Blogger Themes

News Update :

Kerusakan Adagium “Power To Money, Money To Power”

Minggu, 24 Februari 2008

Thursday, 21 February 2008

(Analisis Kasus Perampokan Kekayaan Negara dalam Perspektif Islam)

Oleh Ufayroh al-Khonsa[1]

 Syabab.Com - Hingga saat ini perampokkan kekayaan Negara terus berlangsung. Mulai dari kebijakan yang memberatkan rakyat hingga privatisasi, proyek liberalisasi hingga privatisasi sumber kekayaan negeri ini terus dilakukan. Bagaiamana analisis terhadap kasus perampokkan Negara dalam persepektif Islam ini. Tulisan ini menjelaskan akan mengupas tuntas tentang persoalan ini. [Pengantar Editor]


Muqaddimah

Saat tulisan ini dibuat, 11 Pebruari 2008, saya masih terus mencermati isu penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tepatnya di Metro TV dalam Economic Challenge, diskusi seputar domain itu terus menghangat, mengingat besok harinya, 12 Pebruari 2008, interpelasi atas kasus BLBI ini akan dilakukan oleh anggota dewan. Dua hari berselang, tepatnya 13 Pebruari 2008, Metro TV kembali mengangkat isu itu dalam Save Our Nation dengan tajuk “Sandiwara Politik Interpelasi BLBI”. Sebenarnya, kasus penyelewan dana BLBI ini adalah contoh kecil dari realitas buruknya tata kelola ekonomi Indonesia yang mengakibatkan hilangnya kekayaan negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Ambil saja sebagai contoh, implementasi undang-undang (UU) penanaman modal asing yang berujung pada eksploitasi sumber daya alam (SDA) di Indonesia, dan regulasi privatisasi yang semakin menjadi-jadi. Akibatnya, tentu saja tidak sederhana. Rakyat yang seharusnya menikmati kekayaan negara, akhirnya menjadi pihak yang semakin terpuruk dalam kesedihan. Di sisi lain, kekayaan negara yang dimiliki Indonesia tidak perlu diragukan lagi dari sisi melimpahnya aset SDA.[2] Alhasil, perbincangan untuk menelusur kemana larinya uang negara yang tidak sedikit itu, menjadi urgen. Lebih jauh lagi, kita patut bertanya, siapa sesungguhnya yang menikmati kekayaan negara –yang merupakan hak rakyat- itu? Dan bagaimana aksiologi Islam dalam menyikapi itu semua?

Kekayaan yang Hilang

Merampok uang negara/rakyat bukan perkara aneh di Indonesia. Perampokan itu sudah lama terjadi di negeri ini, baik dilakukan oleh oknum bangsa sendiri maupun pihak asing. Menariknya, perampokan yang sangat besar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia justru terjadi pada era reformasi. Padahal, era ini merupakan era yang dijadikan momentum perubahan dan pemberantasan korupsi oleh mahasiswa dan masyarakat. Persoalannya justru berbalik, yakni menjadi ”legalisasi” perampokan uang negara.

Jika kita mencermati apa yang terjadi di semester pertama tahun ini dan beberapa tahun kebelakang, setidaknya ada tiga isu utama yang berperan penting dalam lenyapnya uang negara yang hakikatnya adalah uang rakyat itu. Tiga isu kontroversial itu adalah kasus penyelewengan dana BLBI, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan eksploitasi SDA yang kompatibel dengan dibukanya regulasi investasi asing di sektor publik yang krusial.

Pertama, kasus BLBI. Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun.[3] Kasus tersebut sampai akhir 2007 masih menyisakan 16 kasus yang belum selesai.

Menariknya, sebagian dari obligor dianggap telah bersikap kooperatif untuk melunasi utangnya dan telah memperoleh Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Surat Keterangan Lunas (SKL). Padahal, penjualan saham bank yang di-take over oleh pemerintah kepada pihak asing itu sangat merugikan pemerintah. Sebagai contoh, penjualan saham BCA kepada pihak asing. Dalam kondisi bank saat ini, harganya hanya Rp 10 trilun padahal beberapa tahun kemudian sudah lebih dari 10 kali lipatnya.[4] Belum lagi kalau kita bicara obligor nakal yang dinilai tidak kooperatif, tentu lebih kompleks lagi.

Dengan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 24, 26, dan 27 yang diterbitkan pada akhir Januari 1998, menjadi landasan hukum penjaminan pemerintah atas segala kewajiban pembayaran bank umum dan program penyehatan perbankan nasional.[5]

Konglomerat Penerima BLBI

Nama

Jumlah Dana BLBI

(Rp triliun)

Syamsul Nursalim (BDNI)

Soedono Salim (BCA)

Usman Admajaya (Bank Danamon)

Bob Hasan (BUN)

Hendra Rahardja (BHS)

37,040

26,596

23.050

12,068

3,866

Berdasarkan landasan hukum ini, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 144,536 triliun yang dikucurkan kepada jaringan perbankan nasional. Menurut analisis Dicky Iskandardinata, dana BLBI yang dikucurkan pada bank swasta berbalik menjadi sumber kehancuran nilai rupiah. Terjadinya kebocoran Rp 51 triliun atau US$ 13 miliar dana BLBI diindikasikan digunakan oleh kelompok tertentu penerima BLBI untuk mengambil untung di pasar uang.[6] Berdasarkan hasil audit BPK atas penyaluran dana BLBI sebesar Rp 144,536 triliun per 29 Januari 1999, potensi kerugian negara mencapai Rp 138,442 triliun.[7] Total dana BLBI yang dikucurkan BI mencapai Rp 218,31 triliun.[8]

