Sepeninggal Pak Harto, perbincangan tentang kebijakannya selama menjadi penguasa Orde Baru terhadap Islam politik semakin ramai. Sebagian ada yang memuji atas keberhasilannya dalam menekan berbagai gerakan Islam politik melalui pemaksaan pemakaian asas tunggal Pancasila bagi setiap parpol dan ormas. Sementara yang lain ada yang menghujat atas segala tindakan represifnya terhadap para aktivis Islam politik.

Terkait dengan sistem politik dan ekonomi yang diterapkan Soeharto serta sistem yang dijalankan saat ini, ada beberapa hal yang perlu dicermati oleh umat Islam, yaitu :

Pertama, politik Orde Baru hingga akhir 1980-an tidak hanya anti-komunisme, tetapi juga anti-Islam yang ditransformasikan sebagai ideologi dan kekuatan politik. Sejak kelahirannya, Orde Baru berdiri di atas slogan politik ‘melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen’, sesuai dengan penafsiran tunggal mereka. Slogan ini cukup menggambarkan sikap deideologinya khususnya terhadap Islam. Represi kekuasaan, baik secara terang-terangan maupun secara terselubung melalui operasi intelijen, selalu membayangi setiap partai dan gerakan politik Islam. Berkiblat pada siasat Snouck Hurgronye dalam menaklukkan Aceh, Orde Baru juga berupaya membiarkan kalangan Islam melaksanakan ibadah secara ritual individu namun memberangus setiap orang atau kelompok yang mempunyai gagasan tentang politik Islam.

Oleh karena itu, politik Orde Baru pada hakikatnya adalah usaha mewujudkan sebuah negara sekular melalui perlindungan angkatan bersenjata dan intelijen dengan legitimasi pembangunan ekonomi. Pada tataran ideologis, platform politik saat itu sangat dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme. Butir-butir P4 merupakan wujud tafsir ideologi kapitalisme terhadap Pancasila. Aspek ini bisa menjadi alasan utama kenapa Soeharto tampak bersikap sangat keras terhadap kelompok-kelompok Islam yang ingin memperjuangkan syariah Islam atau negara Islam. Karena kekuatan Islam dianggap tidak hanya sebagai ancaman terhadap politiknya secara pribadi, namun juga kekhawatirannya pada kelompok Islam yang akan mengubah asas sekular dari negara.

Kedua, tindakan seperti Orde Baru yang berusaha mengeliminasi politik Islam tersebut sebenarnya masih berlangsung hingga hari ini. Paling tidak upaya tersebut terlihat pada saat Partai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu menyerukan untuk kembali pada asas tunggal. Tentu mudah ditebak bahwa wacana tersebut merupakan bagian strategi mereka untuk menjegal perkembangan politik Islam agar politik sekuler bisa tetap menguasai negeri ini. Oleh karena itu, upaya penjegalan terhadap Islam politik yang memperjuangkan tegaknya syari’ah tidak dilakukan oleh Soeharto semata-mata karena bagian strategi ambisi dirinya, namun merupakan imbas dari perang ideologi saat itu antara kapitalisme, komunisme, dan Islam. Orde Baru menjadi bagian rantai kapitalisme untuk menghancurkan komunisme dan Islam. Sementara saat ini kapitalisme dunia dibawah pimpinan AS sedang menghadapi Islam sebagai satu-satunya rival semenjak komunisme tumbang. Tentu harus ada kesadaran pada diri umat Islam, bahwa sistem politik yang sedang berjalan saat ini di berbagai negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia pada dasarnya merupakan bagian dari kapitalisme global itu.

Negara-negara dunia ketiga yang notabene negeri-negeri Muslim realitasnya saat ini berada dalam hegemoni negara-negara yang berideologi kapitalisme dibawah pimpinan AS. Jadi meskipun Soeharto telah tiada, benturan ideologi kapitalisme dan Islam di negeri ini tetap akan berlangsung bahkan mungkin bisa lebih tajam sejalan dengan makin kuatnya Islam ideologis memperjuangkan perbaikan sistem saat ini menuju sistem Islam, yakni Syari’ah dan Khilafah.

Ketiga, pada aspek ekonomi kebijakan Orde Baru banyak ‘dibantu’ AS dengan cara membentuk mafia ekonomi yang dikenal dengan Mafia Berkeley. Mafia inilah yang kemudian merancang kebijakan ekonomi Indonesia yang kapitalistik, liberal dan sesuai dengan kepentingan AS. Mereka ditempatkan dalam posisi strategis dalam pemerintahan untuk mengendalikan perekonomian negara. Sebagian besar pejabat ekonomi dalam kabinet Orde Baru adalah hasil didikan AS terutama dari Mafia Berkeley tersebut. Misalnya, Widjojo Nitisastro sebagai ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Emil Salim sebagai wakilnya, Subroto sebagai dirjen pemasaran dan perdagangan, menteri keuangan Ali Wardhana, serta ketua Penanaman Modal Asing Moh Sadli.

