Pada 15 Januari 2008 lalu, hanya berbekal 12 pernyataan dari pihak Ahmadiyah, Rapat Badan Koordinasi Pengkaji Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) pusat menyatakan tidak melarang Ahmadiyah, dan memberi Ahmadiyah kesempatan 3 bulan untuk membuktikan pernyataannya bahwa ajarannya sama dengan Islam. Padahal aliran ini sudah dipandang sesat oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) sejak tahun 1974. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah melarangnya sejak 1980, yang ditegaskan kembali pada 2005.

Keputusan Bakor Pakem tersebut sudah terbaca dari awal. Sebab, jauh hari sebelumnya (7/1/2008), Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Wisnu Subroto, mengatakan, “Pemerintah tidak setuju Ahmadiyah dibubarkan/dilarang.”

Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin mengatakan bahwa 12 pernyataan yang dibuat oleh Ahmadiyah hanyalah retorika, dan fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah tetap berlaku.


Mencermati Pernyataan Ahmadiyah

Ajaran Ahmadiyah tertulis dalam berbagai bukunya. Lalu apakah 12 pernyataan yang disampaikan itu dapat menggambarkan hakikat ajaran Ahmadiyah sesungguhnya? Apakah pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang ada di dalam buku-buku mereka? Ternyata, jika dicermati lebih jauh, terdapat perbedaan antara apa yang dituliskan dalam pernyataan tersebut dan apa yang terdapat di dalam buku-buku mereka. Karena itu, penting mencermati isi pernyataan tersebut, khususnya yang sangat substansial.

Butir 1: Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah saw., yaitu “Asyhadu anlaa-ilaaha illallaahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasuullullaah,” artinya, “Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.”

Namun, penting dicatat bahwa sekalipun mereka mengakui Muhammad saw. sebagai rasul, di dalam ‘kitab suci’ mereka (Tadzkirah) diserukan bahwa yang harus diikuti adalah Mirza Ghulam Ahmad; yang diutus sebagai rasul dengan membawa agama kebenaran dan yang dimenangkan di atas semua agama adalah Mirza Ghulam Ahmad; yang menjadi ‘al-mukhâthab’ (yang diseru) dalam ayat-ayat al-Quran yang dimasukkan ke dalam Tadzkirah adalah Mirza (Haqiqatul Wahyi, hlm. 71 dan kandungan umum Tadzkirah). Misalnya, Mirza mengaku mendapatkan wahyu:

يا أحمد بارك الله فيك. ما رميت اذ رميت و لكن الله رمى. الرحمن علم القرآن

Wahai Ahmad, Allah telah memberi berkah kepadamu. Bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Yang Maha Pemurah yang telah mengajarkan al-Quran (Tadzkirah: 43).

انا انزلناه فى ليلة القدر انآ انزلناه للمسيح الموعود

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Lailatul Qadar. Sesungguhnya Kami menurunkannya kepada al-Masîh al-Maw‘ûd (al-Masih yang Dijanjikan) (Tadzkirah: 519).

يا احمدى انت مريدى و معى. انت وجيبة فى حضرتى. اخترتك لنفسى. قل ان كنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله و يغفر لكم ذنوبكم و هو ارحم الراحمين

Wahai Ahmad, engkau adalah pengikut-Ku dan bersama-Ku. Engkau terhormat dalam pandangan-Ku. Aku memilihmu untuk diri-Ku. Katakanlah, jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dia Maha Penyayang di antara para penyayang. (Tadzkirah: 224).

Lihatlah, dalam beberapa kutipan buku Tadzkirah tersebut, ayat-ayat yang diperuntukkan bagi Rasulullah Muhammad saw. diputarbalikkan sehingga diarahkan untuk diri Mirza Ghulam Ahmad. Dalam Islam, agar dicintai Allah adalah mengikuti Rasulullah Muhammad, tetapi dalam ajaran Ahmadiyah seperti dalam Tadzkirah ayat 224 di atas, agar dicintai Allah, yang harus diikuti adalah Mirza.

Butir 2: Sejak semula kami warga jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup).