Setelah utang-utang konglomerat, baik dalam bentuk kredit macet maupun pinjaman luar negeri diambil alih BI melalui dana BLBI, pemerintah melaksanakan program penyehatan perbankan nasional di bawah pengawasan IMF. Jumlah dana yang digelontorkan pemerintah dalam bentuk obligasi rekap (OR) mencapai Rp 427,46 triliun. OR memang bukan dana tunai, tetapi bank nasional yang mendapatkan obligasi rekap dari pemerintah memiliki hak tagih pada saat jatuh tempo. Seluruh hak tagih bank pemegang obligasi rekap dibebankan kepada rakyat melalui APBN.

Bank Penerima Obligasi Rekap

Nama Bank

Nilai OR

(Rp Triliun)

Penerimaan Bunga OR

2002 (Rp Triliun)

Bank Mandiri

Bank BNI 46

BCA

BRI

BII

Bank Danamon

BTN

Bank Permata

Bank Niaga

Bank Lippo

155,50

54,71

53,72

28,59

23,65

20,12

14,32

11,69

6,75

5,69

15,16

5,33

5,24

2,79

2,31

1,96

1,40

1,14

0,66

0,55

Jumlah nominal BLBI, program penjaminan, dan OR yang ditanggung pemerintah mencapai Rp 655,75 triliun. Namun, jumlah utang yang dibayar pemerintah kepada pemilik OR terus bertambah karena beban bunga OR cukup tinggi. Pada tahun 2002 jumlah cicilan bunga OR yang harus dibayar pemerintah kepada bank-bank pemegang OR mencapai Rp 88,5 triliun.[9] Bank-bank penerima OR juga diperbolehkan menambah permodalan dengan menjual OR yang mereka pegang di pasar sekunder.

Sudah bisa kita tebak, bahwa asinglah yang diuntungkan. Pemerintah atas desakan IMF menjual beberapa bank kepada swasta dan asing. Bank pertama yang didivestasi adalah BCA. BCA dijual pemerintah kepada konsursium Faralon Capital dengan harga obral Rp 5,3 triliun. Masuknya IMF ke Indonesia menjadi sumber malapetaka negeri ini. Melalui LoI (letter of intent) yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 15 Januari 1997, Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus mendapatkan komitmen pemerintah untuk mengambil alih seluruh utang konglomerat baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Kedua, Privatisasi BUMN. Privatisasi dan divestasi BUMN semakin menggila di tahun 2007 dan awal 2008 ini. Logika pemerintah terkait dengan keputusan privatisasi semakin telanjang namun lebih meyakinkan karena mendapat legitimasi yuridis dan ekonomi. Yang saya maksud legitimasi yuridis adalah adanya regulasi terkait dengan hal ini. Adapun legitimasi ekonomi maksudnya adalah semua kebijakan tersebut didasarkan pada strategic decision seperti bertujuan meningkatkan produktivitas, profitabilitas, efisiensi, dan pengurangan utang perusahaan BUMN. Privatisasi juga diharapkan dapat meningkatkan good corporate governance (GCG). Dalam kerangka makro, privatisasi berorientasi pada kepentingan fiskal, yaitu untuk menambah sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah, perbaikan iklim investasi, dan pengembangan pasar modal. Saya memiliki dugaan bahwa legitimasi ini sengaja di setup, setelah sebelumnya legitimasi politik terasa terlalu sarkasme.

Pada program tahunan privatisasi perusahaan 2007 melalui Kep-03/M. Ekon/01/ 2007 31 Januari 2007 disetujui privatisasi akan dilakukan pada sembilan BUMN, enam perusahaan kepemilikan negara minoritas. BUMN tersebut adalah PT Jasa Marga, PT BNI Tbk, PT Wijaya Karya, PT Garuda Indonesia, PT Merpati, PT Industri Soda Indonesia, PT Iglas, dan PT Cambrics Primisima, PT Jakarta International Hotel & Development (JIHD), PT Atmindo, PT Intirub, PT Prasadha Pamunah Limbah Industri, PT Kertas Blabak, dan PT Kertas Basuki Rahmat.[10]

Pemerintah melalui kementerian negara BUMN menargetkan sedikitnya enam perusahaan milik negara yang akan melantai di bursa saham (go public) tahun 2008.[11] Sebelumnya, beberapa BUMN sektor perkebunan, seperti PTPN III, PTPN IV dan PTPN VII serta PT Pengembangan Perumahan (PP) dikabarkan masuk dalam list perusahaan yang akan go public tahun 2008.[12] Lantas apa arti dari go public? Go public hakikatnya adalah awal perpindahan kepemilikan saham ke tangan asing.

Pada 2008 ini, kementerian negara BUMN telah mengusulkan ijin memprivatisasi sekitar 27 BUMN kepada komite privatisasi yang diketuai oleh Menko Perekonomian melalui metode initial public offering (IPO), private placement maupun partner strategis. Metode penawaran saham perdana atau IPO dianggap merupakan metode yang terbaik untuk meningkatkan kinerja BUMN dalam persaingan usaha di masa mendatang. Setelah mendapatkan persetujuan DPR paling lambat akhir Maret tahun ini. Pemerintah mengusulkan 34 BUMN diprivatisasi ditambah luncuran (carry over) privatisasi empat BUMN tahun lalu yang belum tuntas. Program luncuran privatisasi BUMN pada 2007 yang belum disetujui DPR adalah PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Indonesia, PT Iglas, dan PT Cambric Primissima.

