Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998 menjadi catatan sejarah penting dalam perjalanan bangsa ini. Reformasi menjadi era baru setelah era Orde Baru. Peristiwa itu merupakan sebuah kesempatan besar dari sebuah kebebasan berorganisasi, termasuk mendirikan partai.

Kenyataan ini paling tidak terlihat saat kebijakan multipartai dicanangkan menyambut Pemilu 1999. Momen reformasi menjadikan kehadiran partai di Indonesia ibarat jamur di musim hujan. Diperkirakan ada sekitar 181 buah parpol baru sempat terbentuk. Dari sejumlah itu, hanya 48 parpol saja yang kemudian lolos kualifikasi dan berhak menjadi kontestan Pemilu. Pada Pemilu 1999, dari puluhan partai yang bertarung, hanya 21 partai saja yang berhasil meraih kursi di lembaga legislatif.

Jika mengacu pada ketentuan UU No 4 Tahun 1999 tentang Pemilu, hanya ada enam partai yang dikatakan berhasil melampaui dua persen kursi (electoral threshold) di DPR. Keenam partai tersebut adalah PDI Perjuangan (153 kursi), Golkar (120 kursi), PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), dan PBB (13 kursi).

Dengan berbagai modifikasi, seperti kebijakan Pilpres dan Wapres RI secara langsung, pada Pemilu 2004 Pemerintah tetap melanjutkan kebijakan multipartai tersebut. Saat itu pun berbagai partai baru bermunculan. Selain partai yang sudah mapan, seperti PDIP, Partai Golkar, PPP, PKB, PAN dan PBB ternyata ada dua partai baru yang mendapat porsi tersendiri di masyarakat, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS/dulu PK) dan Partai Demokrat. Partai-partai baru yang lain masih belum banyak dilirik masyarakat.

Di samping semakin beragamnya kehadiran partai, peran partai saat ini tidak hanya berada di lingkungan legislatif semata. Di dalam pemerintahan pun kiprah partai menjadi lebih dominan. Terbukti, dalam pembentukan kabinet, tokoh dari partai-partai yang mendapat suara besar di masyarakat menduduki jabatan kementerian; bahkan hingga kedudukan presiden dan wakil presiden.


Dari Pemilu ke Pemilu

Menjelang Pemilu multipartai yang kedua pada 2004, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sempat mengadakan jajak pendapat terhadap hasil dari Pemilu 1999. Dari jejak pendapat yang bersifat acak tersebut, ternyata masyarakat cenderung ragu bahwa partai-partai politik yang ada akan memenuhi komitmennya pada kepentingan masyarakat setelah Pemilu usai. Mereka bercermin pada Pemilu 1999 yang dinilai hasilnya tak memuaskan. Karena itu, menjelang Pemilu legislatif yang digelar 5 April 2004, masih banyak masyarakat yang belum menentukan pilihannya (undecided voter).

Jajak pendapat itu menemukan fakta bahwa angka undecided voter cukup tinggi, berkisar antara 35% hingga 60% dari seluruh partai berdasarkan perbandingan Pemilu 1999. Peneliti lembaga itu, Rahadi T. Wiratama, mengatakan, “Sebagian besar mereka kecewa betul,” kata Rahadi.

Jajak pendapat itu mencatat 60% responden menyatakan tidak puas dengan hasil Pemilu 1999. Mereka menilai partai-partai politik dan wakil-wakil rakyat di DPR tidak menampakkan kinerja yang memuaskan. Karena itu, meski dibarengi dengan sistem Pemilu yang baru, masyarakat masih ragu Pemilu 2004 akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Bahkan 43% responden menyatakan tidak yakin, sedangkan 24% tak punya pendapat apa-apa. Hanya 33% yang berpikiran sebaliknya, bahwa Pemilu 2004 akan membawa perubahan.

Sebagian besar responden juga tak melirik partai-partai baru yang bermunculan pasca 1999. Sebanyak 74% responden yang usianya rata-rata 17 tahun atau sudah menikah itu ternyata tak dapat menyebutkan partai-partai baru tersebut.