Butir ke-2 ini tidak menyebutkan secara tegas apa makna khatam[un] nabiyy[in] (nabi penutup) yang dimaksudkan. Keyakinan yang lengkap terdapat di dalam buku resmi mereka: Nabi Muhammad merupakan nabi penutup yang membawa syariat, tetapi bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syariat. Jadi, tetap terbuka diutusnya nabi setelah Nabi Muhammad. (Ahmadiyah, Apa dan Mengapa. Syafi’i R. Batuah. Cetakan XVIII. Penerbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986, hlm. 7). Khatam[un] nabiyy[in] yang mereka yakini artinya nabi yang paling sempurna, cincin para nabi (Tiga Masalah Penting, H. Mahmud Ahmad Chema, H. A. Penerbit Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1987, hlm. 25-26). Bahkan dalam terjemahan bahasa Inggris buku Tadzkirah (tahun 2006) yang dikeluarkan Pimpinan Pusat Ahmadiyah di London, kata khatam dalam khatham[un] nabiyy[in] dimaknai dengan seal (segel, materei), bukan penutup. Jadi, butir ke-2 ini hanya mengungkapkan sepotong dari keyakinan mereka dengan menyembunyikan makna sebenarnya.

Butir 3: Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasysyirat; pendiri dan pemimpin jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Butir ini menyatakan, “Di antara keyakinan kami….” Ini jelas hanya sebagian dari keyakinan mereka. Sebab, ada keyakinan mereka yang lain yang tidak disebutkan di butir pernyataan ini, yang justeru menunjukkan kemurtadan, yaitu keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi mereka.

Di dalam Tadzkirah antara lain juga dinyatakan: Dialah Tuhan yang mengutus Rasul-Nya, Mirza Ghulam Ahmad, dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas semua agama. (Tadzkirah, hlm. 621).

Mirza juga mengaku diutus Allah:

إنا ارسلنا أحمد الى قومه فاعرضوا و قالوا كذاب اشر

Sesungguhnya Kami telah mengutus Ahmad kepada kaumnya, kemudian mereka berpaling dan berkata, “Engkau pendusta dan jahat.” (Tadzkirah: 353, 403).

Dalam Kata Pengantar Tadzkirah edisi Inggris disebutkan, “Mirza Ghulam Ahmad affirmed that his claim to prophethood, as explained by him, was in accord with the Holy Quran and the true Hadits (Mirza Ghulam Ahmad menegaskan bahwa klaimnya terhadap kenabian, seperti yang ia jelaskan, sesuai dengan petunjuk al-Quran dan hadis sahih.” (Tadzkirah, edisi Inggris, Pimpinan Pusat Ahmadiyah London, 2006, hlm. 7).

Butir 5: Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa tidak ada wahyu syariat setelah al-Quranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.

Pernyataan mereka, “…bahwa tidak ada wahyu syariat setelah al-Quranul Karim,” ini karena memang mereka meyakini bahwa Mirza tidak membawa syariat baru. Namun, buku-buku Ahmadiyah tetap menyebutkan tentang keyakinan ada wahyu selain ‘wahyu syariat’ yang turun kepada Mirza (Kami Orang Islam, PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1984, hlm. 22). Mereka memang meyakini al-Quran, tetapi juga meyakini wahyu selain syariah yang diturunkan kepada Mirza. Bahkan banyak teks dalam buku Tadzkirah yang menyatakan bahwa wahyu diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad (Tadzkirah: 519, 637; Haqiqatul Wahyi: 88; Al-Istifta`: 83).

Pada sisi lain, Mirza sendiri menyatakan wahyu turun kepadanya. Di antaranya, dia berkata: Saya telah mendapat khabar tentang revolusi yang akan tiba ini. Tuhan, ya Tuhan sendiri telah berbicara kepada saya dan berkata, “Bangkitlah! Saat engkau yang telah ditetapkan tiba sudah dan sekarang para pengikut Muhamad akan segera menaiki suatu menara yang sangat tinggi serta kaki mereka akan tertanam lebih teguh dibandingkan dengan yang sebelumnya.”

Pengakuan lainnya:

Namun, saatnya dekat sudah tatkala Tuhan akan menampakkan kepada mereka kesalahannya itu. Tuhan berfirman, “Seorang pemberi ingat telah datang ke dunia. Akan tetapi, dunia tidak menerimanya. Namun, Tuhan akan segera menerimanya dan menampakkan kebenarannya dengan serangan-serangan yang perkasa.” Kata-kata ini bukan keluar dari mulut manusia. Kata-kata itu adalah perkataan Tuhan, kata-kata dari Rabb Yang Maha Perkasa sendiri.