Memang benar, bahwa Menneg BUMN mengusulkan jumlah saham yang dilepas kepada publik maksimal 40 persen, yang artinya kepemilikan saham pemerintah tetap mayoritas di BUMN tersebut. Tapi, saya meragukan hal itu. Simak saja apa yang terjadi pada Indosat yang melepas lebih dari 85 persen kepemilikan pemerintah. Walaupun katanya masih disertai penyertaan saham seri A yang memberi otoritas kebijakan strategis kepada pemerintah, tetapi saya menilai ini bahasa politis untuk menenangkan kepanikan. Karena memang faktanya, saham seri A itu tidak terlalu signifikan.

Ketiga, Eksploitasi SDA. Saya kira, persoalan eksploitasi SDA sudah diketahui bersama sebagai persoalan laten yang akan tetap ada selama instrumen investasi asing dan privatisasi masih ada. Aset milik publik yang seharusnya dikelola dengan sebaik-baiknya oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, kini dikelola oleh swasta untuk kesejahteraan mereka sendiri. Liberalisasi sektor migas yang dilakukan melalui UU Migas tahun 2001 yang memuat pasal penghentian peran monopoli Pertamina mulai tahun 2005, ternyata berujung pada masuknya perusahaan asing di dalam bisnis migas di Indonesia. Tentu masih banyak contoh lainnya yang sangat jelas.

Konspirasi Kapitalis

Kita bisa melakukan analisis, bahwa penyebab semua itu adalah adanya kebijakan yang pro liberal, yakni privatisasi, investasi asing, dan kebijakan lain yang menguntungkan pihak asing. Selain itu, dana pembangunan pemerintah tak jarang dialokasikan untuk pendanaan partai politik dan selainnya lagi dikorupsi. Kedengarannya sangat naif, tetapi ini adalah fakta politik.

Praktiknya tentu tidak sederhana, dalam merealisasikan agenda perampokan kekayaan rakyat, semua dibungkus dengan konspirasi yang sangat rapi. Konspirasi itu akan nampak, terutama ketika kita telusur dengan tiga pendekatan. Pertama, dimasukkannya agen-agen pro liberal. Sejak masa orde baru, AS membantu membentuk Tim Ekonomi yang dikenal dengan Mafia Berkeley. Tim inilah yang kemudian merancang kebijakan ekonomi Indonesia yang kapitalistik, liberal dan sesuai dengan kepentingan AS. Tim istimewa ini ditempatkan dalam pemerintahan baru yang menguasai perekonomian. Dan hal itu kemudian terbukti, pada juni 1969, Soeharto bertemu dengan tim ini yang kemudian menjadi menteri dalam kabinet pembangunan. Dalam kabinet ini hampir sebagian besar pejabat ekonominya adalah hasil didikan AS terutama dari Mafia Berkeley (MB). Terdapat Widjojo Nitisastro (alumnus Berkeley) sebagai ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Emil Salim (alumnus Berkeley) sebagai wakilnya, Subroto sebagai dirjen pemasaran dan perdagangan (alumnus Harvard), menteri keuangan Ali Wardhana (Berkeley), ketua Penanaman Modal Asing Moh. Sadli (MIT).

Untuk saat ini pun, tepatnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak jauh berbeda. Di tingkat menteri, seperti Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil (pemain utama privatisasi BUMN); Menko perekonomian Boediono (dia menjabat sebagai ketua Komite Privatisasi dan termasuk MB generasi kedua bersama Dorodjatun, Muhammad Ikhsan, M. Chatib Basri dan Rijal Mallarangeng); Menteri keuangan Sri Mulyani (ia pernah menjadi direktur eksekutif IMF untuk Asia Tenggara); dan lain-lain yang merupakan pihak-pihak yang memuluskan agenda liberalisasi. Belum lagi jika kita menilik jajaran BUMN, banyak sekali perombakan dalam rangka memasukkan agen pro liberal, yang itu dilakukan sebelum privatisasi.[13] Hal ini kira-kira semacam conditioning di level mikro.

Kedua, intervensi pembuatan undang-undang. Intervensi asing itu pelaku utamanya adalah IMF, Bank Dunia, WTO,[14] dan lain-lain. Globalisasi dan liberalisasi diimplementasikan lewat kiprah IMF dalam bentuk butir-butir kesepakatan. Subsidi pupuk dihapus, begitu juga BBM yang membuat kedua komoditas strategis itu melambung terus harganya. Tentu saja rakyat sangat menderita karenanya. Artinya, melalui tangan IMF –sebelum diputus hubungannya oleh SBY-, kapitalis global bisa masuk dengan legal dan leluasa untuk menghisap kekayaan Indonesia. Pendekatan ini sering disebut dengan intervensi W2G (World to Government), yakni dengan menggunakan lembaga internasional seperti yang disebutkan sebelumnya. Jadi, UU Privatisasi dapat digolkan melalui mesin W2G dengan alasan globalisasi.