Calon-calon pemilih pada Pemilu 2004 juga ternyata belum bisa menentukan pilihannya pada Pemilu Legislatif. Meski begitu, mereka cenderung akan melirik calon anggota legislatif yang tak korupsi. Untuk parpolnya, 59% responden menyatakan tak tahu saat ditanya partai mana yang akan mereka pilih. Sisanya, sebagian besar pilihan diraih Partai Golkar dengan 14%, disusul PDI Perjuangan 9%, dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 4%. Partai lain harus gigit jari dengan rata-rata 2%.

Setelah dua kali bangsa ini melaksanakan Pemilu multipartai, ternyata masyarakat tetap tidak puas terhadap kinerja partai yang ada. Hasil survei Indo Barometer yang dilakukan di 33 provinsi di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 26 November hingga 7 Desember 2007, dengan menggunakan metode multistage random sampling, ternyata menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menilai kinerja partai politik masih buruk dan tidak memuaskan publik. Jumlah sampel diambil sebanyak 1.200 responden, dengan margin of error sebesar kurang lebih 3,0% pada tingkat kepercayaan 95%. “Tingkat kepuasan hanya sebesar 30,1%, sedangkan yang tidak puas 54,6%, dan yang tidak tahu atau tidak menjawab 15,3%,” ungkap Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari saat melansir hasil survei, “Multipartai Ekstrem atau Multipartai Sederhana? Sistem Kepartaian Menurut Publik Indonesia”.


Masyarakat Kecewa

Sembilan tahun lepas dari hegemoni negara tampaknya belum menjadi tempo yang cukup bagi parpol untuk berbenah. Setelah dua kali masa Pemilu (Pemilu 1999 dan 2004) ada kecenderungan kian terkikisnya pandangan positif publik terhadap parpol. Rangkaian opini publik yang terekam menunjukkan, kini tak ada lagi parpol (peserta Pemilu 2004) yang masih cukup dipandang positif oleh masyarakat pemilihnya. Bahkan beberapa parpol kecil yang semula dianggap bersih dari KKN dan banyak diharapkan konstituennya pun kini tak luput dari sorotan negatif. Sulit diingkari bahwa harapan kepada parpol saat ini lebih merupakan apresiasi minimum yang mampu diberikan publik.

Buruknya penilaian masyarakat terhadap kinerja parpol bukan tanpa sebab. Meski bermunculan parpol baru, masyarakat menganggap parpol, baik yang baru maupun yang sudah mapan, belum mampu memenuhi aspirasi masyarakat. Masyarakat yang berharap usai Pemilu keadaan akan berubah harus kecewa berat. Janji-janji muluk yang dilontarkan semasa kampanye, ternyata tinggallah janji. Usai Pemilu partai cenderung meninggalkan konstituennya dan menyibukkan diri dengan kepentingan partai ketimbang kepentingan masyarakat.

Kondisi tersebut terungkap dalam survei Indo Barometer. Jangan kaget, publik justru menganggap peran parpol paling menonjol adalah memperjuangkan kepentingan partai dan pengurus partai sendiri (18,3%); disusul, memperebutkan kekuasaan di pemerintahan (18,3%). Sebaliknya, peran positif seperti pendidikan politik dan melakukan kaderisasi kepemimpinan persentasenya hanya secuil masing-masing 7,5% dan 2,6%. “Mereka yang tidak puas menilai parpol tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat, kerja parpol tidak dirasakan rakyat, dan parpol tidak bermanfaat,” ujarnya.

Pada sisi lain, kiprah parpol sebagai entitas politik lebih mencitrakan sebuah satuan politik untuk mencapai kekuasaan atau bentuk-bentuk keuntungan materi lainnya daripada saluran kehendak umum. Bahkan seiring dengan era Pilkada, peran parpol yang asal mencari menang kian terlihat. Koalisi antarparpol yang berseberangan ideologi atau beradu kepentingan di tingkat pusat, pudar di daerah, menjadi kendaraan politik untuk memenangkan calon yang dimajukan.