Mirza juga berkata:

Pada waktu permulaan baiat, Tuhan berkata kepada saya, “Bumi telah diporak-porandakan oleh suatu badai kesesatan. Pada saat badai ini, dibuatlah perahu ini sehingga dia yang menumpang perahu ini akan diselamatkan daripada tenggelam dan dia yang terus-menerus ingkar akan mengundang kematian.” Dia pun berkata, “Dia yang menjabatkan tangannya pada tanganmu, dia bukannya menjabat tanganmu melainkan menjabat tangan Tuhan.” Ya, demikianlah, dan Tuhan juga memberi khabar kepada saya, “Aku akan mewafatkan engkau dan mengangkat engkau kepada-Ku sendiri. Namun, pengikut-pengikut engkau dan sahabat-sahabat engkau yang sejati akan tetap hidup sampai Hari Kiamat, selalu mengungguli para penolak engkau.” (Lihat: Kemenangan Islam, Mirza Ghulam Ahmad, diterjemahkan dari versi Inggris Victory of Islam, oleh Suparman, tahun 1987. Buku ini juga dimuat dalam situs resmi Ahmadiyah).

Jadi jelas, keyakinan mereka yang sebenarnya menyatakan bahwa ada wahyu selain al-Quran, sekalipun bukan wahyu syariat. Wahyu apa? Fakta menunjukkan bahwa dalam tulisan Mirza kebanyakan berisi ’wahyu’ terkait dengan keyakinan/akidah.

Butir 6: Buku Tadzkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908).

Namun, ingat nama lengkap buku itu adalah:

تَذْكِرَةُ يَعْنِى وَحْيٌ مُقَدَّسٌ رُؤْيَا وَ كُشُوْفَ حَضْرَتِ مَسِيْح مَوْعُوْدِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ

(Tadzkirah, yakni wahyu suci, mimpi, kasyaf Hadhrat al-Masih yang Dijanjikan [al-Masîh al-Maw‘ûd], atasnya shalawat dan salam).

Dari namanya saja jelas, Tadzkirah didudukkan Ahmadiyah sebagai wahy[un] muqaddas[un] (wahyu suci) sekalipun tidak disebut kitab suci. Namun, intinya buku itu merupakan buku yang diyakini pengikutnya berisi wahyu suci. Ini hanya permainan kata-kata belaka. Betapa tidak, dalam ayat-ayat dalam Tadzkirah bertebaran kalimat yang diawali dengan, “menurut wahyu”, baik dalam bahasa Urdu, Persia, atau Arab. Mirza sendiri mengakui wahyu pertama yang turun adalah: Yah, Ahmad, barakallâhu fîka (Wahai Ahmad, Allah telah memberimu berkah); dan Allah Swt. berbicara langsung dengan Mirza (Tadzkirah: 43-70).

Inilah beberapa hal substansial dari ke-12 butir pernyataan tersebut.

Berdasarkan hal di atas, jelaslah bahwa terdapat perbedaan mendasar antara apa yang ditulis dan apa yang terdapat dalam buku-buku Ahmadiyah. Karena itu, apakah buku-buku dimaksud sudah ‘dibuang’ oleh pengikutnya? Manakah yang dapat dipercaya, pernyataan yang sepotong-sepotong ataukah buku-buku yang menjelaskan secara panjang lebar? Lalu benarkah apa yang dinyatakan sama dengan yang diyakini Ahmadiyah internasional?

Ringkasnya, kaum Muslim harus waspada dan tidak boleh serta-merta percaya pada pernyataaan Ahmadiyah di atas. Betapa tidak, ajaran seperti ini disebut oleh Rasulullah saw. sebagai dusta. Pada masa Nabi Muhammad saw. ada seseorang yang bernama Musailamah yang mengaku nabi. Kemudian Rasulullah saw. berkhutbah:

أَمَّا بَعْدُ فَفِي شَأْنِ هَذَا الرَّجُلِ الَّذِي قَدْ أَكْثَرْتُمْ فِيهِ وَإِنَّهُ كَذَّابٌ مِنْ ثَلاَثِينَ كَذَّابًا يَخْرُجُونَ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ

Amma ba‘du. Terkait dengan laki-laki yang banyak kalian bicarakan itu, sesungguhnya dia itu pendusta besar (kadzdzâb); salah satu dari tiga puluh pendusta yang akan datang sebelum Hari Kiamat. (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Suatu waktu, Musailamah al-Kadzdzâb mengirim surat kepada Nabi Muhammad saw. yang disampaikan oleh dua utusannya. Rasul saw. bertanya kepada keduanya, “Apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah Rasulullah.” Rasulullah Muhammad saw. pun berkata, “Kalau saja aku dibolehkan membunuh utusan, niscaya aku akan memenggal leher kalian berdua.” (HR Ahmad).

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[]


Al Wa'ie online