Modus lain adalah dengan pendekatan G2G (Government to Government), yakni dengan menggunakan lembaga resmi negara; B2G (Bussines to Government), dengan alasan membuka iklim investasi; dan I2G (Intelectual to Government), dengan konsultan yang memberikan prediksi bahwa fiskal negara ke depan akan lebih sehat dengan privatisasi BUMN. Pendekatan G2G dapat kita temukan lewat sepak terjang lembaga resmi pemerintah seperti USAID (United States Agency for InternationalDevelopment). USAID berperan besar dalam reformasi dan liberalisasi sektor energi di Indonesia. Hal ini tentu saja menggiurkan investor asing karena di Indonesia tersedia minyak dan pasar sekaligus. Simaklah apa yang dikatakan oleh USAID soal reformasi itu, “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform (USAID telah menjadi donor bilateral utama yang bekerja dalam reformasi sektor energi –di Indonesia). Bahkan, USAID juga terlibat dalam penyusunan UU Migas. USAID secara terbuka menyatakan hal itu, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oill and gas law in 2000 (ADB –Asian Development Bank- dan USAID telah bekerja bersama dan merancang undang-undang minyak dan gas yang baru pada tahun 2000.”[15]

Ketiga, penyesatan opini bahwa privatisasi akan membawa perbaikan. Kementerian negara BUMN mempunyai pandangan dari sisi ekonomi mikro. Sedangkan Departemen Keuangan lebih memandangnya dari sisi ekonomi makro. Dalam ekonomi mikro, privatisasi bertujuan meningkatkan produktivitas, profitabilitas, efisiensi, dan pengurangan utang perusahaan BUMN. Privatisasi juga diharapkan dapat meningkatkan good corporate governance (GCG), masuknya sumber keuangan baru ke perusahaan, dan pengembangan pasar. Manfaat alih teknologi dan peningkatan jaringan juga diharapkan dalam privatisasi BUMN yang melalui proses strategic sale. Dari sisi ekonomi makro, tujuan privatisasi berorientasi pada kepentingan fiskal, yaitu untuk menambah sumber APBN pemerintah, perbaikan iklim investasi, dan pengembangan pasar modal. Kemudian, ditentukanlah bahwa metode privatisasi diprioritaskan melalui IPO. Cara ini dipandang dapat memberi ukuran peningkatan kinerja melalui perubahan harga saham.

Saya ingin sekali mengajukan keberatan dengan seluruh agumentasi di atas dalam tulisan ini, namun karena keterbatasan ruang, saya hanya akan menjelaskan secara global. Fakta tentang privatisasi sudah sangat jelas madharat-nya. Konsep privatisasi ini secara mendasar telah mengabaikan hal terpenting dalam ekonomi yakni aspek keadilan distribusi sehingga menciptakan jurang kesenjangan yang makin melebar. Inilah awal petaka bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas miskin karena tidak mampu mengakses sumber daya alam, kesehatan, pendidikan, serta layanan publik lainnya. Saya memahami bahwa mengukur manfaat dan madharat bukan hanya dari sisi finansial dan ekonomi saja, tetapi juga dari sisi kepentingan-kepentingan strategis. Sayangnya, umumnya Pemerintah mengukurnya hanya sebatas finansial dan sedikit manfaat ekonomi. Sebagai akibatnya, untuk tambang misalnya, keuntungan yang diraup oleh perusahaan asing jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diterima Pemerintah Indonesia. Lebih dari itu, dikorbankannya kepentingan-kepentingan strategis bahkan tidak dianggap sebagai kerugian nasional.

Pengelolaan Kekayaan dalam Islam

Keuangan negara mengurus masalah keuangan seperti penerimaan, pengeluaran, dan utang negara. Dapat pula dikatakan bahwa keuangan negara mengurus pengeluaran dan pendapatan pemerintah, ataupun negara, dan hubungan antar sesamanya, begitu pula administrasi dan pengawasan keuangan.

Di dalam daulah Islam, lembaga yang diberi otoritas untuk mengurus masalah keuangan negara adalah baitul mal. Dengan begitu, baitul mal merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Harta baitul mal dapat berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya di mana kaum muslim berhak memilikinya sesuai hukum syara' dan tidak ditentukan individu pemiliknya.

Termasuk ke dalam pendapatan negara adalah fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah; pemasukan hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya; pemasukan hak milik negara; usyur, khumus, rikaz harta zakat, dll. Adapun termasuk ke dalam alokasi pengeluaran negara, diantaranya adalah pengeluaran seksi dar al-khilafah, seksi mashalih ad-daulah, seksi santunan, seksi jihad, seksi penyimpananan zakat, seksi penyimpanan milik umum, seksi urusan darurat, seksi anggaran belanja negara, pengendali umum dan badan pengawas, serta pengeluaran lain yang legal menurut syara dan diputuskan oleh khalifah.

Dari sisi kebijakan pengelolaan keuangan negara, syariat Islam tidak memperbolehkan negara melakukan pinjaman ribawi apalagi dengan cara menggadaikan kemandirian negara. Sebagai alternatif sumber-sumber pembiayaan negara, Abdul Qadim Zallum mengklasifikasi sumber penerimaan negara ke dalam tigas pos, yakni pos harta milik negara (fai’ dan kharaj), pos harta milik umum, dan pos shadaqah,[16] sebagaimana yang rinciannya telah disebutkan sebelumnya.