Lebih menyedihkan lagi, peran parpol sejak tahap pengorganisasian internal, penyerapan dan pelaksanaan aspirasi masyarakat sampai dengan kemampuan mereka dalam mengambil jarak terhadap kebijakan Pemerintah sebagai pengoreksi juga sangat rendah. Yang terjadi parpol malah menjadi pemberi stempel dengan melegitimasi kepentingan penguasa. Lebih parah lagi, beberapa parpol menjadi kaki tangan kepentingan asing dengan mengesahkan UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA, UU Parpol.

Fakta lain juga menunjukkan, muncul Undang-undang (UU) yang justru semakin menyengsarakan rakyat. Sebut saja UU Migas, UU SDA (Sumber Daya Alam), UU Kelistrikan. Selain itu, berbagai kebijakan lain seperti kenaikan bahan bakar minyak dan penanganan kasus Lapindo membuat masyarakat miskin semakin miskin. Di sisi lain, para pejabat yang notabene berasal dari parpol bergelimang dengan kekayaan. Bukan hanya gaji yang tinggi, berbagai kemudahan dan fasilitas juga mereka dapatkan.

Surutnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol juga terekam dari hasil jajak pendapat Kompas. Sebagian besar (66,5% responden) menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja wakil rakyat dari parpol yang mereka pilih dalam Pemilu 2004. Tak ada satu pun dari tujuh parpol besar Pemilu 2004 yang bisa memuaskan masyarakat. Sebagian besar responden menyatakan kekecewaannya terhadap kiprah para politisi dari parpol yang mereka pilih dalam Pemilu, baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Dalam wujud aspirasi politik, kekecewaan publik terhadap parpol tampaknya akan diwujudkan dengan mengubah pilihan partai dalam Pemilu nanti. Sebanyak 41,7% responden menyatakan akan mengubah pilihan parpolnya seandainya ada Pemilu saat ini. Hanya sekitar 28,2% yang tetap setia memilih parpol pilihan pada 2004. Lagi-lagi, tak ada satu pun dari tujuh besar parpol Pemilu 2004 yang tak ditinggalkan oleh pemilihnya. Seperempat hingga separuh dukungan yang tadinya diberikan kepada partai yang dipilihnya berpotensi akan hilang.

Buruknya kinerja dan citra partai politik menyebabkan parpol bukan menjadi pilihan utama penyaluran aspirasi publik. Jajak pendapat Kompas juga menyebutkan, dalam fungsinya sebagai tempat menyalurkan aspirasi sosial politik, kiprah parpol yang ada diakui paling rendah dibandingkan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi massa, lembaga keagamaan, maupun media massa. Bahkan jika responden dituntut untuk menentukan pilihan aspirasi apakah lebih condong ke parpol, LSM, lembaga keagamaan ataukah media massa, hanya sekitar 11,3% yang masih percaya aspirasi mereka dapat diusung oleh parpol. Sebaliknya, media massa menjadi sarana penyaluran aspirasi yang paling tinggi, mencapai 39 persen. LSM dipercaya oleh 16,7 persen responden dan lembaga keagamaan disebut oleh 22,7 persen responden.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli menilai, kinerja partai politik (parpol) yang buruk semakin meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap parpol tersebut. Akibatnya, pada Pemilu 2009 diperkirakan jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya (golput) semakin bertambah. “Kemungkinan golput akan bertambah jika kinerja parpol terus mengecewakan masyarakat,” katanya.


Partai Islam, Mengapa Gagal?

Kini yang menjadi pertanyaan, dari sejumlah partai yang ada, mengapa partai yang berbendera Islam tidak mampu memberikan kepuasan kepada masyarakat? Bahkan hasil Survei Lingkaran Survey Indonesia (LSI) justru PDIP yang mengusung nasionalisme mendapatkan dukungan tinggi dan melampaui semua parpol lainnya. Hasil riset itu menunjukkan PDIP mendapatkan dukungan 22,6%, Partai Golkar 16,5%, dan Partai Demokrat hanya 16,3%.

Direktur LSI Denny JA mengatakan, dukungan yang diperoleh parpol-parpol lainnya jauh di bawah perolehan PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat. PKS hanya mendapatkan dukungan 5,6%, PKB (4,7%), PPP (3,6%), PAN sebanyak (3,4%), PBB (0,5%), PBR (0,5%), PPKB (0,3%) dan PDS (0,2%).

