikan fardhu kifayah itu tanpa uzur adalah berdosa.

Mengangkat khalifah adalah fardhu kifayah. Selama kewajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka tetap kewajiban tersebut dibebankan atas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslim dan meninggalkan kewajiban tersebut tanpa uzur adalah dosa.


Mengangkat Khalifah Masih Berada dalam Batas Kemampuan kaum Muslim

Ada sebagian orang yang menganggap kewajiban mengangkat khalifah adalah perkara yang amat sulit untuk dilaksanakan, bahkan mereka mengganggapnya mustahil. Itu sama saja dengan mengatakan, bahwa Allah Swt. telah membebani hamba-Nya dengan kewajiban yang tidak mampu dilaksanakan. Anggapan seperti itu jelas salah. Allah Swt. berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS al-Baqarah [2]: 286).

Imam al-Hafidz Ibn Katsir menjelaskan makna ayat tersebut,23 “Tidak dibebankan pada seseorang sesuatu yang melebihi kemampuannya.”

Inilah yang ditegaskan Allah Swt. atas kita. Allah tidak mentaklifkan suatu perkara yang di luar batas kemampuan kita. Pertanyaannya, apakah mengangkat khalifah untuk menerapkan syariah Allah merupakan kewajiban yang berada di luar batas kemampuan kita? Memang, kalau kewajiban tersebut hanya dilaksanakan oleh kaum Muslim secara individual tentu akan melampaui batas kemampuan mareka. Namun, bukankah kewajiban tersebut adalah fardhu kifayah, yang dibebankan kepada kaum Muslim secara umum?

Sebagai fardhu kifayah, mengangkat khalifah jelas masuk dalam jaminan Allah di atas, yaitu pasti berada dalam batas kesanggupan kaum Muslim. Jadi, selama kewajiban tersebut belum tertunaikan maka ia tetap tetap dibebankan atas pundak seluruh kaum Muslim.

Jadi, mengangkat khalifah adalah kewajiban kita semua. Tidak sungguh-sungguh untuk mengangkat khalifah tanpa uzur syar‘i terkategori sebagai penelantaran kewajiban yang dibebankan Allah pada kita. Tentu saja berdosa. Apalagi diam, menghambat atau bahkan melawan perjuangan tersebut. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Catatan Kaki:

1 Imam an-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin, III/433.

2 Mughni al-Muhtâj ilâ Ma‘rifah Alfadz al-Minhâj, XVI/287.

3 Imam Al-Hafidz Abu Yahya Zakaria al-Anshri, Fath al-Wahhâb bi Syarhi Minhâj ath-Thullâb, II/268.

4 Imam Fakhruddin Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb fî at-Tafsîr, VI/ 57 dan 233.

5 Imam Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub asy-Syafii an-Naisaburi, Tafsîr an-Naysaburi, V/465.

6 Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwani, Hawâsyi asy-Syarwani, IX/74.

7 Hasiyah Qalyubi wa ‘Umayrah, XV/102.

8 Syaikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad al-Bajairimi, Hasyiyah al-Bajayrimi ala al-Khâtib, XII/393.

9 Imam Ibn Hazm al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’, 1/124.

10 Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 1/221).

11 Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, 1/264-265.

12 Ibnu Adil al-Hanbali ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Lubab fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204.

13 Ibnu Sulaiman al-Mardawi al-Hanbali, Al-Inshâf fî Ma‘rifah ar-Râjih min al-Khilâf ala Madzhâb al-Imam Ahmad bin Hanbal, XVI/60 dan 459.

14 Imam Mansur bin Yunus bin Idris al-Bahuti al-Hanafi, Kasyf al-Qinâ’ an-Matn al-Iqnâ’, XXI/61.

15 Hasyiyyah al-Jumal, XXI/42.

16 Al-’Allamah asy-Syaikh Musthafa bin Saad bin Abduh as-Suyuthi ad-Dimasyqi al-Hanbali, Mathâlib Uli an-Nuha fî Syarh Ghâyah al-Muntahâ’, XVIII/381.

17 Sayyid Husain Afandi, Al-Husun al-Hamidiyyah, li al-Muhâfazhah ‘ala al-’Aqâ’id al-Islâmiyyah, hlm. 189.

18 Imam Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/100.

19 Imam asy-Syirazi, Al-Lumâ’ fî Ushûl al-Fiqh hlm. 82.

20 Lihat: Qâmûs al-Mawrid, bagian huruf qaf.

21 Imam an-Nawawi, Al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzdzab, V/128.

22 Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‘în, IV/206.

23 Imam Ibnu Katsir,Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, I/737.


Al Wa'ie online