Adapun dari aspek kepemilikan SDA, dalam Islam terdapat tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, negara, dan publik. Berarti, kalau kita cermati apa yang terjadi sekarang, harus ada perubahan paradigma. Paradigma pengelolaan sumber daya alam milik publik yang berbasis swasta (corporate based management), harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).[17]

Terakhir, dari sisi transaksi keuangan, Islam melarang transaksi ribawi, yang telah terbukti menjadi pangkal lemahnya pundamental moneter suatu negara. Selain adanya kepentingan asing, kemelut kasus BLBI berpangkal dari lemahnya fundamental moneter Indonesia yang berbasis riba. Persoalannya kemuadian terus berlanjut karena beban bunga yang dibebankan kepada APBN, jumlahnya tidak sedikit. Akhirnya, kasus BLBI berputar-putar dalam variabel moneter yang telah rapuh sejak awal. Saya kira untuk hal yang satu ini argumentasinya sudah sangat jelas.

Haramnya Globalisasi, Privatisasi, Investasi Asing, dan Intervensi Asing

Berbicara globalisasi, menarik jika kita merujuk pendapat ulama ahlussunnah.[18] Globalisasi tujuannya adalah agar Dunia Ketiga menyambut gembira kedatangan modal dan tenaga kerja asing, mengambil rekomendasi para pemilik modal dan tenaga kerja itu untuk mengoreksi berbagai undang-undang di negaranya, serta melakukan privatisasi BUMN, agar asing dapat dengan mudah membelinya. Karena itu, bukan hal yang aneh bila kita membandingkan propaganda globalisasi ini dengan serangan Kristenisasi pada abad lampau, maka serangan kali ini lebih berbahaya dari pada serangan sebelumnya. Sebab serangan kali ini sekalipun tidak memakai kedok agama, namun tak dapat dipungkiri, sebenarnya lebih mengerikan.

Karena itulah, maka hadits dharar yang dinyatakan oleh Nabi saw.:

«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»

Tidak boleh ada bahaya, dan tidak boleh membahayakan (orang lain) (H.R. al-Hakim)

bisa diterapkan dalam konteks bahaya globalisasi. Ini dipertegas dengan penjelasan as-Syaukani dalam Nail al-Authar, yang menyatakan:

«هَذَا فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِ الضَّرَارِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ، مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الجَارِّ وَغَيْرِهِ فَلاَ يَجُوْزُ فِي صُوْرَةٍ مِنَ الصُّوَرِ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ يَخُصُّ بِهِ هَذَا الْعُمُوْمُ فَعَلَيْكَ بِمُطَالَبَةِ مَنْ لِصَاحِبِ المُضَارَةِ فِي بَعْضِ الصُّوَرِ بِالدَّلِيْلِ فَإِنْ جَاءَ بِهِ قَبِلْتَهُ وَإِلاَّ ضَرَبْتَ بِهَذَا الْحَدِيْثِ وَجْهَهُ فَإِنَّهُ قَاِعدَةٌُ مِنْ قَوَاعِدِ الدِّيْنِ تَشْهَدُ لَهُ كُلِّيَاتٌ وَجُزْئِيَّاتٌ»

Hadits ini berisi dalil yang menyatakan keharaman dharar (bahaya dan tindakan membahayakan orang lain), dalam konteks apapun. Tanpa ada perbedaan, antara pelaku kezaliman maupun yang lain. Maka, apapun bentuknya tetap tidak boleh, kecuali jika ada dalil yang mengecualikannya dari keumuman ini. Karenanya, Anda harus meminta orang yang melakukan tindakan berbahaya itu untuk menunjukkan dalil dalam beberapa bentuk tindakannya yang membahayakan; jika ada, maka Anda bisa menerimanya, dan jika tidak, Anda harus menggunakan hadits ini seperti apa adanya. Karena hadits ini merupakan salah satu kaidah agama, yang bisa menjadi argumentasi bagi perkara yang global maupun rinci.[19]

Ada aspek lain yang selalu dikaitkan dengan globalisasi, yaitu terjadinya revolusi di bidang informasi dan komunikasi, yang menyebabkan dunia seperti tanpa batas, serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Namun, aspek ini berbeda sama sekali dengan aspek yang pertama, yaitu globalisasi. Sebab, aspek yang kedua ini terkait dengan pemanfaatan teknologi, yang statusnya merupakan madaniyah (produk material), dan hukumnya mubah. Seperti pemanfaatan internet, satelit, parabola dan sejenisnya.

Meski demikian, bisa saja sesuatu yang asalnya mubah itu kemudian berubah menjadi haram, karena aspek dharar. Sekalipun keharamannya dibatasi pada perkara yang berdampak pada dharar saja, dan tidak haram secara mutlak. Ini diambil dari hadits Nabi:

«وَلَمَّا نَزَلَ رَسُوْلُ اللهِ e بِالْحَجَرِ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْك اسْتَقَي النَّاسُ مِنْ بِئْرِهَا فَلَمَّا رَاحُوْا قَالَ: لاَ تَشْرَبُوْا مِنْ مَائِهَا شَيْئًا وَلاَ تَتَوَضَّأُوْا مِنْهُ لِلصَّلاَةِ»

Tatkala Rasulullah saw. singgah di sebuah batu ketika Perang Tabuk, orang-orang menimba air dari sumurnya, ketika mereka telah beristirahat, Nabi bersabda: Jangan kalian minum airnya sedikitpun, dan jangan berwudhu dengan airnya.[20]