Sesuai dengan politik ekonomi AS, mafia ini menjalankan kebijakan ekonomi yang kapitalistik. Yaitu kebijakan yang pro pasar, mengundang investasi asing, meminjam hutang luar negeri. Dampaknya sangat luar biasa. Kebijakan investasi asing ditandai dengan penjualan kekayaan alam Indonesia kepada perusahaan asing sebagai kompensasi dari bantuan hutang luar negeri Indonesia. Freeport mendapat emas di Papua Barat, sebuah perusahaan konsorsium Eropa mendapat Nikel di Papua Barat, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Sementara hutang luar negeri kemudian menjadi alat tekanan negara donor yang semakin menjerat Indonesia. Akibat jebakan hutang ini Indonesiapun harus patuh terhadap instruksi IMF dan Bank Dunia, yang alih-alih menyelesaikan krisis ekonomi, tapi malah membuat krisis ekonomi makin parah.

Keempat, kebijakan ekonomi Indonesia saat ini sebenarnya setali tiga uang dengan kebijakan ekonomi Orde Baru tersebut. Para mentri yang mengurus bidang perekonomian pada dasarnya merupakan kelanjutan generasi Mafia Berkeley yang kini berpola neo-liberal. Privatisasi BUMN, hutan, air, migas, hasil tambang, dan sebagainya terus bergulir, bahkan telah dipayungi melalui UU Penanaman Modal Asing, UU Air, UU Migas, UU Listrik, dsb. Semua itu ‘sukses’ meningkatkan kesengsaraan masyarakat. Sebab melalui privatisasi, kekayaan milik umum/rakyat berpindah menjadi milik swasta. Sementara pemerintah melepaskan peranannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh pihak swasta, termasuk swasta asing, baik secara langsung maupun melalui proses privatisasi tersebut. Perusahaan multinasional seperti Exxon Mobil, Caltex, Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia) terus menjarah seluruh kekayaan migas Indonesia.

Hasil karya neo-liberal itu sudah bisa dirasakan. Biro Pusat Statistik telah mempublikasikan, bahwa jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 2005 sebanyak 30 juta jiwa, dan pada tahun 2006 naik menjadi 39,5 juta jiwa. Karena sektor riil terus tiarap, logikanya pada tahun 2007 dan 2008 kemiskinan dan pengangguran akan membengkak. Padahal, di Bank Indonesia terdapat uang sebanyak Rp. 210 trilyun yang mandeg dan tidak diputar di tengah masyarakat. Negara pun harus membayar bunganya kepada para nasabah, tanpa bisa memanfaatkannya untuk menggerakkan roda perekonomian di Indonesia. Negara juga terpaksa membelanjakan Rp. 744 trilyun untuk membayar utang sebelumnya berikut bunganya, atau sebesar 30% APBN. Jumlah itu jauh lebih besar dibanding pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan keamanan secara keseluruhan.

Kelima, berdasarkan fakta-fakta di atas maka yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sistem kapitalismelah yang berada dibalik berbagai permasalahan politik dan ekonomi yang menyengsarakan masyarakat Indonesia. Bukan sekedar faktor orang. Siapapun yang menerapkannya, Soeharto maupun penguasa-penguasa berikutnya, akan gagal dalam memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Karena sistem yang dipakai adalah sistem yang memang sudah rusak kronis. Bukankah realitas saat ini pun banyak diteriakkan bahwa demokrasi tidak terkait dengan kesejahteraan rakyat?

Sudah saatnya semua manusia menjauhkan ideologi dan sistem kapitalisme itu dari kancah kehidupan masyarakat dan negara. Agenda umat Islam ke depan adalah membangun sistem politik Islam yang memadai bagi pelaksanaan sistem Islam secara kaffah. Sistem politik itu tidak lain adalah Daulah Khilafah Islamiyah. Negara global inilah yang akan menundukkan dan menghapus hegemoni negara-negara kapitalis lewat kebijakan ekonomi neo-liberalnya yang terbukti menyengsarakan umat manusia di berbagai belahan bumi. Hanya melalui perubahan yang fundamental inilah kesejahteraan dan kemakmuran akan dapat diraih. Allah SWT berfirman:

Apakah hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya, dibandingkan dengan hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Lajnah Siyasah
Hizbut Tahrir Indonesia

Februari 2008