Jika kita mencermati lebih detil, ada beberapa sebab mengapa kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, termasuk partai berbendera Islam, semakin luntur. Pertama: aspek pemikiran dan tujuan partai tersebut. Kedua: aspek organisasi, bukan dalam arti sistem organisasi internasional parpol tersebut, namun asas yang membangun partai tersebut.

Dalam buku Politik Partai, Merentas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik Islam, Muhammad Hawari mengungkapkan, kegagalan partai Islam untuk memperjuangkan hak umat Islam disebabkan partai itu telah mengabaikan asas-asas partai, yaitu, pemikiran sebagai penentu tujuan partai, metode yang ditempuh partai, sisi anggota partai dan cara menyatukan masyarakat dengan partai.

Secara rinci, Muhammad Hawari mengatakan, dari sisi pemikiran, partai Islam yang ada berdiri di atas pemikrian yang masih bersifat umum tanpa ada batasan yang jelas. Bahkan pemikiran itu kabur atau samar. Pemikiran yang didengungkan partai justru pemikiran yang sangat umum dan tidak mencakup seluruh aspek kehidupan seperti nasionalisme, sukuisme dan patriotisme.

Gagasan yang dilontarkan oleh partai Islam seperti Kejayaan Umat Islam, Kemuliaan Umat Islam, Pendidikan Islam, Ukuwah Islamiyah dan lainnya merupakan jargon yang tidak memiliki batas yang jelas. Padahal seharusnya yang diemban sebuah partai adalah pemikiran yang mencakup seluruh aspek kehidupan dalam bentuk sebuah pemikiran ideologis.

Lebih parahnya lagi, partai-partai nasionalis dan patriotis di Indonesia tidak menyadari bahwa pemikiran yang diemban adalah pemikiran Barat alias kapitalisme dan liberalisme. Mereka malah berusaha menafsirkan Islam dengan pemikiran Barat tersebut yang kemudian mengklaim sebagai bagian dari pemikiran Islam.

Selain itu, partai yang ada tidak memahami metode untuk mengaplikasikan pemikiran mereka. Pemikiran yang diemban justru diaplikasikan dengan cara serampangan tanpa persiapan dan kacau. Apalagi pemikiran partai tersebut tampak kabur dan samar. Akibatnya, perjuangan partai terkesan reaktif, yakni hanya merupakan reaksi terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semua ini sebagai akibat dari sikap partai yang sekadar membebek pada apa yang menjadi tren di dunia.

Partai yang ada juga tidak konsisten. Mereka begitu mudah terjebak untuk tawar-menawar atau kompromi dengan penguasa dan pejabatnya, berkoalisi dengan partai-partai lain yang kadang tidak sehaluan.

Selanjutnya, partai-partai yang ada, termasuk partai Islam, bertumpu pada orang-orang yang tidak memiliki kesadaran dan kehendak yang benar. Para aktivis partai yang ada hanyalah sekelompok orang yang sebatas berbekal semangat karena dipicu dari kondisi yang terjadi di negara. Ini sangat berbahaya. Jika hanya bermodalkan semangat dan semangat itu mengendur, maka cita-cita juga ikut mengendur. Pada akhirnya, perjuangan pun berhenti. Apalagi kemudian para aktivis partai mendapatkan kedudukan empuk di pemerintahan.

Kesalahan terakhir, orang-orang yang memikul tugas kepartaian tidak memiliki ikatan yang benar, kecuali sebatas ikatan organisasi. Ikatan yang menyatukan mereka dalam partai hanyalah ikatan yang didasarkan pada sejumlah deskripsi kerja keorganisasian dan jargon partai. Akibatnya, parat-partai seperti ini biasanya mencari orang-orang yang memiliki kedudukan di tengah masyarakat. Begitu juga dengan anggota partai, mereka biasanya menjadikan partai untuk meningkatkan status sosial. Kerap anggota partai berpindah dari satu partai ke partai lainnya.

Inilah kondisi yang menimpa partai-partai yang ada, termasuk partai Islam. Mereka gagal mengemban amanat umat. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Yulianto]


Sumber: Al Waie online