Hukum asal air, secara mutlak adalah mubah, dan boleh digunakan baik diminum maupun dipakai berwudhu. Tapi, dalam kasus ini, Nabi melarang air tersebut digunakan untuk minum dan wudhu, meski secara umum larangan tersebut tidak mencakup semua air, melainkan khusus untuk air di sumur tersebut. Dari sinilah, kemudian ditarik kaidah ushul:

«كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ المُبَاحِ، إِذاَ كَانَ ضَارًّا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلَى ضَرَرٍ حَرَّمَ ذَلِكَ الْفَرْدَ، وَظَلَّ الأَمْرُ مُبَاحًا»

Semua perkara yang asalnya mubah, ketika telah membahayakan, atau menyebabkan bahaya, maka perkara itu menjadi haram, sementara yang lain secara umum tetap mubah.[21]

Dengan demikian, kalaupun teknologi tersebut hukum asalnya mubah, maka ketika ada faktor dharar pada bagian tertentu, baik langsung maupun dampaknya, maka yang diharamkan adalah bagian yang membahayakan itu. Sementara yang lain tidak.

Selanjutnya, bi at-Tafsil kita kaji maudhu’ terkait privatisasi, investasi asing, dan intervensi asing. Dengan berbagai UU yang ada, penanam modal asing mendapatkan pintu amat lebar untuk melakukan investasi di segala bidang di seluruh wilayah Indonesia. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan syariat Islam. Dalam pandangan syariat Islam, tugas utama negara adalah memberikan ri’ayah (pengaturan dan pelayanan) terhadap rakyatnya. Rasulullah saw menyatakan:

فَالإِمَامُ الأَعْظَمُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ، وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Maka al-imam al-adzam yang (berkuasa) atas manusia adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya (H.R. Muslim).

Dengan regulasi yang ada, pemerintah memperlakukan secara sama rakyatnya sendiri dan investor asing, dan tidak boleh ada yang diistimewakan. Padahal, menurut syariat Islam, perlakuan terhadap pelaku usaha dalam negeri (rakyat) memang harus dibedakan dengan pelaku usaha asing. Ini antara lain, tampak dalam ketentuan tentang usyur misalnya. Negara hanya boleh memungutnya secara penuh dari perdagangan asing (Kafir Harbi). Abdullah bin 'Umar pernah berkata, “Umar memungut ½ usyur dari perdagangan nabath, minyak (zaitun), dan gandum, supaya lebih banyak dibawa ke Madinah agar rakyat terdorong membawa nabath, minyak zaitun, dan gandum ke madinah. Ia juga memungut usyur dari pedagangan kapas” (H.R. Abu Ubaid). Atsar ini menunjukkan, bahwa 'Umar bin al-Khaththab memungut usyur dari perdagangan yang melewati perbatasan negara, yakni ¼ usyur dari perdagangan umat Islam dan ½ usyur dari pedagangan Kafir Dzimmi serta usyur dari penduduk Kafir Harbi. Mafhumnya, jika dalam perdagangan yang melewati batas negara saja tidak boleh disamakan, terlebih menanam modal yang usahanya berjalan di wilayah negeri muslim, tentu saja lebih tidak boleh disamakan.

Tidak adanya pembedaan bidang usaha yang boleh dikuasai asing dan mana yang tidak, bertentangan dengan konsep kepemilikan dalam Islam, yakni apakah pada sektor kepemilikan individu, kepemilikan umum atau kepemilikan negara. Penanaman modal oleh swasta hanya dibolehkan pada sektor usaha yang dapat dimiliki oleh individu. Sementara dalam sektor kepemilikan umum sama sekali tidak boleh dimiliki oleh swasta, baik dalam negeri maupun asing. Yang termasuk dalam cakupan kepemilikan umum adalah: (1) Sarana-sarana umum yang amat diperlukan oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, padang rumput, api, dll. (2) Harta-harta yang keadaan aslinya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya, seperti jalan raya, sungai, danau, laut, masjid, lapangan, dll. (3) Barang-barang tambang yang jumlahnya melimpah atau tak terbatas. Semua sektor itu tidak boleh dimiliki, dikuasai, atau diserahkan pengelolaannya kepada individu, kelompok individu baik dari dalam negeri apalagi dari luar negeri.

Persoalan krusial lainnya adalah metode penyelesaian sengketa. Solusi akhir sengketa antara pemerintah dengan penanaman modal dalam negeri (PMDN) adalah pengadilan. Jika dengan penanaman modal asing (PMA) adalah arbitrase internasional. Menurut Islam, penyelesaian sengketa wajib dilakukan dalam mahkamah yang memutuskan dengan hukum syariat Islam. Diharamkan memutuskan perkara dengan hukum-hukum yang tidak berasal syariat-Nya. Dengan demikian, ketentuan menyelesaikan sengketa dengan membawanya kepada pengadilan yang memutuskan dengan hukum jahiliah adalah haram. Terlebih kepada arbitrase internasional. Lembaga tersebut bukan hanya menerapkan hukum kufur, tetapi juga dikuasai oleh negara-negara Kafir imperialis. Meminta arbitrase internasional untuk memutuskan hukum jelas bisa melapangkan jalan bagi negara-negara itu menguasai negeri ini. Allah Swt berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً

Dan sekali-kali Allah Swt tidak memberikan jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang Muikmin (T.Q.S. an-Nisa': 141).

Menghukum Para Pelanggar

Adanya para penguasa komprador semakin melancarkan proyek liberalisasi dan privatisasi di negeri kaya sumber daya alam ini. Jika penguasa suatu negara benar-benar bisa mengatakan “Tidak”, adanya intervensi asing tidak akan terlalu berarti. Para penguasa komprador ini seakan tidak memiliki nurani; ia rela merestui perampok menjarah kekayaan rakyatnya, sementara rakyat harus puas dengan “hibah” berupa limbah dan kerusakan alam. Kasus Lapindo Berantas mengingatkan kita terkait apa yang sedang kita perbincangkan tadi. Para penguasa telah berbuat kejahatan, karena ikut andil dalam aksi penjarahan itu. Padahal, tidak ada yang didapatkan penguasa model itu, kecuali laknat dari rakyatnya, dan “amplop haram” yang diselipkan orang kapitalis ke dalam saku bajunya. Sangat memalukan sekaligus memilukan. Belum puas dengan itu, mereka mempertontontkan parodi politik yang lucu, berupa tindakan korupsi sistemik untuk memakmurkan diri dan “keluarga besarnya”.

Dengan tegaknya hukum-hukum keuangan negara Islam, kepemilikan umum, dan pelarangan transaksi ribawi, maka tidak ada lagi jalan untuk merampok harta negara. Apabila terjadi pelanggaran maka negara akan memberikan hukuman berat berupa ta’zir yang diputuskan oleh khalifah atau qadli-nya. Bentuk ta’zir dalam pidana Islam bisa berupa, peringatan (wa’zh), publikasi kecurangan (tasyhir), celaan (taubih), penyitaan harta kekayaan, pengasingan, cambuk, penjara hingga hukuman mati jika jelas-jelas menimbulkan kerusakan bagi negara. Sebagai langkah prefentif, negara melarang pemberian hadiah dan suap terhadap pejabat dan aparat negara.

Untuk konteks sekarang, sebenarnya pemerintah secara sadar harus berani menegakkan keadilan bagi masyarakat dengan cara menindak tegas para perampok uang negara. Sebaliknya penanganan kasus korupsi yang terkesan tebang pilih, membuktikan lemahnya penegakkan hukum di negeri ini.

Khatimah

Khulashatul qaul, tunduk pada design ekonomi asing yang pro liberal akan berbuah pada krisis ekonomi, kebijakan yang memberatkan rakyat, dan perampokan terhadap kekayaan negara atas nama investasi, privatisasi, bahkan transformasi manajemen. Untuk itu, setidaknya ada dua hal yang harus kita perhatikan, dalam menyikapi persoalan ini. Pertama, strategic decision yang bersifat strategis –jangka panjang. Keputusan ini berupa kesungguhan dalam membongkar setiap rencana jahat (kasyf al-khuththath) penguasa yang berkolaborasi dengan agen kapitalis; melakukan edukasi yang masif kepada masyarakat untuk menanamkan mindset Islam; artinya, semua diarahkan untuk melakukan rekayasa sosial menuju tegaknya institusi Islam. Kedua, action plan yang berdimensi aksi dan advokasi jangka pendek. Diantaranya adalah mendesak pemerintah untuk mengembalikan semua kepemilikan publik dengan mengambilalih dari swasta untuk dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat[22]; menghukum tegas para penguasa dan mantan penguasa yang berperilaku kriminal dan curang; mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap setiap UU yang tidak memihak rakyat; menyerukan kepada anggota DPR untuk menyadari peran dan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslim yang semestinya senantiasa terikat kepada syariat Islam dalam kegiatan penyusunan perundang-undangan, karena dengan tidak mengacu kepada syariat Islam bukan saja terlarang tapi juga secara pasti akan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara; pada tataran akademik, akademisi dapat melakukan rekayasa dengan membuat model atau semacam regulasi dalam sistem keuangan, APBN, dan investasi yang berdasar Islam; walhasil, langkah ini dilakukan untuk semakin menstimulus proses edukasi kepada masyarakat. Wallahu a’lam***



[1] Penulis adalah ibu rumah tangga, peminat masalah politik dan ekonomi, serta kontributor pada situs berita syabab.com

[2] Lihat Ufayroh al-Khonsa, “Nasionalisasi” Kepemilikan Publik, Perspektif Pengelolaan Kepemilikan Publik dalam Rule of The Game Politik Ekonomi Islam, Makalah, 2007. Dalam makalah itu, saya mencoba menjelaskan secara komprehensif bagaimana potensi yang sebenarnya dimiliki Indonesia, namun sistem hidup “ironi” yang membuat rakyat berada dalam kondisi yang tak menentu. Bahkan untuk mempertahankan haknya pun tidak bisa. Lebih ironis lagi, mengetahui apa yang menjadi haknya pun tidak semua mengerti.

[3] Anonim, Kasus-kasus Korupsi Di Indonesia, 2004. [Tempo Interaktif]. Tersedia: http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/10/25/nrs,20041025-04,id.html. [10 Pebruari 2008].

[4] Eko Ari Wibowo, Pemerintah Diminta Tegas Menangani Kasus BLBI, 2007. [Tempo Interaktif]. Tersedia: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/09/04/brk,20070904-106879,id.html. [10 Pebruari 2008].

[5] Hidayatullah Muttaqin, Resiko Hutang Luar Negeri Pemerintah Indonesia (Studi Kasus APBN 1991/1992 – 1999/2000), 2007, hal. 96-98.

[6] Dicky Iskandardinata, BLBI: Bencana Luar Biasa Indonesia, 2000 [Media Indonesia].

[7] BPK, Siaran Pers BPK tentang Hasil Audit Investigasi atas Penyaluran dan Penggunaan BLBI [4 Agustus 2000].

[8] Outstanding Government Domestic Debt, As of September 25, 2002.

[9] Nota Keuangan dan APBN 2002

[10] Anonim, Jumlah Privatisasi 2007-2008 Menjadi 24 BUMN, 2007. [Website PTPN]. Tersedia: http://www.ptpn7.com/portal78. [10 Pebruari 2008].

[11] T. Ve, Enam BUMN Ditargetkan Go Public Di Tahun 2008, 2008. [Balitbang Depkominfo]. Tersedia: http://balitbang.depkominfo.go.id/? [10 Pebruari 2008].

[12] Ibid.

[13] Antara lain pengangkatan Komisaris Utama PT Wijaya Karya, Agoes Widjanarko, menggantikan Junius Saringar Ulibasa Hutabarat. Ahmad Mukhlis Yusuf sebagai Direktur Perum LKBN Antara, serta mengangkat Hendry Subiakto menjadi Ketua Dewan Pengawas. PT Pelabuhan Indonesia III, mengangkat Laksdya TNI (Purn) Mudjito sebagai Komisaris Utama menggantikan Widodo AS. Perum Pembangunan Perumahan Nasional mengangkat Direktur Utama Himawan Aries Sugoto yang menggantikan Ir Harry A Jasa Slawat. PT Brantas Abipraya, mengangkat Komisaris Utama Soenarno menggantikan Ir Harry Sidharta. PT Bina Karya, mengangkat Komisaris Utama Budi Yuwono menggantikan Panggardjito. PT Waskita Karya, mengangkat Komisaris Utama Iwan Nursyirwan Diar menggantikan Sunaryo Sumadji. PT Indra Karya, mengangkat kembali Komisaris Utama Wibisono Setio Wibowo. PT Virama Karya, mengangkat Komisaris Utama Gunawan Adji menggantikan Sri Astuti. PT Indah Karya, mengangkat Komisaris Utama Sugimin Pranoto menggantikan Guntur Hutapea. PT Istaka Karya, mengangkat mengangkat kembali Komisaris Utama Gandhi Harahap. PT Yodya Karya, mengangkat Komisaris Utama Hidayat AR menggantikan Kasru Soesilo. PT Nindya Karya, mengangkat Komisaris Utama Roestam Syarief menggantikan Syarifuddin Akil. PT Pembangunan Perumahan (PP), mengangkat Komisaris Utama Hendriyanto Notosoegondho menggantkan Budhi Tjahjadi. PT Bio Farma, mengangkat Komisaris Utama Achmad Sujudi menggantikan Rusmono. PT Hutama Karya, mengangkat Komisaris Utama Achmad Hermanto Dardak menggantikan Sunarno. PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari, mengangkat kembali Komisaris Utama Si Putu Ardana. PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional Rajawali Nusantara Indonesia, mengangkat Direktur Utama Bambang Priyono Basoeki menggantikan Rama Prihandana. PT Pelayaran Samudera Djakarta Lloyd, mengangkat Direktur Utama Bravo M.H Karlio menggantikan Thanthawi Hamid. PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung mengangkat Komisaris Ide Zakaria menggantikan Hartik Aningsih. (lihat T. Ve, Manajemen 20 BUMN Dirombak, 2008.http://balitbang.depkominfo.go.id/? [10 Pebruari 2008]). [Balitbang Depkominfo]. Tersedia:

[14] Lihat John Perkins, Confessions of Economic Hit Man, Abdi Tandoer, Jakarta, 2006. Dalam pengakuannya, Perkins mengatakan “... kami jarang mengambil jalan ilegal, karena sistem itu sendiri dibangun di atas ketidakjujuran. Dan sistem itu sah menurut definisinya.”

[15] Keterangan ini bisa dicek dalam http: www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html.

[16] Lihat Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Al Amwal fi Daulah Al Khilafah), cet. II, alih bahasa Ahmad S. dkk, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2004, hal. 16-18.

[17] Lihat Ufayroh al-Khonsa, “Nasionalisasi” Kepemilikan Publik, op.cit.

[18] Penjelasan singkat mengenai hal ini bisa disimak dalam Muhammad Fauzan Nurullah al-Julaniy, Adakah Inhiraf Manhaji pada Fikrah Nahdhiyyah?, Makalah, 2008

[19] Muhammad bin 'Ali as-Syaukani, Nail al-Authar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, juz V, hal. 387 dalam Muhammad Fauzan Nurullah al-Julaniy, op.cit.

[20] Abu 'Ubaid, Mu'jam Ma Ista'jama, ed. Musthafa as-Saqa, 'Alam al-Kutub, Beirut, cet. III, 1403, hal. 426. dalam Maktabah Syamilah.

[21] As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz' at-Tsalits, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 2005, hal. 457.

[22] Lihat Yuana Ryan Tresna, Membangun Indonesia yang Mandiri: Upaya Menuntaskan Permasalahan Pembentukan Modal dengan Aksiologi Syariah, Makalah, Bandung, 2006.

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright AL-FATIH ZONE 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.